‘Menetralisasi’ Rasionalitas Birokrasi

‘Menetralisasi’ Rasionalitas Birokrasi

Terlepas dari kultur birokrasi kita yang masih terpengaruh kultur masa feodal juga kolonial, birokrasi saat ini memiliki rasionalitas tersendiri. Rasionalitas ini mengikuti gagasan Max Weber, seorang sosiolog Jerman yang mengatakan birokrasi sebagai jenis organisasi yang paling efisien.

Rasionalitas yang mulai berkembang di abad 19 ini, memiliki ciri khas adanya struktur hirarki dan kesatuan komando, pembagian kerja dan spesialisasi tugas, urusan kepegawaian berdasarkan jasa dan promosi, aturan universal diterapkan untuk mengatur sistem kerja, dan komunikasi yang berwujud formal.

Bagi Max Weber, birokrasi tipe ideal lebih unggul daripada struktur otoritas tipe tradisional dan karismatik. Birokrasi ini didasarkan pada hukum dan keputusan rasional, tindakan aparat dan pemimpin didasarkan pada pengetahuan rasional dan keahlian.

Itulah rasionalisasi birokrasi modern. Rasionalitasnya adalah, proses administrasi dalam kegiatan birokrasi itu hanya dapat menjadi efisien, rutin, dan nonpartisan apabila cara kerja organisasi dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin untuk mencapai efisiensi, ouput standar, dan kepastian.

Sampai dengan hari ini, kita, para birokrat mengalami dan menyaksikan rasionalisasi birokrasi modern itu. Di sekitar kita ada struktur organisasi yang hirarkis, lengkap dengan uraian tugas, jabatan, dan kewenangan.

Tugas-tugas telah diatur siapa mengerjakan apa lengkap dengan pembagian ruangan dan jenjang komando. Lalu standar baku berupa SOP selalu ada di mana-mana. Pengawasan berupa kontrol terhadap pelaksanaan SOP terus ditingkatkan. Aturan disiplin setiap hari mengintai pegawai yang mencoba melanggar.

Penghargaan dan sanksi dilengkapi dengan kategorisasi pegawai malas-rajin, disiplin-pembangkang, berkinerja unggul-kinerja rendah. Itu semua dilakukan dengan rasionalisasi agar jalannya birokrasi dapat efisien dan efektif, atas nama pelayanan untuk masyarakat.

Begitulah birokrasi modern berjalan. Terlihat bagus dan tidak ada yang salah. Semua baik-baik saja karena bisa jadi kita memang telah terlatih bertahun-tahun dengan praktik seperti itu.

Lalu muncul pendapat bahwa birokrasi kita bekerja layaknya restoran cepat saji McDonald. Pendapat itu diusung oleh Ritzer, sosiolog Amerika yang menggagas konsep McDonaldisasi di birokrasi. Konsep ini menegaskan cara kerja birokrasi modern, bahwa proses kerja birokrasi seperti restoran cepat saji, ada unsur efisiensi, prediktabilitas, kalkulabilitas, dan pengendalian.

Efisiensi dalam birokrasi sering kita saksikan sebagai penggunaan sumber daya yang seminimal mungkin untuk mencapai output yang optimal. Jam kerja, biaya, dan juga jumlah personil dalam bertugas sering dibatasi dengan adanya efisiensi.

Termasuk juga dalam hal pelayanan kepada masyarakat, kecepataan pelayanan dalam hal ini efisiensi waktu menjadi hal yang diperhatikan oleh birokrasi. Dengan cepatnya pelayanan, diharapkan mampu memuaskan lebih banyak masyarakat pengguna.

Kalkulabilitas menekankan pada sesuatu yang dapat dikalkulasi, dihitung, dan dikuantifikasikan. Semua input, output bahkan outcome dalam pelaksanaan proses kerja birokrasi harus dapat dihitung. Jika tidak dapat dihitung, kinerja dianggap menjadi sesuatu yang absurd.

Rasionalisasi birokrasi menggunakan standar baku semacam SOP, menjadikan proses berikut hasilnya sebagai sesuatu yang dapat diprediksi. Penerima layanan pun seperti konsumen dalam restoran McDonald, mereka telah dapat memprediksi produk atau layanan apa yang akan dihasilkan oleh birokrasi.

Ketiga unsur sebelumnya memerlukan apa yang disebut sebagai pengendalian. Efisiensi, kalkulasi, dan prediksi dikendalikan secara ketat dalam birokrasi. Dalam konsep manajemen pun selalu ada unsur pemantauan. Inti dari pengendalian adalah mengendalikan manusia pelaksana birokrasi agar tidak menyimpang dari prosedur dan hasil yang sudah ditetapkan.

Nah dari ke empat unsur yang rasional itu, Ritzer manambahkan unsur terakhir untuk menjelaskan sisi lain dari rasionalitas birokrasi, yang disebut sebagai irasionalitas dalam rasionalitas (irrationality of rationality). Terkadang hal ini tidak kita perhatikan, sesuatu yang kita anggap normal namun justru kita dan juga pihak lain sering menggerutu karenanya.

Cerita dalam restoran cepat saji misalnya, akan timbul permasalahan irasionalitas berupa banyaknya antrian pelanggan di depan petugas sebagai akibat dari efisiensi pelayanan. Selain itu kecepatan dan kuantitas makanan terjual terkadang tidak memberikan edukasi kepada pelanggan bahwa makanan junk food tersebut justru berbahaya bagi konsumen dari segi kesehatan. Adanya kontrol ketat juga menimbulkan hambatan kreatifitas petugas dalam melayani pelanggan, bahkan inovasi telah dimatikan.

Di birokrasi, irasionalitas sebenarnya dapat dirasakan setiap hari, namun sering kita tidak mempedulikannya. Mulai dari absen kehadiran di pagi hari, saking rasionalnya kita agar tidak terkena potongan tunjangan kinerja dan teguran aturan disiplin, seringkali kita menjadi irasional dalam bertindak.

Perilaku kita terburu-buru, kadang berlari mengejar angkutan, ngebut di jalan, menerobos lampu merah, dan banyak yang terkesan tidak mengindahkan keselamatan diri dan orang lain. Beberapa korban pun telah berjatuhan karenanya.

Pada saat kita mulai bekerja dalam melayani masyarakat misalnya. Di berbagai loket entah loket pengurusan seritifikat, pengurusan KTP, SIM, dan lainnya, karena alasan efisiensi yang menuntut kecepatan bekerja, seringkali kita lupa untuk berbicara ramah, tersenyum, dan sopan. Terkesan semua terburu-buru dan berbicara sesuai perlunya saja.

