Ternyata bersikap kritis itu ada dalilnya dalam Al Qur’an. Beberapa bulan lalu saya sempat mendapati kutipan yang sangat menarik dari sebuah jurnal terkait manajemen kinerja. Jurnal itu ditulis oleh Bernard Marr, expert dari Italia. Dalam artikelnya yang berjudul Key Performance Questions, Bernard mengawali tulisannya dengan kutipan yang sangat memikat:
The French philosopher Voltaire once advised to “judge of a man by his questions rather than by his answers‟. Artinya, kalau anda ingin menilai seseorang, lihatlah bagaimana ia menanyakan sesuatu, bukan dari jawaban-jawabannya. Kutipan yang sangat mempesona, bukan?
Pada intinya, dalam artikel tersebut Bernard menekankan perlunya membangun organisasi yang mendorong sikap kritis dengan bertanya dan mempertanyakan. Dalam kaitannya dengan pengukuran kinerja, ia menyatakan bahwa: yang terpenting bukan indikator kinerja kunci, atau key performance indicators, tapi justru key performance questions. Pertanyaan-pertanyaan terkait kinerja inilah yang justru lebih penting untuk digali sebelum akhirnya berujung pada formulasi alat ukur apa yang akan dipakai.
Pada bagian lain dalam artikel tersebut, Bernard Marr juga mengutip pendapat Michael Marquardt, professor dari George Washington University States yang menyatakan bahwa organisasi yang tidak menumbuhkan iklim bertanya biasanya didera penyakit rendahnya moral/etika anggota organisasi, lemahnya teamwork, serta lemahnya kepemimpinan. Seiring berjalannya waktu, organisasi semacam ini lambat laun akan menjelma menjadi fosil hingga akhirnya akan mati perlahan-lahan. Bernard Marr juga mengutip pendapat Profesor Sydney Finkelstein yang juga sependapat dengan pernyataan Marquardt, bahwa organisasi yang tidak mampu menumbuhkan budaya bertanya diibaratkan dengan “zombie company”.
Artikel Bernard Marr tersebut mengingatkan saya pada salah satu khutbah Nouman Ali Khan yang berjudul ‘Ask with Humility’, beberapa bulan sebelumnya. Di awal khutbah, Nouman mengutip QS Yusuf ayat 7 yang berarti: Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. Ya,…”bagi orang-orang yang bertanya”.
Dalam banyak hal Allah SWT sering memberikan penghargaan bagi orang yang bertakwa, orang selalu beramal salih, atau orang-orang selalu berdzikir untuk mengingat-Nya. Surat Yusuf ayat 7, Allah SWT memberikan penghargaan bukan bagi orang-orang yang sering disebut-Nya. Tapi, bagi orang-orang yang bertanya.
Kalau Anda perhatikan, dalam Alqur’an juga banyak kita dapati ayat-ayat dalam bentuk pertanyaan. Dalam khotbah tersebut, Nouman mengutip QS Al Baqarah 219. Ketika Allah SWT hendak menjelaskan tentang alasan pelarangan khamr dan judi, Allah tidak langsung menjelaskan alasannya. Coba kita cermati ayatnya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
Lihatlah, ayat tersebut menyatakan: “mereka bertanya kepadamu”. Jika ditelusur ayat-ayat sebelum dan sesudahnya ternyata juga memakai kalimat yang senada.
Di ayat berikutnya juga sama, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berfikir, tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, “mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan….”
Dalam tafsir ibnu katsir dinyatakan bahwa ketika turunnya ayat tentang pengharaman khamr Umar berkata, “Ya Allah, berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.” Jadi, ada proses bertanya sebelum akhirnya Allah memberikan jawaban atas penyebab diharamkannya khamr.
Nouman Ali Khan menyatakan bahwa dalam memahami Islam kita perlu bersikap kritis, bertanya dan mencari jawaban sehingga kita merasa yakin akan apa yang kita yakini dan kita jalankan. Demikian halnya ketika para sahabat bertanya tentang sesuatu hal kepada Rasulullh, Allah SWT tidak melarang, tidak mencela dan tidak mengkritik perbuatan tersebut. Justru didorong dengan mengabadikan proses bertanya tersebut dalam ayat Al Qur’an.
Sebagaimana dalam tulisan sebelumnya tentang kisah Nabi Musa (lihat link: https://anasejati.wordpress.com/2016/12/16/belajar-dari-kisah-pertemuan-nabi-musa-dengan-allah-swt/), setiap ayat dalam Al Qur’an memiliki maksud atau tujuan, bahkan dalam hal penempatan “Hai, Musa” di depan atau di akhir kalimat. Demikian halnya dengan ayat-ayat yang menyatakan pertanyaan. Dalam hal ini Nouman mengatakan: every word in the quran is divinely revealed a strategic, it has a purpose, nothing is extra, nothing can be taken away, nothing can be added on. So everything is exactly in the amount and in the qadr that it is supposed to be. Setiap kata dalam Al Qur’an memiliki tujuan, tidak ada kata yang lebih, tidak yang kurang, tidak ada yang terlewat, atau ada yang tidak perlu penambahan kata. Ayat-ayat tersebut sangat sempurna dari sisi penggunaan kata-katanya. Pas, tepat, dan sempurna.
