Belajar dari Sydney tentang Infrastruktur Kota Ramah dan Humanis

Belajar dari Sydney tentang Infrastruktur Kota Ramah dan Humanis

Bisakah Anda menyebutkan beberapa kota di Indonesia yang terkesan ramah dan humanis? Mungkin ada beberapa kota yang seperti itu, namun sebagian besar kota-kota di Indonesia masih jauh dari kesan ramah dan humanis.

Di tengah perjalanan tugas saya ke Australia, saya menemukan salah satu kota dengan kriteria ramah dan humanis itu. Kota itu adalah Sydney. Sydney adalah ibukota Negara Bagian New South Wales. Kota ini merupakan salah satu kota metropolitan terbesar di Australia yang berpenduduk 4,34 juta dengan luaswilayah 12 ribu km2.

Dua infrastruktur kota yang ramah dan humanis saya coba amati di Sydney adalah taman kota dan transportasi publik. Kedua infrastruktur tersebut bisa hadir dengan sempurna dan bermanfaat bagi warganya karena adanya kerja sama yang baik antara pemerintah dengan warga kotanya.

Transportasi Publik

Semua jalanan di Sydney lancar dan bebas macet. Jalan menjadi ruang publik yang aman untuk digunakan, bukan hanya oleh pemilik kendaraan tetapi juga oleh pejalan kaki.

Ada hal menarik lain yang patut menjadi perhatian dan dicontoh, yakni layanan transportasi dan pengelolaan lalu lintas di sana ramah bagi penyandang disabilitas. Di stasiun kereta, pemberhentian bis, dan di dalam kereta atau di bis disediakan fasilitas dan tempat khusus bagi kaum difabel. Di Sydney jumlah bukan lagi masalah, setiap warga negara mendapatkan pelayanan terbaik.

Kok bisa ya? Ternyata hal itu terjadi berkat sinergi yang baik antara pemerintah dengan warga kotanya. Di satu sisi, pemerintah menyediakan infrastruktur yang lengkap dan memadai seperti jalan, pedestrian, dan sarana transportasi umum (bis, kereta api, dan monorail). Di sisi lain, masyarakat berpartisipasi aktif menjaga ketertiban di jalan, serta membiasakan jalan kaki dan menggunakan transportasi umum.

Yang tidak kalah penting adalah penegakan aturan. Setiap pelanggaran lalu lintas dikenakan tindakan tegas dengan membayar denda. Denda ditagihkan langsung ke pihak pelanggar secara otomatis. Hal tersebut dilakukan karena penindakan atas pelanggaran lalu-lintas dilakukan secara elektronik. Untuk memantau lalu lintas, di setiap sudut kota Sydney sudah dipasang CCTV.

Taman Kota

Sydney adalah salah satu kota yang cukup serius memperhatikan dan mengelola keberadaan taman kota. Di Sydney ada puluhan taman kota yang bukan hanya indah, tetapi juga luas-luas dan dilengkapi berbagai fasilitas modern. Taman kota terbesar antara lain Centinnial Park (189Ha), Moore Park (115 Ha), Sydney Park (45 Ha), dan Queens Park (26 Ha).

Di tengah gemerlap Sydney juga ada kebun botani dengan koleksi tanaman subtropis dan tropis yang cukup lengkap, yakni The Royal Botanic Garden, kebun botani terpenting dari tiga kebun botani yang dibuka untuk umum di Sydney. Kebun lainnya yang tak kalah indah adalah Mouny Annan Botanic Gardendan Mount Tomah Botanic Garden.

Taman dan kebun botani di Sydney dikelola bersama daerah setempat, gratis masuk, dan dibuka setiap hari sepanjang tahun. Selain untuk kepentingan rekreasi dan konservasi kebun botani ini merupakan laboratorium dan menjadi pusat studi ilmu botani.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kondisi transportasi publik di kota-kota besar di Indonesia harus kita akui masih jauh dari kesan nyaman dan humanis. Terutama kondisi jalanan yang selalu macet, trotoar yang kurang memadai bagi pengguna jalan, dan sarana transportasi umum yang masih jauh dari kata nyaman. Namun, seperti yang kita saksikan pemerintah telah berupaya ke arah sana dengan berbagai proyek infrastrukturnya. Sedangkan untuk taman kota tidak perlu berkecil hati. Ada Surabaya dan Bandung yang getol dan serius menata taman kota.