Lalu atas nama ketertiban dalam rangka kalkulasi dan prediktabilitas pelayanan, terkadang pemegang otoritas terlalu jauh mengekang kehidupan pribadi pegawainya. Dalam hal pengurusan cuti misalnya, seorang Menteri PAN dan RB pun harus repot-repot memberikan himbauan bahkan dengan nada ancaman bahwa semua PNS tidak diperbolehkan mengambil cuti selain cuti bersama di saat lebaran yang telah ditetapkan. Rasionalisasi yang digunakan oleh sang menteri adalah bahwa cuti di luar cuti bersama akan mengganggu jalannnya pelayanan kepada masyarakat.

Pengaturan ini termasuk menyeragamkan semua sifat layanan, bahwa ada sifat layanan langsung (ke masyarakat) dan sifat layanan yang tidak langsung. Namun karena terlalu rasional ditambah dengan megahnya rezim aturan, maka semua layanan pun dianggap seragam.

Dalam praktiknya baik layanan langsung maupun tidak langsung, sebenarnya bisa saja dilakukan kompromi antar petugas/pegawai untuk bergiliran bertugas sehingga layanan tetap berjalan dan pekerjaan tetap terselesaikan.

Maka tambahan cuti 2 atau 3 hari seharusnya tidak menjadi masalah, toh cuti adalah hak semua pegawai dan telah ada ketentuan batasan jumlahnya. Larangan cuti di luar cuti bersama menjadi hal yang menjengkelkan bagi banyak pegawai terutama pegawai yang bertugas terpisah pulau dengan keluarganya yang memakan waktu dalam perjalanan mudiknya. Rasionalitas efisien dan kalkulabilitas justru berpotensi menjadi tidak produktif karena kekesalan pegawainya.

Bekerja dengan SOP yang ketat, membuat semua produk layanan menjadi terprediksi. Dengan SOP pula, pegawai tidak dituntut untuk menjadi seorang inovator. Cukup terampil dan ahli menjalankan SOP saja sudah cukup. Pegawai benar-benar dilatih untuk membuat produk layanan yang terstandar.

Bahkan jika ada usulan nyleneh tentang modifikasi layanan yang sebenarnya dapat lebih menguntungkan masyarakat justru dianggap salah dan menyimpang. Rasionalitas prediksi berefek irasionalitas akan surutnya keinginan pegawai untuk meningkatkan kapastias potensinya. Maka tidak heran banyak yang beranggapan bahwasanya PNS mempunyai daya inovasi yang rendah.

Dari beberapa contoh sederhana di atas, terlihat jika irasionalitas dalam rasionalitas birokrasi dapat berefek negatif terhadap tujuan dari berjalannya proses birokrasi itu sendiri (disfungsi birokrasi). Instrumentalisme dan dehumanisasi mengancam persendian birokrasi.

Contoh absen yang ketat disertai ancaman potongan tunjangan kinerja membuat aturan yang seharusnya sebagai sarana mencapai tujuan, justru berubah fungsi menjadi tujuan itu sendiri. Bahkan menteri PAN/RB sendiri telah mengatakan banyak PNS bekerja hanya untuk absen. Itulah yang disebut sebagai instrumentalisme. Sarana berubah menjadi tujuan. Pegawai menjadi lupa tujuan hakiki mereka bekerja untuk apa, karena terlatih untuk selalu menganggap aturan sebagai tujuan.

Dehumanisasi terjadi di sana sini. Pegawai tidak lagi dianggap sebagai manusia yang memiliki kepentingan pribadi. Segalanya hanya tentang bekerja menurut aturan institusi.

Lalu bagaimana mengatasi irasionalitas dalam rasionalitas tersebut?

Bisa jadi jawabannya adalah membalik logikanya menjadi rasionalitas dalam irasionalitas. Menuntut keberanian elit birokrasi untuk melakukan hal-hal yang tidak efisien, tidak dapat diprediksi, tidak dapat dikalkulasi, dan bergerak lebih fleksibel untuk mendapatkan hasil maksimal dan rasional (terukur dan efisien).

Sudah saatnya kita memperhatikan hal-hal yang informal, yang lebih humanis dan fleksibel. Pegawai yang sejenak meluangkan waktunya untuk menjemput anaknya tidak lagi menjadi masalah jika yang bersangkutan tetap komit terhadap penyelesaian tugasnya, hal ini justru menjadi pelicin semangat kerja pegawai karena kantor menghargai sisi humanisnya.

Visi tidak lagi menjadi milik pimpinan saja, namun visi serta harapan individu hendaknya lebih diperhatikan dan terjadi saling dialog satu sama lain. Hirarki struktur organisasi hendaknya dianggap sebagai pembagian tugas saja, bukan untuk dimanfaatkan sebagai jurang pemisah kekuasaan antara struktur atas dan bawah.

Jika kita sebagai manusia dapat bekerja nyaman, lebih fleksibel dengan menekankan tanggung jawab, adanya pengakuan kepentingan individu untuk meraih kebebasan berkreasi, kesadaran menjadi lebih utama dibanding kepatuhan, produktifitas diukur bukan hanya dari angka-angka namun lebih pada kepuasan pegawai dan masyarakat pengguna layanan, maka kita telah menuju pada birokrasi yang melampaui modern (baca juga birokrasi ala la la land). post-birokrasi yang menganggap tubuh birokrasi bukan tubuh yang tunggal tapi terdiri dari banyak individu, dan individu itu adalah manusia.

 

 

0
0
Bagaimana Idealnya Kepemimpinan Jokowi Mengubah Budaya Organisasi Sektor Publik Indonesia?

Bagaimana Idealnya Kepemimpinan Jokowi Mengubah Budaya Organisasi Sektor Publik Indonesia?

Reformasi birokrasi diharapkan dapat membawa perubahan mendasar, yaitu terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi. Reformasi birokrasi juga diharapkan dapat menghasilkan birokrat yang profesional, bekerja dengan produktif, dan memiliki kinerja yang baik.

Kenyataannya, perjalanan reformasi birokrasi di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda berhasil, memenuhi harapan-harapan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya aparat negara yang belum bekerja dengan sepenuh hati dalam memberikan pelayanan secara prima kepada masyarakat.

Selain itu, masih banyak penyimpangan yang dilakukan oleh aparat negara, misalnya praktik pungli dan korupsi, jual beli jabatan, hingga memperdagangkan pengaruh (trading influence). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan dalam lingkungan birokrasi yang dikehendaki melalui proses reformasi birokrasi belum tercapai.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apa yang salah dengan penerapan reformasi birokrasi di negeri ini? Salah satu hal yang diidentifikasi menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia adalah karena reformasi birokrasi belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek budaya (culture).

Aspek-aspek pembentuk budaya itu sendiri umumnya meliputi nilai-nilai, keyakinan, dan norma (values, belief, and norms). Nilai-nilai adalah segala sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat tertentu. Di Indonesia, contoh nilai-nilai yang berlaku adalah kesetiakawanan dan saling membantu (gotong royong) dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan yang dihadapi.

