Bebaskan Birokrasi Dari Politisi

Bebaskan Birokrasi Dari Politisi

Pendahuluan

Keberhasilan Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan makmur sangat ditentukan oleh suksesnya pelaksanaan pembangunan di daerah provinsi, kabupaten dan kota. Itulah konsekuensi logis dari penerapan sistem negara kesatuan yang didesentralisasikan. Kesuksesan Indonesia bersumber dari akumulasi kesuksesan daerah-daerah otonom dalam membangun dan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan bangsa yang sebenarnya memang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Dengan bahasa yang lebih sederhana, Indonesia maju jika daerah-daerahnya maju, begitu pula sebaliknya Indonesia gagal jika daerah-daerahnya gagal.

Salah satu elemen yang sangat menentukan keberhasilan daerah dalam melaksanakan pembangunan adalah birokrasi. Sebagai pelaksana dari setiap kebijakan yang dihasilkan oleh daerah, birokrasi menempati posisi yang sangat penting dalam mengejawantahkan konsep-konsep kebijakan daerah menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Di tangan birokrasi, kebutuhan masyarakat yang disampaikan lewat saluran-saluran aspirasi yang resmi terjawab sebagai program-program pembangunan.

Dengan demikian, kemajuan atau kegagalan Indonesia sebagai sebuah bangsa, sangat bergantung pada kualitas birokrasi. Kehadiran birokrasi yang profesional untuk mengurus kepentingan rakyat merupakan keniscayaan. Karena tanpa profesinalisme, birokrasi takkan mampu menjalankan fungsi dan perannya memajukan Indonesia dan mengatasi masalah bangsa di tengah alam desentralisasi ini.

Sayangnya, sosok dan postur birokrasi profesional yang bisa berkontribusi terhadap proses pemajuaan bangsa, memiliki kinerja yang tinggi, dan mumpuni dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, masih menjadi harapan yang terlalu muluk-muluk. Apalagi jika sorotan itu diarahkan pada kondisi birokrasi yang hidup di alam desentralisasi dan otonomi daerah, karena birokrasi di daerah masih tunduk di bawah kekuasaan kepala daerah dalam arti yang sesungguhnya.

Masalah Yang dihadapi Birokrasi di Daerah

Birokrasi di daerah sejak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berjalan efektif tahun 2001 lalu tetap berbentuk birokrasi patrimonial. Relasi politisi – birokrasi yang tidak seimbang dengan politisi berada di posisi superior dan birokrasi di sisi sebaliknya, tetap menjadi  bagian dari budaya birokrasi kita. Hal yang tidak berubah dari kondisi pada masa Orde Baru dulu. Bahkan jika diamati lebih jauh, patrimonialisme birokrasi saat ini justru semakin parah. Jika pada zaman Orde Baru, birokrasi relatif hanya terikat pada monoloyalitas politik kepada salah satu kontestan pemilu bernama Golongan Karya, dan itu terjadi secara nasional. Namun dalam era reformasi sekarang ini, loyalitas birokrasi harus diberikan kepada “siapapun” yang karena proses pemilihan langsung, tiba-tiba menjelma menjadi pejabat pembina kepegawaian.

Fenomena birokrasi patrimonial di Indonesia telah terjadi bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Birokrasi Patrimonal menurut Eisenstadt memiliki ciri-ciri: pertama, pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik; kedua, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan; ketiga, pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi; keempat, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Birokrasi dipolitisasi dan dimobilisasi untuk kepentingan orang tertentu. Birokrasi dipaksa melayani “pembinanya” agar bisa tetap survive. Fungsi dan peran birokrasi sebagai pelaksana kebijakan terdistorsi oleh kepentingan penguasa. Mereka disodori pilihan sulit antara menuruti keinginan kepala daerah yang belum tentu sesuai dengan etika dan aturan, atau akan kehilangan posisi dalam struktur pemerintahan. Inferioritas birokrasi semakin rentan ketika praktek transaksional terjadi dalam pemilihan dan penempatan pejabat-pejabat birokrasi. Jabatan ditawarkan dengan harga tertentu yang menciptakan pola pembinaan karier yang karut marut, tidak proporsional dan primitif.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Klaten beberapa waktu lalu adalah satu dari kemungkinan banyak kasus serupa yang terjadi di tanah air. Banyak orang yang meyakini bahwa fenomena itu merupakan puncak gunung es. Terjadi pada banyak daerah, namun sulit terdeteksi karena modus operandinya sangat rapi dan sulit dibuktikan. Pembina Kepegawaian yang seharusnya merupakan jabatan terhormat dan mulia, menjelma menjadi senjata yang moncongnya mengarah tepat ke jantung birokrasi.

Jika relasi politisi – birokrasi yang tidak seimbang tersebut terus terjadi di daerah, maka cita-cita luhur memajukan Indonesia melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, bisa dipastikan tidak akan pernah bisa terwujud. Karena birokrasi yang menjadi ujung tombaknya tidak bekerja untuk rakyat. Kekayaan negara yang seharusnya dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat menguap di tangan para pemburu rente (rent seeker). Dan sebagai akibatnya, rakyat tetap tak beranjak dari ketertinggalan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, desentralisasi dan otonomi daerah hanya menguntungkan orang-orang tertentu. Bukan bangsa, bukan negara, apalagi rakyat.

Dari uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa superioritas politisi atas birokrasi yang terjadi di daerah mempunyai dampak yang sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam upaya mencapai tujuan nasional. Untuk itu, diperlukan upaya membebaskan birokrasi dari tekanan politik yang memengaruhi kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu dalam tulisan yang singkat ini, akan dibahas tentang langkah-langkah yang harus dilakukan agar birokrasi terbebas dari tekanan politisi yang bersifat negatif.

Membebaskan Birokrasi dari Politisi

Membebaskan birokrasi dari tekanan politisi secara konseptual memang tidak mudah. Penyesuaian dan perubahan dengan berbagai regulasi harus dilakukan. Akan tetapi langkah-langkah konstruktif seperti itu harus ditempuh demi menghasilkan birokrasi netral yang bisa bekerja secara profesional bagi kepentingan rakyat secara keseuruhan.

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah meninjau status pejabat pembina kepegawaian yang diberikan kepada kepala daerah. Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Di daerah provinsi, kabupaten dan kota, jabatan itu berada di tangan Kepala Daerah.

Sebenarnya penyematan jabatan sebagai pembina kepegawaian kepada kepala daerah merupakan konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi administrasi. Harapannya, kepala daerah yang telah menerima pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan pengaturan dan penataan birokrasi di daerah bagi kepentingan masyarakat setempat. Akan tetapi dalam perkembangannya, jabatan itu justru dimanfaatkan oleh sejumlah kepala daerah untuk memuluskan praktek kolusi dan nepotisme di dalam penyusunan struktur organisasi dan penempatan pejabat-pejabat birokrasi dalam jabatan struktural.

Kewenangan yang terlalu besar memang cenderung mendorong pemegangnya melakukan penyelewengan. Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton). Berdalih karena perbedaan visi, atau untuk mengembalikan pengeluaran selama proses pilkada, kepala daerah memanfaatkan kewenangannya itu untuk menekan birokrasi atau menggunakan birokrasi untuk kepentingan pribadi dan golongan. Melakukan praktek-praktek tidak terpuji terhadap birokrasi, yang ujung-ujungnya merugikan implementasi kebijakan daerah.

Solusi sederhana yang ditawarkan untuk mengatasi hal tersebut adalah meninjau kewenangan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian. Kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan aparat dalam jabatan struktural sebaiknya ditempatkan pada sebuah lembaga (semacam KASN) yang dibentuk di daerah. Untuk menjamin kinerja birokrat, lembaga tersebut secara obyektif melakukan seleksi dan mutasi secara obyektif dalam usaha menyediakan tenaga-tenaga ahli dan kompeten bagi pencapaian visi dan misi kepala daerah selama masa jabatannya.

Yang kedua dengan mendorong peningkatan profesionalisme birokrasi sehingga memiliki kemampuan yang “tidak tergantikan”. Perlakuan politisi terhadap birokrasi seperti itu biasanya terjadi karena adanya oknum aparat birokrasi yang berkualitas rendah. Bagi birokrat seperti itu, situasi tersebut dapat menjadi jalan yang lebih mudah dalam mendapatkan promosi dan perbaikan nasib. Ironisnya, pegawai negeri dengan kualifikasi rendah seperti itu masih menjadi bagian terbesar dalam struktur birokrasi di daerah. Bahkan seleksi terbuka yang dilakukan berdasarkan UU ASN dewasa ini, cenderung hanya lebih memudahkan kepala daerah dalam melegitimasi praktek spoil system di dalam tubuh birokrasi.

Optimalisasi kemampuan birokrat sampai pada level tertentu akan menanamkan rasa percaya diri yang tinggi di kalangan birokrat sehingga mengurangi keinginan untuk “menyembah” kepada kepala daerah hanya untuk sebuah posisi dalam struktur pemerintahan. Yang terbaik tentu saja adalah ketika seluruh pegawai berada pada kualitas yang rata-rata tinggi sehingga secara kumulatif, dibawah pimpinan seorang birokrat senior bisa memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga tidak mudah terkooptasi. Birokrasi yang profesional, bisa menjadi penasehat bagi politisi dalam perumusan dan pembuatan kebijakan daerah. Dengan integritas dan kompetensi yang mumpuni, relasi politisi – birokrasi yang terbentuk di daerah dapat berjalan harmonis dalam posisi yang setara.

Kesimpulan

Politisi dan Birokrasi merupakan dua dari sejumlah elemen yang membentuk sebuah sistem politik.  Di daerah, kavling politisi dihuni oleh kepala daerah dan wakilnya, serta pimpinan dan para anggota DPRD. Mereka inilah yang bertugas sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan kavling birokrasi, diisi oleh para birokrat yang kemudian disematkan label sebagai pelaksana kebijakan. Penyusunan dan pembuatan kebijakan adalah proses politik, selebihnya, adalah proses administrasi yang menjadi tanggung jawab birokrasi. Dari sini sebenarnya terlihat bahwa antara kedua posisi tersebut terdapat kesetaraan. Keduanya berdiri sejajar untuk saling melengkapi satu sama lain. Politisi tidak mungkin bisa mewujudkan kebijakan-kebijakannya terhadap rakyat jika tidak dilaksanakan oleh birokrasi, dan sebaliknya birokrasi tidak bisa bekerja secara terarah jika tidak dipandu oleh rumusan kebijakan yang dibuat oleh politisi.

