Politik Lokal @Banten: Sebuah Refleksi Demokrasi

Politik Lokal @Banten: Sebuah Refleksi Demokrasi

Eksistensi partai politik di Banten sangat kental hubungannya dengan kepengaruhan para ulama atau kiyai, para jawara dan pengusaha-pengusaha lokalnya. Tiga pilar ini sudah ada dan tumbuh berkembang di Banten sejak Kesultanan Banten berdiri, masa kolonialisme, hingga Indonesia merdeka. Walaupun secara nasional saat ini partai politik di Indonesia terbagi dua, yaitu dengan faham nasionalis-sekulerisme dan agamis (Islam), pengaruh ulama, jawara, dan pengusaha masih kental dalam tubuh partai politik di Banten.

Selain itu, karakteristik utara dan selatan Banten pun berbeda. Banten Utara dengan masyarakat heterogennya lebih mudah berubah kecenderungan politiknya. Sedangkan Banten Selatan dengan masyarakat homogennya lebih statis pandangan politiknya, bila ada perubahan-perubahan perolehan suara tidak terlalu signifikan.

Beberapa kejadian atau aktifitas politik di Provinsi Banten di enam tahun terakhir, mulai dari Pilgub Banten tahun 2011, Pemilu Legislatif fan Pemilihan Presiden tahun 2014, hingga pelaksanaan Pilkada Serentak pertama kali pada tahun 2015, dan terakhir kali dengan diselenggarakannya Pilgub Banten tahun 2017, telah memberi warna demokrasi dan politik di tanah jawara. Masyarakat secara terus-menerus melakukan aksi politik individunya untuk turut serta menentukan pemimpinnya.

Singkatnya, buku ini menggambarkan refleksi demokrasi di Banten. Penggambaran demokrasi dan perpolitikan di Provinsi Banten ini dipertegasn kembali dengan adanya pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia atau disingkat dengan IDI. Semoga kehadiran buku ini menambah khasanah perpolitikan Indonesia, khususnya di Banten. Bagi Anda yang tertarik memilikinya, dapat memesan di sini.

 

 

0
0
Urgensi Pengelolaan Risiko Media Sosial Individu Pemerintahan dalam Mengantisipasi Munculnya Trump ala Indonesia

Urgensi Pengelolaan Risiko Media Sosial Individu Pemerintahan dalam Mengantisipasi Munculnya Trump ala Indonesia

Organisasi modern, termasuk sektor publik, saat ini semakin menyadari pentingnya pengelolaan risiko. Dengan mengelola risiko organisasi, beberapa hambatan dalam pencapaian tujuan dapat diantisipasi, bahkan diminimalkan.

Beberapa risiko dengan tingkatan level berbeda dapat mengancam pencapaian tujuan organisasi. Tiga risiko yang sangat berdampak pada kelangsungan organisasi adalah risiko keuangan, risiko hukum, dan risiko reputasi.

Khusus terkait dengan risiko reputasi, jenis dan faktor yang melingkupi pun semakin luas dan berkembang. Utamanya, dengan maraknya penggunaan media sosial individu organisasi. Perilaku individu di media sosial sebagai anggota organisasi adalah risiko yang dapat mengancam reputasi organisasi.

Konsekuensi Media Sosial Individu bagi Organisasi

Tidak sedikit yang berargumen bahwa menggunakan media sosial adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia. Pemikiran tersebut tidaklah salah. Akan tetapi, setiap individu merupakan entitas yang terikat dengan entitas yang lebih besar lagi, yaitu organisasi.  Artinya, setiap hal yang dilakukan oleh pegawai memiliki konsekuensi bagi diri dan organisasinya.

Sebagai contoh, Justine Sacco, seorang pegawai humas di IAC/InterActiveCorp, harus kehilangan jabatannya hanya karena sebuah cuitannya. Saat itu, sebelum berangkat dari London menuju Afrika Selatan, ia memposting sebuah ciutan singkat bertuliskan: “Going to Africa. Hope I don’t get AIDS. Just kidding. I’m white!”