Keyakinan biasanya berasal dari ajaran agama, seperti ajaran amanah dan kejujuran dalam bekerja, sabar menghadapi orang-orang, dan kesediaan memaafkan kesalahan pihak lain. Norma adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku di masyarakat tertentu. Contoh norma, antara lain, adalah kebiasaan (folkways), adat istiadat (customs), hingga aturan hukum (law) yang berlaku resmi di masyarakat tertentu.

Dalam kaitannya dengan reformasi birokrasi, seandainya setiap aparat negara mampu bekerja dengan menggunakan budaya bangsa Indonesia, seperti bekerja dengan jujur dan amanah, saling membantu satu sama lain di antara seluruh aparat sipil negara dalam melakukan pekerjaannya atau gotong royong,  serta mampu menghargai pendapat individu lain di dalam organisasi pemerintah, maka reformasi birokrasi akan dapat berjalan dengan lebih baik.

Reformasi birokrasi berbasis budaya dapat menekan praktik korupsi dan penyimpangan karena setiap aparat negara akan bekerja berdasarkan prinsip amanah dan kejujuran. Kenyataannya, aspek budaya tersebut justru lebih banyak disalahgunakan. Sebagai contoh, banyak oknum aparat negara yang justru saling bekerja sama untuk melakukan korupsi dengan menyalahgunakan nilai-nilai gotong royong.

Nilai-nilai yang seharusnya digunakan untuk kebaikan organisasi justru digunakan untuk melakukan korupsi, yang dikenal sebagai ‘korupsi berjamaah’ (organized corruption).

Di sisi lain, reformasi birokrasi juga dapat dilihat dari budaya organisasi. Salah satu pendekatan untuk memahami budaya organisasi adalah competing values framework yang digagas oleh Quinn dan Rohrbaugh (1983). Framework ini melihat kecenderungan budaya organisasi yang diklasifikasikan ke dalam empat kuadran: kekeluargaan (clan), hirarki (hierarchy), temporer (adhocracy), dan pasar (market).

Pada organisasi yang cenderung kekeluargaan, mereka menekankan pada hubungan kerja yang bersifat fleksibel dan kedekatan, adanya komunikasi antar individu yang bersifat cair, serta adanya partisipasi pegawai yang kuat dalam organisasi. Organisasi yang memiliki orientasi budaya seperti ini biasanya akan menghasilkan kerja sama yang baik dan pegawai yang loyal terhadap organisasi.

Di sisi lain, pada organisasi yang berorientasi hirarki, organisasi ditandai dengan kebijakan, proses, dan prosedur kerja yang bersifat formal dan terstruktur. Selain itu, terdapat otoritas dan pimpinan yang harus dipatuhi dalam pembuatan keputusan dan adanya mekanisme pengendalian kegiatan yang jelas.

Pada organisasi yang berorentasi temporer, budaya organisasi cenderung mengutamakan visi dan inovasi. Organisasi ini juga fleksibel dan kreatif dalam menghadapi situasi dan kondisi yang cepat berubah atau tidak pasti (uncertainty).

Sementara itu, pada organisasi yang berorientasi pasar, organisasi menekankan pada pencapaian hasil dan kinerja yang terbaik. Organisasi pada tipe ini cenderung melakukan transaksi serta kegiatan dengan efisien dan efektif guna mencapai tujuan yang dikehendaki.

Dari keempat kuadran, budaya organisasi yang berbasis hirarki umumnya bersifat kaku dan berwawasan internal, sedangkan yang berorientasi pasar cenderung terkendali dan berwawasan eksternal. Kecenderungannya, neo-liberal reform yang diusung di Indonesia oleh para donor seperti WorldBank, IMF, dan ADB adalah membawa birokrasi sektor publik menuju pada budaya berbasis pasar.

Namun, usaha tersebut tidak selalu berhasil. Di sebuah negara maju seperti Australia saja, suatu penelitian menunjukkan mereka masih berbasis budaya organisasi kekeluargaan. Penelitian ini menemukan pada pemerintahan Victoria, sebuah negara bagian di Australia, 40 dari 44 pejabat strukturalnya ternyata masih berorientasi pada budaya kekeluargaan.

Dengan demikian, tidaklah mudah ide-ide neo-liberal reform mengubah budaya organisasi publik di Indonesia menuju budaya organisasi berbasis pasar.

Salah satu ide mengubah budaya organisasi publik menjadi lebih berorientasi pasar sebenarnya sering didengungkan oleh rejim Jokowi dengan jargon ‘kerja, kerja, kerja’. Secara tidak sadar, Jokowi membawa pegawai sektor publik agar bisa lebih beriorientasi pasar. Salah satu bukti terakhir adalah ketika Jokowi menegur menterinya karena masih ada peraturan di internal kementerian/lembaga yang tidak berorientasi ke investor (kapitalis).

Usaha  Jokowi tersebut akan terus berbenturan dengan nilai-nilai yang diresapi oleh pegawai sektor publik Indonesia. Sebagai contoh, bagaimanapun pegawai sektor publik akan lebih mementingkan lingkungan sekitar daripada investor.

Ketika terjadi benturan apakah kepentingan investor yang akan diutamakan atau kepentingan meminimalkan konflik dengan rekan kerjanya, maka mereka akan cenderung memilih kepentingan lingkungan kerjanya. Karenanya, diperlukan usaha keras oleh Jokowi jika ingin mengubah organisasi publik Indonesia menuju organisasi berbasis budaya pasar.

Lalu, bagaimana cara memastikan agar Jokowi mampu mengubah organisasi sektor publik Indonesia menuju organisasi berbasis budaya pasar? Pertama, tentunya Jokowi mesti memahami perubahan juga dikondisikan (conditioned) oleh budaya lokal Indonesia. Kedua, ia mesti terus memimpin perubahan. Melalui kepemimpinan ini, ia bisa membawa organisasi publik menuju orientasi pasar, tetapi tetap memperhatikan budaya lokal Indonesia.

Kepemimpinan adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendorong dan mengajak seluruh pihak agar bersedia bekerja sama untuk melakukan perubahan.  Salah satu bentuk kepemimpinan yang dapat mendorong perubahan ini adalah kepemimpinan transformatif.

Kepemimpinan transformatif mentransformasikan budaya organisasi menuju suatu budaya organisasi baru. Para pemimpin dalam model ini dapat mendorong bawahannya mencapai kinerja yang lebih baik, tanpa perlu melalui ancaman ataupun tekanan.

Melalui kepemimpinan transformatif yang ditunjukkan oleh Jokowi, pegawai sektor publik akan merasa dipercaya dan dihargai. Hal ini akan memunculkan loyalitas dan kesetiaan pegawai sektor publik kepada pemimpin tertingginya dan mereka memiliki motivasi luar biasa dalam bekerja.

Kepemimipinan transformatif biasanya memiliki beberapa indikator.  Pertama, ia berkarisma. Melalui karisma yang dimiliki, seorang pemimpin transformatif akan  dapat mengarahkan bawahan dengan mudah. Karisma mampu memunculkan ikatan emosional dengan anak buah.