Kedua elemen ini harus bersinergi membentuk jalinan kerja sama yang harmonis untuk melahirkan kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat. Apalagi dalam situasi tertentu, proses perumusan dan pembuatan kebijakan akan berjalan lebih efektif ketika birokrasi yang berisi orang-orang ahli di bidangnya turut berkontribusi. Sehingga tidak seharusnya politisi mengkooptasi birokrasi bagi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

 

 

1
0
Dilematika Whistleblower Birokrat: Pahlawan Atau Pengkhianat?

Dilematika Whistleblower Birokrat: Pahlawan Atau Pengkhianat?

Pengalaman Kasus Whistleblowing

Baru-baru ini masyarakat dunia tercengang dan dikejutkan oleh “kicauan” Edward Snowden di ruang publik yang membongkar berbagai rahasia dan operasi kotor yang dilakukan Badan Intelijen Amerika Serikat (USA), National Security Agency (NSA) tempatnya bekerja.  Sejak pertengahan Juli 2013 silam, nama Snowden menjadi trending topic dan sontak menjadi sosok yang paling ‘menyeramkan’ bagi pemerintah USA, khususnya NSA.  Pria kelahiran Wilmington, North Carolina USA yang awalnya adalah agen NSA berbalik arah “mengkhianati” instansinya dan (mungkin) negaranya karena berani membeberkan aib berupa berbagai dokumen operasi rahasia milik NSA kepada masyarakat luas.

Snowden bersuara (voice) kepada publik bahwa NSA mencuri data para  pengguna internet dan telepon. Snowden juga mengungkapkan bahwa pemerintah USA menguasai berbagai data pribadi yang diaksesnya melalui server sejumlah perusahaan teknologi besar di AS. Program inilah yang kemudian disebut PRISM atau sebuah operasi rahasia berkode sandi “PRISM”. Program pemerintah AS inilah yang mengizinkan NSA untuk menyadap dan mengakses. Snowden mengungkapkan hal ini di  media  terkemuka di Amerika Serikat. Berita fenomenal tentang Snowden ini menimbulkan efek besar bagi perkembangan dunia teknologi dan dikenal dengan istilah Snowden effect.

Sebagian pihak menganggap Snowden sebagai seorang “pahlawan” karena keberaniannya mengungkap aksi busuk NSA. Namun tak sedikit pula yang menuduh Snowden sebagai “pengkhianat” bagi instansi maupun pemerintah USA. Setidaknya ada 10 rahasia besar NSA yang dibocorkan oleh Snowden (sebagaimana dilansir laman mashable.com)[1]. Konon saat ini sang whistleblower terpaksa harus bersembunyi di Jerman untuk menghindar dari kejaran pemerintah USA.

Kasus Snowden hanya salah satu contoh dari sederet kejadian whistleblowing yang pernah terjadi. Whistleblowing bukan fenomena baru namun sudah sejak lama terjadi di berbagai negara. Salah satu tokoh whistleblower di USA yang sangat populer di sektor swasta adalah Jeffrey Wigand. Wigan adalah direksi riset dan pengembangan di Brown and Williamson Tobbaco Corporation pada periode 1988-1993. Pada saat itu Wigan mengungkapkan adanya praktik yang membahayakan publik oleh perusahaan tempatnya bekerja yaitu penambahan zat berbahaya carcinogenic yang dapat memicu kanker ke dalam ramuan rokok. Sebegitu fenomenalnya keberanian sang whistleblower sehingga kisahnya diangkat ke film layar lebar dengan judul “The Insider” pada tahun 1996  dan berhasil memenangkan Piala Oscar 1996.

Selain Wigan, ada beberapa tokoh whistleblower lain yang tidak kalah populer. Beberapa diantaranya adalah Cynthia Cooper, seorang akuntan dan mantan Vice President (VP) Internal Audit di perusahaan Worldcom yang membongkar skandal keuangan perusahaan Worldcom; Sherron Watkins, Vice President (VP)  Corporate Development di perusahaan Enron Corporation yang membongkar skandal keuangan perusahaan Enron; Frank Serpico, pensiunan Departemen Kepolisian Amerika New York City (NYPD) yang menyingkap adanya skandal penyuapan para anggota kepolisian New York dan beberapa nama lainnya yang terlibat.

Dari pengalaman beberapa kasus tersebut, dapat diidentifikasi adanya dua kondisi yang berseberangan dalam hal respon organisasional maupun respon publik terhadap sepak terjang para whistleblower. Sebagian pihak merespon secara negatif dalam bentuk resistensi, penolakan, sanggahan, perlawanan, tuntutan balik maupun ancaman dan teror kepada whistleblower dan keluarganya. Namun tak sedikit pihak yang memberikan respon positif kepada whistleblower dalam berbagai bentuk seperti misalnya pemberian dukungan, apresiasi maupun penghargaan kepada whistleblower meskipun di beberapa kasus terjadi resistensi dan perlawanan khususnya dari pihak terlapor pada awal kasus tersebut terbongkar.

Bagaimana dengan pengalaman whistleblowing di Indonesia?

Dari berbagai sumber informasi, kita mengetahui beberapa kisah dilematis yang dialami para whistleblower ketika membongkar berbagai kasus di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah yang dialami Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) yang melaporkan upaya suap oleh salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada dirinya dan tim. Khairiansyah merupakan pionir dalam penggunaan istilah whistleblower di Indonesia. Beberapa tokoh lainnya diantaranya adalah Vicentius Amin Sutanto sebagai pembongkar kasus penggelapan pajak Asian Agri Group, Yohanes Waworuntu  tokoh yang mengungkapkan skandal pengadaan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Agus Tjondro dalam kasus suap kepada sejumlah anggota DPR dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI. Murdiyanto, seorang guru PNS yang saat ini menjadi kepala SMP negeri di Sukoharjo yang melaporkan pungutan liar tunjangan sertifikasi guru di Sukoharjo. Selain nama-nama tersebut, masih banyak contoh tokoh lainnya seperti Muchasonah guru agama di Jember, Amborowatiningsih mantan petugas museum di Solo, Sukotjo pembongkar skandal korupsi di tubuh Polri,  Heru Sukrisno, seorang tentara-auditor yang mengungkap berbagai korupsi di tubuh TNI AD, Erwinus Laia seorang PNS pengungkap kasus korupsi di kabupaten Nias selatan, sumatera utara (Tempo, 23-29 Desember 2013: 29-85) serta sederet tokoh lainnya yang kisahnya tidak menjadi pemberitaan hangat di berbagai media masa dan tidak diketahui publik secara luas.

Kasus terkini yang masih segar dalam ingatan kita dan menyedot perhatian publik beberapa saat yang lalu adalah kasus yang dialami mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Sudirman Said mengungkapan fakta kepada Majelis Kehormatan DPR (MKD) tentang adanya dugaan tindakan tidak etis oleh seorang ketua DPR bersama seorang pengusaha besar. Mereka diduga melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk minta jatah pembagian saham dari PT Freeport. Kasus ini terbongkar melalui rekaman pembicaraan para pelaku dengan Direktur PT Freeport Indonesia. Sayangnya, dari berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, tidak sedikit para whistleblower mengalami kondisi dilematis dan ironis. Penyelesaian sebagian kasus tersebut tidak terurai dengan tuntas, justru menyisakan banyak teka-teki.

Dilematika Whistleblowing

Belajar dari berbagai kasus whistleblowing yang pernah terjadi khususnya dari para birokrat (dari mulai petugas honorer museum, guru, pegawai kecil kementerian dan sebagainya) yang menjadi peniup peluit (whistleblower) semakin menegaskan bahwa kontribusi dan peran serta birokrat dalam menciptakan birokrasi yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah sebuah keniscayaan. Peran serta para whistleblower dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan mengingat korupsi adalah kejahatan terorganisir dan bersifat tertutup. Oleh karena itu, memberantas korupsi tanpa melibatkan “orang dalam” (insider) sebagai informan atau pemberi petunjuk awal (tip/clue) adalah pekerjaan yang cukup berat.

Pengungkapan awal adanya indikasi korupsi memerlukan petunjuk (clue/tip) dari orang dalam (insider) karena pada umumnya tindakan korupsi atau kecurangan lain dilakukan sangat terorganisir. Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) melakukan survey secara rutin setiap dua tahunan dengan menginvestigasi 1.483 kasus fraud di seluruh dunia pada tahun 2014. Hasilnya menunjukan bahwa deteksi awal adanya tindakan korupsi dan kecurangan lain pertama kali ditemukan karena adanya petunjuk awal (tip/clue) dari orang dalam yaitu sebesar 43,3%. Dari pentunjuk awal (tip/clue) tersebut sebesar 49% dilakukan oleh pegawai sendiri (ACFE, 2014).

Bagaimana realitanya?

Sangat disayangkan, pada kenyataannya kondisi dilematis dan ironis hingga kini masih saja dialami oleh orang-orang yang memiliki komitmen dan integritas tinggi yang berani bersuara (voice) membongkar praktik busuk yang terjadi di internal organisasi tempatnya bekerja. Kondisi dilematis yang dialami oleh para whistleblower merupakan kosekuensi logis dari tindakan whistleblowing. Whistleblowing sebagai salah satu tindakan yang mungkin terjadi di dalam sebuah organisasi memiliki setidaknya dua kelompok respon atau tanggapan yang saling bertentangan (dikotomis) dan memposisikan whistleblower pada kondisi yang dilematis (diantaranya dinyatakan oleh: Keenan, 1990; Lindblom, 2007; Teo dan Caspersz, 2011).

Temuan beberapa riset sebelumnya mengindikasikan adanya dua kelompok respon organisasional maupun respon publik terhadap peran whistleblower yang ditemukan para peneliti terdahulu. Secara umum, ada dua kubu temuan yang saling berseberangan terkait dengan respon organisasional maupun respon publik terhadap sepak terjang seorang whistleblower. Di kubu pertama, beberapa peneliti menemukan adanya respon dan penilaian positif terhadap tindakan seorang whistleblower dengan menganggap mereka sebagai seorang pahlawan (heroes) (diantaranya dikemukakan oleh Dozier dan Miceli,1985; Hers, 2002; Vandekerckhove dan Tsahuridu, 2010). Sebaliknya, di kubu yang berseberangan menganggap whistleblower yang notabene orang dalam dinilai sebagai orang yang “melawan arus”, mengkhianati rekan kerja (kolega) dan organisasi tempatnya bekerja. Seorang whistleblower yang melaporkan keburukan, kecurangan atau persoalan internal organisasi kepada pihak di luar organisasi adalah seorang pengkhianat (traitors) bagi organisasi (Vinten,1994; Hers, 2002).

Pertanyaannya adalah kenapa kondisi ini masih saja terjadi?