Taman kota sebagai salah satu bentuk pelayanan publik seringkali kita abaikan. Kita luput memperhatikannya padahal sebuah taman memberikan banyak manfaat bagi publik. Bukan hanya sebagai paru-paru kota agar produksi oksigen bisa terjaga, taman kota juga menjamin keberlangsungan ekosistem dalam hubungan relasional simbiosis mutualisma antar mahluk hidup di tengah hiruk pikuk kota.

Di sisi lain, taman kota adalah tempat yang nyaman untuk warga kota berinteraksi dan bersosialisasi antar anak-anak, antar generasi muda, antar orang tua, serta antar lintas generasi. Di taman kota juga seorang pemuda akan menjadi penyair hebat untuk pujaan hatinya. Di sana, hijau daun dan gemerisik ranting yang tertiup angin menjadi sumber inspirasi yang tidak bertepi. Di taman kota anak-anak riang gembira bermain dan membaca dengan penuh semangat.

Mengabaikan taman kota berarti mengesampingkan arti penting lingkungan hidup dan keberlanjutannya. Menelantarkan taman kota juga berarti mengingkari hakekat manusia sebagai mahluk sosial. Lebih gawat lagi adalah pada saat kita tidak memperdulikan taman kota, artinya kita egois dan tidak empati atas kreativitas generasi muda sebagai pemilik masa depan kota.

Kuncinya lagi-lagi sederhana, yakni kepemimpinan yang kuat dan partisipasi aktif warga masyarakat. Untuk kepemimpinan, Surabaya dan Bandung relatif ideal, tinggal memacu partisipasi warga agar lebih berperan dalam memelihara dan menjaga taman kota sembari turut menggagas taman kota baru yang lebih kreatif dan humanis. Warga kota juga harus mendukung pemerintah dalam tertib berlalu-lintas.

Saatnya kita berbenah bersama. Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu. Pemerintah bukan “Superman” yang bisa mengatasi semua persoalan tanpa dukungan masyarakat. Demikian juga masyarakat tidak mungkin mendapatkan pelayanan yang bagus tanpa pemerintahan yang baik dan bersih.

Pelayanan publik optimal bukan hanya karena peran pemerintah, tapi juga karena adanya partisipasi aktif warga masyarakat. Pemerintahan adalah proses timbal balik yang sinergis antara pemerintah dengan warga masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Kalau bukan sekarang, kapan lagi kita berbenah. Saatnya kita berubah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Yuk, kita contoh Sydney!

 

 

1
0
Ketunanetraan Politik Warga: Sumber Permasalahan Bangsa

Ketunanetraan Politik Warga: Sumber Permasalahan Bangsa

Barangkali karena terperangkap stigma negatif bahwa “politik itu kotor” sehingga banyak orang yang tidak mau terlibat dalam urusan politik. Mereka menjauh dan mengambil jalur yang “bersih”, tak mau mengotori tangan (atau pikiran) mereka dengan politik praktis. Mereka menjaga jarak dari politik, tidak mau terlibat dalam kegiatan politik apapun. Saat pemilihan umum tiba, mereka memilih untuk tak memihak alias golput (abstain) dan membiarkan proses politik berlalu tanpa kontribusinya sama sekali.

Ada juga orang yang sebenarnya tidak tahu apa politik itu. Tidak mengerti apa, bagaimana, dan mengapa berpolitik tetapi mereka terlibat dengan intens dalam kegiatan-kegiatan politik. Mereka menikmati berlangsungnya pesta demokrasi yang gegap gempita. Dalam peristiwa politik seperti pemilihan, mereka mendukung kontestan tertentu dan membenci yang lainnya walau sebenarnya mereka tidak tahu mengapa dan untuk apa mereka mendukung kontestan tersebut, dan untuk apa pula mereka membenci  kontestan lainnya.

