Bagaimana Islam Mendorong Critical Thinking?

Bagaimana Islam Mendorong Critical Thinking?

Ternyata bersikap kritis itu ada dalilnya dalam Al Qur’an. Beberapa bulan lalu saya sempat mendapati kutipan yang sangat menarik dari sebuah jurnal terkait manajemen kinerja. Jurnal itu ditulis oleh Bernard Marr, expert dari Italia. Dalam artikelnya yang berjudul Key Performance Questions, Bernard mengawali tulisannya dengan kutipan yang sangat memikat:

The French philosopher Voltaire once advised to “judge of a man by his questions rather than by his answers‟. Artinya, kalau anda ingin menilai seseorang, lihatlah bagaimana ia menanyakan sesuatu, bukan dari jawaban-jawabannya. Kutipan yang sangat mempesona, bukan?

Pada intinya, dalam artikel tersebut Bernard menekankan perlunya membangun organisasi yang mendorong sikap kritis dengan bertanya dan mempertanyakan. Dalam kaitannya dengan pengukuran kinerja, ia menyatakan bahwa: yang terpenting bukan indikator kinerja kunci, atau key performance indicators, tapi justru key performance questions. Pertanyaan-pertanyaan terkait kinerja inilah yang justru lebih penting untuk digali sebelum akhirnya berujung pada formulasi alat ukur apa yang akan dipakai.

Pada bagian lain dalam artikel tersebut, Bernard Marr juga mengutip pendapat Michael Marquardt, professor dari George Washington University States yang menyatakan bahwa organisasi yang tidak menumbuhkan iklim bertanya biasanya didera penyakit rendahnya moral/etika anggota organisasi, lemahnya teamwork, serta lemahnya kepemimpinan. Seiring berjalannya waktu, organisasi semacam ini lambat laun akan menjelma menjadi fosil hingga akhirnya akan mati perlahan-lahan. Bernard Marr juga mengutip pendapat Profesor Sydney Finkelstein yang juga sependapat dengan pernyataan Marquardt, bahwa organisasi yang tidak mampu menumbuhkan budaya bertanya diibaratkan dengan “zombie company”.

Artikel Bernard Marr tersebut mengingatkan saya pada salah satu khutbah Nouman Ali Khan yang berjudul ‘Ask with Humility’, beberapa bulan sebelumnya. Di awal khutbah, Nouman mengutip QS Yusuf ayat 7 yang berarti: Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. Ya,…”bagi orang-orang yang bertanya”.

Dalam banyak hal Allah SWT sering memberikan penghargaan bagi orang yang bertakwa, orang selalu beramal salih, atau orang-orang selalu berdzikir untuk mengingat-Nya. Surat Yusuf ayat 7, Allah SWT memberikan penghargaan bukan bagi orang-orang yang sering disebut-Nya. Tapi, bagi orang-orang yang bertanya.

Kalau Anda perhatikan, dalam Alqur’an juga  banyak kita dapati ayat-ayat dalam bentuk pertanyaan. Dalam khotbah tersebut, Nouman mengutip QS Al Baqarah 219. Ketika Allah SWT hendak menjelaskan tentang alasan pelarangan khamr dan judi, Allah tidak langsung menjelaskan alasannya. Coba kita cermati ayatnya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

Lihatlah, ayat tersebut menyatakan: “mereka bertanya kepadamu”. Jika ditelusur ayat-ayat sebelum dan sesudahnya ternyata juga memakai kalimat yang senada.

Di ayat berikutnya juga sama, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berfikir, tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, “mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan….”

Dalam tafsir ibnu katsir dinyatakan bahwa ketika turunnya ayat tentang pengharaman khamr Umar berkata, “Ya Allah, berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.” Jadi, ada proses bertanya sebelum akhirnya Allah memberikan jawaban atas penyebab diharamkannya khamr.

Nouman Ali Khan menyatakan bahwa dalam memahami Islam kita perlu bersikap kritis, bertanya dan mencari jawaban sehingga kita merasa yakin akan apa yang kita yakini dan kita jalankan. Demikian halnya ketika para sahabat bertanya tentang sesuatu hal kepada Rasulullh, Allah SWT tidak melarang, tidak mencela dan tidak mengkritik perbuatan tersebut. Justru didorong dengan mengabadikan proses bertanya tersebut dalam ayat Al Qur’an.

Sebagaimana dalam tulisan sebelumnya tentang kisah Nabi Musa (lihat link: https://anasejati.wordpress.com/2016/12/16/belajar-dari-kisah-pertemuan-nabi-musa-dengan-allah-swt/), setiap ayat dalam Al Qur’an memiliki maksud atau tujuan, bahkan dalam hal penempatan “Hai, Musa” di depan atau di akhir kalimat. Demikian halnya dengan ayat-ayat yang menyatakan pertanyaan. Dalam hal ini Nouman mengatakan:  every word in the quran is divinely revealed a strategic, it has a purpose, nothing is extra, nothing can be taken away, nothing can be added on. So everything is exactly in the amount and in the qadr that it is supposed to be. Setiap kata dalam Al Qur’an memiliki tujuan, tidak ada kata yang lebih, tidak yang kurang, tidak ada yang terlewat, atau ada yang tidak perlu penambahan kata. Ayat-ayat tersebut sangat sempurna dari sisi penggunaan kata-katanya. Pas, tepat, dan sempurna.