Setidaknya ada beberapa argumentasi yang didiskusikan dalam tulisan ini untuk mengurai beberapa kemungkinan faktor yang ikut andil menciptkaan kondisi tersebut terjadi:  Pertama, terkait dengan budaya etis khususnya berkaitan adanya fenomena konspirasi serta sikap permisif dan kompromis terhadap tindakan korupsi terjadi di dalam organisasi. Kedua, problematika terkait formulasi dan implementasi kebijakan atau strategi anti-korupsi di Indonesia. Ketiga, ketidakhadiran negara dalam bentuk perlindungan hukum bagi para whistleblower di Indonesia.

Pertama: Konspirasi dan Permisivisme terhadap Korupsi

Korupsi atau berbagai bentuk kecurangan dan tindakan tidak benar (wrongdoing) lainnya yang terjadi di dalam suatu organisasi sulit dibongkar ketika para pihak yang terlibat bersepakat untuk saling menutupi atau melakukan konspirasi. Istilah lain yang sering digunakan dan saling menggantikan istilah konspirasi diantaranya adalah kolusi, pemufakatan jahat, patgulipat, persekongkolan dan sebagainya. Fenomena konspirasi ini menjadi salah satu temuan De Maria (2006)[2] dalam salah satu risetnya yang meneliti perkembangan perilaku korup di lingkungan organisasi publik menggunakan pendekatan atau konsep “brother secret, sister silence: sibling conspiracies”. Fenomena yang ditemukan oleh De Maria dikenal dengan istilah “konspirasi-bersama”. Konspirasi tersebut tercipta karena adanya sinergitas antara kerahasiaan (secret) dan aksi tutup mulut (silence) dari para pihak yang terlibat”.

Konspirasi yang terjadi di internal organisasi bisa berdampak negatif karena dapat menciptakan resistensi terhadap nilai-nilai etika dan norma yang berlaku. Konspirasi juga dapat membentuk opini bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang wajar (permisif) sehingga orang lain membiarkan (kompromi) bahkan mengikuti pola tindakan korupsi yang serupa. Hal senada diungkapkan pula oleh Kumorotomo (2001) yang menyatakan bahwa gejala korupsi tidak boleh didiamkan saja kalau tidak ingin merembet secara ganas dan untuk menanggulanginya memerlukan energi lebih besar. Pembiaran atas perkembangan korupsi berarti memperbesar jumlah kejahatan tersembunyi (hidden crime). Apabila di di lingkungan organisasi maupun kehidupan masyarakat sudah terbiasa dengan pola-pola perilaku korup, maka akan sulit menemukan kekuatan yang dapat menumpas korupsi.

Dampak lain sikap acuh terhadap tindakan korup yang terjadi di sekitar kita adalah mendorong anggota organisasi lainnya menjadi kompromis terhadap berbagai jenis tindakan penyelewengan lainnya yang secara tidak disadarinya sesungguhnya termasuk dalam kategori tindakan korupsi.  Rasionalisasi terhadap perilaku para koruptor (sebagaimana dijelaskan dalam neutralization theory) serta munculnya ungkapan-ungkapan yang membeda-bedakan korupsi menjadi “korupsi yang jujur”, “korupsi yang dibenarkan”, atau “korupsi karena terpaksa” menunjukkan adanya pengelompokan nilai-nilai moral yang dapat menumbuhsuburkan sikap-sikap permisif di tengah masyarakat.

Unsur-unsur penting masyarakat harus aktif melakukan upaya nyata dalam menentang korupsi. Sikap masa bodoh dan kondisi pasif (hibernation) merupakan tembok penghalang besar dalam upaya pencegahan tindakan korupsi. Permisivisme terhadap tindakan korup dapat menurunkan bahkan menghilangkan kepercayaan pada sekelompok orang yang memiliki integritas dan berani “bersuara” mengatakan bahwa korupsi adalah sebuah kejahatan yang harus diberantas. Beberapa tokoh yang pernah mengungkapkan tentang bahayanya orang-orang baik berdiam diri ketika melihat ketidakbenaran diantaranya adalah: 1) Edmund Burke (1729-1797)[3], menyatakan bahwa “The only thing necessary for the triumph of evil is the good men to do nothing[4] (satu-satunya yang diperlukan bagi kemenangan kejahatan adalah orang-orang baik yang berdiam diri); 2) Jenderal Soedirman (1916-1950) pernah menyampaikan bahwa: “Kejahatan akan menang bila orang yang benar tidak melakukan apa-apa”[5].

Kedua: Problematika Strategi Anti Korupsi

Korupsi dinilai sebagai penyebab utama dari masalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia (Hamilton-Hart, 2001). Hingga saat ini korupsi masih saja “menggurita” di semua aspek penyelenggaraan pemerintahan meskipun telah banyak rumusan kebijakan dan strategi anti korupsi yang diterapkan serta gerakan budaya anti korupsi terus digalakan di berbagai lapisan masyarakat. Meskipun Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia[6] yang dirilis oleh Transparansi Internasional menunjukkan adanya tren kenaikan secara konsisten, namun berdasarkan data terkini dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa dalam 13 tahun sejak reformasi anti korupsi digulirkan secara keseluruhan setidaknya telah ada 17 gubernur, 50 bupati/walikota, 14 hakim, 121 anggota legislatif dan ratusan (atau jika tidak ribuan) pejabat tingkat atas yang dipenjara karena terbelit kasus korupsi (KPK, 2016).

Data empiris yang menunjukan tingginya jumlah kasus korupsi/fraud yang ditangani KPK dan melibatkan beragam jabatan publik menjadi salah satu indikator bahwa strategi anti korupsi belum berjalan efektif. Idealnya, pasca pemerintah Indonesia meratifikasi hasil Convention Against Corruption pada tahun 2003 di New York, paradigma strategi anti korupsi seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada aspek penindakan (pendekatan represif)[7] saja, namun juga harus memberikan perhatian yang lebih besar pada pendekatan preventif dan detektif. Upaya pemberantasan korupsi korupsi lebih efektif apabila dilakukan secara sistematis, komprehensif (yaitu mensinergikan pendekatan preventif, detektif dan pendekatan represif), serta melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Salah satu action-plan anti korupsi adalah implementasi pengendalian internal yang dilaksanakan pemerintah secara konsisten dan konsekuen. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), maka seluruh pimpinan instansi pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan organisasinya. Dengan implementasi SPIP tersebut diharapkan dapat menciptakan kondisi dimana terdapat budaya pengawasan terhadap seluruh organisasi dan kegiatan sehingga dapat mendeteksi terjadinya sejak dini kemungkinan penyimpangan serta meminimalisir terjadinya tindakan yang dapat merugikan negara. Namun demikian, tidak ada satu sistem pun termasuk SPIP yang dapat mencegah secara sempurna semua pelanggaran atau kejahatan yang terjadi di dalam organisasi karena pengendalian intern di setiap organisasi memiliki keterbasan bawaan (inherent limitations).

The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) yang mengeluarkan COSO Internal Control- Integrated Framework (2013) yang diadopsi oleh pemerintah menjadi SPIP secara eksplisit mengakui bahwa ada beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan sebuah sistem termasuk pengendalian intern tidak dapat bekerja dengan baik. Salah satu kelemahan dan keterbatasan bawaan (inherent limitations) adalah ketika di lingkungan organisasi terjadi “kolusi” antar anggota organisasi dalam melakukan kejahatan atau pelanggaran lainnya. Oleh karena itu setiap anggota organisasi seharusnya memiliki kesadaran dan kepedulian yang besar terhadap isu-isu korupsi dan berani untuk “bersuara” ketika melihat atau mengetahui terjadinya praktik tidak sehat serta melakukan tindakan yang diperlukan sesuai porsi kemampuan yang dimiliki setiap kali melihat dan mengetahui indikasi adanya tindakan korupsi di lingkungan sekitarnya.

Ketiga: Perlindungan Hukum dan Insentif Bagi Whistleblower

Dalam hal perlindungan hukum terhadap whistleblower, Indonesia termasuk masih tertinggal jauh dari beberapa negara maju lain yang sudah lama menerapkan sistem pelaporan dan perlindungan whistleblower. Hingga saat ini, pemerintah belum menunjukan posisi jelas dan ketegasannya terkait pemberian perlindungan hukum (legal standing position) terhadap whistleblower. Kondisi ini merupakan salah satu temuan utama dari Awaludin (2011) dalam risetnya yang menemukan fakta bahwa “tidak ada perlindungan hukum bagi whistleblower di Indonesia” khususnya apabila yang bersangkutan berposisi hanya sebagai pelapor saja. Lebih lanjut, Awaludin merekomendasikan perlunya rekonstruksi perlindungan hukum yang lebih sistemik dengan melakukan revisi segera terhadap UU nomor 13 Tahun 2006 dan perundang-undangan terkait lainnya termasuk pemahaman yang progresif tentang perlindungan hukum bagi penyingkap korupsi (whistleblower).

Di awal kemunculannya, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada 11 Agustus 2006 yang diikuti dengan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sangat diharapkan oleh berbagai pihak menjadi sebuah langkah terobosan pemerintah untuk menjawab ekspektasi masyarakat tentang adanya jaminan kepastian perlindungan hukum yang memadai bagi saksi dan korban. Namun demikian, dalam implementasinya ternyata keberadaan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 serta eksistensi LPSK hingga saat ini tidak powerful dalam memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum kepada pelapor atau whistleblower sebagaimana ekspektasi awal dari masyarakat.

Berdasarkan UU tersebut, LPSK bertanggungjawab untuk melindungi saksi dan menentukan kompensasi dan restitusi bagi korban. Undang-Undang ini sebenarnya dapat memberikan perlindungan fisik untuk saksi, namun sayangnya tidak efektif dalam hal pemberian perlindungan terhadap whistleblower dari pembalasan di tempat kerja. Oleh karena itu, MacMillan (2011) berpendapat bahwa kondisi seperti itu menghambat kesediaan pegawai negeri untuk melaporkan kasus korupsi di lingkungan kerjanya. Selain itu, masih sering terjadi perdebatan dan pertentangan mengenai pemahaman dan pengertian atas definisi whistleblower itu sendiri maupun dalam hal perlindungan hukumnya, terutama untuk whistleblower yang terlibat dalam tindak pidana korupsi (Awaludin, 2011: x). Selain Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, keberadaaan berbagai peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi serta perlindungan untuk para whistleblower dalam kasus korupsi belum menjadi kekuatan yang efektif (Awaludin, 2011: 4).