Kedua, mereka mampu memberikan dukungan bagi orang-orang yang dipimpinnya ketika mereka menghadapi masalah. Adanya dukungan dari pemimpin ini akan menimbulkan kedekatan emosional antara pimpinan dengan bawahan.

Ketiga, mereka dapat menyelaraskan visi organisasi dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh bawahan agar menghasilkan nilai-nilai yang disetujui bersama (shared values) dan meminimalkan resistensi dari bawahan.

Keempat, mereka dapat menerapkan standar moral serta perilaku yang ideal, seperti integritas, kejujuran, berperilaku dengan adil, memiliki komitmen terhadap keputusan yang telah diambil, serta tidak memihak individu tertentu dalam kegiatan dan pekerjaan sehari-hari. Mereka menjadi role model bagi bawahannya.

Kelima, mereka memiliki antusiasme dan semangat kerja yang tinggi yang dapat menular ke seluruh bawahannya. Pemimpin transformatif memiliki rasa percaya diri dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri bawahannya bahwa mereka akan dapat menyelesaikan pekerjaan seperti apapun.

Keenam, mereka mampu mendorong bawahan untuk berpikir kreatif dan out of the box dalam menghadapi berbagai masalah. Melalui stimulan intelektual yang diberikan kepada bawahan, pemimpin transformatif dapat memunculkan ide-ide dari bawahan mengenai bagaimana cara-cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Ketujuh, mereka memberikan perhatian terhadap berbagai ide-ide, gagasan, harapan, hingga berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh bawahannya. Mereka biasanya memiliki kemampuan komunikasi yang baik, bersedia berdiskusi dengan bawahannya, dan memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki bawahan.

Satu hal yang tentu perlu dibangun di sisi Jokowi adalah karisma. Bagaimanapun, pemimpin produk sipil tentu tidak sekarismatik produk militer atau hasil dari perlawanan bersenjata setelah kemerdekaan. Namun, karisma Jokowi bisa dibangun jika ia mau berafiliasi dengan berbagai pemimpin karismatik di Indonesia. Afiliasi Jokowi dengan berbagai pemimpin karismatik ini bisa membawa organisasi sektor publik Indonesia lebih berorientasi pasar, tetapi tetap berbasis budaya Indonesia.***

 

 

0
0
Peran Profesi Audit dan Akuntansi dalam Mendeteksi Kecurangan Manajemen Laba (Earnings Management)

Peran Profesi Audit dan Akuntansi dalam Mendeteksi Kecurangan Manajemen Laba (Earnings Management)

“Pahlawan mengorbankan harta, jiwa, dan raga untuk kejayaan bangsa dan negara…..Koruptor mengkhianatinya…”

 

Keterikatan dan keeratan hubungan setiap organisasi, baik organisasi privat maupun publik, dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders) dijalankan dalam suatu kesepakatan bersama, atau yang lebih dikenal sebagai hubungan kontrak, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Di sisi lain, karena memiliki kepentingan (interest) pribadi, manajemen suatu korporasi ataupun organisasi publik akan berupaya menyajikan informasi kinerja organisasi tidak secara apa adanya, melainkan disertai dengan rekayasa. Bahkan, mereka bisa sampai memanipulasi data-data pencapaian kinerja organisasi.

Sementara itu, kegigihan investor dan pemegang saham (shareholders) yang hanya terfokus pada informasi laba yang disajikan dalam laporan laba/rugi akan mendorong manajer suatu korporasi untuk melakukan manajemen atas laba (earnings management). Bahkan, manajer akan terdorong untuk melakukan manipulasi laba (earnings manipulation). Praktik yang demikian dapat menjadikan laba yang disajikan manajemen pada suatu laporan keuangan korporasi berbeda dengan laba ekonomis (yang sebenarnya).

Sebenarnya, manajemen laba ini dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan kecurangan (fraud). Hal ini didasari pertimbangan bahwa dalam melakukan manajemen laba tersebut manajemen sudah menampilkan laporan keuangan yang disesuaikan dengan keinginan mereka. Mereka tidak menyampaikan secara faktual (apa adanya) informasi berdasarkan standar yang berlaku umum.

Kalau kita kembali kepada unsur-unsur fraud (conversion, concealment, dan theft), maka kegiatan manajemen laba ini memenuhi unsur conversion (merekayasa, manipulasi) dan concealment (menyembunyikan, menutupi), walaupun tidak secara langsung terjadi theft (menguntungkan diri sendiri).

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi pun menyebutkan orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku-buku dan daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Jelaslah bahwa ditinjau dari pengertian dan unsur-unsur kecurangan dan dari sudut pandang peraturan perundangan maka tindakan manajemen laba dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan kecurangan. Apabila hal tersebut terjadi pada organisasi sektor publik, maka perbuatan tersebut pun dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi yang dapat diancam dengan sanksi hukum pidana.

Di sisi lain, agar terbangun akuntabilitas manajemen, meminimalkan kesenjangan informasi antara manajemen dan pemegang saham, serta melindungi stakeholders, maka dibutuhkan kehadiran pihak ketiga yang independen dan profesional. Pihak ketiga tersebut diharapkan dapat menyuguhkan informasi yang sebenarnya terjadi sesuai dengan faktanya. Dengan demikian, proses pengambilan keputusan oleh berbagai pihak dapat dilakukan secara rasional.

Pihak ketiga tersebut dikenal sebagai auditor. Mereka menjalankan fungsi memberikan keyakinan (assurance) kepada berbagai pihak bahwa informasi keuangan yang dikeluarkan oleh manajemen sudah dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan ekonomis maupun strategis.

Salah satu aktivitas auditor adalah audit forensik. Audit ini dilakukan untuk mendapatkan bukti-bukti tentang adanya dugaan kejadian suatu pelanggaran peraturan, baik peraturan internal maupun eksternal. Aktivitas audit ini banyak digunakan dalam suatu perkara pidana. Tujuan utamanya adalah untuk membuat terang benderang suatu dugaan perkara. Biasanya, audit ini menyangkut segala hal yang akan menjadi bahan pembuktian perkara pidana atau perdata pada persidangan di pengadilan.

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2011), audit forensik adalah “the application of accounting, auditing, and investigative skills to provide quantitative financial information about matters before the courts.” Dengan kata lain, audit forensik merupakan upaya yang dilakukan oleh auditor untuk mengumpulkan bukti-bukti sehingga dapat menganalisis dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria.

Berbagai aktivitas harus dilakukan auditor forensik untuk mendukung proses peradilan (litigation support). Aktivitas ini khususnya berhubungan dengan menghitung dan menetapkan kerugian keuangan korporasi ataupun negara. Mereka sangat diperlukan untuk menganalisis, menginterpretasikan, merangkum, dan menyajikan informasi yang penting. Dan yang tidak boleh dilupakan, informasi ini mesti bisa dipahami dan layak untuk mendukung penyelesaian kasus di pengadilan, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus kerugian korporasi ataupun negara.