Ketika itu, jumlah follower-nya hanya sebanyak 500 orang. Sebenarnya, pengikut sejumlah ini tidaklah besar. Akan tetapi, di sinilah keunikan dan kekuatan media sosial. Media sosial sangat mudah diakses secara masal. Karenanya, 500 orang tersebut bukanlah cakupan maksimal, tetapi sebaliknya merupakan cakupan minimal yang dengan mudah dapat teramplifikasi jumlahnya.

Para netizen, sebutan untuk masyarakat pengguna internet, kemudian mengungkapkan kecaman mereka atas postingan Sacco tersebut. Sialnya, AIC sebagai tempat Sacco bekerja ikut menerima kecaman yang serupa. Reputasi AIC sebagai perusahaan ternama yang memiliki reputasi baik pun terancam.

Tampak jelas bahwa penggunaan media sosial oleh individu dari suatu organisasi dapat memunculkan risiko reputasi organisasi. Kecaman-kecaman yang dilayangkan kepada AIC jika tidak dimitigasi dapat berujung pada boikot, yang tentu dapat mengancam stabilitas organisasi.

Situasi tersebut disadari oleh manajemen AIC. Mereka merespon dengan cepat. Mereka memberikan pernyataan bahwa manajemen menganggap ciutan Sacco merupakan pernyataan yang ofensif dan tidak mencerminkan pandangan dan nilai-nilai (values) dari IAC.

AIC kemudian memecat Sacco. Sacco pun tidak mampu berargumen bahwa media sosialnya merupakan representasinya secara pribadi. Sebab, meskipun ia memposting ke media sosial di luar jam kerja dan dari akun pribadi, ia tidak dapat menghindari dirinya sebagai representasi dari organisasi tersebut. Karena ia teridentifikasi sebagai karyawan AIC,  suka atau tidak, ia telah memiliki online brand. Brand ini secara informal mewakili atau setidaknya terrafiliasi dengan organisasi tempatnya bekerja.

Pentingnya perhatian organisasi terhadap perkembangan penggunaan media sosial pegawainya dapat juga direfleksikan dari kasus  yang terjadi pada Triple Play Sports Bar and Grille di Watertown, Amerika Serikat. Kasus ini diawali dengan seorang pegawai yang memposting status di akun Facebook pribadinya. Ia mengkritik ketidakmampuan pemilik bar tersebut dalam mengelola pembayaran pajak sehingga pegawai tersebut harus menunggak pajak penghasilannya.

Status tersebut kemudian di ‘like’ oleh pegawai lainnya yang bernasib sama. Setelah membaca postingan tersebut, pemilik memecat pegawai yang menulis status tersebut dan juga para pegawai yang memberikan ‘like’ di status tersebut. Mereka beralasan para pegawai tersebut tidak loyal dan tidak menghormati manajemen.

Namun, kasus itu tidak berhenti sampai di situ. Setelah melalui beberapa perdebatan, National Labor Relations Board, sebuah badan pemerintah independen Amerika Serikat yang memiliki tanggung jawab untuk menegakkan undang-undang ketenagakerjaan menyatakan pemecatan tersebut melanggar undang-undang ketenagakerjaan. Sebab, manajemen bar tidak memiliki regulasi yang mengatur tentang penggunaan media sosial bagi pegawainya. Hal ini berbeda dengan AIC yang telah proaktif memberlakukan kebijakan terkait media sosial di organisasinya.

Risiko Media Sosial Individu Pemerintahan

Kedua kasus tersebut memberikan gambaran bahwa penggunaan media sosial oleh pegawai dapat memunculkan risiko bagi organisasi. Karenanya, risiko ini perlu ‘dikelola’. Hal ini juga penting bagi organisasi publik.

Sepuluh tahun yang lalu, ketika perkembangan internet belum seperti saat ini, organisasi publik dapat melakukan pengendalian hanya dengan memblokir jaringan internet kantor ke media sosial. Sebagai contoh, hanya beberapa pegawai kunci yang bisa terkoneksi ke internet pada waktu itu. Karenanya, pada waktu itu, pengelolaan risiko penggunaan media sosial masih dalam tahapan menghindari turunnya produktivitas.