Konferensi Internasional tentang Anti Korupsi ke 13 di Athena, Yunani merekomendasikan tiga poin penting dalam hal perlindungan hukum whistleblower yaitu: persyaratan internasional, konsekuensi logis dari kewajiban dan persyaratan khusus. Pertama, perlindungan terhadap whistleblower merupakan sebuah persyaratan internasional, misalnya di atur dalam Konvensi PBB tentang Antikorupsi 2003, Konvensi PP Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi dan the Council of Europe Civil Law Convention on Corruption 1999 dimana keduanya merupakan hard law. Kedua, sebuah anggapan yang wajar bahwa perlindungan whistleblower harus menjadi konsekuensi logis dari kewajiban atau tugas dari pejabat publik, karyawan swasta (atau kategori pegawai tertentu) dan setiap warga negara untuk melaporkan tindak pidana ke polisi atau kejaksaan. Ketiga, perlindungan whistleblower adalah persyaratan khusus, berbeda dengan program anti-korupsi lainnya, khususnya bagi negara-negara yang mengalami masalah korupsi struktural atau kejahatan terorganisasi yang intens, yaitu perlindungan saksi, justice collaborator, korban dan ahli (ini merupakan persyaratan internasional lainnya) .

Di Indonesia, peraturan yang mendefinisikan whistleblower secara eksplisit adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Whistleblower didefinisikan dalam PP tersebur sebagai orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum atau suatu komisi tentang terjadinya korupsi tetapi bukan sebagai pengadu. Whistleblower sering dipahami sebagai saksi pelapor atau orang yang melaporkan atau memberikan kesaksian tentang adanya dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bahwa whistleblower membutuhkan adanya jaminan perlindungan hukum atau perlindungan khusus lainnya yang memadai.

Terkait insentif bagi whistleblower, Badan Pengawas Keuangan (SEC) bersama Direktorat Pajak di Amerika diizinkan memberikan reward hingga 30 persen dari nilai uang negara yang berhasil diselamatkan (Tempo, 2013:29). Selain itu, warga masyarakat yang bersedia membantu negara melakukan investigasi korupsi akan mendapat imbalan sebesar 15 hingga 25 persen dari uang negara yang bisa diselamatkan. Model kebijakan  seperti ini “debatable” namun menarik untuk dicermati. Dengan model ini akan mendorong banyak kalangan baik aktivis maupun pengacara untuk lebih aktif dalam menelisik korupsi khususnya pada saat aparat penegak hukum terkesan “loyo” dalam melakukan penyelidikan. Upaya ini juga memancing para “justice collaborator”– para pelaku korupsi kelas teri namun memiliki data penting untuk muncul dan bersama aparat membongkar korupsi yang masih tersembunyi. Sebuah jurus yang rasanya logis dilakukan: “menangkap maling besar dengan umpan maling kecil”. “Si Kecil” yang selama ini mungkin meraup remah-remah keuntungan korupsi yang tak seberapa, melalui program tersebut bisa memperoleh keuntungan yang lebih besar dan “si Dalang” dimiskinkan dan meringkuk dalam jeruji penjara.

Penutup

Di balik beberapa kisah dilematis dan ironis yang pernah dialami para pembongkar kasus di Indonesia, kita juga dapat berkaca sekaligus belajar dari beberapa kisah lain yang sukses dalam hal perlindungan hukum dan pemberian insentif bagi whistleblower maupun pelaku yang bersedia menjadi justice collaborator. Mereka semestinya dilindungi dan diberi insentif yang memadai. “Heroisme” individual semestinya tidak boleh dibiarkan menjadi satu-satunya motif para pejuang integritas. Dibawah tekanan, ancaman dan teror yang kerap dilancarkan para pelaku kejahatan korupsi kepada mereka dan keluarganya, sikap heroisme mereka bisa saja luntur dan pupus digerus oleh rasa takut. Seringkali organisasi tidak siap dan gagal merespon tindakan whistleblowing di lingkungan birokrasi. Alih-alih melindungi anggota organisasinya justru organisasi terperangkap melakukan tindakan yang menyudutkan para pelapor dengan mengaburkan substansi kasus yang dilaporkan oleh para whistleblower (fenomena “killing the messenger”).

Kita berharap tidak terjadi pandangan di tengah masyarakat bahwa orang yang mengungkap kejahatan ternyata diperlakukan sebagai “pengkhianat” bahkan dianggap “penjahat”. Publik sangat berharap para “pahlawan” yang berani mengungkap kejahatan harusnya dilindungi, bukan dikriminalisasi. Dalam keadaan seperti ini, sudah seharusnya negara hadir dan berdiri paling depan sebagai malaikat pelindung bagi para pembongkar kasus korupsi. Salah satu langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah pemerintah segera melakukan rekonstruksi perlindungan hukum yang sistemik untuk menciptakan sinergitas kerja antar lembaga penegak hukum dan pemahaman yang progresif tentang kewenangan lembaga penegak hukum dalam perlindungan keselamatan dan pemberian insentif bagi para whistleblower.

DAFTAR PUSTAKA

ACFE. 2014. Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse, 2014 Global Fraud Study: Association of Certified Fraud Examiner.

Awaludin, Arif. 2011. Rekonstruksi Perlindungan Hukum Terhadap Penyingkap Korupsi (Studi Kasus Budaya Hukum Aparatur Sipil Negara dalam Menyingkap Korupsi Birokrasi di Jawa Tengah). Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Tidak dipublikasikan

De Maria, William. 2006. Brother Secret, Sister Silence: Sibling Conspiracies against Managerial Integrity. Journal of Business Ethics (2006) 65: 219–234

Dozier, Janelle Brinker dan Miceli, Marcia P. 1985. Potential Predictors of Whistle-Blowing: A Prosocial Behavior Perspective: The Academy of Management Review, Vol. 10, No. 4 : 823-836

Hamilton-Hart Natasha. 2001. Bulletin of Indonesian Economic Studies,Vol. 37, No.1,: 65–82

Hersh, M.A. 2002. Whistleblowers- Heroes or Traitors?: Individual and Collective Responsibility for Ethical Behaviour. Annual Reviews in Control 26: 243-262

KPK, 2015. Portal Pengetahuan Antikorupsi [Online]. Avalaible at: http://acch.kpk.go.id/berdasarkan-profesi/jabatan. Diakses 30/09/2016

Keenan, John P. 1990. Upper-Level Managers and Whistleblowing: Determinants of Perceptions of CompanyEncouragement and Information about Where to Blow the Whistle. Journal of Business and Psychology, Vol. 5, No. 2: 223-235

Kumorotomo, Wahyudi. 2001. Etika Administrasi Negara: Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lindblom, Lars. 2007. Dissolving The Moral Dilemma of Whistleblowing. Journal of Business Ethics. 76:413-426

Teo, Hayden dan Donella, Casperz. 2011. Dissenting Discourse: Exploring Alternatives to the Whistleblowing/Silence Dichotomy. Journal of Business Ethics, Vol. 104, No. 2 (December): 237-249.

Vandekerckhove, Wim dan Tsahuridu, Eva E. 2010. Risky Rescues and the Duty to Blow the Whistle. Journal of Business Ethics 97: 365–380

Vinten, G. 1994. In Whistleblowing Subversion or Corporate Citizen. G. Vinten (ed.): 3-

[1] http://tekno.liputan6.com/read/2185425/10-dosa-besar-nsa-yang-dibocorkan-edward-snowden (diakses pada tanggal 7 Januari 2017)

[2] De Maria (2006) mengungkapkan bahwa secret (kerahasiaan) telah menjadi ciri utama pada organisasi di sektor publik, namun apabila kerahasiaan (penyembunyian informasi) tersebut bermotif pelanggaran hukum, maka hal itu merupakan “illegimate secrecy”. Secrecy merupakan “management’s great blind spot” yang dapat menjebak organisasi dalam spiral korupsi. Terjadinya great blind spot tersebut adalah adanya “silence” sebagai saudara dari perilaku tersebut. “Silence is the ultimate weapon of power” (menurut Jenderal Charles de Gaulle [1890-1970] dalam De Maria, 2006).

[3] Edmund Burke (January 12, 1729July 9, 1797) adalah seorang filsuf politik Irlandia, politisi dari partai ployik british WHIG dan negarawan yang sering dianggap sebagai bapak konservatisme modern. Sumber: https://en.wikiquote.org/wiki/Edmund_Burke, diakses 20 November 2016; 10:09

[4] Sumber: https://www.brainyquote.com/quotes/quotes/e/edmundburk377528.html, diakses terakhir pada 20 November 2016: 09:55

[5] http://www.duniakata.com/2014/12/18-kata-bijak-jendral-sudirman-paling.html, diakses terakhir pada tanggal 20 November 2016: 08:01

[6] Pada tahun 2015, skor CPI Indonesia sebesar 36 dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur (http://www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/corruption-perceptions-index-2015). Skor Indonesia naik 2 poin dan naik 19 peringkat dari tahun sebelumnya. Namun, kenaikan tersebut belum mampu menandingi skor dan peringkat dari Malaysia (50), dan Singapura (85), dan sedikit di bawah Thailand (38). Indonesia lebih baik dari Filipina (35), Vietnam (31), dan jauh di atas Myanmar (22).

[7] Sumber:  http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151221212200-12-99719/berantas-korupsi-kpk-genjot-operasi-tangkap-tangan/, Ketua KPK Agus Rahardjo bakal menggenjot penindakan dengan mengadakan operasi tangkap tangan. Penindakan dengan cara tersebut diharapkan mengurangi jumlah korupsi sehingga bisa menaikkan indeks persepsi korupsi. “Saya ingin operasi tangkap tangan bisa diperluas, …..,” kata Agus saat jumpa pers usai serah terima jabatan di Gedung KPK, Jakarta.

3
0
Dilematika Birokrat Daerah “Melayani” Pemimpin Inovatif

Dilematika Birokrat Daerah “Melayani” Pemimpin Inovatif

Siapa yang tidak mengenal sosok Risma, Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, Azwar Anas, Dedi Mulyadi, Suyoto, Danny Pomanto, atau Hasto Wardoyo? Dalam peradaban kamera seperti saat ini kita mengenal figur-figur tersebut karena kiprah kepemimpinan inovatif di daerahnya. Saya yakin masih banyak tokoh pemimpin daerah lainnya yang memiliki segudang prestasi yang belum tersorot media.

Tidak bisa dipungkiri, Inilah bukti bahwa pilkada secara langsung di era otonomi daerah mampu melahirkan karakter-karakter kepemimpinan seperti mereka yang bekerja keras demi kesejahteraan masyarakatnya. Dibantu media, mereka dikenal masyarakat luas dan menambah  daftar panjang brand kepemimpinan di negeri ini.