Dalam hal pengharaman khamr, mengapa Allah tidak secara langsung menjelaskan alasan pelarangan khamr? Mengapa Allah perlu menyatakan dalam Al Quran fakta bahwa “mereka menanyakan kepadamu (Muhammad)”? Nouman Ali Khan mengatakan bahwa hal ini menunjukkan betapa Allah mengakui serta menghargai orang-orang yang datang kepada Rasulullah dan bertanya. Hal ini juga hendak menyatakan bahwa dalam Islam pertanyaan adalah sesuatu yang sangat dihargai. Dalam hal ini Nouman Ali Khan mengatakan bahwa “questions are actually a noble thing in this religion”.

Kisah penciptaan manusia pun ternyata juga memperlihatkan penghargaan Allah terhadap malaikat yang mempertanyakan alasan penciptaan. Hal ini tercatat dalam QS Al Baqarah 30:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Sebagaimana diketahui bahwa malaikat adalah makhluk yang selalu taat kepada Allah dan melaksanakan segala yang diperintahkan. Mengapa dalam ayat di atas Allah memandang perlu menceritakan kisah penciptaan Manusia dengan menyertakan pertanyaan malaikat?

Senada dengan Nouman Ali Khan, Tariq Ramadhan dalam video yang berjudul the importance of critical thinking for muslim societies both in the west and east juga menyatakan hal yang senada. Dalam video tersebut Tariq Ramadan mengutip kisah Hubab bin Mundhir, sahabat yang memiliki kecerdasan dalam strategi perang. Kisah lengkap silakan dilihat di https://blogkisahislami.wordpress.com/2010/10/04/rasulullah-saw-mendengar-usul-sahabatnya/.

Suatu ketika sebelum perang Badar, Rasulullah dan pasukannya hendak membuat base camp sebagai benterng pertahanan dan membuat dapur umum. Setelah mendekati mata air Rasulullah SAW berhenti. Hubab bin Mundhir pun bertanya ““Ya Rasulullah apa pendapat anda berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu dari Allah kita takkan maju atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat anda sendiri sebagai suatu taktik perang belaka?” Rasulullah pun menjawab: “yang saya lakukan sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang,” jawab Rasulullah. Hubab bin Mundhir r.a  berkata lagi “Ya Rasulullah kalau begitu tidak tepat kita berhenti di tempat ini.

Dalam kisah Hubab tersebut terlihat bagaimana sahabat mempertanyakan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Hubab menanyakan apakah strategi yang diambil Rasulullah merupakan ketetapan dari Allah, ataukah pendapat pribadi Rasulullah. Jika ketetapan dari Allah SAW maka sebagaimana pernyataan Hubab: takkan maju atau mundur. Sebaliknya, jika strategi tersebut datangnya dari Rasulullah, maka alangkah baiknya jika strategi tersebut dirubah.

Dari kisah tersebut Tariq Ramadan menarik tiga hal: Source atau sumber, understanding atau pemahaman, dan terakhir question atau pertanyaan. Terkait dengan sumber, kita harus bisa membedakan, apakah suatu pernyataan itu datang dari Allah, atau sekedar pendapat seseorang? Jika itu wahyu dari Allah maka wajib ditaati. Sebaliknya jika hal tersebut datang dari manusia maka pernyataan seseorang tersebut dapat dipertanyakan. Dalam hal ini Tariq mengatakan “we cannot idealize the past and sacralised human opinions”.

Satu hal yang menarik terkait hubungan antara bertanya dan tingkat keimanan, Tariq  Ramadan mengatakan “It is not because I am questioning that I have less faith than you. The quality of your faith does not depend and the fact that you accept without questioning. In fact deep questions could help us to have deep faith. There is no contradiction between questioning and believing”.

Keimanan yang mendalam justru bisa diperoleh dari serangkaian pertanyaan yang mendalam yang pada akhirnya justru dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap kebenaran. Bukan sekedar menerima tanpa mempertanyakan.

Kembali pada tulisan Bernard Marr tentang pentingnya merumuskan suatu Key Performance Questions (KPQ), ia memberikan contoh bagaimana kekuatan KPQ sebagai kunci keberhasilan Google. Sang CEO, Eric Scmidt menyatakan:

“We run the company by questions, not by answers. So in the strategy process we’ve so far formulated 30 questions that we have to answer […] You ask it as a question, rather than a pithy answer, and that stimulates conversation. Out of the conversation comes innovation. Innovation is not something that I just wake up one day and say ‘I want to innovate.’ I think you get a better innovative culture if you ask it as a question.”