Aktivitas audit forensik hampir serupa dengan pekerjaan auditor pada umumnya. Namun, audit forensik berkewajiban untuk mereviu situasi faktual dan melengkapi bukti laporan keuangan yang terkait dengan aktivitas penyelamatan kekayaan suatu korporasi atau negara. Bila temuan audit telah didapat, auditor forensik akan terus berupaya untuk mengawal temuannya hingga pada tahap pengujian temuan di pengadilan.

Pada tahap tersebut, ia membantu dalam perumusan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hakim yang berkaitan dengan bukti-bukti keuangan atas temuannya. Dengan demikian, berbagai permasalahan terkait dengan pelanggaran dalam pengelolaan keuangan yang terungkap dalam pembuktian perkara kecurangan ataupun korupsi dapat terjawab tuntas dengan dukungan bukti yang dikumpulkan auditor.

Artinya, audit forensik sangat penting untuk mendukung penegakan hukum terkait dengan alat bukti hukum yang diperlukan penuntut dan hakim dalam pembuktian perkara. Dalam pelaksanaan audit forensik tersebut, berbagai aktivitas pengumpulan bukti akan dilakukan oleh auditor. Hal itu meliputi, antara lain, (a) melakukan penyelidikan dan analisis bukti-bukti keuangan; (b) mengembangkan aplikasi komputerisasi untuk membantu dalam menganalisa dan menyajikan bukti-bukti keuangan; (c) mengomunikasikan temuan mereka dalam bentuk laporan dan bagan (peraga); dan (d) membantu menyelesaikan proses pengadilan.

Dari seluruh rangkaian kegiatan itu, auditor forensik harus tetap menjaga independensi dengan cara tetap profesional dan proporsional pada setiap kegiatan pengumpulan bukti-bukti. Selanjutnya, setelah ditemukan fakta atas suatu peristiwa pidana, maka tugas yang dirasakan cukup berat dan merupakan titik kritis dari seorang auditor forensik adalah ketika ia harus mengomunikasikan dan menyampaikan pembuktian temuannya di persidangan.

Karenanya, auditor forensik berkewajiban untuk merespon dan menyampaikan pembuktian atas informasi keuangan secara benar, ringkas, lengkap, dan dimengerti oleh khalayak yang relatif awam dengan akuntansi di ruang pengadilan. Sebab, audit forensik dilakukan untuk membuktikan dugaan terjadinya pelanggaran peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan, terutama menyangkut kebijakan manajemen, hukum formal, hukum material, dan lain-lain.

Audit ini merupakan audit lebih lanjut atas temuan audit sebelumnya dengan tujuan untuk membuktikan ada tidaknya kecurangan (fraud) sebagaimana yang disebutkan dalam pengaduan atau informasi dari masyarakat. Dalam audit ini, auditor mengungkap tindak pidana korupsi dan yang menjadi obyek pemeriksaan merupakan suatu proses berupa tahapan atau langkah-langkah di dalam pelaksanaan kegiatan keuangan, sejak timbulnya niat (kebijakan) sampai dengan selesainya kegiatan.

Karenanya, setiap auditor tidak boleh menutup mata dan mengesampingkan adanya potensi kecurangan. Mengabaikan dan tidak berupaya untuk mendapatkan informasi akan adanya kecurangan merupakan suatu kesalahan yang fatal bagi seorang auditor. Kecurangan sudah menjadi salah satu perhatian utama auditor dalam menjalankan tugas profesinya. Oleh karena itu, para auditor diharapkan dapat ikut serta memberikan kontribusi kongkrit dalam aktivitas bangsa melawan kecurangan, khususnya korupsi.

Di sisi lain, dengan kompetensi yang dimilikinya, para profesional akuntansi yang bekerja di suatu korporasi atau organisasi publik pun sangat potensial untuk terlibat dalam membangun tata kelola (good governance) korporasi atau organisasi publik. Peran nyata mereka adalah dengan memberikan keyakinan (assurance) kepada publik bahwa informasi yang disampaikan oleh manajemen korporasi dan penyelenggara negara sudah cukup kredibel untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Karenanya, profesional akuntansi yang bekerja di dalam suatu korporasi atau organisasi publik tidak boleh berpangku tangan melihat kondisi bangsa dan negara yang sedang tersandera dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin menyengsarakan masyarakat. Mereka harus menjadi pelopor dalam gerakan pembersihan dari kecurangan, bukan malah sebaliknya menjadi fasilitator untuk memuluskan kecurangan, sebagaimana terlihat kecenderungannya belakangan ini.

Zeune (1994:150) menyatakan bahwa salah satu peran penting profesi akuntansi dalam upaya preventif terhadap korupsi adalah melalui pengungkapan informasi akuntansi. Kecenderungan tidak mengungkapkan informasi akuntansi akan mengurangi upaya preventif dalam mencegah berlangsungnya praktik kecurangan dan korupsi di Indonesia. Global Corruption Report 2001 menyatakan bahwa organisasi yang korup akan berupaya untuk tidak transparans kepada publik.

Oleh karena itu, agar tidak dituduh sebagai profesi yang mendukung sikap permissive, auditor dan profesional akuntansi perlu duduk bersama melihat hal ini dari berbagai sudut pandang. Utamanya, apakah manajemen laba di suatu korporasi tetap dapat ditolerir sebagai suatu kreativitas akuntansi atau sesuatu yang harus dihindarkan. Sebab, kenyataannya, saat ini semakin banyak korporasi yang melakukan manajemen laba dalam laporan keuangannya.

 

 

0
0
Menulis adalah Menyembuhkan Diri Sendiri

Menulis adalah Menyembuhkan Diri Sendiri

Pengantar redaksi:

Menulis ternyata bisa menyembuhkan diri sendiri (self-healing). Karenanya, kita tidak bisa merendahkan manfaatnya. Penelitian menunjukkan bahwa menulis dapat membantu seseorang mengatasi tekanan dan trauma. Bahkan, menulis bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh seseorang.

Hal itu bukan karena kata-kata yang ditulisnya, tetapi karena energi positif yang mengalir dari pemikiran diri dalam bentuk susunan kalimat. Energi ini bisa menyembuhkan mental dan berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik seseorang, terutama ketika sedang mengalami suatu proses kegagalan, seperti diberhentikan dari pekerjaan, bercerai dari pasangan, ditinggalkan oleh keluarga yang dicintai, atau bagi para remaja, ketika ditinggal oleh pacar tercinta.

Ternyata, bagi mereka yang bekerja di instansi publik, menulis juga mempunyai peran penting. Utamanya, ketika mereka tidak lagi difungsikan oleh pimpinan instansinya. Ketika tsunami neo-liberal reform melanda Indonesia saat ini, tidaklah aneh jika kita melihat begitu banyak mereka yang tidak difungsikan di instansi publik. Bahkan, bisa jadi mereka sebelumnya berada pada posisi eselon 1 sebuah instansi.

