Konvergensi dan Reformasi Public Procurement Laws di Negara-Negara Uni Eropa

Konvergensi dan Reformasi Public Procurement Laws di Negara-Negara Uni Eropa

Salah satu tugas pemerintah adalah menyelenggarakan dan menyediakan sarana dan prasarana infrastrukur yang memadai dalam menunjang program-program terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, hampir semua negara di dunia telah dan sedang melakukan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya, tak terkecuali Indonesia. Sejak masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pembangunan infrastruktur merupakan bagian yang sangat dominan dalam rencana pemerintah yang tercermin dengan semakin meningkatnya anggaran pemerintah yang disediakan untuk pembangunan infrstruktur. Hal ini mengingat index kualitas infrastruktur Indonesia yang terbilang masih rendah dibandingkan dengan rata-rata ASEAN yaitu 4.2 pada skala 7 yaitu ranking 72 dari 144 negara (Global Competitiveness Report 2014-2015). Issue tersebut juga dapat menjadi salah satu faktor keengganan bagi investor dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di negara-negara Uni Eropa. Tuntutan terhadap perbaikan pelayanan publik dan konektivitas antar negara juga menjadi tantangan dalam kerangka kerjasama Uni Eropa (European Union-EU). Oleh karena itu, negara-negara EU mencoba untuk mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki untuk tujuan bersama. Salah satu mega-proyek yang berjalan adalah Program TEN-T. Program TEN-T yang terdiri dari ratusan proyek bertujuan untuk meyakinkan adanya keterpaduan, interkoneksi dan pengoperasian bersama dalam rangka trans-European Transport Network serta akses yang sama terhadap proyek. Secara umum, maksud TEN-T adalah : (1) mengembangkan link kunci dan interkoneksi yang diperlukan untuk mengeliminasi kebuntuan terkait mobilitas antar wilayah; (2) mengisi rute-rute yang  kosong dan melengkapi rute-rute utama khususnya yang di luar batas antar wilayah; (3) mengatasi hambatan-hambatan silang yang terjadi secara alamiah; dan (4) memperbaiki tingkat operasionalisasi pada rute-rute utama. Proyek-proyek ini berlokasi di setiap anggota EU dan meliputi beberapa moda transportasi seperti jalan, jalur kereta, infrastruktur maritime, jalur penyeberangan, infrastruktur angkutan udara, logistik dsb.

Sebelum masuk pada topik khusus di atas, penulis berusaha mendeskripsikan secara singkat  sejarah Uni Eropa (European Union). Pada awal dideklarasikan pada tahun 1957, persekutuan ini bernama Komunitas Ekonomi Eropa (European Economic Community) yang dari 6 negara pendiri yaitu: Belgia, Perancis, Italia, Luxembourg, Belanda dan Jerman Barat). Dalam perkembangannya, berdasarkan Perjanjian Maastricht tanggal 1 November 1993 berubah menjadi Economic Community (EC) atau Europen Union (EU) dan sampai dengan tahun 2016 terdapat 28 negara Uni Eropa dengan bergabungnya negara-negara lain berturut-turut: Denmark, Irlandia, Inggris (1973); Yunani (1981); Portugal, Spanyol (1986); Austria, Swedia, Finlandia (1995); Republik Ceko, Cyprus, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Slovakia, Slovenia (2004); Romania, Bulgaria (2007) dan Croasia (2013). Selain itu, masih terdapat 5 negara kandidat EU yaitu Albania, Montenegro, Serbia, Macedonia dan Turki serta 2 negara potensial menjadi anggota EU yaitu Bosnia-Herzegovina dan Kosovo. Pada perkembangan terakhir, Britania Raya atau Inggris Raya menyelenggarakan referendum keanggotaannya dalam Uni Eropa atau yang kemudian dikenal dengan “BREXIT”. Dan sebagaimana kita ketahui, kelompok pro keluar dari Uni Eropa memenangkan referendum tersebut, sehingga Inggris Raya memproklamirkan keluar dari Uni Eropa. Namun demikian, proses legal keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa masih membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pembahasan-pembahasan masih berlangsung,  karena berdasarkan perjanjian EU proses keluar masuknya anggota harus melalui proses yang cukup kompleks dan melibatkan seluruh anggota di markas besar EU di Brusel, Belgia. Tidak diduga sebelumnya, Italia yang selama ini menjadi anggota aktif EU dan bahkan pendiri utama EU tahun 1957, juga sedang mempersiapkan referendum keluar atau masih di EU.

Berbicara masalah pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari aspek “governance” artinya harus dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah penyelenggaraan pemerintah yang baik. Salah satu aspek governance yang sangat penting adalah bagaimana governance dalam pengadaan barang dan jasa (procurement) yang berdasarkan prinsip-prinsip transparan, kompetitif, akuntabel dan efisien. Dalam kaitan dengan itu, artikel ini akan membahas public procurement laws yang berlaku di negara-negara uni Eropa. Public procurement laws di negara-negara Uni Eropa cenderung diterapkan secara seragam berdasarkan pedoman European Commission (EC) Directives. Pada bagian berikutnya, penulis akan membahas lebih dalam reformasi Public Procurement Laws yaitu dari EC Directives dari 2004/18/EC menjadi 2014/24/EU.