Namun, saat ini, laju perkembangan internet sangat luar biasa. Siapapun bisa terkoneksi dengan jaringan internet melalui ponsel masing-masing. Mereka bisa berlangganan internet dengan harga yang murah. Kemudahan akses ini telah memunculkan dua tantangan yang ‘mengerikan’ bagi organisasi publik.

Pertama, mitigasi berupa pemblokiran sudah tidak relevan lagi. Kedua, pengguna media sosial yang semakin masif dapat menyebabkan hal apapun yang ‘dilempar’ di internet akan berpotensi menjadi perhatian jutaan, bahkan puluhan ratusan juta orang lainnya, bukan hanya orang-orang di sekitar kita.

Hal inilah yang perlu dipikirkan dan dirumuskan solusinya di sektor publik. Pemimpin pemerintahan tidak bisa secara pasif hanya berharap bahwa seluruh individu pemerintahan akan secara otomatis menjadi pengguna internet yang bijak. Mereka mestinya juga proaktif menetapkan kebijakan penggunaan media sosial para individu ini.

Pengelolaan Risiko Media Sosial Pemerintahan UK

Sebagai contoh, pemerintah United Kingdom (UK) telah menyadari risiko tersebut dan telah mulai memitigasinya. Francis Maude, mantan menteri di negara ini, menyatakan bahwa era digital dan media sosial dapat membantu individu pemerintahan dalam menjangkau masyarakat yang dilayani.  Namun, katanya, manfaat tersebut mesti diimbangi dengan akuntabilitas.

Karenanya, individu pemerintahan mesti bertindak dengan etika yang berimbang, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Maude juga menekankan bahwa media sosial bukanlah sebuah rocket science. Karenanya, dalam menggunakannya harus menggunakan akal sehat tentang apa yang akan ditulis dan ditampilkan di media sosial.

Pada tahun 2014, sebuah panduan kemudian diterbitkan untuk mengedukasi bagaimana mestinya individu pemerintahan menggunakan media sosial di UK. Tujuannya adalah sebagai pengembangan dari panduan yang sebelumnya sudah ada, yaitu kode etik  civil servant. Artinya, kode etik pegawai yang bersifat umum ini telah diperjelas lagi dengan kode etik terkait penggunaan media sosial.

Dalam panduan tersebut, terdapat lima hal yang ditekankan. Pertama, setiap individu mesti selalu menggunakan akal sehat. Kedua, mereka mesti selalu mempertimbangkan kode etik yang ada. Ketiga, jika ragu-ragu atau tidak yakin atas materi atau informasi yang akan di-publish, mereka mestinya tidak mem-publish informasi tersebut. Keempat, setiap individu mesti selalu memastikan akurasi dan sensitivitas informasi yang akan disampaikan sebelum mengunggahnya. Terakhir, setiap individu mesti mepahami bahwa semua informasi yang telah di-publish secara online sulit atau bahkan tidak mungkin dihapus kembali.

Selain itu, diskusi yang terkait dengan penggunaan media sosial merupakan bentuk dari pengelolaan risiko penggunaan media sosial di UK. Melalui diskusi tersebut, instansi pemerintah dapat melakukan dua hal sekaligus, yaitu tindakan preventif dan represif. Artinya, mereka memberikan awareness dan batasan yang jelas atas penggunaan media sosial bagi individu dan menciptakan payung hukum untuk penindakan pelanggaran.

Pengelolaan Risiko Media Sosial Individu Pemerintahan Indonesia

Sejauh ini, pemerintahan Indonesia luput mengelola risiko penggunaan media sosial individu pemerintahan. Pentingnya pengelolaan risiko ini semakin terlihat urgensinya dengan maraknya berbagai kasus. Sebagai contoh, tidak sedikit individu pemerintahan yang dengan santainya mengkritik pemerintahannya sendiri di media sosial, tanpa mempertimbangkan bahwa mereka adalah bagian dari apa yang mereka kritik.