Mereka tidak difungsikan bisa karena tiba-tiba pemimpin instansinya berganti. Sebelum reform melanda Indonesia, sebuah instansi publik bisa bertahun-tahun dipimpin oleh pejabat yang sama. Bahkan, sebuah instansi bisa dipimpin sampai pejabat tersebut pensiun di usia senjanya. Hal itu kini sulit terjadi. Sebab, dengan berbagai alasan, reform telah membuka peluang pemimpin sebuah instansi berganti dalam hitungan detik.

Selain itu, akibat neo-liberal reform ini tidaklah aneh jika kita melihat suatu fungsi yang tadinya informal di instansi publik diformalkan dengan membentuk sebuah struktur baru. Akibatnya, mereka yang sebelumnya berperan penting di posisi informal itu malah tidak difungsikan dan digantikan oleh orang baru, yang belum tentu kompeten.

Karenanya, setiap pegawai instansi publik bisa mengalami tekanan (tension) and konflik (conflict) karena ketidakpastian (uncertainty) akibat program reform itu. Namun, yang terpenting bagi aparat instansi publik adalah bukan tentang ketidakpastian itu, tetapi bagaimana kita mampu menyembuhkan diri akibat ketidakpastian itu dan membangun kembali diri kita dari titik terendah.

Menulis bisa membantu kita melakukan hal itu. Bahkan, menulis bisa membantu kita berperan lebih jauh. Artikel berikut membuktikan hal tersebut. Penulis menguraikan bagaimana pengalaman menulisnya dapat menjadi sebuah terapi diri yang juga akhirnya bermanfaat bagi dirinya dan menginspirasi banyak orang lain di sekitarnya.

Sebuah petuah lama menyatakan:

Sejauh mana keinginan, kesungguhan, dan kesabaran Anda, maka sejarah akan menuliskannya. Kemuliaan tidak diberikan secara cuma-cuma. Kemuliaan didapat dari kesungguhan dan diperoleh dengan pengorbanan (Dr. Aidh al-Qarni).

Petuah itu mengembalikan ingatan saya pada suatu peristiwa di awal Juli 2017. Sore itu, saya hendak terbang ke kota Yogyakarta. Menjelang pesawat take-off, saya sejenak terdiam di sudut jendela pesawat. Saya memandang jauh ke depan. Saya merenungkan tentang hal yang telah saya lalui dari perjalanan hidup sepuluh tahun terakhir.

Secara cepat, banyak hal yang saya ingat kembali. Terutama perjalanan awal mula saya menulis. Perjalanan ini dimulai ketika saya lengser dari redaktur majalah di sebuah instansi publik. Setelah dua tahun lebih mengelola majalah tersebut, saya harus rela melepaskan posisi penting redaktur karena adanya struktur formal yang dibentuk oleh instansi tersebut.

Lepas dari posisi redaktur itu tidak membuat saya rendah diri. Akan tetapi, malah mendorong saya untuk terus menulis. Beruntungnya, semangat saya menulis malah membuka jalan saya bertemu dengan beberapa tokoh penting di negeri ini, seperti bupati, wali kota, gubernur, dan menteri. Pertemuan dengan mereka telah memberanikan saya untuk menulis tentang mereka.

Ketika di awal-awal menulis buku para kepala daerah, saya merasa tulisan saya masih standar dan tawar, jika tidak dapat dikatakan buruk atau kurang berkualitas. Hanya karena modal nekat saja saya akhirnya mampu bertahan sekitar lima tahun menulis berbagai buku tersebut.

Namun, dari menulis para kepala daerah itu, saya mendapatkan pengalaman luar biasa. Saya secara langsung dapat berguru kepada para praktisi politik dan pemimpin masyarakat. Dari merekalah kemudian saya belajar banyak hal, terutama tentang kepemimpinan, motivasi, maupun gairah hidup (passion).

Setelah lima tahun berlalu, saya kemudian mendapatkan banyak pertemanan. Merekalah yang kemudian hari membantu saya dalam menuliskan buku tentang para kepala daerah. Tim kecil inilah yang senantiasa mendorong saya untuk tetap menulis dan berkarya. Mereka seakan tak pernah lelah mengingatkan saya bahwa menulis adalah pekerjaan mulia.

Di kemudian hari, saya tidak lagi menulis buku tentang para kepala daerah. Saya kemudian menulis buku motivasi. Sebagaimana pernah saya tulis, buku motivasi ini sebenarnya adalah catatan harian saya. Catatan motivasi untuk diri saya sendiri, dan sebenarnya bukan untuk memotivasi orang lain. Saya membukukannya karena merasa terdorong bahwa apa yang saya rasakan perlu dibagikan kepada orang lain. Karenanya, saya mengumpulkan tulisan-tulisan pendek itu dan menerbitkannya menjadi sebuah buku.

Perjuangan menulis buku motivasi ini pun tidak kalah beratnya dengan menulis buku tentang para kepala daerah. Awalnya, banyak orang mencibir apakah saya bisa merampungkan buku di tengah kesibukan rutinitas saya sebagai birokrat. Ada juga yang mengkritik tentang kualitas tulisan saya. Bahkan, ada juga fitnah yang menohok sekali, seperti saya sekedar ingin menjual buku ketika bersedia mengisi suatu pelatihan.

Semua itu kadang membuat saya galau. Namun, tekad saya telah bulat untuk terus menulis. Cibiran mereka malah menjadi tambahan energi penguat tubuh saya. Ia ibarat jamu yang rasanya pahit saat dilidah, tetapi menguatkan tubuh saya saat larut di dalam tubuh.

Dalam menyikapi cibiran itu, saya berpandangan bahwa hidup ini bukanlah untuk berpikir dan mendengarkan banyak cibiran orang. Hidup itu adalah bertindak. Lebih baik bertindak daripada sekedar menggerutu. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.

Pandangan hidup itu kemudian mengantarkan saya melahirkan buku Birokrat Menulis. Buku itu cukup berhasil mengambil hati para birokrat. Banyak yang memperbincangkannya. Bahkan, buku tersebut telah mengantarkan saya bertemu dengan para birokrat hebat — yang juga mempunyai gairah yang sama dengan saya — di komunitas yang kebetulan namanya sama dengan judul buku tersebut, yaitu ‘Pergerakan Birokrat Menulis’.

Kelahiran buku Birokrat Menulis juga semakin menguatkan tekad saya untuk terus menulis. Saya terus bermimpi menjadi penulis hebat dengan bermodal nekat dan keteguhan. Pertemuan dengan para birokrat yang juga penulis hebat di Pergerakan Birokrat Menulis semakin menguatkan langkah saya untuk terus maju melangkah dan menikmati setiap rintangan yang ada.