Jadi?

 

0
0
Fraud Di Sektor Publik dan Integritas Nasional

Fraud Di Sektor Publik dan Integritas Nasional

Penulis: ARDENO KURNIAWAN*

Halaman : 294

Penerbit: BPFE Yogyakarta

Fraud yang terjadi di sektor swasta dan lembaga pemerintahan telah menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat. Sejarah fraud atau kecurangan diawali sejak manusia ada di dunia. Putra Nabi Adam a.s., Qabil, adalah individu pertama yang melakukan fraud, ketika dia dengan sengaja hendak berlaku curang kepada Tuhan dengan cara memberikan persembahan yang buruk. Peradaban Yunani kuno mengenal fraud melalui tulisan Aristoteles yang melaporkan praktek fraud. Dalam mitologi Yunani itu sendiri, fraud merupakan salah satu isi dari “Pandora Box”.

Fraud yang terjadi di sektor publik seperti penyuapan, penyalahgunaan kewenangan, penggelapan aset negara, pemerasan hingga memperdagangkan pengaruh (trading influence) merupakan tindakan kriminal yang bersifat luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam kasus korupsi yang terjadi dalam berbagai bentuk di sektor pemerintah telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar dan benar-benar merugikan masyarakat.

Situasi ini telah menunjukkan bahwa korupsi memang harus dianggap sebagai kejahatan yang sangat berbahaya. Dengan demikian, diperlukan sistem-sistem tertentu agar dapat memberantas korupsi. Sistem-sistem inilah yang menjadi pembahasan dalam buku ini.

Sebelumnya, perlu diketahui alasan-alasan dan faktor apa saja yang menyebabkan seseorang melakukan fraud atau korupsi. Dalam Bab 2 buku ini, terdapat banyak teori yang mendorong seseorang untuk melakukan fraud atau korupsi. Selain itu, perlu diketahui seperti apa psikologi seseorang yang menyebabkan dirinya melakukan fraud.

Buku ini membahas beberapa teori dalam bidang psikologi dan kriminalitas, berbagai macam tipologi individu serta alur pikir pelaku fraud. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran yang lengkap mengenai mengapa seseorang melakukan fraud, dari aspek psikologi.

Bab 2 dari buku ini juga membahas mengenai behavioral symptoms of fraud, yaitu perilaku-perilaku para pelaku fraud yang dapat diobservasi. Perilaku tersebut dapat berupa tanda-tanda verbal, tanda-tanda paralinguistik maupun tanda-tanda non verbal. Harus diketahui bahwa salah satu sifat dasar manusia adalah menghindari kecemasan. Untuk menghilangkan kecemasan yang ada, maka pelaku fraud akan melakukan berbagai macam tanda-tanda perilaku tertentu. Dengan memahami tanda-tanda ini dengan baik, maka investigator dapat melakukan pemeriksaan dengan lebih efektif dan efisien.

Good governance. Istilah ini sering didengar dan digaung-gaungkan dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien dan bebas dari korupsi. Untuk mewujudkan good governance, maka diperlukan implementasi konsep reinventing government, atau yang di Indonesia dikenal dengan nama reformasi birokrasi.

Reformasi pada dasarnya adalah sebuah gerakan untuk mengubah cara kerja dan perilaku di dalam sebuah organisasi karena cara kerja tersebut tidak lagi efektif dan penuh dengan penyimpangan. Tujuan utama reformasi birokrasi adalah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, akuntabel dan bebas dari praktek korupsi serta menghasilkan aparatur negara yang profesional, produktif dan memiliki kinerja yang baik.

Melalui reformasi birokrasi maka akan tercipta aparatur negara yang memiliki profesionalisme tinggi dan tidak menyalahgunakan kewenangannya. Apabila unsur-unsur reformasi birokrasi dapat diterapkan dengan baik di seluruh lembaga dan instansi pemerintah maka tingkat korupsi di sektor publik akan dapat ditekan dan dihilangkan.

Integritas. Inilah kunci utama untuk memberantas korupsi. Karakter integritas pada dasarnya meliputi keberanian, pengendalian diri, kejujuran dan bijaksana. Karakter-karakter inilah yang harus dimiliki agar seseorang dapat bebas dari korupsi. Tanpa adanya integritas dalam diri seseorang, hampir mustahil korupsi dapat diberantas.

Sesempurna apapun sebuah sistem akan menjadi sistem yang korup apabila dijalankan oleh orang-orang yang korup dan tidak berintegritas. Oleh karena itu, aspek integritas dalam organisasi sektor publik harus menjadi perhatian utama sehingga dapat menghasilkan organisasi sektor publik yang bebas dari praktek korupsi.