Saat menang mereka ikut merayakan kemenangan, turut larut dalam eforia. Begitupun jika kontestan yang didukungnya kalah, maka merekapun ikut bersedih. Padahal mereka sesungguhnya tak mengerti untuk apa mereka senang atau mengapa mereka sedih.

Di luar kedua golongan di atas, ada lagi golongan yang sama sekali tak terlibat, dan juga sama sekali tidak mau tahu proses politik apa yang sedang berlangsung. Mereka tidak menghindar karena mereka memang tidak ‘ngeh’ dengan apa yang terjadi. Politik adalah sesuatu yang asing bagi mereka. Bahkan konsep tentang politik tak pernah terlintas dalam benak mereka.

Di dalam keterbatasan wawasan mereka, politik bukanlah apa-apa. Bukan sesuatu yang perlu dipikirkan, apalagi dilakukan. Ada hal yang jauh lebih penting dari politik yang harus mereka pikirkan. Ada hal lebih mendesak yang harus mereka selesaikan. Sekiranya mereka bisa membuat daftar prioritas pasti bukan politik yang akan masuk di dalamnya.

Ketiga kondisi di atas disebut Bertolt Brecht sebagai The Worst Illiterate. Kebutaan (ketiadaan pengetahuan) yang terburuk. Orang yang mengalami political illiterate seperti itu disebutnya tidak mendengar dan tidak melihat apa-apa. Tidak menyadari bahwa segala hal yang terjadi di sekelilingnya adalah akibat dari politik.

Penetrasi politik dalam kehidupan warga justru makin dalam di era demokrasi lokal seperti sekarang ini. Desentralisasi politik telah menggiring hampir seluruh proses politik yang penting ke daerah. Hal itu berakibat pada semakin dekatnya proses politik kepada khalayak. Rakyat, tanpa kecuali, bisa terlibat, bermain, berkontribusi, bahkan turut serta menciptakan sejarah perpolitikan daerahnya.

Seperti misalnya dalam proses kelahiran seorang pemimpin politik di daerah rakyat daerah itu sendirilah yang menjadi penentunya. Mekanisme pemilihan one man one vote (satu orang satu suara) memungkinkan setiap orang, yang sudah dianggap dewasa secara hukum memberikan pendapat tentang siapa yang paling pantas menjadi seorang kepala daerah. Bukan hanya itu, kebijakan-kebijakan publik yang kemudian diambil oleh sang kepala daerah terpilih dapat diapresiasi, dikritik, atau bahkan ditolak oleh rakyatnya.

Dari satu aspek itu saja bisa dilihat dengan jelas bahwa politik sudah begitu dekat dengan rakyat. Apalagi dampak dari terpilihnya seseorang menjadi kepala daerah bisa menentukan masa depan rakyat dan daerah itu kelak karena kepala daerah terpilih itu akan membuat keputusan-keputusan politik yang menyentuh seluruh aspek kehidupan rakyatnya.

Hal itu senada dengan kata Bertolt bahwa keputusan politik itu memengaruhi biaya yang dibutuhkan untuk hidup, harga kedel, atau tepung (baca: beras), juga biaya-biaya sewa. Dari keputusan politik itu pulalah pelacuran bisa muncul, pengemis dan anak terlantar bisa menyebar, perampokan atau korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara bisa terjadi dan meluas ke mana-mana.

Bahkan, jika siang tadi kucing kesayangan Anda hilang dicuri orang, maka bisa jadi itu adalah dampak dari sebuah proses politik. Coba Anda telusuri dan cari maka Anda akan temukan bahwa ada tangan-tangan politik yang bekerja dan membuat kucing Anda hilang. Nah, masih beranikah Anda berpikir bahwa politik itu kotor dan harus dihindari?