Karya para pemimpin inovatif daerah tersebut benar-benar dirasakan secara nyata oleh masyarakat dan menjadi model untuk daerah lainnya. Salah satunya adalah Lombok. Ketakjuban saya pada infrastruktur jalan di sana membuat saya tak henti-hentinya berdecak kagum setiap melewatinya. Jalannya lebar-lebar, kondisinya mantap, dan terjaga kebersihannya. Kota-kota utama dan tempat wisata yang saya kunjungi dari lima pemda di sana terhubung oleh fasilitas jalan seperti itu.

Pembangunan jalan di sana sepertinya diutamakan untuk mendukung target kinerja angka kunjungan wisatawan. Melalui strategi pengembangan sektor pariwisata, NTB telah mampu menembus sekat-sekat egosektoral pembangunan yang selama ini terjadi di antara pemda di sana.

Ini adalah salah satu contoh kiat kepemimpinan di daerah tersebut yang mampu menghadirkan sinergitas antar pemimpin daerah demi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya.

Berbeda dengan sektor privat, ketiadaan inovasi di sektor publik tidak akan membuat pemda gulung tikar. Ketidakmampuan para pemimpin daerah menciptakan inovasi-inovasi tersebut hanya akan mengakibatkan kondisi masyarakat di daerah itu tidak cukup sejahtera atau tertinggal dalam menikmati kesejahteraan dibandingkan dengan masyarakat di daerah lainnya yang pemimpinnya inovatif.

Oleh karena itu, isu kepemimpinan harus menjadi perhatian utama masyarakat dalam menentukan pemimpin daerahnya melalui pilkada secara langsung.

Tentu saja kinerja para pemimpin inovatif tersebut tak lepas dari kerja birokrasi di belakangnya. Para profesional birokrat pemda dituntut oleh pemimpin inovatif daerah untuk mampu menerjemahkan, mengaplikasikan, dan mengawal visi, kebijakan, dan agenda inovatifnya.

Tuntutan tersebut tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi para profesional birokrat di daerah karena kendala klasik seperti keterbatasan sumber daya dan kapasitas organisasi dalam menjawab tuntutan tadi. Terutama kesiapan kompetensi para profesional birokrat yang mampu memberikan back up kepada pemimpin inovatif daerah melalui kemampuan mencari dan keahlian menganalisis serta merumuskan landasan hukum kebijakan inovatif pemimpin daerah yang sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kebijakan-kebijakan inovatif para pemimpin daerah tersebut secara substansi cenderung menabrak ketentuan-ketentuan yang berlaku, atau kebijakan inovatif itu untuk saat ini belum diakomodir oleh ketentuan yang ada.

Ketentuan yang ada memang seringkali tertinggal jauh dengan perkembangan inovasi itu sendiri. Padahal inovasi adalah satu-satunya pilihan yang mau tidak mau harus diambil agar permasalahan yang ada di masyarakat dapat cepat diatasi.

Dalam konteks kekuasaan, keberhasilan dalam menjalankan kebijakan inovatif juga dapat menjadi sarana bagi incumbent untuk meraih dukungan masyarakat sehingga dapat dipilih kembali menduduki jabatan yang prestisius itu.

Dalam konteks seperti itu, para profesional birokrat daerah menghadapi dilema ketika mereka menyadari bahwa kebijakan inovatif pemimpin daerah kurang sejalan dengan ketentuan yang berlaku.

Di satu sisi, para profesional birokrat tersebut harus mensukseskan kebijakan inovatif pemimpin daerah sesuai dengan keinginan pemimpinnya. Di sisi lainnya, birokrat daerah harus bekerja berdasarkan prosedur ketat dan mengikuti aturan-aturan berlaku yang tidak memungkinkannya dapat secara langsung melaksanakan kebijakan inovatif tersebut.

Bahkan jika hal itu tetap dijalankan, justru akan membahayakan bagi pemimpin daerah dan para birokrat itu sendiri. Yang dikuatirkan, para pemimpin daerah tidak semuanya mau memahami problematika seperti itu.

Meski undang-undang tentang administrasi pemerintahan membuka peluang pengambilan diskresi oleh pejabat pemerintahan, namun banyak dari mereka yang masih gamang dan takut menempuh jalan itu karena belum adanya petunjuk teknis terkait pelaksanaannya.

Sementara itu untuk menyenangkan pemimpin daerah, banyak profesional birokrat lainnya terjebak dalam keputusan diskresi yang salah dan membawanya pada kehidupan baru di dalam jeruji besi dan harus kehilangan segalanya.

Pengalaman saya berinteraksi dengan pemda, banyak kebijakan inovatif pemimpin daerah yang membuat para petinggi birokrat kebingungan. Sebagai contoh, pemberian subsidi layanan tv kabel untuk masyarakat miskin; bantuan pakaian dan perlengkapan sekolah bagi seluruh siswa; bantuan bagi tamatan SMA/SMK/MA yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi; bantuan bedah rumah; bantuan uang duka bagi masyarakat; bantuan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat paska berlakunya BPJS; jaminan kecelakaan bagi warga masyarakat; bantuan kematian bagi masyarakat; bantuan penyambungan baru PLN dan PDAM; bantuan  ternak, sarana produksi dan modal usaha kepada perseorangan; bantuan makanan dan minuman kepada pengguna jasa penyeberangan laut yang mengalami keterlambatan; pemberian bantuan/hadiah umrah/berhaji kepada pegawai berprestasi; dan masih banyak sederet kebijakan inovatif lainnya.

Kebijakan inovatif tersebut tentu saja disambut baik oleh masyarakat dan celakanya mereka kini tengah menanti-nanti realisasi dari janji-janji kampanye pemimpin daerahnya itu.

Nah, apa yang akan dilakukan oleh para profesional birokrat pemda agar kebijakan pemimpin daerah tersebut tetap dapat berjalan? Penyelesaian melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang sejalan dan mendukung inovasi -jika hal itu memang memungkinkan- tentu akan memerlukan waktu lama.

Solusi lainnya, para profesional birokrat diharapkan mampu menyampaikan alternatif gagasan kebijakan lainnya yang dilandasi dengan ketentuan yang berlaku namun mampu menjawab permasalahan yang ada di masyarakat, meskipun dalam beberapa hal tidak bisa sepenuhnya memuaskan keinginan para pemimpin daerah.

Sebagai contoh, pada kebijakan pemberian bantuan modal kerja dan sarana produksi kepada pemuda yang masih menganggur, para profesional birokrat dapat memberikan masukan kepada pemimpin daerah agar para pemuda yang belum memperoleh pekerjaan tersebut membentuk kelompok usaha bersama. Mengapa harus dibentuk kelompok, karena peraturan perundang-undangan tidak memungkinkan bantuan (hibah) tersebut diberikan kepada individu. Dengan dibentuknya kelompok, maka bantuan (hibah) tersebut baru bisa diberikan.

Melalui kelompok usaha bersama tersebut, para pemuda yang masih menganggur akhirnya memperoleh pekerjaan dengan bantuan dari pemda berupa modal kerja, sarana produksi, dan pelatihan. Melalui kelompok usaha bersama yang mendapatkan pembinaan secara intensif oleh pemda, para pemuda itu didorong untuk belajar dan meningkatkan kemampuan berusahanya secara bersama-sama, sebelum akhirnya mereka masing-masing mampu berusaha secara mandiri.

Agar lahir alternatif-alternatif gagasan kebijakan yang inovatif dan solutif tanpa harus melanggar ketentuan yang berlaku, maka prosesnya diupayakan dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai unsur birokrasi pemerintahan terkait, termasuk jika perlu mengikutsertakan lembaga pengawasan internal dan eksternal. Hal ini diperlukan agar diperoleh berbagai masukan yang memiliki cara pandang yang beragam.

Jika tidak memungkinkan pilihan-pilihan itu dilakukan, maka para profesional birokrat dituntut berani menyampaikan kondisi yang sebenarnya kepada pemimpin daerah.

Para pemimpin inovatif daerah diharapkan juga dapat memahami situasi yang demikian. Kebijakan inovatif yang mereka putuskan juga sedapat mungkin mempertimbangkan kesulitan para profesional birokrat dalam menjalankannya karena terbentur oleh ketentuan yang ada. Tentu saja hal ini tak terlepas dari gaya kepemimpinan yang dipraktikkan oleh pemimpin daerah.

Pemimpin inovatif daerah yang terbiasa mengambil keputusan secara otokratis ditambah intensitas relasi dengan birokrasi di bawahnya relatif kurang, dan lebih menyukai pendekatan transaksional dalam memimpin cenderung mematikan daya kreatifitas para profesional birokrat dalam rangka menemukan alternatif gagasan kebijakan inovatif lainnya yang sesuai atau setidaknya mendekati keinginan pemimpin daerah serta sejalan dengan ketentuan yang berlaku.

Pemimpin daerah yang demikian, sekalipun kebijakan-kebijakan yang diambilnya sangat inovatif, kurang mendapatkan dukungan (baca: terpaksa) dan menimbukan tekanan kinerja yang berat bagi para profesional birokrat di bawahnya. Di sisi lain, pendekatan kepemimpinan seperti itu akan berpotensi menuai resiko di kemudian hari yang akan membahayakan dirinya, termasuk para profesional birokrat sendiri.

Sebaliknya, kepemimpinan partisipatif yang memberikan kepercayaan yang tinggi dalam pengambilan keputusan kepada birokrasi di bawahnya serta mengaplikasikan pendekatan transformasional dalam memimpin akan mendorong semangat dan gairah para profesional birokrat dalam berinovasi namun masih dalam koridor peraturan yang berlaku, serta mengurangi potensi resiko yang membahayakan bagi dirinya dan para profesional birokrat di bawahnya di kemudian hari.

Tipe kepemimpinan partisipatif dan transformasional akan lebih membantu para profesional birokrat dalam menjalankan perannya dan mengurangi tekanan dalam bekerja di lingkungan birokrasi yang pada akhirnya mampu mendorong terwujudnya kebijakan inovatif pemimpinnya.

 

 

 

2
0
Pengembangan Organisasi Birokrasi: Pengendalian Manajemen dalam Relasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal

Pengembangan Organisasi Birokrasi: Pengendalian Manajemen dalam Relasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal

Perspektif awal organisasi ppemerintahan di Indonesia dikembangkan dan dapat dijelaskan dengan teori The Classical Model. Benar dan relevankah demikian ? Kandungan nilai teori ini fokus pada anggota organisasi yang dipandang sebagai physiological unit, organisasi cenderung memiliki sudut pandang ibarat sebuah “mesin” dengan perubahan antar bagiannya, dan di mana regulasi dan tugas pokok dan fungsi yang diemban dalam organisasi cenderung diperlakukan sebagai komponen dari dinamika fungsi “machine theory”.