Menjadi birokrat memang adalah panggilan negara untuk mengabdi pada negeri ini. Akan tetapi, menulis juga adalah panggilan hati untuk berkontribusi dalam mengubah tradisi birokrat saat ini agar tidak hanya sekedar menyibukkan diri sendiri dengan rutinitas dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Intinya, saya tidak ingin hanya sekedar menjadi birokrat yang menghabiskan waktu dengan rutinitas kerja tanpa inovasi, refleksi, dan bertindak.

Reform Leader Academy (RLA) yang baru-baru ini saya ikuti juga telah memberi inspirasi baru yang luar biasa. Saya merasakan ikatan yang kuat di akademi ini. Dari akademi ini, saya semakin menyadari bahwa kemajuan bisa dicapai dengan melakukan sinergi, bekerja dalam tim (team work), serta inovatif.

Saya yakin, pilihan saya saat ini untuk tetap menulis, selain sebagai birokrat, akan mengantarkan saya pada arah yang tepat. Saya bermimpi langkah ini akan menginspirasi para birokrat untuk mau keluar dari zona nyamannya.

Semoga semakin banyak birokrat yang terinspirasi untuk berkarya melalui tulisan di laman Pergerakan Birokrat Menulis yang nantinya akan menginspirasi anak negeri.

 

2
0
Memimpin Perubahan: Dari Pendekatan Formal ke Informal

Memimpin Perubahan: Dari Pendekatan Formal ke Informal

“Saya memegang teguh prinsip Jenderal Sudirman bahwa setiap pemimpin harus berada di tengah-tengah rakyatnya. Saya berharap, seluruh peserta Diklat Pim II ini bisa menjiwai spirit yang dibangun oleh Pak Dirman tersebut.”  Demikian Paman Birin, panggilan akrab Gubernur Kalimantan Selatan, dalam sambutannya pada pembukaan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan II (Diklat Pim II), di Aula Idham Khalid, Banjarbaru, Senin lalu (10/7/2017).

Menarik. Apa yang disampaikan Paman Birin tersebut merupakan salah satu ciri pemimpin adaptif yang didambakan rakyat. Rakyat bisa menyampaikan harapannya, dan pemimpin bisa mendengarnya secara langsung. Aparatur Sipil Negara (ASN) mampu menjembatani  dan menempatkannya sebagai prioritas program dan kegiatan yang perlu dilaksanakan.

Terinspirasi dari semangat Paman Birin tersebut, dalam kesempatan menyampaikan overview Kebijakan Diklat Pim II Angkatan XLIII kelas G, sebagai materi wajib sebelum pembelajaran di kelas, saya menyampaikan materi yang menggugah semangat mereka untuk berubah dan bersedia melakukan perubahan. Menggunakan pendekatan baru dalam melayani masyarakat yang lebih update terhadap perubahan lingkungan strategis. Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan adalah cara pandang baru birokrasi pemerintahan ke depan.

Dalam sesi diskusi, ada dua catatan menarik dari peserta yang perlu saya tanggapi.

Catatan pertama disampaikan oleh peserta dari sebuah kabupaten pemekaran di Kalimantan Selatan. Beliau menyampaikan kegelisahannya yang menganggap bahwa perubahan di daerahnya sangat sulit dilakukan.

Padahal, dalam Diklat ini, setiap peserta harus menyusun proyek perubahan berupa inovasi baru untuk ditawarkan di daerahnya.

“Apa yang bapak katakan tentang perubahan itu sulit dilakukan. Mustahil dilakukan, kecuali pimpinan daerah menyadari dan merasa memerlukan perubahan itu sendiri. Karena itu penjelasan bapak yang menarik ini perlu juga disampaikan kepada pimpinan daerah agar tahu tentang esensi perubahan: apa, kenapa harus berubah, apa manfaat perubahan, dan lain sebagainya. Kalau kita yang harus berubah sulit sebelum pimpinan daerah itu memahami perubahan,” tegasnya.

Catatan kedua berasal  dari peserta di salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah. Dia mengungkapkan, kondisi kemiskinan yang dialami masyarakatnya membuat masyarakat memiliki karakter peminta-minta.

Padahal, proyek perubahannya terkait dengan perubahan budaya masyarakat agar mereka bisa terbebas dari ketergantungan bantuan orang lain. Ia menduga, salah satu kendala yang paling berat dalam melakukan perubahan adalah berhadapan dengan masyarakat yang seperti ini.

“Persepsi masyarakat tentang pemerintah, tentang pejabat adalah sebagai sinterklas. Karakter meminta-minta apalagi menjelang lebaran sudah lama terjadi di daerah saya. Mereka tidak mengenal tempat dan waktu”.

Karakter inilah yang mengganggu perubahan yang akan kita lakukan. Bagaimana bisa bekerja kalau setiap hari kedatangan masyarakat yang meminta-minta ke instansi kita. Terlebih lagi mereka yang mengaku-ngaku LSM dan wartawan yang mengancam untuk melaporkan ke penegak hukum,” jelasnya.

Inilah gambaran sebagian pejabat kita di daerah, yang bisa kita lihat dari cara pandangnya terhadap perubahan. Resisten terhadap perubahan (Garry Yukl, 2010), mengeluh sebelum melakukan perubahan, bekerja selalu dengan asumsi, bekerja dengan logical thinking, cenderung formalitas atau menggunakan kekuatan kewenangan atau kekuasaan untuk melayani, dan lebih banyak menggunakan bahasa perintah.

Cara pandang birokrasi seperti ini sering kita sebut sebagai cara pandang formal authority. Cara pandang yang sangat sempit, hanya bicara tentang taktikal manajerial. Seringkali masalah yang ada di masyarakat didekati cara pandang taktikal-manajerial, sehingga perspektf bekerja yang penting bisa menghasilkan output, dan setelah itu tidak perlu melakukan apa-apa.

Padahal tugas eselon 2, sebagai kepemimpinan strategis, lebih didorong ke arah pencapaian nilai tambah (outcomes) dan manfaat (benefits/impact) apa yang timbul akibat pelaksanaan sebuah program dan kegiatan.

Inilah pernyataan kita setelah sahabat, teman, senior, atau kerabat kita usai pelantikan: semoga amanah. Dalam perspektif saya, amanah adalah kemampuan seseorang menjalankan tugas sesuai sumpah jabatan yang telah diucapkannya, sekaligus berhasil melakukan pencapaian target nilai tambah dan manfaat yang ditargetkan pimpinan yang lebih tinggi.

Bekerja di tengah perubahan lingkungan strategis yang demikian cepat, di mana setiap pimpinan dituntut untuk mampu memproduksi gagasan-gagasan baru (ability to create new think) yang solutif terhadap problematika yang dihadapi masyarakat, yang kemudian mampu melaksanakan gagasan barunya itu untuk meningkatkan nilai tambah dan manfaat (ability to apply new think).