Banyak proses politik yang tidak boleh dilewatkan oleh rakyat agar kenyamanan hidupnya sebagai warga tidak terganggu. Pemilihan pemimpin yang akan menjadi penentu kebijakan, pemilihan anggota perlemen yang akan menyetujui kebijakan, dan perumusan kebijakan-kebijakan publik itu sendiri adalah event politik yang akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat.

Hasil dari kejadian-kejadian itulah yang menempatkan orang-orang penting yang berperan mengatur hidup kita. Mereka bisa menjadikan kita sebagai orang yang lebih sejahtera di kemudian hari atau sebaliknya serta dapat menjadikan kita orang yang lebih bahagia di masa depan, atau sebaliknya. Melalui proses politik kita menobatkan mereka menjadi penguasa atas segala hajat hidup kita.

Kekuasaan sebesar itu tdak boleh jatuh ke tangan orang-orang curang. Anda bisa melihat begitu banyak kepala daerah atau anggota DPRD yang tertangkap karena korupsi, gratifikasi, pemerasan, dan sebagainya. Betapa banyak pejabat publik yang miskin integritas, jauh dari norma agama, dan mengabaikan kepentingan orang banyak. Itu terjadi antara lain karena kita buta politik.

Oleh sebab itu, jika Anda masih juga enggan “berpolitik,” berarti ada sesuatu yang salah dengan diri Anda. Anda bukan saja tak peduli pada orang lain, Anda bahkan tak peduli pada diri Anda sendiri. Karena dari uraian singkat kita ini tidak ada sedikitpun ruang bagi kita untuk menghindar dari politik.

Politik memang bukan segala-galanya tetapi kita tidak bisa menafikan fakta bahwa hidup kita ternyata sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di sekitar kita. Jika kita mengambil posisi yang berjauhan dengan politik, maka kita tidak akan bisa berkontribusi dalam hal-hal yang bisa mengubah hidup kita.

Sengaja kata berpolitik di atas saya beri tanda kutip karena makna berpolitik dalam persepsi saya jauh lebih besar dibandingkan dengan sekedar berpartai politik lalu berjuang merebut kekuasaan. Berpolitik itu adalah menempatkan diri dalam koridor hukum dan administrasi pemerintahan. Melibatkan diri secara aktif dan kolektif (partisipatif) merupakan salah satu pilar yang membentuk good governance.

Politik bisa menghadirkan rasa aman yang merangkul Anda di waktu malam. Politik bisa menyuguhkan sarapan pagi yang nikmat. Politik bisa membuat seseorang menjadi miskin atau kaya, menjadi sehat atau sakit, menjadi cerdas atau bodoh. Bahkan, politik bisa membuat seseorang terbunuh. Dan hebatnya, Anda sebagai warga bangsa dari negara demokratis ini bisa menentukan corak dan warna politik itu. Kita seharusnya melek politik, melek semelek-meleknya, karena politik itu bekerja untuk kita.

 

-o0o-

 

 

0
0
Meningkatkan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa Melalui Optimasi Komunikasi Risiko (Risk Communication) oleh Kepolisian Republik Indonesia

Meningkatkan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa Melalui Optimasi Komunikasi Risiko (Risk Communication) oleh Kepolisian Republik Indonesia

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnivan baru saja menetapkan bawahannya, yaitu Bayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) bersama dengan Kepolisian Sektor (Polsek) dan Kepolisian Resort (Polres) bertanggung-jawab menjaga akuntabilitas pengelolaan dana desa. Niat baik Tito ini ternyata mendapat penentangan dari banyak pihak, sebagaimana niatnya membentuk Detasemen Khusus Anti-Korupsi. Sebab, alih-alih menjaga akuntabilitas pengelolaan dana desa, keterlibatan kepolisian ini malah bisa semakin menumbuhkan praktik pemerasan oleh aparat kepolisian. Walaupun Tito telah berusaha keras memodernisasi Kepolisian RI, masyarakat masih trauma dengan citra kepolisian yang korup. Sebab, selama ini kepolisian terkesan sering menggunakan coercive power daripada persuasive power dalam berbagai tindakannya. Artikel ini mencoba menawarkan pendekatan alternatif bagi kepolisian, yaitu komunikasi risiko (risk communication). Jika dijalankan, pendekatan ini memberikan peluang bagi kepolisian untuk menurunkan citra buruknya di mata masyarakat dan juga membuka kesempatan bagi kepolisian berperan aktif menjaga akuntabilitas pengelolaan dana desa.