Fenomena ini berkorelasi dengan cara untuk suatu re-organisasi di lingkungan pemerintahan (pusat dan daerah) yang kadang kala sarat dengan  kekuasaan yang dominan dan mengalahkan nilai relevansi dari keputusan. Nilai organisasi pemerintah dengan Bureauctaric control  sebagai  tipikal  pengendalian  manajerial dalam  organisasi  dikemukakan sesuai karakteristiknya. Pengendalian birokrasi berkarakter karena menggunakan aturan formal, standar, hirarki, dan otoritas dengan legitimate. Works best where tasks are certain and workers are independent”.

Masih relevankah nilai-nilai kehidupan organisasi dengan karakteristik model klasik dan birokratis  dengan karakteristik mekanisme  yang ada ?

Berbeda dengan tujuan luhur NKRI, di mana organisasi pemerintah memberikan peran pembangunan, melalui TUPOKSI yang dibangun, menuju “social welfare”. Baik pada Pemerintah Pusat dengan APBN maupun Pemerintah daerah dengan APBD, dan di mana regulasi menjadi “core” dari manajemen organisasi dalam menuju hasil pembangunan.

Justru, dalam realitas organisasi pemerintahan di Indonesia terdapat kejelasan  proses yang melembaga dari kehidupan organisasi, di mana keberlangsungan kehidupan organisasi sebagai alat mencapai tujuan yang dilandasi  prinsif formal.

Karakeristik dengan eksistensi  divisi SDM sebagai kumpulan pegawai dengan dan tugas khusus setiap unit. Hal ini menjadi semakin abstrak karena adanya “embel-embel” PNS sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Dimanakah syarat kompetensi dan profesionalisme dengan konteks yang ada.

Regulasi yang bersifat “ex ante” sebagai acuan pelaksaaan yang bersifat preventif, dan regulasi “ex post” yang bersifat punitive, digunakan dalam menilai “reward and punishment” pelaksanaan manajemen organisasi dalam mencapai tujuan.

Dalam perspektif peran regulasi, Saudagaran and Diga (2000) mengemukakan  effectiveness  of  enforcement  and  quality of financial reporting. Sesuai proposisi tersebut, suatu implikasi peran regulasi pelaporan keuangan (financial reporting regulation) misalnya, dapat diberlakukan dengan  penggunaan  metode preventive (ex ante) dan  metode punitive  (ex post). Sebagai deskripsi, suatu Stándar akuntansi adalah representasi dari metode preventive dalam menjaga praktek akuntansi yang representatif.

Konsep punitive bermakna sebagai regulasi yang diaplikasikan untuk dasar acuan pelaksanaan audit, reviu pemerintah secara periodik, supervisory, persyaratan audit committee,  persyaratan  legal  untuk kecukupan pengendalian  internal, dan pendekatan regulatif sebagai  acuan  penilaian atas pelaporan keuangan  yang  telah  disusun,  yang  dinilai dalam kepatuhannya sesuai isi dari berbagai bentuk regulasi. Pemberlakuan metode dalam akuntansi dan pelaporan keuangan organisasi berkaitan dengan pemenuhan asas-asas pengelolaan keuangan negara/daerah pada sifat, cara-cara, tanggungjawab, dan terintegrasi.

Diperlukan sistem pengendalian manajemen,  dan pengawasan internal dan eksternal untuk meyakinkan suatu tujuan dapat dicapai. Kemudian, terkait piramida pengendalian untuk setiap unit pelaksana dengan seorang atasan yang hirarkis, kesatuan komando, dengan sentral pengendalian top down, maka penilaian suatu relasi vertikal dan horizontal pengawasan diperlukan dalam meyakinkan pengendalian manajemen tercapai.

Tulisan ini memberikan deskripsi terkait tantangan organisasi Pemerintahan dengan tuntutan “good governance” yang sejatinya memberi inspirasi untuk pengembangan organisasi dengan batas struktur, operasional, dan informasional yang bernilai socio serta akuntable. Kejelasan proses (process clarity) organisasi yang sesuai dengan kejelasan tujuan (goal clarity) dapat membentuk kejelasan peran (role clarity) organisasi pemerintahan dalam pokok pembangunan nasional menuju “Social welfare”.   

Perspektif model klasik yang dinilai sudah tidak dapat merawat nilai socio tentunya tidak dapat dipertahankan, dan juga untuk kejelasan tujuan “social welfare” memerlukan kejelasan dalam ukuran kinerja dan “impact” pembangunan yang hakiki. Hal ini memerlukan perspektif teori yang lebih relevan sebagai alat penjelas, pengendali dan prediksi dalam manajemen organisasi.

Konteks pandangan Human Behavior in the Social Environment” (RE Anderson &IRL Carter, 1984), dikemukakan dalam menegaskan perjalanan dari teori dalam kaitan dengan organisasi pemerintahan dan lingkungannya ke depan. Dimanakah peran pengendalian organisasi pemerintahan sebagai sisi dominan manajemen, relasinya dengan pengawasan internal dan eksternal.

Milestone Teori:

Pergeseran dan perkembangan isi dan bentuk teori memberikan inspirasi dalam penetapan regulasi dan implementasi kebijakan organisasi pemerintah. Teori atau alat penjelas, alat pengendali dan alat prediksi praktek organisasi Pemerintahan dan padanannya dalam bentuk regulasi adalah suatu relasi dari pemicu lingkungan yang berkembang, sehingga menyertakan sudut pandang (point of view)  dengan tujuan dan nilai yang disertakan dalam kehidupan organisasi. Regulasi pengendalian manajemen dan relasinya dengan pengawasan internal dan pengawasan eksternal adalah ranah teori yang juga menjadi dimensi formal dari regulasi yang melatarbelakangi kehadiran sistem pengendalian dan sistem pengawasan tersebut dalam organisasi.

  • Perspektif : The Human relation Theory

Pandangan ini dikembangkan dalam pemikiran Organisasi sebagai serangkaian proses sebagai suatu komunikasi, partisipasi, dan leadership (Elton Mayo, 1945, Roerhlisberger & Diclison, 1947, Teori Z: William G Ochi, 1981). Bertumpu pada kelemahan “Machine theory” (The Classical Model) yang  tidak mampu menerangkan perilaku dalam organisasi, memberikan perspektif  the Human relation Theory mengambil tempat dalam koherensi, korespondensi, pragmatism dari fenomena kehidupan organisasi. Organisasi pemerintah dalam prosesnya menerapkan struktur kerengka regulasi dan kerangka anggaran, namun sebenarnya dalam implementasinya sangat membutuhkan kerangka konseptual. Kerangka konseptual memberikan penguatan pada lingkungan implementasi kebijakan untuk setiap keputusan layanan dan pembangunan yang dilakukan organisasi pemerintah. Kerangka konseptual dapat menekan dominasi kekuasaan yang dijabarkan dalam manajemen organisasi. Kerangka konseptual menjadikan berbagai  keputusan  akan bernilai socio dan berkeadilan, karena nilai kebenaran dan kebaikan menyertai pandangan teori dari kerangka konseptual terkait. Sementara secara formal kerangka regulasi yang bersifat “ex ante” dan “ex post” diperlukan dan sebagai bagian manajemen dalam menjelaskan, mengendalikan dan memprediksi praktek organisasi ke depan.

  • Perpektif : Structuralist or Conflict Theory

Kemajuan teknologi menjadi bagian dari kehadiran teori ini. Perspektif teori ini fokus pada kepentingan dari susunan pekerjaan dalam organisasi, terutama adanya fenomena dari pengaruh teknologi yang digunakan dalam industri, Socio-technical aspects dengan “cybernetics”. Hal ini mempengaruhi cara pandang organisasi pemerintahan dalam menerapkan gaya manajemen organisasi. Bahkan, untuk suatu konflik dalam organisasi sebaiknya dipandang bukan sebagai “problem”, namun sebenarnya, konflik dapat menghasilkan keseimbangan organisasi. Konflik yang dikelola dapat menimbulkan kesatuan organisasi yang kokoh. Substansi dari isi dan bentuk teori ini mengakui adanya “inevitability” dari konflik dalam organisasi. Bahwa organisasi dipandang sebagai sesuatu yang besar, kesatuan sosial yang kompleks, dalam mana banyak kelompok berinteraksi. Dalam organisasi pemerintah, nilai dari teori ini dapat memberikan keseimbangan dalam menempatkan kebenaran di atas kekuasaan formil. Substansi kebenaran yang dihadirkan dari regulasi, tentu akan bermakna jika anggota organisasi diberikan situasi “fairness”, “equality” dan peluang untuk berkembang secara inklusif.  Upaya membangun akuntabilitas dalam good governance ditandai dengan penerapan berbagai proses dan juga struktur organisasi manajemen berbasis IT. Hal ini dipenuhi seperti untuk aktifitas e-procurement, e-budget, di mana CBISs telah diadopsi sebagai alat dan cara manajemen organisasi pemerintah.

  • Perspektif: Neo-classical or Decision Theory

Teori ini fokus pada pencapaian yang rasional atas berbagai alternatif keputusan. Menerima adanya perbedaan horizontal dalam tujuan ataupun perbedaan “level of Decision atau reflected hirarkhi dalam organisasi”. Membedakan policy making dengan policy implementation. Implikasi teori ini pada organisasi pemerintah adalah sangat signifikan. Setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan telah disertai dengan ukuran kinerja. Korespondnesi teori ini pada organisasi Pemerintah adalah seperti terkait penetapan komitmen dengan “Standar Pelayanan Minimal/SPM (PP No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal). Dalam prinsip-prinsip anggaran kinerja (Kepmendagri No 29 Tahun 2002), tahap perencanaan ukuran kinerja ditetapkan top down, dari dampak, manfaat, hasil, luaran, porses, dan input. Sementara untuk tahap pengukuran kinerja ditetapkan dan dilaksanakan secara buttom up. Bahkan dalam keterkaitan yang  fokus pengukuran kinerja telah dilakukan perubahan atau orientasi dari focus, yaitu pergeseran dari: “Besarnya Jumlah Alokasi Sumber Daya yang ditetapkan  “menuju” hasil yang dapat dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut”.