Seorang pemimpin adaptif adalah sosok cerdas. Bukan karena IQ-nya, tapi karena kemampuannya untuk mendengarkan secara seksama. Membuat tindakan melalui kemampuan beradaptasi terhadap realitas yang berubah. Sosok yang pandai memanfaatkan waktu dan tidak mau menunda pencapaian target nilai tambah dan manfaat sebagai acuan dalam kinerja kepemimpinannya. Sumber daya yang terbatas tidak masalah baginya. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana memanfaatkan yang ada untuk mendorong kinerja terbaik untuk organisasi.

Kepemimpinan birokrasi yang adaptif menjadikan manusia sebagai subyek pembangunan. Masyarakat menjadi subyek utama. Perencanaan program dan kegiatan menjadi gambaran nyata dari deretan tuntutan dan kebutuhan warga bangsa.

Karena itu wajar jika ada daerah yang kemudian melakukan pameran anggaran sebagaimana Bupati Bojonegoro, Batang, Banyuwangi, dan lain sebagainya. Selalu mengajak warga untuk mengatasi bahkan meminta masyarakat untuk terlibat dalam evaluasi dan pelaporan sebuah kegiatan.

Kemampuan pemimpin adaptif sampai tahap ini tidak datang tiba-tiba. Tapi berangkat dari transformasi diri soal cara pandang baru tentang masa depan. Kepemimpinan adaptif adalah kepemimpinan masa depan. Kepemimpinan yang lebih menonjolkan creative thinking.

Kepemimpinan yang menjadikan inovasi sebagai urat nadi organisasi. Kepemimpinan yang mengedepankan kolaborasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kemampuan membangun networking dan penguasaan teknologi (digital mastery) dalam mencapai visi organisasi.

Kepemimpinan yang adaptif selalu menggunakan pendekatan informal authority bukan formal authority. Bahasa komunikasinya lebih cair dan tidak mengesankan bahwa kita adalah pejabat yang harus selalu dihormati, harus berwibawa, harus ditakuti oleh rakyat, dan segala atribut kekuasaan lainnya.

Kedekatan hubungan antara rakyat dan pemimpinnya didesain untuk saling membutuhkan, bukan vis a vis. Bukan priyayi dan kawulo alit. Bukan juragan dan pembantunya. Bukan atasan dan bawahannya.

Kepemimpinan adaptif akan selalu hadir di tengah-tengah rakyatnya. Sebagaimana kepemimpinan Jenderal Sudirman yang tidak mau jauh dari rakyatnya. Sudirman selalu berada di tengah-tengah pasukan dan rakyatnya, agar bisa lebih banyak mendengarkan rakyatnya. Semua itu dilakukannya untuk sebuah cita-cita agar semua merasa memiliki Indonesia, semua merasa perlu memperjuangkan keindonesiaan kita.

Karena semua merasa memilikinya, maka apapun tindakan dari dalam dan dari luar yang mengancam martabat dan kehormatan bangsanya, serentak rakyat dan semua unsur dari bangsa dan negara ini akan memberikan perlawanan secara bersama.

Prinsip penting Pak Dirman tersebut seharusnya menginspirasi para pemimpin. Baik pada level menteri, kepala lembaga/badan, gubernur, bupati/walikota, maupun pimpinan di jabatan ASN, mulai dari JPT, pejabat administrator, pengawas dan lain sebagainya.

Sebuah organisasi dengan kepemimpinan adaptif mampu memastikan setiap elemen organisasi merasa memiliki organisasinya sehingga semuanya bertanggung jawab dan ikut merawat keberadaannya. Pemimpinnya visioner, membumi, dan tidak mengabaikan tuntutan masyarakat. Visinya dibangun dari kemampuannya menerjemahkan harapan, mimpi, dan tuntutan publik serta tidak dibangun dari keinginan atau vested pribadinya.

Karena itu jawaban atas dua catatan peserta Diklat Pim 2 tadi, selalu tertumpu pada pola pikir dan kemampuan membangun kultur perubahan. Yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Pertama, memimpin adalah membuka hati kita akan pentingnya kesadaran dan kemauan untuk berubah. Kita harus menyadari bahwa mentor atau atasan langsung yang tidak mau berubah adalah tantangan kepemimpinan yang adaptif.

Kedua, kepemimpinan pada level strategis adalah soal bagaimana kemampuan kita membangun konsep inovasi yang paling dibutuhkan masyarakat, dan akan membantu mempermudah mengkomunikasikannya kepada atasan langsung kita.

Ketiga, kemampuan komunikasi kita ke atasan langsung, bisa ke menteri atau pimpinan lembaga/badan, gubernur, dan bupati/walikota harus terasah. Seringkali masalahnya bukan pada mereka. Namun ada pada diri kita. Mereka bukan tidak mau berubah, namun mereka membutuhkan kita untuk menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi. Inilah esensinya. Keberadaan kita adalah untuk menyelesaikan masalah, bukan bagian dari masalah itu sendiri.

Karena itu, keempat, kemampuan mengatasi belenggu diri, seperti tidak mau berubah, selalu resisten terhadap perubahan, status quo, dan lain-lain perlu lebih baik. Jangan pernah membayangkan dan meminta bahkan memaksa orang lain untuk berubah.

Maka mulailah perubahan itu dari diri kita. Mulailah dari hal-hal kecil agar terjadi habituasi dalam diri kita agar kalau ada masalah yang lebih besar kita bisa belajar mengatasinya dengan baik. Perubahan harus dimulai dari sekarang dan tidak bisa ditunda. Agar kesempatan yang Allah berikan pada kita sebagai seorang pemimpin tidak sia-sia.

Kita semua menyadari ketika kita mau menerima amanah sebagai seorang pemimpin, maka berbagai tantangan, tekanan, dan persoalan dari segala penjuru akan datang menghampiri kita. Tantangan adalah keniscayaan. Kesadaran inilah yang diharapkan ada di setiap diri seorang pemimpin.

Sebuah kesadaran dan kemauan menerima tantangan, tentu dengan bekal sabar dan ikhlas, akan menjadikan pemimpin menemukan jalan, sekalipun jalan itu tak terduga. Setiap kita akan mendapatkan pengalaman yang menjadi bekal bagi bangunan karakter pemimpin yang tangguh. Pemimpin pembelajar yang hebat.

Kuatnya kesalehan spiritual akan mengokohkan posisi kita, apalagi ditunjang dengan kesalehan sosial, kuatnya komunikasi dan pendekatan sosial, yang diwarnai dengan sikap dan perilaku baik seorang pemimpin terhadap atasan, bawahan, kolega,  dan rakyat sebagai konstituen.

Sepakatlah kita dengan sumber masalah. Masalah bersumber bukan dari orang lain, namun berasal dari diri saya, anda, dan kita sekalian. Maka marilah berubah untuk memahami tanda-tanda perubahan zaman. Agar kesejahteraan dan keadilan bisa juga dirasakan oleh mereka yang tidak berkemampuan. Karena perubahan itu adalah saya, anda, dan kita yang hari ini diberikan amanah untuk memimpin. Wallahu a’lamu bi shawab.

 

0
0