Buku ini membahas mengenai dua sistem utama berkaitan dengan bagaimana menegakkan integritas di lembaga pemerintah. Sistem yang pertama adalah Sistem Integritas Nasional yaitu sebuah sistem yang melibatkan seluruh lembaga-lembaga negara  dalam sebuah jejaring yang dinamis dan saling menguatkan agar dapat tercipta kerja sama antara lembaga-lembaga negara tersebut dalam upaya pemberantasan korupsi.

Sistem yang kedua adalah Zona Integritas yang merupakan perwujudan komitmen sebuah lembaga dan instansi pemerintah untuk mencegah korupsi. Sebagai lampiran buku ini, dicantumkan Kertas Kerja Evaluasi Zona Integritas, dokumen-dokumen yang diperlukan dalam mewujudkan Zona Integritas dan cara menghitung dan menjawab masing-masing sub indikator Zona Integritas.

 

0
0
Islam dan Barat: Oposisi Biner?

Islam dan Barat: Oposisi Biner?

Lintasan sejarah seringkali menjadi penting untuk memahami bagaimana sebuah tradisi dalam masyarakat bermula, agar kita menjadi masyarakat yang mampu meneruskan tradisi yang sudah baik tersebut. Pun dalam toleransi beragama, terkadang masyarakat kompleks saat ini dengan rezim kepentingannya cenderung melupakan tradisi yang akhirnya dapat berujung pada konflik identitas.

Tulisan berikut ini bukan hanya mengajak kita menengok bagaimana tradisi toleransi dulu bermula, namun juga mengajak kita untuk kembali merenungkan bahwa Islam dan Barat tidak selalu dihadapkan pada dua titik yang selalu berseberangan. Selalu ada ruang antara diantara keduanya  untuk sebuah peradaban yang lebih cair dan punya makna.

—-

Pada Hari Senin, 24 April 2017 kemarin, umat Islam merayakan Isra’ Mi’raj. Hari besar ini seringkali kita maknai sebagai sarana mengingatkan umat Muslim tentang sejarah turunnya perintah shalat lima waktu.

Namun bukan hikmah dari perjalanan Isra’ Mi’raj yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Saya akan mengulas bagaimana kisah Isra’ Mi’raj menjadi salah satu bukti bagaimana budaya Timur dan Barat di jaman Abad Pertengahan berkelindan secara dinamis dan saling memengaruhi.

Apabila Anda menelusuri sejarah peradaban Islam, akan diketahui betapa besar pengaruh Islam terhadap dunia Barat, dan begitu juga sebaliknya. Tercatat tiga tempat yang menjadi jembatan hubungan ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan agama antara Timur dan Barat, yakni Syria (Suriah), Spanyol (Andalusia), dan Sicilia. Syria (Suriah) dan Spanyol (Andalusia) merupakan tempat berinteraksinya peradaban Barat dan Islam, sedangkan Sicilia sempat menjadi kota Muslim di jaman kekhalifahan Fatimah sekitar tahun 948, dimana sedikitnya 3.000 mesjid berdiri di kota ini.

Peradaban Barat seringkali menjadi panutan dan tolok ukur dalam menilai berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia sastra. Namun tak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya peradaban Islam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sastra Barat. Salah satunya adalah pengaruh kisah Isra’ Mi’raj terhadap The Divine Comedy karya Dante.

Dante (1256-1321) adalah seorang penyair Italia dari abad ke-13. Dalam karyanya yang menjadi tonggak sastra Barat kanon (sastra yang sudah mapan dan menjadi tolok ukur kualitas sebuah tulisan), yakni  The Divine Comedy  (terdiri dari Inferno, Purgatorio, dan Paradiso), Dante mengisahkan tentang perjalanan imajiner dirinya melewati neraka, alam barzakh (purgatory), dan surga. Dengan ditemani oleh Virgil, penyair jaman Romawi, sebagai pembimbingnya, Dante bertemu dengan berbagai tokoh terkenal di dunia pada masa-masa sebelumnya. Di Inferno (Canto XXVIII.28-36), di neraka lapis bawah, Dante bertemu dengan Muhammad yang digambarkan sedang meratapi penderitaan karena siksaan yang diterimanya.

Muhammad dan Ali ditempatkan bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain yang menurut Dante memikul dosa sebagai pemecah belah masyarakat. Gambaran siksaan kepada Muhammad bisa dikatakan amat kejam dan mengerikan. Dengan tubuh yang terbelah menjadi dua, lalu utuh kembali, dan terbelah lagi, dan seterusnya,  Muhammad dianggap pantas menerima hukuman atas dosanya menjadi pemecah belah dunia dengan mendirikan agama baru. Kemungkinan besar Dante juga mengetahui sejarah Islam tentang pecahnya umat Islam menjadi Sunni dan Syiah, karena dia juga menempatkan Ali di lingkar yang sama. Dengan menghukum dua figur Islam yang paling berpengaruh di neraka lapis bawah, Dante telah menunjukkan kebenciannya terhadap Islam.