  • Perspektif :The Systems Model

    Organisasi adalah natural wholes sesuatu yang organisme, di mana  pencapaian tujuan adalah alasan mendasar untuk eksistensi organisasi, adanya perubahan structural yang akumulatif. Tanggapan adaptasi untuk mencapai keseimbangan dari organisasi lebih dari sekedar rasional, tetapi mengakui adanya tujuan perilaku, seperti pandangan  “Gouldner: natural system model”. Setiap “stakeholders” organisasi pemerintah memiliki prioritas kepentingan dengan struktur dan proses pencapaian tujuan organisasi. Mendekatkan “analisis stakeholders” terkait suatu isi kegiatan layanan /pelaksanaan pembangunan (program, proyek, kegiatan, aktifitas) diperlukan dalam efektifitas menggunakan kerangka anggaran dan kerangka regulasi. Dalam konteks kelembagaan, suatu teori adalah kerangka konseptual yang mendukung implementasi kebijakan pembangunan yang dilaksanakan organisasi pemerintah. Pandangan teori ini relevan dengan kondisi geografis NKRI. Kebutuhan untuk pandangan menyeluruh terhadap NKRI adalah sesuatu yang holistic. Suatu dokumen RPJP, RPJM, Renstra, adalah cara pandang holistic dari eksistensi organisasi.

Milestone Manajemen

 Milestones dari perspektif teori yang berjalan dalam dimensi waktu menyertai perkembangan sikap dari organisasi pemerintahan menerima perubahan gaya manajemen dan implementasinya.

 Tabel 1

Milestone Manajemen

NO Periode Perhatian Aspek
1

2

 

3

 

4

5

 

6

 

7

 

8

1910-1935

1935-1955

 

1955-1970

 

1970-1980

1980-1985

 

1955-1990

 

1990-….

 

1997-….

-Fungsi Organisasi

-Mekanisme Produksi & Efisiensi Operasi

Pengendalian Terhadap Semua Variabel

Posisi yang kompetitif

Performansi yang super

 

-Adaptasi pada perubahan yang cepat

Globalisasi (ref: betindak lokal vs berfikir global)

Good Governance

Struktur

Produktifitas

 

Sistem (struktur dan proses)

Strategic Planning

Pembentukan budaya perusahaan /organisasi

Manajemen Inovasi

 

Teknologi Informasi & Telekomunikasi

Akuntabilitas dan kinerja Organisasi

 (Diolah, dari berbagai sumber, 2016)

Setiap tahap dari perkembangan manajemen organisasi dalam periode di atas, memberikan pengaruh dalam sistem organisasi pemerintah dan operasionalnya. Hampir keseluruhan pusat perhatian dan aspek kelolaan telah diadopsi ke dalam sistem organisasi pemerintahan.  Implikasinya pada tipikal sistem pengendalian manajemen dan sistem pengawasan internal yang berkembang dalam manajemen organisasi pemeritahan.

Perspektif  NKRI dalam konteks milestones sebelum dan sesudah otonomi daerah menjadi bagian yang dapat dideskripsikan dalam kaitan dengan perkembangan sistem pengendalian organisasi pemerintahan.

  1. Era Soekarno (1945 – 1966): UUD RI 1945 (article: 18); UU No 1 of 1957

Bentuk Otonomi “ Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) dengan “As Extensive Autonomy as Possible “ terkait 3

level/tingkat pemerintahan.

2.  Era Soeharto era (sebelum era reformasi) :1967 – 1998: UU No 5 of 1974; Decree  No 8 of 1995 (minister of Home Affairs).        Bentuk otonomi: Substance:Centrifugal “Realistic and responsible  local autonomy”. Model desentralisasi (2 tahun                          percobaan) untuk 26 Provinsi kecuali Jakarta.  *) prioritas untuk “Second-Level Government in autonomy”

3. Reformation Era:

3.1. Era pasca Soeharto (awal era reformasi): Era otonomi (1999-2003)

UU No 22 of 1999; UU No 25 of 1999. Bentuk otonomi: Dalam merespon permintaan desentralisasi dengan “Fiscal Decentralization”. Sebagai upaya untuk “Intergovernmental fiscal relations” antara pusat dan daerah.

3.2. Era Pasca Reformasi (2004 – sekarang)

UU No 22 of 1999 digantikan dengan UU No 32 of 2004: UU No 25 of 1999 digantikan dengan UU No 33 of 2004,; Paket UU “Keuangan Negara”, yaitu:  UU  No 17 tahun  2003; UU  No 1 tahun 2004; UU No 15 tahun 2004. Bentuk otonomi: Fiscal Decentralization, Good Governance, Bagaimana mengelola APBD dengan PAD dan dana transfer sebagai Regional Budget’s Empowerement.

Sistem pengendalian dalam era pasca reformasi dengan otonomi penuh, memberikan tantangan pada bekerjanya sistem pengendalian dan sistem pengawasan yang lebih komprehensif dan relevan. Sistem pengendalian dan pengawasan dilakukan untuk organisasi pemerintahan (terkait dalam  manajemen keuangan negara/daerah). Meliputi : Tahap Perencanaan: (i) RPJM – Rencana Kerja- KUA PPAS – RKA- DIPA/DPA (APBN/APBD); (ii) Tahap Pelaksanaan : pelaksanaan anggaran dengan program /layanan pembangunan (kerangka anggaran dan kerangka regulasi); (iii) Tahap Penatausahaan : Penatausahaan Pendapatan dan Penatausahaan belanja, pembiayaan (APBN/APBD);(iv) Tahap Pertanggungjawaban: Laporan keuangan Pemerintah (Pusat /Daerah) mengacu APBN/APBD; (v) Tahap Pengawasan : Katalisator melalui pengawasan internal, pembinaan melalui pengawasan eksternal. Prinsip dasar dalam sistem pengendalian internal yang dilakukan manajemen/eksekutif Pemerintahan adalah dari tahap perencanaan sampai pertanggungjawaban. Sementara pengawasan sebagai fungsi dalam “supervisi, konsultasi, pedoman organisasi, diklat”, dilakukan menyertai setiap tahap pengendalian (pre-current-post control).

Implementasi Sistem Pengendalian Organisasi

Konteks sistem pengendalian yang diaplikasikan dalam organisasi, dapat dideskripsikan dengan 2 (dua) himpunan sistem  pengendalian, yaitu pengendalian yang bersifat formal dan informal. Terdiri dari sub system: Control process, infrastructure, coordination and integration, Managemen style and culture, Reward and informal rewards. Setiap sub sistem dijabarkan pada sistem pengendalian formal dan sistem pengendalan informal. Komponen yang dibentuk adalah aktifitas dalam sistem manajemen organisasi.

  • Control process dengan sistem pengendalian formal: Components:Strategic planning: Capital budgeting, Operation Planning: cost accounting, Budgeting, Reporting-Systems: Strategy/Project Management, Operations/variance analysis. Control process dengan sistem pengendalian informal: Components: Search/alternative generation: Ad hoc as needed, Uncertainty coping, Rationalization/dialogue.
  • Infrastructure dengan system pengendalian formal: Components: Organization structure: Strategy, Operations, Patterns of autonomy, Measurement methods. Infrastructure dengan sistem pengendalian informal: Components: Personal contacts Emergent roles.
  • Coordination and integration dengan sistem pengendalian formal: Components: Formal conference, Involvement techniques. Coordination and integration dengan system pengendalian informal: Components: Based upon trust, Telephone conversations, Personal Memos
  • Management Style & Culture dengan system pengendalian formal: Components: Prevailing-style: External/internal/mixed, Principal values: Norms and beliefs. Management Style & Culture dengan sistem pengendalian informal: components: Prevailing-style, External/internal/mixed, Principal values: Norms and beliefs.
  • Rewards-Informal Rewards dengan sistem pengendalian formal: Components: Individual and group, Short term and long term, Promotion policy. Rewards-Informal Rewards dengan sistem pengendalian informal: Components: Recognition, Status oriented, Personal contact.

          (Adaptive Control Systems: Two Sets of Mutually Supportive Systems, Sumber: Maciariello  A J & Kirby J C, 1994: 9-10)

Sistem  pengendalian manajemen adalah prosedur rutin yang formal yang digunakan  manajer   untuk  menjaga  atau  mengubah  pola dalam aktifitas-aktifitas  organisasi. Sistem pengendalian manajemen  memiliki 2 (dua) kegunaan, dalam menyediakan  informasi  yang  berguna  untuk  manajemen  dan  membantu  untuk  meyakinkan  pola  yang tetap berlangsung pada perilaku anggota organisasi  dalam  mencapai  tujuan  organisasi.

Sistem pengendalian manajemen yang diterapkan pada organisasi oleh manajemen pemerintahan adalah bersangkutan saat program/proyek/kegiatan dan aktifitas on going controlling. Dalam hal ini penerapan pengendalian manajemen fokus untuk meyakinkan pada pencapaian tujuan organisasi. Pengendalian diterapkan oleh satuan kerja atau manajemen organisasi yang bersangkutan dalam meyakinkan pencapaian tujuan organisasi.

STAN (2007) mendeskripsikan pengendalian manajemen adalah bermakna sama dengan pengendalian internal  organisasi. Pengertian pengendalian intern, dikemukakan sesuai COSO (1992), selaras dengan Peraturan BPK Nomor  1/2007 (SPKN), dan juga sesuai SPIP (2008). Pengendalian intern, yang sering juga disebut pengendalian manajemen, dalam pengertian yang paling luas mencakup  lingkungan pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan. Pengendalian intern melekat pada setiap proses antara lain perencanaan, pengorganisasian, maupun operasional program/proyek/kegiatan/aktifitas. Pengendalian intern juga berfungsi sebagai lini depan untuk menjaga aktiva dan mendeteksi terjadinya kesalahan, kecurangan, penyimpangan dan ketidakpatuhan  terhadap  ketentuan peraturan perundang-undangan.  Dalam konteks tujuan akuntansi dan pelaporan keunagan, SPIP yang merupakan bagian  dari  perspektif  pengawasan nasional, yang sesuai Pasal 31 UUKN  mengatur Gubernur /Bupati/ Walikota bertanggungjawab  atas APBD.  Hal yang sama berlaku pada tataran Pemerintah Pusat dalam pertanggungjawaban APBN. Implikasi pada tataran nasional adalah mekanisme  laporan  keuangan yang diperiksa BPK untuk disampaikan ke DPR/DPRD. Dalam menyertai  tugas tersebut, diperlukan pengendalian intern, yang dinyatakan dalam deskripsi Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), yaitu  sebagai:

” Proses  yang  integral pada  tindakan  dan  kegiatan  yang  dilakukan  secara terus menerus oleh  pimpinan dan seluruh  pegawai  untuk memberikan  keyakinan  yang memadai  atas  tercapainya tujuan organisasi  melalui  kegiatan  yang  efisien dan efektif, keandalan  pelaporan  keuangan,  pengamanan  aset, dan  ketaatan  terhadap peraturan  perundang-undangan” (PP No 60/2008; bab 1, Pasal 1, butir 1). Lingkup  pelaksanaan  SPIP, sesuai  fungsinya  merupakan  tipikal bureaucratic control  bagi  organisasi pemerintahan.