Konvergensi Public Procurement Laws di Negara-negara Uni Eropa

Pertama-tama kita akan membahas Directive 2004/18/EC yaitu kerangka hukum pada prosedur pengadaan pemerintah yang berlaku di wilayah Uni Eropa. Dalam Directive diatur empat prosedur pengadaaan barang dan jasa pemerintah yaitu Prosedur Lelang Terbuka (open procedure), Prosedur Lelang Terbatas (restricted procedure), Prosedur Negosiasi (negotiated procedure) dan Competitive Dialogue. Prosedur lelang terbuka adalah prosedur lelang yang mengundang semua peminat lelang untuk mengirimkan penawaran, namun demikian proposal atau penawaran oleh calon peserta tender bersifat mengikat, sehingga tidak dapat diubah dan/atau dinegosiasikan selama prosedur berjalan. Salah satu keuntungan prosedur ini adalah meningkatkan level kompetisi dalam proses tender dan memudahkan dalam pembandingan penawaran antar peserta lelang. Sedangkan dalam prosedur lelang terbatas, calon peserta lelang mengajukan permohonan untuk mengikuti lelang, tetapi institusi yang bertanggung jawab dalam proses lelang (biasanya disebut Government Procurement Agency atau Contracting Authority) hanya mengundang kandidat yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan penawaran. Selanjutnya, dalam Prosedur Negosiasi, Contracting Authority melakukan konsultasi dengan calon peserta lelang dan menegosiasikan satu atau beberapa pasal-pasal yang ada dalam kontrak. Dalam praktiknya, prosedur ini dapat dibagi beberapa tingkatan yang berbeda yaitu pra kualifikasi, undangan untuk negosiasi, penawaran terbaik dan penawaran final serta penawar yang diprioritaskan. Dalam setiap tingkatan, jumlah peserta dikurangi sampai penawar yang diprioritaskan akhirnya terpilih, meskipun negosiasi dilanjutkan sampai pada tingkatan terakhir. Terakhir, Competitive Dialogue adalah prosedur lelang yang relatif baru diperkenalkan oleh EU Directive, dimana para peminat tender mengajukan diri untuk mengikuti prosedur dan dimana Contracting Authority melaksanakan suatu dialog dengan kandidat diundang dalam prosedur dengan maksud mengembangkan satu atau lebih alternatif yang sesuai untuk memenuhi persyaratan pada basis dimana kandidat terpillih diundang untuk mengikuti lelang. Dengan fase dialog ini memungkinkan Contracting Authority untuk berdiskusi dengan penawar dengan maksud untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan pemenuhan kebutuhan Contracting Authority yang sesuai dan terbaik.

Dalam uraian berikut akan dijelaskan bagaimana perbedaan keempat metode dilihat dari jumlah penawar, proses, prosedur negosiasi dan dasar penentuan pemenang.

Table 1 Empat Perbedaan Mendasar pada Empat Metode Lelang

Items Prosedur Lelang Terbuka Prosedur Lelang Terbatas Prosedur Negosiasi Competitive Dialogue
Kemungkinan membatasi jumlah penawar Pra kualifikasi atau seleksi awal tidak diperbolehkan. Para peminat lelang dapat  mengajukan penawaran. Jumlah penawar mungkin dibatasi yaitu tidak kurang dari 5 sesuai dengan kriteria yang disepakati dalam kontrak (terkait dengan pra kualifikasi dan daftar terbatas diperbolehkan) Jumlah penawar mungkin dibatasi tidak kurang dari kriteria apa dan spesifikasi yang ada dalam kontrak (terkait dengan pra kualifikasi dan daftar terbatas diperobolehkan) Jumlah penawar mungkin dibatasi yaitu tidak kurang dari 3 berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam kontrak (pra kualifikasi dan daftar terbatas diperbolehkan)
Diskusi selama proses Spesifikasi mungkin tidak diubah selam proses lelang dan tidak ada negosiasi atau dialog bersama para penawar.Namun demikian, klarifikasi diperbolehkan.

 

Spesifikasi mungkin tidak diubah selama proses lelang dan tidak ada negosiasi atau dialog bersama para penawar. Namun demikian, klrarifikasi diperbolehkan. Negosiasi diperbolehkan selama atau melalui proses. Tingkatan ukuran sukses dapat digunakan untuk mengurangi jumlah penawar (atau daftar urut /shortlisting).

 

Sebuah dialog dengan para penawar diperbolehkan pada semua aspek (mirip dengan prosedur negoasiasi termasuk kemudian daftar urut/shortlistings). Ketika dialog dilakukan, penawaran yang final dan lengkap harus dimintakan kepada para penawar berdasarkan solusi yang dikembangkan selama dialog berlangsung.
Diskusi setelah penawaran final diajukan Tidak ada lingkup negosiasi dengan penawar setelah penawaran diajukan Tidak ada lingkup negosiasi dengan penawar setelah penawaran diajukan Tidak relevan, karena negosiasi dapat dilanjutkan sampai kontrak disetujui.