Namun sebenarnya Dante sedikit banyak menunjukkan simpatinya kepada Islam, khususnya dalam bidang filsafat dan kenegaraan. Di karya yang sama, Inferno, Dante menyebut tiga tokoh yang berpengaruh dari dunia Islam. Dalam catatan sejarah Islam, ketiga tokoh Muslim ini adalah Avicenna (Ibn Sina), filsuf dan ilmuwan dari Baghdad di abad ke-9 yang karya-karyanya menjadi acuan ilmu kedokteran di Timur dan Barat selama berabad-abad lamanya, Averroes (Ibn Rushd), filsuf Andalusia/Spanyol Muslim di abad ke-11 yang lebih dikenal di Barat sebagai komentator Aristoteles, dan Sultan Saladin dari Mesir yang berhasil merebut Jerusalem dari tangan penguasa Kristen. Ketiga tokoh ini ditempatkan di Limbo, tempat orang-orang baik dikumpulkan tetapi tidak ditempatkan di surga karena mereka tidak dibaptis. Dengan menempatkan ketiga tokoh ini di Limbo, berarti Dante membuka kesempatan bagi mereka untuk memperoleh keselamatan (salvation).

Bagaimana kita sebagai masyarakat yang literat menyikapi karya sastra kanon seperti ini? The Divine Comedy  bisa saja dianggap sebagai karya kanon dalam artian bahwa karya ini digunakan di pendidikan Barat dalam pembelajaran Sastra. Meskipun begitu, karya yang sama bisa saja dianggap bukan kanon dalam hal sentimen agama yang disampaikan. Pandangan agama Dante cenderung menguatkan hegemoni budaya Barat, dan sah-sah saja dijadikan bahan kritik Kajian Budaya atau Poskolonial karena mengamini oposisi biner Islam/Barat.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sepak terjang Dante juga menunjukkan sikap yang ambivalen–benci dan simpati–terhadap Islam. Dante memberi penghargaan tinggi kepada dua filsuf Muslim (Avicenna dan Averroes) yang juga adalah pakar ilmu Al-Qur’an. Dante juga menaruh hormat tinggi kepada Sultan Saladin, seorang negarawan yang menjadi simbol jihad melawan penguasa agama yang dianut Dante. Bukankah lebih masuk akal bila Dante memasukkan Saladin ke neraka? Bila kita telusuri sejarah perkembangan Islam pada masa itu, Saladin ternyata banyak disebut sebagai tauladan seorang ksatria dan negarawan sejati, yang memperlakukan musuhnya dengan cara-cara yang baik dan manusiawi. Ini sangat jauh berbeda dengan perlakuan para tentara Kristen yang secara membabi buta membunuh orang-orang tidak berdosa, terutama di Perang Salib ke-1.

Banyak sumber yang menyatakan bahwa Avicenna dan Averroes berupaya untuk menghadirkan harmoni antara filsafat Aristoteles dengan hikmah dalam Qur’an. Misalnya saja, Averroes berpandangan bahwa ayat-ayat di dalam Qur’an, bila ditafsirkan dengan tepat dan menggunakan akal, maka dapat digandengkan dengan filsafat. Filsafat agama seperti ini besar pengaruhnya terhadap munculnya Christian Scholasticism.

Averroes banyak memberikan pengaruh kepada perkembangan pemikiran di Barat pada abad ke-13. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sehingga filsafat Aristoteles lebih mudah dipahami di dunia Barat. Dante sendiri bahkan dituduh sebagai pengikut Averroes dan dikucilkan dari kota kelahirannya, dan karya-karyanya dibakar oleh penguasa. Pandangan ini bisa menjadi penjelasan mengapa Dante menolak Islam sebagai sebuah keyakinan beragama (sebagaimana tercermin dalam gambarannya tentang Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali), namun mengagumi Islam sebagai sebuah filsafat.

Pengaruh Islam yang lebih mengejutkan lagi, terutama bagi dunia Barat adalah kritik terhadap keaslian The Divine Comedy. Karya besar yang menjadi bacaan “wajib” bagi mereka yang menekuni Sastra Barat di dunia Barat, ternyata banyak sekali kesamaannya dengan kisah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Adalah Miguel Asin Palacios, seorang pastur dari Spanyol, yang telah menghabiskan sekitar dua puluh lima tahun untuk menelusuri sumber-sumber yang memberikan inspirasi bagi Dante. Palacios menyatakan bahwa Dante mengambil kisah Isra’ Mi’raj dan berbagai tulisan dari dunia Islam. Dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Islam and The Divine Comedy  (1919), Palacios memberikan begitu banyak detil kesamaan dalam membandingkan keduanya, sehingga hampir mustahil kesamaan-kesamaan itu hanyalah kebetulan saja.