—–

 

Istilah komunikasi risiko (risk communication) mungkin belum akrab digunakan di Indonesia. Risk communication berfondasikan pemahaman bahwa cakupan risiko yang dikelola oleh sebuah organisasi sangat komprehensif. Artinya, ia tidak bisa hanya dikelola secara internal saja, melainkan harus melibatkan lebih banyak aktor, baik regulator, pihak swasta, pihak pemerintah, masyarakat, maupun lembaga sosial masyarakat.

Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan tersebut penting karena penanganan risiko yang salah dapat menyebabkan amplifikasi sosial dan kontroversi yang berkelanjutan, yang dapat mengancam organisasi dalam mencapai tujuannya.

International Risk Governance Council (IRGC) dalam rangka tata kelola risikonya menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah elemen terpenting dalam membangun kepercayaan dalam mengelola risiko organisasi. Hal ini karena komunikasi risiko memberi wewenang kepada para pemangku kepentingan untuk memahami risiko dan juga tanggung jawab mereka dalam proses tata kelola risiko.

Sebagai langkah awal untuk membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan, organisasi perlu mengidentifikasi pemangku kepentingannya dan pendekatan yang mesti dilakukan oleh organisasi untuk berkomunikasi dengan masing-masing pihak.

Sebagai catatan, keterlibatan para pemangku kepentingan bergantung pada karakteristik risiko. Misalnya, untuk risiko sederhana, organisasi hanya perlu terlibat dengan lembaga yang berwenang dan praktisi. Untuk risiko yang kompleks dan ambigu, organisasi perlu melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, seperti peneliti eksternal, pemangku kepentingan yang terkena dampak, dan masyarakat.

Hal terpenting dalam melakukan komunikasi adalah organisasi harus memahami bahwa setiap pihak memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga pendekatannya pun tidak dapat disamaratakan. Berkomunikasi dengan praktisi tentu tidak dapat disamakan dengan berkomunikasi dengan media ataupun masyarakat.

Program Dana Desa

Terkait program peluncuran dana desa yang telah dilakukan sejak tahun 2015 lalu, di satu sisi kita melihat sambutan dari berbagai pihak atas terobosan yang dilakukan oleh pemerintah dengan ‘memandirikan’ desa. Di sisi lain, banyak pihak yang meragukan kesiapan dari aparatur pemerintahan desa dalam pengelolaan dana tersebut.

Hal tersebut cukup beralasan mengingat di level yang lebih tinggi pun, seperti pemerintahan daerah, pengelolaan APBD masih sering terbentur permasalahan. Belum lagi jika dilihat dari kesiapan sumber daya manusia di pemerintahan desa. Secara garis besar, risiko terbesar dari program dana desa tersebut adalah penggunaan dana yang tidak sesuai dengan regulasi (risiko kecurangan).

Jika kita memandang bahwa organisasi ini adalah pemerintah (baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Desa dan DTT), maka pemerintah kini menghadapi risiko yang tidak dapat dikelola sendiri secara internal. Sebab, dana desa dikelola oleh pemerintahan desa, di mana secara struktur berada di luar organisasinya dan secara kuantitas tidak mungkin diawasi sendiri oleh pemerintah. Artinya, pemerintah perlu membangun komunikasi dengan berbagai pihak terkait atas risiko tersebut.

Komunikasi Risiko Kepolisian

Isu terbaru yang menarik untuk dikritisi dari kacamata komunikasi risiko adalah rencana menggerakkan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) bersama dengan pihak Kepolisian Sektor (Polsek) dan Kepolisian Resort (Polres) dalam mengawasi pengelolaan dana desa.