 

Hanya diperbolehkan untuk klarifikasi, sedikit penyesuaian atau spesifikasi penawaran. Perubahan yang bersifat mendasar tidak diperbolehkan.
Basis penilaian pemenang Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan Paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan

Sumber: EPEC, 2011

Reformasi Public Procurement Laws

Reformasi Public Procurement Laws di negara-negara Uni Eropa dilakukan melalui Directive 2014/24/EU yang mengganti Directive 2004/18/EC) di bulan Maret 2014. Setiap anggota EU dapat meratifikasi atau mengubah Directive ini ke dalam hukum atau peraturan di masing-masing negara sampai 18 April 2016. Directive ini mengatur sejumlah masalah terkait isu pengadaan yang dapat diterapkan pada seluruh pengadaan di atas threshold khusus (Kontrak pemerintah : (1) sebesar €162.000 untuk pengadaan barang dan jasa di luar point 2; (2) sebesar € 249.000 untuk pengadaan barang dan jasa yang dilakukan Contracting Authority, pengadaan di bidang militer, dan pengadaan jasa lain termasuk sektor telekomunikasi; serta € 6.242.000 untuk kontrak pekerjaan umum). Directive juga menetapkan aturan pada prosedur umum dan issue pengadaan yang relevan (khususnya untuk pengadaan dengan skema Public Private Partnerships/PPPs) seperti: pengecualian sektor, penggunaan pengadaan sistem e-procurement dan kerangka perjanjian, publikasi, deadline dan standar transparansi serta prinsip governance dari pengadaan pemerintah secara keseluruhan.    

Dalam Directive yang baru, prosedur lelang terbuka dan terbatas masih relatif tidak berubah. Terdapat prosedur baru yang diperkenalkan yaitu kerjasama innovasi (innovation partnership) khususnya untuk PPPs. Yang paling menarik bagi pengadaan melalui skema PPPs adalah pengenalan prosedur kompetitif dengan negosiasi (competitive procedure with Negotiation), yang mengganti prosedur negosiasi (negotiated procedure) dan menghilangkan beberapa keterbatasan-keterbatasan penggunaannya. Secara nilai, prosedur ini nampaknya menarik bagi skema pengadaan dengan PPPs karena relatif fleksibel dan memberikan lingkup yang lebih besar bagi Contracting Authority untuk mendisain proses pengadaannya sendiri. Prosedur ini memuat elemen negosiasi diluar aspek yang banyak dan menentukan sebagaimana prosedur Competitive Dialogue, meskipun ada beberapa kelemahan potensial yang dimiliki.

Dalam prosedur yang baru, Procuring Authority dapat mengidentifikasi kebutuhan sesuai dengan produk, jasa atau pekerjaan yang tidak dijumpai di pasar; atau menyatakan persyaratan kualitatif yang minimal. Satu atau beberapa penawar mencoba untuk mengembangkan produk, jasa atau pekerjaan yang terbaik sesuai dengan spesifikasi awal (dengan negosiasi biaya yang berlanjut melaui beberapa fase proyek), sebelum Procuring Authority memutuskan apa dan bagaimana cara untuk melanjutkan proyek, Kemampuan untuk mengarahkan penawar dengan cara ini sebelumnya tidak dapat dilakukan sampai kriteria penetapan pemenang dan spesifikasi teknis dipublikasi. Oleh karena itu, ketika persyaratan utama tetap terpelihara seperti kebutuhan untuk mempublikasikan dengan jelas kriteria evaluasi bagi para penawar pada permulaan proses, prosedur baru menawarkan Procuring Authority fleksibilitas yang lebih besar untuk mengantarkan produk, jasa atau pekerjaan yang sebelumnya tidak pasti. Prosedur baru ini sepertinya dapat dimanfaatkan dalam proyek-proyek riset dan teknologi dimana terdapat ketidakpastian tentang produk final, sehingga Procuring Authority mungkin mengharapkan untuk menyelidiki apa ide dan solusi terhadap pasar sebelum memutuskan apakah memberli satu dari solusi yang dihasilkan.

Bagaimana memilih prosedur yang Tepat?

Baik competitive procedure with negotiation dan competitive dialogue procedure dapat digunakan oleh Procuring Authority secara lebih luas sesuai dengan kontrak, Directive baru memiliki empat area terkait prosedur mana yang mungkin dapat digunakan yaitu:

  • Ketiadaan solusi yang siap tersedia yang tidak memerlukan adaptasi
  • Kebutuhan untuk disain atau solusi inovasi
  • Masalah hukum dan keuangan kompleks yang mengikuti solusi
  • Spesifikasi teknis yang tidak dapat dikembangkan dengan ketelitian yang cukup

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa dibandingkan Directive yang lama, Directive yang baru memberikan Procuring Authority pertimbangan pada lingkup yang lebih luas untuk menggunakan solusi negosiasi daripada prosedur lelang terbuka atau terbatas. Selain itu, Competitive procedure with negotiation menyediakan beberapa fleksibilitas pre-final tender yang penting pada Procuring Authority, Namun demikian, fleksibilitas dapat membutuhkan pengeluaran biaya pada beberapa detail post-final tender. Prosedur ini mungkin bermanfaat pada situasi dimana Procuring Authority relatif percaya diri tentang persyaratan proyek dan kemampuan pasar untuk merespon secara tepat, tetapi masih akan merasakan manfaat negosiasi sebelum penawaran final. Disamping itu, prosedur Competitive Dialogue masih dapat dimanfaatkan pada proyek-proyek yang bersifat kompleks dimana Procuring Authority tidak begitu yakin apa yang tersedia di pasar untuk memenuhi kebutuhan dan sedang diusahakan untuk memaksimalkan pengalaman mengenai tersediaannya di pasar. Prosedur ini memiliki fleksibilitas tambahan dengan mengijinkannya untuk mengkonfirmasi dan mengoptimalkan detail final dan hal-hal lain setelah tender.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan reformasi Procurement Laws di Indonesia dan di negara-negara Uni Eropa, tetapi hanya menguraikan spesifikasi khusus dari Procurement Laws di negara-negara Uni Eropa yaitu masalah keseragaman penerapan atau konvergensi dan perkembangan atau penyesuaian mengikuti perkambangan global atau reformasi Public Procurement Laws berdasarkan Procurement Directive 2014/24/EU.