Dalam hal pengharaman khamr, mengapa Allah tidak secara langsung menjelaskan alasan pelarangan khamr? Mengapa Allah perlu menyatakan dalam Al Quran fakta bahwa “mereka menanyakan kepadamu (Muhammad)”? Nouman Ali Khan mengatakan bahwa hal ini menunjukkan betapa Allah mengakui serta menghargai orang-orang yang datang kepada Rasulullah dan bertanya. Hal ini juga hendak menyatakan bahwa dalam Islam pertanyaan adalah sesuatu yang sangat dihargai. Dalam hal ini Nouman Ali Khan mengatakan bahwa “questions are actually a noble thing in this religion”.
Kisah penciptaan manusia pun ternyata juga memperlihatkan penghargaan Allah terhadap malaikat yang mempertanyakan alasan penciptaan. Hal ini tercatat dalam QS Al Baqarah 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Sebagaimana diketahui bahwa malaikat adalah makhluk yang selalu taat kepada Allah dan melaksanakan segala yang diperintahkan. Mengapa dalam ayat di atas Allah memandang perlu menceritakan kisah penciptaan Manusia dengan menyertakan pertanyaan malaikat?
Senada dengan Nouman Ali Khan, Tariq Ramadhan dalam video yang berjudul the importance of critical thinking for muslim societies both in the west and east juga menyatakan hal yang senada. Dalam video tersebut Tariq Ramadan mengutip kisah Hubab bin Mundhir, sahabat yang memiliki kecerdasan dalam strategi perang. Kisah lengkap silakan dilihat di https://blogkisahislami.wordpress.com/2010/10/04/rasulullah-saw-mendengar-usul-sahabatnya/.
Suatu ketika sebelum perang Badar, Rasulullah dan pasukannya hendak membuat base camp sebagai benterng pertahanan dan membuat dapur umum. Setelah mendekati mata air Rasulullah SAW berhenti. Hubab bin Mundhir pun bertanya ““Ya Rasulullah apa pendapat anda berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu dari Allah kita takkan maju atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat anda sendiri sebagai suatu taktik perang belaka?” Rasulullah pun menjawab: “yang saya lakukan sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang,” jawab Rasulullah. Hubab bin Mundhir r.a berkata lagi “Ya Rasulullah kalau begitu tidak tepat kita berhenti di tempat ini.
Dalam kisah Hubab tersebut terlihat bagaimana sahabat mempertanyakan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Hubab menanyakan apakah strategi yang diambil Rasulullah merupakan ketetapan dari Allah, ataukah pendapat pribadi Rasulullah. Jika ketetapan dari Allah SAW maka sebagaimana pernyataan Hubab: takkan maju atau mundur. Sebaliknya, jika strategi tersebut datangnya dari Rasulullah, maka alangkah baiknya jika strategi tersebut dirubah.
Dari kisah tersebut Tariq Ramadan menarik tiga hal: Source atau sumber, understanding atau pemahaman, dan terakhir question atau pertanyaan. Terkait dengan sumber, kita harus bisa membedakan, apakah suatu pernyataan itu datang dari Allah, atau sekedar pendapat seseorang? Jika itu wahyu dari Allah maka wajib ditaati. Sebaliknya jika hal tersebut datang dari manusia maka pernyataan seseorang tersebut dapat dipertanyakan. Dalam hal ini Tariq mengatakan “we cannot idealize the past and sacralised human opinions”.
Satu hal yang menarik terkait hubungan antara bertanya dan tingkat keimanan, Tariq Ramadan mengatakan “It is not because I am questioning that I have less faith than you. The quality of your faith does not depend and the fact that you accept without questioning. In fact deep questions could help us to have deep faith. There is no contradiction between questioning and believing”.
Keimanan yang mendalam justru bisa diperoleh dari serangkaian pertanyaan yang mendalam yang pada akhirnya justru dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap kebenaran. Bukan sekedar menerima tanpa mempertanyakan.
Kembali pada tulisan Bernard Marr tentang pentingnya merumuskan suatu Key Performance Questions (KPQ), ia memberikan contoh bagaimana kekuatan KPQ sebagai kunci keberhasilan Google. Sang CEO, Eric Scmidt menyatakan:
“We run the company by questions, not by answers. So in the strategy process we’ve so far formulated 30 questions that we have to answer […] You ask it as a question, rather than a pithy answer, and that stimulates conversation. Out of the conversation comes innovation. Innovation is not something that I just wake up one day and say ‘I want to innovate.’ I think you get a better innovative culture if you ask it as a question.”
Jadi?
0 Comments