Penelitian Palacios patut diakui kebenarannya. Apabila kita betul-betul menelusuri episode-episode dalam The Divine Comedy  yang menggambarkan neraka, alam barzakh, dan surga. Kita bisa menemukan begitu banyak kemiripan dengan gambaran neraka dan siksaan-siksaan terhadap berbagai macam dosa di setiap lapis neraka, maka sebagaimana tertulis di Al-Qur’an dan Hadith. Ambil saja sedikit contoh: Baik kisah Isra’ Mi’raj (Sahih Bukhari, Kitab 23, no. 468) maupun The Inferno (Canto XII.46-8) menggambarkan siksaan yang sama kepada orang yang meribakan uang. Mereka ditenggelamkan ke dalam sungai darah, dan dilempari batu yang kemudian mereka telan.

Kemiripan yang patut disebut juga adalah bentuk siksaan yang terus menerus, misalnya kondisi fisik yang pulih dan utuh kembali untuk kemudian disiksa lagi. Dante memberikan gambaran di hampir seluruh bagian di Inferno. Sementara itu, umat Muslim sudah akrab dengan gambaran seperti ini, sebagaimana yang tersebut di Al-Qur’an  (QS An-Nisa: 56: Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).

Mungkinkah seorang Dante membaca Al-Qur’an dan/atau hadist secara langsung sebagai sumber inspirasinya? Isu tentang keaslian The Divine Comedy  ini cukup kontroversial. Untuk memberi jawaban yang singkat, penjelasan yang sementara ini dianggap paling memungkinkan adalah bahwa Dante terinspirasi oleh karya seorang Sufi dari Andalusia pada abad ke-13, Muhyiddin Ibn ‘Arabi. KaryanyaFutuhat Al Makkiyah, adalah kisah perjalanan mistis Ibn ‘Arabi, yang ditulis dengan menggunakan kisah Isra’ Mir’aj sebagai dasar.

Ada pula banyak bukti bahwa pada masa hidup Dante, kisah Isra’ Mi’raj dalam versi bahasa Latin cukup dikenal. Mentor Dante, Brunetto Latini, pernah bekerja untuk Raja Alfonso X di Toledo, Spanyol. Alfonso X memerintahkan penterjemahan banyak karya bahasa Arab ke bahasa Latin, dan salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’raj. Kita bisa berspekulasi bahwa Dante juga mendapatkan sumber-sumber ini dari gurunya.

Apakah pesan penting dari uraian saya di atas? Melalui tulisan ini, saya berharap agar kita semua umat manusia untuk belajar menerima perbedaan tanpa harus kehilangan keyakinan beragama kita masing-masing.

Kita semua sadar bahwa ketidaktahuan masyarakat awam non-Muslim tentang Islam adalah akar dari Islamophobia. Sama halnya umat Muslim yang awam tentang keyakinan lain bisa menjadi ladang subur tumbuhnya kebencian. Kita bertetangga dengan berbagai pemeluk agama, namun tahukah kita, atau pernahkah kita saling bertanya dengan tulus tentang makna peringatan hari raya agama lain?

Kita diharapkan untuk menunjukkan toleransi terhadap agama lain, namun apalah artinya toleransi bila tidak disertai dengan keterbukaan terhadap adanya perbedaan? Di jaman yang bersifat multikulturalis ini, perbedaan bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan demi sebuah keseragaman, karena pada dasarnya perbedaan membuat kita semakin kaya, tanpa harus kehilangan identitas agama dan budaya masing-masing.

Sudah banyak yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara Islam dan Barat, namun jalan yang harus ditempuh masihlah sangat panjang. Benturan peradaban masih campur aduk dengan konflik agama. Barangkali tak perlu diperdebatkan mana yang ayam, mana yang telur. Kita benar-benar membutuhkan upaya yang keras dan terus menerus untuk membuka mata dunia bahwa batas-batas dan dikotomi Timur/Barat, Superior/Subordinat, dan Modern/Tradisional sebenarnya hanyalah garis maya.

Satu-satunya cara untuk membangun kesepahaman adalah dengan mengupayakan keterbukaan terhadap satu sama lain dan kesungguhan untuk menghargai tradisi masing-masing. Bukankah Allah telah menciptakan dunia ini penuh dengan perbedaan agar manusia bisa mengenal satu sama lain. Allah berfirman dalam QS Al-Hujuraat ayat 13:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

 

*)  Tulisan ini disarikan secara singkat dari tesis MA saya berjudul The Representation of Islam in Medieval Literature (2004). Versi singkat dalam bahasa Indonesianya pernah saya sajikan dalam Pidato Ilmiah Lustrum ke-8 Unesa pada akhir tahun 2004.

1
0
Menulis Itu…

Menulis Itu…

Tak terasa, sembilan tahun perjalanan waktu saya dalam dunia literasi. Dunia membaca dan menulis yang menggerakkan saya untuk terus berbagi pengalaman melalui buku.

Perjalanan menjadi seorang penulis buku tidaklah mudah. Banyak hal yang perlu saya damaikan dalam diri sendiri.