 

 

0
0
Rat Experiment

Rat Experiment

Pernah mengunjungi taman tikus? Saya sendiri juga belum pernah. Ups…maaf maksud saya, pernah membaca tentang Rat Park Experiment alias percobaan taman tikus?

Beberapa waktu lalu saat mengikuti information session 3MT (three minutes thesis) competition, pembicara yang juga merupakan pemenang kompetisi presentasi thesis dalam waktu tiga menit tahun lalu bercerita tentang taman tersebut.

Saat itu ia, Gabi, mempresentasikan kembali thesisnya yang diinspirasi dari eksperimen rat park tersebut. Menarik, baik dari cara penyampaian maupun substansi. Dalam thesisnya, ia menggunakan logika eksperimen tersebut untuk membedah dampak judi. Ia mengambil topik tersebut karena dia juga ‘korban’ judi. Jeratan judi membuat hidupnya berantakan, kehilangan harta benda, nyaris bercerai, dan pernah mencoba bunuh diri.

Pengalaman hidup itulah yang mendorongnya mendirikan yayasan freeyourself yang kegiatannya membantu para pecandu judi. Di negara bagian Victoria sendiri 200ribu orang telah menjadi korban judi. Menurut salah seorang supervisor saya yang juga suka berjudi, meski tidak sampai tahap ketagihan, para korban judi hidupnya sangat mengenaskan. Ia bisa mengenali dari sorot mata mereka yang kuyu seolah tak ada harapan.

Suatu ketika saya sempat sampaikan bahwa di Indonesia ada yang pernah mengusulkan dibangun kawasan perjudian. Tapi ditolak masyarakat. Lalu, kalau korbannya begitu banyak Pemerintah Australia tidak melarang? It’s about money. Begitu katanya. Pemerintah mendapat banyak uang dari bisnis perjudian. Makanya judi tetap langgeng.

Gabi sendiri butuh waktu empat tahun keluar dari jeratan judi. Dari pengalaman pahitnnya menjadi korban judi, dia tergerak membuat satu program yang membantu para pecandu untuk bebas. Nama programnya Social Connection Program.

Program dan thesis Gabi diinspirasi oleh Bruce Alexander dengan risetnya yang sangat populer: Rat Experiment. Dalam eksperimennya dampak narkoba, tikus biasanya ditempatkan dalam sebuah ruangan sempit dan sendirian serta disediakan heroin dan air putih. Dari dua pilihan tersebut rupanya sang tikus memilih heroin. Tak berapa lama setelah mengkonsumsi heroin tikus pun mati akibat kelebihan dosis.

Sebagai alternatif, Bruce membangun rat park atau taman tikus untuk membuktikan bahwa heroin bukanlah candu. Luas rat park sekitar 200 kali sel yang biasa digunakan untuk percobaan sebelumnya. Di dalam taman tersebut ditempati 16-20 tikus, jantan dan betina. Taman tersebut juga dilengkapi dengan aneka permainan untuk tikus. Tak lupa, heroin dan air putih juga disediakan di taman tersebut.

Anda bisa menebak perubahan perilaku tikus yang terjadi? Tepat sekali. Ketika tikus ditempatkan di dalam taman yang dilengkapi aneka permainan dan ‘komunitas tikus’, ia lebih memilih air putih meski ada heroin disebelahnya. Tikus-tikus ini lebih suka bermain dengan teman-temannya. Berlarian, berkejaran, atau sekedar ‘bercengkrama’. Hingga akhirnya, tikus-tikus ini beranak pinak, damai tanpa kecanduan heroin. Tikus-tikus ini memang masih mengkonsumsi heroin, tapi sangat-sangat jarang mereka lakukan.

Bruce menyimpulkan bahwa kecanduan tidak disebabkan oleh heroin itu sendiri, tapi lebih kepada kondisi yang menyebabkan para tikus ini ‘terpaksa’ mengkonsumsi. Desain skinner box, kandang tikus, yang sempit, terisolasi, dan hanya ada dua pilihan ‘memaksa’ mereka menjadi pecandu. Sebaliknya kehidupan sosial dan keberagaman aktivitas yang ditawarkan oleh taman tikus dengan sendirinya menjauhkan mereka dari heroin.

Rat Park experiment ini tidak hanya digunakan untuk mengatasi kecanduan narkoba, tapi juga kecanduan judi, game, makanan, belanja, dan lain sebagainya. Kondisi psikologis seseorang lah yang, berdasarkan percobaan ini, menyebabkan seseorang kecanduan.