Dalam konsep risk communication, pemerintah perlu menjelaskan latar belakang penunjukan kepolisian untuk mengawasi dana desa. Tidak berhenti di sana, pemerintah perlu menyampaikan pengawasan seperti apa yang akan dilakukan oleh kepolisian, termasuk ruang lingkup kewenangannya. Ini untuk menghindari adanya deviasi dalam implementasinya.

Pemerintah perlu menjaga kepercayaan publik terkait upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan guna mencapai tujuan utama dari peluncuran dana desa. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya social amplification yang bernuansa negatif atas peran baru pengawasan yang dilakukan oleh kepolisian.

Pemerintah juga sebaiknya menjelaskan bahwa manfaat dari pengawasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian telah dikalkulasi dan telah mengidentifikasi risiko yang mungkin muncul.

Di sisi lain, penunjukan pihak kepolisian yang lebih banyak dikenal sebagai aparat penegak hukum dan kini dilibatkan menjadi pengawas pengelolaan dana desa tentu memerlukan pengomunikasian yang baik kepada publik.

Pihak kepolisian juga harus mampu mengomunikasikan dan menunjukkan bahwa dalam penugasan dana desa ini mereka akan lebih mengutamakan peran pengawas yang siap mengarahkan ketika pihak pemerintahan desa menemui permasalahan. Kemudian, mereka mampu membedakan permasalahan yang muncul karena ketidaktahuan dan yang didorong rencana kejahatan.

Sejak awal, pemerintah dan kepolisian juga perlu secara tegas menyampaikan bahwa pemberian kewenangan pengawasan tersebut tidak lepas dari kemungkinan penyelewengan kewenangan.  Misalnya, pengawasan yang dilakukan malah melebihi ruang lingkupnya. Atau, di skala yang paling ekstrem, terdapat potensi pihak kepolisian malah memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan pribadinya.

Hal-hal seperti ini sebaiknya disampaikan sejak awal oleh pemerintah dan kepolisian. Caranya, dengan mengomunikasikan layanan pengaduan atas pelaksanaan pengawasan kepolisian tersebut.

Langkah di atas merupakan contoh nyata dari pengomunikasian risiko dari pengawasan dana desa, yaitu dengan membangun kesadaran risiko dari pihak-pihak yang tekait, termasuk masyarakat.

Risiko Dana Desa

Pemerintah dan Kepolisian juga mesti mengomunikasikan secara lugas tentang adanya risiko dari implementasi dana desa sejak awal. Hal ini akan memberikan awareness bagi para pemangku kepentingan untuk turut terlibat dalam mengawal program tersebut, sesuai kapasitas dan perhatian masing-masing.

Dengan pengomunikasian tersebut, pemerintah dan kepolisian akan membangun pondasi awal terciptanya trust dari berbagai pihak. Dengan catatan, pengomunikasian tersebut harus juga diimbangi dengan informasi yang berimbang. Artinya, informasi tidak hanya dititikberatkan kepada risiko yang ada, tetapi diimbangi dengan mitigasi dan langkah apa yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah untuk merespon risiko tersebut.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Lofstedt, seorang akademisi di bidang risk analysis, yang menyatakan bahwa organisasi perlu melakukan komunikasi proaktif, yaitu menginformasikan secara lengkap kepada publik. Sebab, menutupi beberapa informasi akan menimbulkan ketidakpercayaan jika masyarakat mengetahuinya.

Hal ini juga berarti bahwa informasi tersebut perlu dikomunikasikan dengan jelas dan jujur. Ini menunjukkan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, dan tidak memberikan pernyataan seperti ‘tidak ada risiko’.

 

 

0
0
Bangkit dari Keterpurukan Mental

Bangkit dari Keterpurukan Mental

Saya tidak peduli apa yang orang lain pikirkan

 tentang apa yang saya lakukan. Tetapi, saya sangat peduli

tentang apa yang saya pikirkan, tentang apa yang saya lakukan.

Itu yang disebut karakter.