Hal tersebut juga tampak dengan ‘panas’nya media sosial Indonesia sejak masa Pilpres beberapa tahun lalu, sampai dengan Pilkada DKI yang baru saja usai. Berbagai macam opini, informasi, dan adu argumen mengiringi dua event tersebut. Bahkan, ada juga yang sampai merambah pada isu SARA.

Bahkan, pada pejabat tinggi setingkat menteri pun penggunaan media sosial tak luput dari sorotan. Setelah mendapatkan  kritikan  dari Menteri Luhut Binsar Pandjaitan tentang strategi menangani illegal fishing, baru-baru ini Menteri Susi Pudjiatuti memberikan tanggapan atas kritikan tersebut melalui akun twitter pribadinya.

Penggunaan media sosial Menteri Susi ini ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, informasi yang disampaikan akan lebih cepat diterima oleh masyarakat. Namun, hal ini bisa membangun image yang kurang baik terkait koordinasi pejabat pemerintahan di Indonesia.

Artinya, risiko penggunaan media sosial individu di pemerintahan–dari individu level pegawai rendahan sampai dengan individu level pejabat tinggi setingkat pejabat negara–sudah mendesak untuk dikelola di Indonesia.

Melarang para individu pemerintahan menggunakan media sosial tentu tidak tepat. Terlalu naïve rasanya. Penggunaan media sosial juga tidak selamanya akan berkonsekuensi negatif. Citra pemerintah akan positif jika para birokrat menunjukkan perilaku yang positif di media sosialnya masing-masing.

Ini menunjukkan bahwa risiko penggunaan media sosial memang tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat dikelola. Kita mestinya bisa mengelola risiko penggunaan media sosial individu di pemerintahan dan bagaimana mestinya individu tersebut berperilaku di media sosial.

Kita perlu segera mengelola risiko penggunaan media sosial individu pemerintahan Indonesia sebelum di kemudian hari kita melahirkan ‘Trump’ ala Indonesia. Di Amerika Serikat, Trump telah berhasil memberikan contoh buruk rusaknya reputasi sebuah pemerintahan karena lemahnya pengelolaan risiko penggunaan media sosial individu pemerintahan.

Tentu, kita tidak berharap Trump ala Indonesia muncul di kemudian hari, terutama pada saat Pilpres 2019.

Salam Kelola Risiko

 

 

1
0
Menggugat [Kembali] Hasil Audit  Badan Pemeriksa Keuangan

Menggugat [Kembali] Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan

Oleh: BENY AMRAN*

 

 

Tata-kelola pemerintahan yang baik seyogyanya bukan lagi sebuah slogan ataupun keinginan semata, tetapi sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi seluruh kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah (K/L/D). Dalam mewujudkan tata kelola yang baik ini, diperlukan berbagai upaya serius untuk mengubah cara berpikir (mindset) dan cara bekerja birokrasi pemerintahan kita.

Karena itu, perubahan paradigma terus digaungkan, tidak terkecuali terkait hasil pemeriksaan/audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, hasil audit ini telah membawa dampak cukup substansial terhadap kehidupan birokrasi kita. Itu sebabnya beberapa fungsi lembaga tersebut, baik jenis maupun ruang lingkup auditnya, perlu dipahami dan disikapi dengan pemikiran kritis.

BPK berfungsi antara lain melakukan pemeriksaan keuangan yang menghasilkan opini atas laporan keuangan instansi publik (UU nomor 15 tahun 2004). Opini tertinggi, ‘wajar tanpa pengecualian (WTP)’, atas laporan keuangan instansi publik biasanya menjadi legitimasi bahwa suatu instansi publik telah akuntabel.

Pengendalian Intern

Di sisi lain, salah satu upaya pemerintah mewujudkan tata kelola yang baik adalah dengan menerapkan pengendalian intern di instansi publik. Di Indonesia, pengendalian ini telah dibakukan dengan sebuah sistem, yaitu Sistem Pengendalian Intern Pemerintah atau disingkat SPIP (Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008).