Terkait dengan judi, yang bisa dilakukan untuk mengatasi perjudian ini diantaranya dengan menjalankan program seperti yang dijalankan oleh Gabi, yaitu Social Connection Program. Dalam program tersebut para pecandu judi diajak untuk bersosialisasi melakukan beraneka ragam kegiatan. Jika terisolasi akan mudah sekali bagi pecandu itu untuk terjerumus lebih dalam. Sebagaimana pernyataan Gabi, peran keluarga dan sahabat sangat penting dalam membebaskan para pecandu.

Bagaimana dengan kecanduan gadget? Beberapa waktu lalu, saya sempat mendiskusikan soal ini dengan teman di salah satu grup. Kami mencoba mengkaitkan dengan jenis permainan yang digemari anak saat ini. Kebetulan saat itu ada salah satu teman yang memposting foto permainan anak era-90 an. Kami coba bandingkan dengan anak-anak sekarang yang lebih suka memegang gadget. Sepertinya generasi 70, 80, dan 90 adalah generasi yang beruntung karena bisa menikmati aneka permainan anak yang menyenangkan.

Mengambil pelajaran dari rat experiment ini, apakah memang gadget merupakan candu? Bisa jadi tidak. Alasan anak memilih gadget mungkin sama dengan tikus-tikus yang ditempatkan dalam skinner box yang sempit dengan hanya pilihan heroin dan air putih. Ketiadaan alternatif kegiatan dan teman-teman sebagaimana generasi yang lahir sebelum 90an mungkin penyebab utamanya. Bisa jadi….

 

 

0
0
Korupsi Di Indonesia: Keuangan Negara, Birokrasi Dan Pengendalian Intern

Korupsi Di Indonesia: Keuangan Negara, Birokrasi Dan Pengendalian Intern

Penulis: ARDENO KURNIAWAN*

Penerbit: BPFE UGM

Korupsi, itulah masalah yang sangat menghantui bangsa Indonesia. Setiap hari kita menyaksikan berbagai macam kasus korupsi di negeri ini dalam berbagai macam bentuk, seakan-akan korupsi telah menjadi sebuah keniscayaan di Nusantara. Seiring berjalannya waktu, praktek korupsi di Indonesia bukannya semakin menurun namun justru semakin merajalela.

Alatas mengemukakan bahwa terdapat tiga tahap korupsi dalam sebuah negara. Salah satu tahap tersebut adalah tahap dimana korupsi telah merajalela dan menyebar ke semua sektor dan seluruh kegiatan harus melalui praktek suap agar dapat berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan. Apabila melihat apa yang terjadi pada saat ini di negeri ini, maka dapat dikatakan bahwa kondisi Indonesia hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Alatas.

Oleh karena itu, pemahaman mengenai apa saja jenis-jenis tindak pidana korupsi adalah hal yang wajib. Agar kita dapat menjauhi dan memberantas tindak pidana korupsi maka pertama-tama kita harus memahami apa sajakah jenis-jenis tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001. Apabila kita tidak mengenali apa saja tindak pidana korupsi, lalu bagaimana kita dapat menjauhi perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana korupsi?

Melalui buku yang berjudul Korupsi Di Indonesia: Keuangan Negara, Birokrasi dan Pengendalian Intern, penulis membahas mengenai berbagai macam aspek yang terdapat dalam 7 macam tindak pidana korupsi di Indonesia secara komprehensif. Melalui buku ini, pembaca akan memperoleh pemahaman akan tindak pidana korupsi yang lengkap, mulai dari tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, penyuapan, gratifikasi, pemerasan hingga penyalahgunaan kewenangan.

Latar belakang diperlukannya pemahaman tersebut adalah karena tidak semua penyelenggara negara, pejabat publik serta aparat sipil negara mengetahui dan memahami apakah perbuatan yang dilakukannya merupakan tindak pidana korupsi atau tidak. Aspek-aspek tindak pidana korupsi itu sangatlah luas, sehingga tanpa pemahaman yang baik mengenai aspek-aspek tindak pidana korupsi maka dapat saja para pejabat publik dan penyelenggara negara terjerumus dalam tindak pidana korupsi tanpa disadarinya.

Melalui buku ini, masyarakat dan khalayak umum juga dapat memahami apa saja tindak pidana korupsi sehingga mereka akan dapat menjauhi praktek korupsi ketika berinteraksi dengan birokrasi. Mahasiswa dan kalangan intelektual juga dapat membaca buku ini untuk meningkatkan wawasan mereka mengenai aspek-aspek tindak pidana korupsi.

Selanjutnya buku ini akan membahas mengenai hubungan antara korupsi dengan keuangan negara. Diawali dari pengertian keuangan negara itu sendiri, bagaimanakah kedudukan keuangan negara yang dipisahkan dalam tatanan keuangan kenegaraan, berbagai macam dimensi kerugian keuangan negara serta bagaimana cara melakukan perhitungan kerugian keuangan negara secara umum.

Buku ini juga membahas mengenai bureaucratic corruption, yaitu korupsi yang terjadi di dalam birokrasi pemerintahan dan cara-cara untuk mencegahnya. Raison d’etre (alasan) diperlukannya pembahasan mengenai birokrasi dalam buku ini adalah karena dengan kewenangan yang dimilikinya maka birokrasi sangat rentan terhadap perilaku tertentu, yang disebut dengan rent seeking behaviour (pemburu rente) di lingkungan pejabat publik dan penyelenggara negara.