Menulis perlu menurunkan ego agar sebuah buku dapat rampung. Saat buku telah selesai ditulis pun saya perlu membaca dan membacanya lagi. Baru kemudian saya terbitkan.

Kini setelah sembilan tahun, saya beberapa kali menengok sebuah kamar di rumah yang menjejer beberapa karya saya. Ada rasa bangga dan haru terbersit di hati; banyak hal yang belum sesuai harapan. Namun, niat dan langkah untuk memulai paling tidak sudah ada.

Melalui tulisan ini saya ingin bercerita tentang proses menulis yang saya jalani selama sembilan tahun terakhir. Saya bersyukur hidup ditemani banyak teman, di banyak tempat. Dengan ketulusan mereka memotivasi dan memberi apresiasi atas kerja kecil ini. Merekalah yang selama ini membantu saya dalam membangun sebuah harapan. Harapan untuk terus berbagi cerita dan pengalaman melalui menulis.

Menulislah yang terus menguatkan perjalanan hidup saya. Saya jadi ingat sebuah pepatah lama, “Jika engkau ingin mengetahui dunia, membacalah. Jika dunia ingin mengenalmu, menulislah”.

Pepatah itu seakan menghujam dalam diri saya dan terus memotivasi saya untuk terus menulis. Di banyak kesempatan tulisan (buku) telah menjadi tali pengikat emosional (kekeluargaan). Setiap saya membagi buku di acara Bimbingan Teknis SOP yang dilaksanakan oleh Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah, banyak peserta yang kemudian memberikan komentar dan apresiasi. Mereka dengan berbagai latar belakang telah menjadi bagian dari proses kreatif ini. Mereka seringkali mengirimkan testimoni terkait buku yang saya terbitkan. Sebuah rasa yang tak dapat diuangkan.

Untuk itu, saya selalu meluangkan waktu untuk mencatat beberapa hal di dalam handphone dan kertas kecil. Kadang saya tulis lagi sendiri dalam laptop, seringkali saya meminta teman untuk menuliskannya kembali. Inilah yang saya sebut di awal, saya beruntung mempunyai banyak teman yang senantisa bersedia membantu.

Betapa indahnya hidup. Hidup dengan banyak teman dan bersanding dengan buku yang menginspirasi. Namun, seringkali kita kurang mampu bersyukur dalam memaknai hidup. Kita jarang melihat sisi-sisi baik dan indah dari kehidupan. Kita selalu menyalahkan diri sendiri dan kehidupan itu saat terlanda kegundahan dan kesulitan. Walaupun seringkali kita mau jujur, hidup ini lebih banyak senang, riang, dan gembira, dibandingkan dengan sedih, susah, dan gundah. Life is beautiful. Hidup ini indah dan menyenangkan.

Maka tataplah hari dengan penuh bahagia. Hari dan kehidupan akan menjadi indah saat kita mampu berpikir positif terhadap apa yang terjadi. Pikiran positif inilah yang akan menjadikan kita “terhormat”. Terhormat di hadapan manusia dan Tuhan Sang Pencipta.

Biarlah kenangan pahit, luka hati, pergi dari diri kita. Tak perlu membenci diri sendiri. Jika hal itu terjadi lebih baik Anda tumpahkan lewat tulisan. Karena menulis adalah sarana meluapkan emosi yang baik.

Menulis itu pun tidak untuk menggurui orang lain. Menulis adalah untuk menggurui kita sendiri. Mengingatkan kita di saat banyak peristiwa yang tak sesuai harapan; memantik kita untuk segera bangkit di kala “lelah”; dan terus berbuat kebaikan untuk meraih kehidupan yang baik.

Catatan-catatan kecil itulah yang suatu saat akan menjadi sebuah buku. Saat kita dapat menulis satu hari satu halaman, maka dalam tiga bulan kita sudah mempunyai satu naskah buku siap terbit. Mudah bukan? Kita tidak perlu harus menulis di depan computer selama dua minggu utuh. Cukup membiasakan diri menulis satu halaman terkait peristiwa yang menyapa setiap saat.

Menulis itu bukanlah perkara sulit. Merangkai kejadian melalui kata akan meningkatkan kualitas diri dan bangsa. Bangsa Indonesia akan dapat mengejar ketertinggalan dalam hal literasi. Kejar ketertinggalan, waktu terbatas dan kesempatan terbuka lebar. Selamat menulis.

 

 

0
0
Mengapa Menulis

Mengapa Menulis

“Wuih…rajin banget..”

Entah sudah berapa orang yang berkomentar melihat catatan rapat hari itu. Termasuk komplit. Bahkan sangat komplit. Bahkan ucapan yang mungkin kurang relevan pun ada dalam catatan saya.

Bukan tanpa alasan kalau saya memutuskan untuk mencatat semua ucapan kepala bidang saya, termasuk tanya jawab juga saya catat. Mungkin hanya beberapa yang mempercayai alasan saya ini. Tapi begitulah adanya.