Implementasi SPIP ini diharapkan dapat memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Dalam perjalanannya, kualitas implementasi SPIP pada instansi publik belumlah menggembirakan. Kondisi ini dapat digambarkan dengan suatu tingkat maturitas (maturity level) atas kualitas penyelenggaraan SPIP. Instansi publik yang telah melaksanakan praktik pengendalian intern yang baik biasanya diindikasikan dengan tingkat maturitas ‘tiga’ atau ‘terdefinisi’.

Sampai dengan saat ini, instansi publik yang telah mencapai tingkat maturitas ‘terdefinisi’ barulah 9 kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Di sisi lain, tingkat maturitas kebanyakan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah masih di bawah level ‘terdefinisi’, yaitu masih pada tingkatan ‘belum ada’, ‘rintisan’, atau ‘berkembang’. Artinya, mayoritas kualitas penyelenggaraan SPIP di instansi publik pada dasarnya masih sangat buruk.

Paradoks WTP dan SPIP

Pada kenyataannya, tingkat maturitas SPIP itu sangat paradoks dengan realita opini WTP dari BPK. Tabel berikut menunjukkan bahwa jumlah instansi publik yang meraih opini WTP dari BPK semakin meningkat tajam dari tahun ke tahun.

Perbandingan Perolehan Opini WTP BPK

dan Kualitas Penyelenggaraan SPIP Instansi Publik

Sumber: Diolah dari publikasi BPK dan BPKP

 

Tabel itu jelas menunjukkan ketimpangan nyata pemberian opini WTP oleh BPK dan kualitas SPIP instansi publik. Karenanya, ada pihak yang menduga bahwa pemberian opini WTP oleh BPK selama ini dipengaruhi juga oleh pertimbangan politis dan bukan sekedar kenyataan lapangan. Sebab, jika kualitas SPIP belum baik, semestinya instansi publik yang mendapatkan opini WTP dari BPK tidaklah sebanyak saat ini.

Logikanya, mesti ada kaitan antara perolehan opini WTP dengan tingkat maturitas penyelenggaraan SPIP di instansi publik. Sebab, jika SPIP suatu instansi publik lemah, maka instansi tersebut rentan terhadap peluang korupsi. Buktinya, pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini terhadap beberapa pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Kementerian ini masih memiliki tingkat maturitas SPIP yang ‘berkembang’.

Karenanya, menjadi pertanyaan kritis: Apakah pemeriksa BPK selama ini tidak menjadikan indikator kualitas penyelenggaraan SPIP itu sebagai acuan ketika memberikan opini atas laporan keuangan instansi publik? Apakah BPK menggunakan kriteria tersendiri?

Perbedaan Pemahaman

Di sisi lain, beberapa pemerintah daerah mengalami euforia akibat perolehan opini WTP tersebut. Bahkan, mereka memberikan identifikasi secara sepihak dengan embel-embel ‘clear and clean’ ketika mendapatkan opini WTP. Dengan bangganya, para menteri juga kepala daerah yang mendapatkan opini WTP mengklaim embel-embel tersebut ketika berkomunikasi dengan konstituennya. Padahal, pada beberapa kesempatan, pimpinan BPK selalu menyatakan bahwa hal itu adalah pemahaman yang salah kaprah.

Munculnya pemahaman yang salah kaprah (gagal paham) itu dapat dimaklumi. Sebab, instansi publik yang diaudit beranggapan bahwa untuk memperoleh opini WTP tersebut idealnya mereka telah memenuhi kualitas penyelenggaraan SPIP yang sudah baik.

Sebab, kualitas penyelenggaraan SPIP mengindikasikan apakah instansi publik mempunyai sistem deteksi yang dapat mencegah peluang terjadinya pelanggaran terhadap aturan, dalam tingkat risiko yang dapat diterima. Ketika suatu instansi publik menyelenggarakan SPIP yang berkualitas, maka lingkungan ‘bebas dari korupsi’ lebih mudah diciptakan.

Selain instansi publik itu sendiri, tentu masyarakat umum pun akan memiliki asumsi yang sama. Harapan mereka, instansi publik yang telah mendapatkan opini WTP dari BPK mengindikasikan bahwa pengelolaan keuangan pada instansi tersebut telah dilaksanakan dengan sangat baik, bersih, dan bebas dari peluang kolusi dan korupsi.