Terakhir, buku ini membahas mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan negeri ini untuk mencegah terjadinya korupsi di birokrasi pemerintahan. Diawali dari pemaparan mengenai implementasi Zona Integritas, dilanjutkan dengan strategi-strategi pencegahan korupsi yang terdapat dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) hingga Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan. Masing-masing upaya tersebut, terutama Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan, dibahas dengan mendetil dalam buku ini.

Buku ini sangat bermanfaat dibaca oleh penyelenggara negara, pejabat publik, aparat sipil negara, pemerhati korupsi, golongan intelektual, mahasiswa hingga masyarakat umum yang ingin memahami seperti apa praktek korupsi dan bagaimana cara-cara serta metode yang dapat diterapkan untuk mencegah  agar korupsi tidak terjadi di Indonesia.

Anda dapat memiliki bukunya dengan melakukan pemesanan di sini.

 

 

0
0
Mencari Sisi Baik

Mencari Sisi Baik

Ohcome on…masak tidak ada satu hal positif pun yang kamu tau tentang negeriku?”

Saya masih mencoba berfikir keras mencari sisi baik negerinya. Sayang tak terlintas satu pun. Akhirnya, saya hanya tertawa dan mengatakan, “That’s all I know about your country”. Terselip rasa tidak enak, tapi apa daya. Saya hanya bisa menambahkan bahwa yang saya tahu mayoritas penduduk beragama Islam.

Seperti biasa, setiap kali berkenalan dengan orang baru, topik utama yang dibahas adalah negara asal. Ia yang memulai percakapan dengan menanyakan saya berasal dari mana, apakah saya muslim, apa yang saya lakukan di sini. Pembicaraan pun mengalir. Sempat saya jelaskan tentang Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dengan berbagai ragam bahasa yang berbeda satu dengan yang lain.

Usai penjelasan singkat tentang Indonesia, tiba giliran saya bertanya balik. Rupanya ia berasal dari Pakistan. Baru tiga tahun ini tinggal di kota Melbourne. Saya coba memutar ingatan tentang apa yang saya tahu tentang negara tersebut. Saya tanyakan, siapa perdana menteri saat ini. Jujur, cukup lama tidak saya ikuti perkembangan berita tentang negara tetangga India tersebut.

Bisa dipastikan saat ia jelaskan tentang sang perdana menteri, saya hanya bisa berkomentar singkat: ooo…ditambah: I just know about Benazir Butho. Ia ceritakan pula tentang pergantian kepemimpinan termasuk beberapa kudeta yang terjadi. Langsung ingatan saya melayang pada pembicaraan dengan beberapa orang tua murid teman Ayla yang juga berasal dari negara yang sama. Kala itu, ia ceritakan carut marut perpolitikan dan polah tingkah para politikus di negara tersebut. Termasuk pertikaian-pertikaian antar kelompok yang sering terjadi. Belum lagi masalah listrik yang sering padam cukup lama. Sering dalam sehari listrik tidak menyala.

Cerita orang tua murid tersebut saya sampaikan kepadanya. Apa memang benar seperti itu kondisi negaranya. Ia akui. Namun, ia juga jelaskan bahwa saat ini sudah ada upaya-upaya perbaikan. Dari caranya menjelaskan saya bisa menangkap rasa optimismenya. Hingga akhirnya, ia lontarkan pertanyaan di atas yang hanya bisa saya jawab dengan senyuman.

Akhirnya, saya pun menyerah dan memintanya menjelaskan hal-hal positif tentang Pakistan. Ia pun menyebutkan sederet sisi baik negerinya, termasuk dalam hal IT dan militer. Aha…baru teringat bahwa selama ini sering mendapati komentar teman-teman, kalau mahasiswa China kebanyakan mendominisai jurusan IT di banyak universitas di sini, maka mahasiswa Pakistan banyak mendominasi bidang IT. Sedikit demi sedikit mulai nampak hal positif tersebut. Ahli IT Australia banyak yang berdarah Pakistan. Ah…entah mengapa saya terlupa. Sebaliknya, justru lebih meningat tentang mati lampu dan pertikaian dari pada IT expert.

Percakapan dengan warga Pakistan tersebut juga membuat saya ‘ngeh’ bahwa jumlah penduduk Pakistan sangat besar. Ia katakan, 200million atau dua ratus juta. Lagi-lagi saya hanya menjawab, really? Saya fikir hanya sekitar 60an juta. Ternyata hampir menyamai Indonesia. Dengan luas area yang jauh lebih kecil dari Indonesia, tentu kepadatan penduduknya sangat tinggi.

Usai pembicaraan baru terlintas: Aha…bukankah Nouman Ali Khan dan Yasir Qadhi juga dari Pakistan? Ya…dia memang layak bangga dengan negerinya. Sampai di rumah saya sempatkan menggoogling. Saya temukan nama Muhammad Iqbal, penyair terkenal yang salah satu judul bukunya menjadi nama komunitas MAKES (Al Markaz for Khudi Enlightening Studies) yang sering saya kunjungi tujuh belas tahun silam. Dari Wikipidia saya temukan juga Sadiq Khan, Mayor London yang pernah juga menjabat menjadi Menteri Transportasi Inggris. Dari situ pula saya dapati bahwa Pakistan menempati ranking enam sebagai negara dengan diaspora penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk yang bertebaran di banyak negara tersebut berkontribusi terhadap pendapatan negara.