Sesuai konteks analisis stakeholders, organisasi Pemerintah memerlukan aspek-aspek pengembangan sistem pengendalian organisasi sebagai model normatif yang menjadi benchmark dalam mencapai kinerja pengendalian pembangunan di Indonesia.  Deskripsi dilakukan pada model pengembangan organisasi yang meliputi konteks strategik analysis, konteks sosial, konteks administratif, dan konteks teknik. Hal ini dijabarkan pada pelaksanaan pengendalian kerangka anggaran dan kerangka regulasi dalam pembangunan. Teori mendasari suatu regulasi dan implementasi kebijakan dalam pengendalian. Pengembangan sistem diimplementasikan pada stuktur dan proses sistem pengendaian, termasuk pelembagaan metode informal ke dalam bagian system pengendalian. Sistem keperilakuan melekat dalam sistem pengendalian yang dikembangkan.  Subjek pengembangan adalah pada perspektif  “Benchmark  model organisasi yang memiliki relevansi dengan acuan pilihan strategi dari pelaksanaan sistem pengendalian internal yang diperkuat relasi pengawasan internal dan pengawasan eksternal.

 

2
0
Whistleblower Dari Dimensi Etika Dan Budaya Organisasi

Whistleblower Dari Dimensi Etika Dan Budaya Organisasi

Do I stand up or stand down about this corrupt behavior?

Whistleblower atau peniup peluit identik dengan orang-orang yang membocorkan penyimpangan di dalam sebuah organisasi, baik organisasi swasta maupun organisasi pemerintah. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam organisasi atau instansi pemerintah dapat berupa penyimpangan dari nilai-nilai etika hingga berupa perbuatan korupsi. Whistleblower juga dapat merupakan justice collaborator yaitu individu yang terlibat dalam perbuatan menyimpang dan perbuatan korupsi.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan barang siapa melihat kemunkaran maka hendaklah dia merubah dengan tangannya, apabila dia tidak mampu maka dengan lisannya (whistleblowing) dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya. Hadis ini menjelaskan bahwa seseorang sebaiknya mengungkapkan kepada pihak-pihak lain apabila dirinya mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan.

Kasus-kasus korupsi tidak akan dapat terungkap seluruhnya tanpa bantuan whistleblower dan justice collaborator. Berdasarkan 2016 Global Fraud Study yang dikeluarkan oleh ACFE tahun 2016, diketahui bahwa para whistleblower memiliki peranan terbesar dalam pengungkapan kasus fraud dan korupsi.

Pada dasarnya whistleblower sangat penting dalam pengungkapan kasus korupsi karena posisi mereka di dalam organisasi memungkinkan mereka untuk mengetahui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi dan memiliki akses terhadap informasi-informasi di dalam organisasi. Peranan justice collaborator lebih penting lagi karena dirinya merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam kasus korupsi.

Seorang whistleblower memiliki dua sisi. Pada satu sisi, whistleblower dianggap sebagai pahlawan karena memiliki keberanian untuk mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan organisasi pemerintah. Di sisi lain, sebagian orang dalam organisasi pemerintah menganggap whistleblower adalah pengkhianat karena telah berani mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi (loyality) dan tidak memiliki semangat esprit de corps.

Berdasarkan kepada pihak mana whistleblower mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya, whistleblower dikategorikan menjadi whistleblower internal dan whistleblower eksternal. Kedua kategori whistleblower ini memiliki berbagai manfaat dan risiko yang berbeda.

Whistleblower internal adalah pegawai yang mengungkapkan penyimpangan kepada pihak internal organisasi (melalui saluran-saluran yang ada dalam organisasi). Dengan mengungkapkan penyimpangan secara internal, maka risiko yang dihadapi whistleblower internal lebih rendah namun ada kemungkinan tindakannya mengungkapkan penyimpangan yang terjadi tidak akan memperoleh tanggapan dari pihak-pihak internal organisasi sebagaimana seharusnya.

Whistleblower eksternal adalah pegawai yang memilih untuk mengungkapkan penyimpangan yang terjadi kepada pihak-pihak di luar organisasi. Dengan menjadi whistleblower eksternal, maka tindakannya mengungkapkan penyimpangan akan lebih cepat ditangani dengan risiko dirinya akan dimusuhi oleh pihak-pihak di dalam organisasi. Risiko-risiko yang dapat dihadapi oleh sang whistleblower antara lain:

  1. Dimusuhi, diintimidasi dan dikucilkan oleh pelaku korupsi atau oleh rekan-rekan kerjanya karena dianggap tidak memiliki kesetiakawanan dengan rekan kerja dalam satu organisasi.
  2. Dimutasi ke fungsi atau organisasi lain.
  3. Dipersulit dan dihambat karirnya.
  4. Memperoleh teror dari pihak-pihak yang dilaporkan hingga mendapatkan penyerangan secara fisik.

Whistleblower memilliki banyak dimensi, salah satunya adalah dimensi etika. Bagaimana etika memandang whistleblower? Apakah whistleblower merupakan perilaku beretika atau justru merupakan perilaku yang buruk dan tidak beretika?

Bagi aparat sipil negara, etika publik adalah pedoman dan panduan seorang aparat sipil negara dalam berperilaku dan melaksanakan ketugasannya. Etika yang dipedomani seorang aparat sipil negara harus meletakkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Dari segi etika, seorang aparat sipil negara diwajibkan untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang diketahuinya karena korupsi sangat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan alasan etika dalam situasi yang dihadapi seorang whistleblower, terdapat dua teori utama etika yaitu teori deontologi dan teori teleologi. Bagaimana kedua teori ini memandang whistleblower?

Teori deontologi memandang sebuah tindakan adalah tindakan yang bernilai baik karena tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban yang dimiliki seseorang. Kewajiban seseorang di dalam hal ini dapat berupa kewajiban terhadap organisasi tempatnya bekerja dan kewajiban terhadap masyarakat.

Dengan demikian, seorang whistleblower memiliki dilema apakah dia akan mengutamakan kewajiban terhadap organisasinya atau kewajiban terhadap masyarakat.   Dilema dan konflik etika seorang whistleblower menjadi semakin besar ketika pelaku penyimpangan adalah atasan atau rekan dekatnya, dibandingkan dengan apabila pelaku penyimpangan adalah orang yang tidak dikenalnya dengan baik.

Meskipun demikian, teori deontologi menjelaskan bahwa mengungkapkan kebenaran adalah sebuah kewajiban dan sebuah perbuatan yang beretika. Oleh karena itu, ketika seorang aparat sipil negara mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan di dalam organisasi pemerintah tempatnya bekerja maka berdasarkan teori deontologi dirinya wajib mengungkapkan penyimpangan tersebut.

Teori yang kedua yaitu teori teleologi menjelaskan bahwa etis atau tidaknya suatu tindakan dilihat dari apakah tindakan tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan atau tidak. Etika teleologi juga memandang baik buruknya sebuah tindakan berdasarkan tujuan apa yang hendak dicapai dari tindakan tersebut. Apabila tujuan yang hendak dicapai adalah baik maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang beretika.

Tujuan dari whistleblowing adalah untuk menghentikan penyimpangan yang terjadi. Dalam kasus whistleblower, satu hal yang paling ditakuti oleh para whistleblower internal adalah kekhawatiran tindakan mereka melaporkan penyimpangan yang terjadi tidak memperoleh respon yang baik dari pihak-pihak lain seperti atasannya.

Dengan demikian, perbuatan sang whistleblower yang mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi pemerintah secara internal kepada atasannya tidak dapat mencapai tujuannya. Hal inilah yang kemudian mendorong para whistleblower untuk mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya ke masyarakat umum.

Dimensi lain dalam fenomena whistleblower adalah dimensi budaya. Budaya yang berkembang dalam sebuah organisasi dapat berupa budaya etis (ethical culture) atau sebaliknya berupa budaya yang tidak etis (unethical culture). Budaya etis di dalam organisasi dibangun dalam rangka menciptakan perilaku beretika dalam organisasi tersebut. Implementasi budaya etis dalam organisasi lebih mendorong munculnya whistleblower dibandingkan dengan kebijakan dan prosedur formal sebuah organisasi  mengenai whistleblowing.

Budaya yang tidak etis mengakibatkan banyak individu yang melihat adanya penyimpangan namun memilih untuk tidak melaporkannya karena nilai-nilai etika, budaya dan perilaku kerja yang berkembang di dalam organisasi tidak mendukung. Pimpinan instansi pemerintah yang seharusnya menjadi pionir dalam pelaksanaan nilai-nilai etika justru tidak mendukung implementasi budaya etis juga turut menghambat munculnya para whistleblower.

Di samping itu, budaya yang umum berlaku di Indonesia biasanya menekankan pada kebersamaan dan persaudaraan. Hal ini menjadikan hubungan kerja antar individu-individu dalam sebuah organisasi di Indonesia cenderung menjauhi konflik antar sesama. Sebagai akibatnya para whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya dengan risiko menghadapi konflik dengan pihak-pihak lain akan jarang muncul.

Whistleblower sendiri diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri. Pasal 3 Ayat 10 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan bahwa salah satu kewajiban PNS adalah melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.

Apabila dalam organisasi pemerintahan terdapat kode etik yang dilaksanakan oleh semua orang, mulai dari pimpinan hingga bawahan, serta adanya dukungan pimpinan terhadap semua individu di dalam organisasi untuk selalu mengimplementasikan perilaku etis dan nilai-nilai etika maka seseorang akan lebih memilih untuk menjadi whistleblower internal. Sebaliknya ketika pimpinan tidak mendukung perilaku etis bahkan cenderung berperilaku tidak etis maka seseorang akan lebih condong mendiamkan penyimpangan yang terjadi atau menjadi whistleblower eksternal.

Kesimpulannya, whistleblower adalah sosok yang memiliki peranan sangat penting dalam pemberantasan korupsi dan keberadaannya harus didukung oleh semua pihak. Dalam mendorong munculnya para whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan yang ada dalam organisasi dan instansi pemerintah, maka pimpinan instansi pemerintah harus menetapkan kode etik yang berlaku dalam instansi tersebut. Pimpinan instansi pemerintah juga harus dapat memberikan keteladanan kepada seluruh pegawai mengenai bagaimana berperilaku etis serta memberikan sanksi tegas bagi semua pegawai di organisasinya yang melanggar kode etik.

 

 

1
0