Anehnya, menurut pimpinan BPK, pemeriksaan keuangan yang dilakukan lembaganya tidak dimaksudkan untuk menemukan kecurangan (fraud). Pemeriksaan keuangan mereka hanya memberikan opini atas laporan keuangan yang disajikan suatu instansi publik, utamanya terkait kesesuaiannya dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.

Padahal, walaupun audit atas laporan keuangan tidak dimaksudkan untuk menemukan kecurangan, idealnya audit atas laporan keuangan juga mampu mendeteksi ‘peluang’ terjadinya pelanggaran. Sebab, sebagaimana diulang oleh pimpinan BPK, mereka melihat ‘kecukupan pengendalian intern.’ Jika mereka mau mengacu kepada indikator penyelenggaran SPIP, mestinya sejak dini pemeriksa BPK telah mendapatkan informasi peluang terjadinya pelanggaran tersebut.

Penjelasan pimpinan BPK itu tentu sangat membingungkan instansi publik dan masyarakat umum. Sebab, BPK sendiri selain memasukkan kriteria kecukupan atas pengendalian intern dengan penjelasan rinci di atas, juga kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku dalam pemeriksaan laporan keuangan, yang sepertinya ‘menjamin’ bahwa pengelolaan keuangan pada instansi publik telah bebas dari peluang kolusi dan korupsi. Jadi, wajar saja jika instansi publik dan masyarakat pun memiliki ekspektasi yang tinggi dari opini WTP tersebut.

WTP sebagai Ultimate Outcome

Karena ekspektasi yang berlebih itu, terdapat kecenderungan instansi publik menganggap WTP sebagai ‘hasil akhir’ atau ‘the ultimate outcome’. Hal ini bisa kita lihat dari ditargetkannya opini WTP sebagai kinerja dalam hampir semua rencana stratejik instansi publik. Bahkan, pemerintahan Jokowi pun menetapkannya sebagai target nasional dalam RPJMN 2015 – 2019.

Kebijakan tersebut telah berimplikasi pada perubahan perilaku pejabat pengelola keuangan negara. Kini kita sering melihat di media para menteri/pimpinan lembaga atau kepala daerah yang senang tampil di depan kamera ketika menerima ‘piagam’ WTP dari BPK. Mereka juga bangga karena keberhasilan meraih ‘prestasi’ WTP itu mendapatkan reward dari Kementerian Keuangan berupa Dana Insentif Daerah (DID) yang bervariasi jumlah nominalnya.

Untuk tujuan itu, mereka cenderung menempuh segala cara, baik yang lurus maupun yang menyimpang. Cara yang tidak terpuji dan melawan hukum seperti penyuapan kepada pemeriksa BPK yang dilakukan oleh beberapa pejabat Kemendes PDTT hanyalah gunung es. Kejadian memalukan sekaligus memilukan in telah berulang kali terjadi. Sebelumnya juga pernah terjadi di Sulawesi Utara dengan nilai suap Rp1,6 miliar dan Bekasi dengan nilai suap Rp400 juta. Belum lagi jika kita catat di daerah lain yang kurang terungkap di media massa.

Persoalan Internal BPK

Tampaknya, BPK telah cukup ‘kewalahan’  mengawasi pemeriksanya agar selalu mau berbuat etis dan tidak melanggar hukum. Hal ini bertambah kompleks ketika persoalan laten terkait dipilihnya anggota BPK yang memiliki afiliasi dengan partai politik. Padahal, sebagaimana praktik di banyak negara, anggota ‘lembaga pemeriksa agung’ ini idealnya tidak memiliki afiliasi dengan partai politik manapun.

Adanya kepentingan politik jelas akan memengaruhi independensi dan objektivitas BPK dalam memberikan opini. Jika tidak ada perubahan kebijakan menyangkut keanggotaan BPK, kepercayaan (distrust) masyarakat kepada lembaga negara ini akan terus tergerus.