Masih ingat pelajaran sejarah jaman SMP tentang Mohenjo Daro dan Harappa? Lamat tapi pasti kedua nama tersebut cukup kuat terpatri dalam ingatan saya meski sudah lupa benda apakah itu. Mohenjo Daro adalah situs sisa pemukiman terbesar kebudayaan Lembah Sungai Indus yang terletak di Sind, Pakistan. Pada masa puncak kejayaannya, Mohenjo Daro adalah kota yang sangat maju di era 3300-1700 sebelum masehi. Peradaban kota ini juga disebut dengan ‘Peradaban Harrapa”. Wikipidia menyebut: Mohenjo Daro was the most advanced city of its time, with remarkably sophisticated civil engineering and urban planning. Wow….

Tinggalah saya dalam keterpanaan. Adakah saya juga hanya mengenal sisi-sisi buruk Indonesia? Smoga saja tidak…

 

 

0
0
Apalah Arti Sebuah Seragam?

Apalah Arti Sebuah Seragam?

Seragam? Iya pakaian seragam. Ini tentang pakaian. Baju yang dipakai oleh sekumpulan orang dalam kelompoknya yang distandarkan dan dibuat sama. Topik ini bukan masalah seragam dengan warna  dan corak apa, berpihak pada etnis apa. Bukan pula kecurigaan atas hadirnya proyek atas nama seragam.

Namun, ini tentang pemaknaan dari pakaian yang dikenakan oleh seseorang, yang kemudian jika itu seragam, berarti oleh sekumpulan orang. Pakaian adalah ekstensi kulit dari individual. Pakaian mampu menjadi refleksi atas orang yang memakaianya. Seseorang mempunyai motivasi tertentu dan ingin diintepretasikan tertentu oleh orang lain dari pakaian yang dikenakan.

Di dunia ini banyak sekali kita temui pakaian seragam dengan tujuan yang berbeda dan keberhasilan yang bermacam-macam. Ada seragam sekolah, seragam militer, seragam klub sepak bola, dan ada juga seragam untuk orang kantoran. Yang terakhir ini sebenaranya yang ingin saya bahas.

Seragam sekolah yang dimulai di Inggris pada abad 16 dimaksudkan untuk  kesetaraan sosial dan identitas, kemudian diikuti oleh banyak negara termasuk di Indonesia. Di Indonesia, seragam SD yang berwarna merah dan putih merepresentasikan sebuah energi dan hasrat, warna biru pada seragam SMP digambarkan sebagai sebuah kepercayaan diri, sedangkan abu-abu pada seragam SMA mewakili sebuah kematangan pribadi.

Meskipun siswa banyak yang tidak tahu tentang representasi warna seragam sekolahnya, namun mereka tetap memakai seragam dengan senang hati untuk menggambarkan status sosial mereka yang terpelajar.

Sejarah seragam sepak bola juga dimulai di Inggris, sebuah negara asal sepakbola, yang mulai pada abad 18 klub sepakbola menggunakan kostum khusus masing-masing. Sebelumnya, mereka mengenakan kostum sesukanya pada saat bertanding. Seragam klub bertujuan untuk identitas sekaligus pembeda antara klub satu dengan klub yang lain.

Kini seragam klub sepakbola bukan hanya berfungsi sebagai identitas dan pembeda, namun menjadi sebuah kebanggan bagi pemain dan fans nya. Bahkan, pengikut setia sebuah klub selalu memburu jersey terbaru yang dikeluarkan setiap tahunnya.

Beberapa mengincar nomor punggung tertentu sesuai pemain idolanya. Rasa kepemilikan seragam bergeser lebih luas bukan hanya milik para pemain yang berlaga di lapangan, namun juga milik para fans setia klub. Tanpa diwajibkan, mereka dengan senang hati memakainya, dan bangga.

Seragam militer masuk ke Indonesia pada saat bangsa kita sibuk melawan penjajah dengan cara berperang secara fisik. Seragam yang digunakan jelas bertujuan untuk membedakan mana kawan dan mana lawan. Dengan berlalunya  perang dan kemerdekaan yang berhasil diraih, banyak melahirkan pahlawan yang identik dengan kostum perangnya.

Itulah mengapa, sampai saat ini banyak kegiatan usaha rental baju pahlawan dan juga baju militer, yang biasanya akan sold out di saat peringatan hari kemerdekaan atau hari bersejarah lainnya. Orang cenderung merasa bangga bak pahlawan jika mengenakan baju tersebut meskipun hanya setengah hari.

Tidak lupa pula para taruna yang terlihat gagah dan ganteng selalu merasa bangga memakai baju seragam dinasnya di saat pelesir di kota. Pakaian seragam mereka merepresentasikan kekuatan, kesehatan, dan juga kewibawaan. Sehingga tidak mengherankan jika para taruna selalu berhasil menggandeng dara cantik jika sedang jalan ke mall atau bisokop di kota-kota.