Saya termasuk orang yang mudah sekali mengantuk saat di kelas. Sangat-sangat mudah. Kebiasaan saya ini sangat dihafal oleh rekan-rekan kuliah atau mereka yang pernah sekelas sewaktu diklat. Mata saya biasanya terbuka lebar lima menit pertama masuk dan lima menit sebelum kelas usai. Suara dosen ibarat dongeng yang mengantarkan saya ke alam mimpi.

Di sisi lain, saya tak pernah rela jika ada peserta diklat yang saya ajar mengantuk. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membangunkannya, diantaranya dengam menanyakan beberapa pertanyaan. Nggak adil ya?

Aktifitas mencatat ucapan dosen atau narasumber dalam seminar, workshop, diklat, atau rapat baru saya mulai sejak awal tahun 2008. Meski di pagi hari sudah menikmati secangkir kopi, rasa kantuk tak juga bisa saya usir.  Aktifitas ini cukup menyelamatkan saya dari rasa malu akibat ketahuan mengantuk di kelas.

Aktivitas catat mencatat ini sebenarnya terinspirasi dari teman sekelas saat mengambil program master delapan tahun silam. Waktu itu saya sangat heran mengapa teman-teman saya begitu rajin mencatat. Tak hanya satu orang. Tapi cukup banyak. Setiap kali saya menoleh ke kiri kanan melihat depan atau sekilas berbalik ke belakang mereka terlihat mencatat. Salah satu rekan dari Indonesia juga sempat berkomentar, orang-orang di sini rajin banget mencatat. Semua ucapan dosen dicatat.

Waktu itu saya belum tergerak untuk meniru. Cukuplah slide-slide dosen dan beberapa catatan penting saja. Apalagi, ada rekaman kuliahnya. Kalaupun ada yang kurang jelas bisalah didengarkan kembali rekamannya.

Pentingya mencatat baru saya sadari saat ujian tiba. Tepatnya sehari sebelum ujian. Ternyata slide-slide dan beberapa catatan kecil saya tidak cukup membantu mengangkap kembali apa yang telah disampaikan dosen. Alternatifnya, saya harus mengulang membaca artikel-artikel untuk mendapatkan pemahaman yang utuh. Atau, kembali ke rekaman. Sayangnya, kedua aktivitas ini memakan waktu. Yang jelas tidak cukuplah waktu sehari. Ya, andai saya mencatat, tentu tidak seperti itu. Cukup membuka catatan tidak lebih dari dua jam untuk memahami.

Setelah itu barulah tergerak untuk mencatat. Di saat yang sama baru saya sadari bahwa mencatat juga menjauhkan saya dari rasa kantuk. Hingga saat ini akitivitas tersebut masih saya jalankan.

Beberapa tahun lalu, saya mendapatkan inspirasi dari Joe Vitale dalam bukunya Hypnotic Writing (Alhamdulillah sudah ada soft copy-nya, silakan di google dengan kata kunci: Hypnotic Writing Joe Vitale). Dalam salah satu bab yang berjudul Imitation of Sugar is Sweet too! Joe Vitale menganjurkan kita untuk melakukan imitation, alias meng-imitasi. Dalam hal ini, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menghasilkan tulisan yang menghipnosis adalah dengan mengimitasi tulisan lain yang menghipnosis. Katanya, pilihlah satu tulisan yang menurut anda menghipnosis. Lalu, tulislah dengan tangan anda. Ya, menulis dengan tangan anda, bukan tangan orang lain, juga bukan keyboard. Persis sama dengan proses mencatat.

Joe katakan: By imitating great writing, you learn how to create great writing. It gives you something close to the same feelings the author probably had when he wrote the story. That’s powerful. Hal yang sama juga dilakukan Joe saat usianya menginjak 16 tahun. Ia menyalin tulisan Jack London dan William Saroyan sampai ia benar-benar memahami bagaimana mereka menulis sebuah adi karya.

Tambahnya lagi, membaca dan menyalin tulisan sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh seorang atlet ketika mereka melihat video atlit lain. Perenang melihat perenang lain, skier belajar dari ahli skier lain. Mereka ini belajar melatih fikirannya dan merekam pola-pola untuk meraih kesuksesan.

Bagi saya pribadi, mencatat atau menyalin atau meng-copy juga membantu dalam memahami suatu artikel. Jujur, daya hafal saya sangat sangat parah. Mudah sekali lupa. Aktivitas mencatat ini juga cukup efektif untuk melekatkan apa yang sudah saya pelajari.

Kalau selama ini saya rajin menulis bukan berarti saya ahli di bidang tersebut. Saya hanya berusaha agar apa yang say abaca tidak lenyap seketika ditelan waktu.

Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan: Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Jadi, mari kita ikat ilmu-ilmu yang sudah kita pelajari dengan menuliskannya.

 

 

0
0