Jika BPK dianggap sudah tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya dalam memberikan opini, maka menjadi penting untuk menyelamatkannya. Terutama sekali, untuk meminimalkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan ‘jual-beli’ opini WTP di kemudian hari.

Beberapa Catatan atau Gugatan

Dari uraian sebelumnya, beberapa catatan atau gugatan ini bisa kita refleksikan:

Pertama, indikator kualitas penyelenggaraan SPIP tampaknya belum diacu oleh BPK. Mereka belum menjadikan indikator ini sebagai acuan penting.

Kedua, masih ada ekspektasi berlebih dari instansi publik dan masyarakat luas terhadap opini WTP. Bahkan, opini WTP telah menjadi ultimate outcome instansi publik. Kondisi ini juga dipertajam oleh BPK dengan ‘seremoni’ pemberian piagam BPK dan pemberian insentif oleh Kementerian Keuangan.

Ketiga, internal BPK mengalami hambatan dalam mengawasi perilaku pemeriksanya yang diperparah oleh afiliasi politik beberapa anggota BPK.

Beberapa catatan ini perlu didalami oleh kita semua untuk mengembalikan makna opini WTP pada tempatnya dan menegakkan kembali fungsi BPK yang independen.

 

*)   Penulis adalah pegawai di sebuah instansi yang berperan sebagai auditor intern pemerintah dan tinggal di Makassar.

 

-oOo-

Redaksi telah meminta tanggapan dari beberapa pemeriksa BPK sebelum artikel ini dipublikasi. Beberapa tanggapan yang diberikan adalah sebagai berikut :

  1. Seorang eselon 1 BPK menyatakan akan menyampaikan artikel ini ke Biro Hukum dan Humas BPK, namun sampai tenggat waktu, redaksi belum menerima tanggapan tersebut.
  2. Seorang pemeriksa BPK setingkat eselon 2 menyampaikan terima kasih atas artikel ini dan berharap bisa memberikan penyadaran bagi pemeriksa BPK.
  3. Seorang widyaiswara BPK menyatakan bahwa dalam teknik pemeriksaan keuangan, pengendalian intern adalah salah satu hal yang dievaluasi. Evaluasi tersebut digunakan dalam rangka menentukan risiko audit dan keputusan untuk memperluas/mengurangi pengujian substantif. Pemeriksa BPK memiliki kriteria tersendiri dalam mengevaluasi pengendalian intern sebuah instansi. Dengan demikian, meski SPIP lemah, dengan memperluas pengujian substantif (misal, hingga 100%), dan jika dari hasil pengujian tersebut laporan keuangan tetap dapat diyakini kewajarannya, maka pemeriksa bisa memberikan opini WTP.

 

Selain itu agar artikel lebih berimbang, redaksi juga meminta tangggapan dari Tim SPIP BPKP, berikut tanggapannya:

  1. Konsep penilaian maturitas SPIP adalah untuk menilai tingkat kematangan penerapan SPIP sebagai sebuah sistem di level entitas secara keseluruhan (entity wide). Di sisi lainnya, reviu pengendalian intern dalam rangka kegiatan audit dimaksudkan untuk memperluas atau memperdalam pengujian substantif.
  2. SPIP yang dibangun khusus dengan maksud penyampaian laporan keuangan bisa jadi berbeda dengan tingkat maturitas SPIP untuk entitas.
  3. Pemeriksa (BPK) dapat menggunakan informasi hasil penilaian maturitas untuk menentukan risiko audit yang dapat diterima (audit acceptance risk) dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan.
  4. Jika SPIP di suatu entitas tidak hanya dibangun untuk tujuan administrasi, dan tingkat maturitasnya di atas level 3 (dimana sistem pengendalian selalu dievaluasi mengacu pada kebutuhan organisasi), maka capaian opini WTP lebih mudah diraih bahkan dapat menjadi standar minimum atas akuntabilitas keuangan pemerintahan.

 

Redaksi tidak menuliskan identitas pemberi tanggapan untuk menjaga kerahasiaan pemberi tanggapan.

0
0