Lalu seragam kantoran? Mengenai makna mengapa ada seragam bagi PNS, bisa jadi untuk memfungsikan seragam sebagai pembeda antara pegawai negeri dengan yang bukan. Jika kita bongkar kembali sejarah birokrasi di Indonesia, memang pegawai negeri pada zaman kolonial adalah sekelompok orang yang justru mempunyai kasta yang dihormati oleh masyarakat.

Pegawai pemerintahan pada waktu itu mengasosiasikan dirinya dalam kedudukan sebagai kelas elit dalam strata sosial yang ada karena mempunyai hak istimewa untuk berkuasa mengatur masyarakat. Namun alasan itu sepertinya tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, di mana masyarakat semakin banyak menuntut akan kinerja para pegawai pemerintahan untuk benar-benar melayani masyarakat bukan melayani penguasa untuk menguasai masyarakat.

Dan kabar buruknya, saat ini, pegawai pemerintahan justru sedang mempunyai citra yang kurang baik di mata masyarakat. Profesionalisme, etos kerja, kekakuan birokrasi, dan berbagai penyimpangan kewenangan menjadi hal yang tidak lepas dari citra buruk aparatur negara.

Meskipun telah banyak pegawai pemerintahan yang rela berkorban untuk bekerja dengan baik demi pelayanan kepada masyarakat, namun hal itu belum cukup untuk memperbaiki citranya, karena masih bersifat sporadis. Selain itu, banyaknya pejabat pemerintahan yang tersangkut kasus penyimpangan kewenangan, akan menutup citra positif pegawai yang sebenarnya dapat mulai terbangun dengan baik.

Atau kebijakan seragam di birokrasi pemerintahan dimaksudkan sebagai motivasi kolektif untuk bangga menjadi pelayan masyarakat dan mengkonstruksikan semangat nasionalisme? Semangat untuk bekerja melayani masyarakat demi kejayaan nusa dan bangsa, apakah itu mampu ditumbuhkan dari sebuah pakaian seragam yang dikenakan?

Sebenarnya motivasi ini berpotensi menjadi narasi besar kenapa pegawai pemerintahan perlu pakaian seragam dalam mengemban tugasnya. Namun narasi ini akan gugur sendirinya dengan adanya ancaman hukuman jika pegawai tidak mematuhi aturan pemakaian seragam.

Adanya ancaman ini membuat pegawai merasakan sebuah tekanan yang pada akhirnya melupakan sebuah narasi nasionalisme. Karena pada hakikatnya semangat melayani dan rasa nasionalisme akan tumbuh karena kesadaran pribadi sesuai dengan preferensi masing-masing yang didapat dari pengetahuan dan pengalaman praktik mereka.

Bukan karena tekanan. Ditambah, citra negatif masyarakat terhadap aparatur pemerintah belum mampu menjadikan pakaian seragam sebagai simbol yang dibanggakan bagi pemakainya. Akhirnya dugaan kenapa negara mengatur pakaian seragam bagi pegawainya adalah untuk  menyeragamkan perilaku PNS nya agar mengikuti berbagai peraturan disiplin dan kebijakan yang ada.

Yang pasti dengan mewajibkan PNS untuk memakai seragam, tidak terbantahkan lagi bahwa negara telah menciptakan normalisasi dominasi, jika tak mau disebut menghegemoni, bagi pegawainya.

Pegawai sebagai obyek dominasi negara harus selalu tunduk dan patuh kepada kekuasaan dominasi. Pegawai tidak diperkenankan melakukan protes apalagi menentang aturan dan kebijakan yang ditetapkan. Pemakaian seragam menjadi sebuah tanda bahwa seluruh pengikut tetap dalam kendali pejabat negara yang berkuasa.

Disaat seseorang diwajibkan mengenakan sebuah pakaian, dia tidak akan mempunyai pilihan lain selain memakainya. Motivasi orang tersebut otomatis akan menjadi bias dan justru berpotensi kehilangan makna. Bisa jadi dia akan mencari-cari motivasi tanpa bantuan pihak lain, adapun jika meminta bantuan pihak lain belum tentu juga akan termotivasi.

Tanpa adanya idola yang juga mengenakan pakaian yang sama, yang diintepretasikan positif bagi kelompok dan stakeholdernya, akan sulit bagi seseorang untuk menemukan motivasinya. Jika motivasi tak kunjung ditemui, kepasrahan yang akan menghampiri. Pakaian akan dikenakan hanya agar tidak mendapatkan hukuman.

Lebih parahnya akan timbul oposisi biner aparat baik dan tidak baik dari sebuah pakaian, negara akan menganggap aparat yang tidak memakai seragam adalah aparat yang tidak baik dan oleh karenanya pantas mendapat hukuman. Dan keberhasilan negara terhadap penyeragaman pakaian hanya terletak pada tingkatan pembeda, membedakan mana pegawai negeri dan mana yang bukan.

Tidak membanggakan, tidak memotivasi, dan tidak ada hubungannya dengan kinerja, tapi justru memperlihatkan adanya kekuatan dominasi atas yang lain. That’s it. End of story. 

Jadi, apalah arti sebuah seragam? Sangat berarti. Saking berartinya, jika saya jadi pemegang otoritas atas PNS, saya tidak perlu ancam-mengancam untuk membuat aturan tentang baju.

0
0