— Theodore Roosevelt

 

Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur Malaysia, 23 September 2017 menjadi saksi keperkasaan tim Para Games Indonesia. Di stadion termegah di Malaysia itu, perhelatan Para Games 2017 yang berlangsung sejak 17 September 2017 ditutup. Semua mata tertuju ke kontingen Indonesia yang menjadi juara umum pesta olah raga dua tahunan para difabel se-Asia Tenggara itu. Mengungguli Malaysia dan Thailand yang menjadi juara umum kedua dan ketiga.

Capaian sempurna dari para atlet difabel ini menjadi kado terindah, sekaligus penawar kekecewaan Tim Indonesia yang — pada perhelatan SEA Games 2017 di Malaysia — prestasinya anjlok di peringkat kelima. Produktifitas  mereka dalam mendulang medali, jauh melampaui capaian para atlet yang terjun di SEA Games.

Prestasi atlet difabel ini memang luar biasa. Dengan hanya berkekuatan 196 atlet, medali emas yang mereka raih mencapai 126 keping. Sementara atlet SEA Games yang turun dengan kontingen sebanyak 534 atlet hanya bisa meraih 38 medali emas. Hal itu membuktikan, bahwa sekalipun berada dalam keterbatasan, mereka bisa mengharumkan nama bangsa.

Wajar jika presiden Jokowi, melalui akun tweeternya, menyampaikan apresiasinya kepada para atlet difabel ini. “Selamat untuk Tim Indonesia, Juara Umum Asean Para Games 2017 di Kuala Lumpur. Kalian semua membanggakan”, tegas Jokowi.

*****

Torehan prestasi saudara-saudara kita difabel tersebut seolah mengingatkan, sekaligus menyadarkan kita bahwa prestasi bukanlah monopoli manusia-manusia dengan kesempurnaan fisik. Mentalitas juara bukanlah monopoli kita. Karakter bukanlah soal fisik. Karakter adalah soal cara pandang kita tentang kesempurnaan. Karakter adalah soal cara berfikir kita tentang kesempurnaan. Karakter adalah soal cara bekerja kita menuju kesempurnaan. Soal cara kita menjadi juara. Karakter adalah soal cara kita menuju prestasi.

Prestasi bagi mereka adalah harumnya nama bangsa. Prestasi bagi mereka adalah menenggelamkan urusan pribadinya dan meninggikan derajat dan martabat bangsanya. Prestasi adalah berani menyatakan bahwa ketidaksempurnaan bukan penghalang tetapi sebagai lecutan motivasi hingga mereka terbang tinggi menggapai bintang-bintang. Prestasi bagi mereka adalah tidak memberikan kesempatan bagi kemalasan untuk hidup bersamanya. Prestasi adalah menutup rapat pintu keluhan tetapi membuka lebar ruang syukur atas pemberian tuhan kepadanya.

Menurut catatan Kompas (23/9/2017), Atlet Para Games menjalani latihan tanpa dukungan dana dan peralatan memadai. Mengeluhkah mereka? Menurunkah semangat mereka? Lantas tidak berprestasikah mereka? Jawabannya tentu tidak. Mereka tetap gigih berjuang hingga mencapai hasil yang luar biasa. Bandingkan dengan atlet SEA Games yang anggaran persiapannya saja sebesar  30,9 milyar. Itu belum termasuk total anggaran selama keberangkatan, pelaksanaan hingga pemulangan serta bonus bagi para atlet berprestasi dalam SEA Games 2017.

Inilah manusia ikhlas. Tidak melihat keterbatasan secara sempit, namun melihat keterbatasan sebagai sebuah kesempurnaan. Perjuangan Tim Indonesia Para Games adalah perjuangan tidak sekedar melawan atlet-atlet difabel dari mancanegara. Namun mereka melawan keterbatasan dirinya, melawan egonya, melawan kepentingan pribadinya, dan melawan hawa nafsunya. Kalau lawan-lawannya mungkin masih mudah ditaklukkan, namun melawan diri sendiri sangat sulit.

Presiden Soekarno dalam pidato ulang tahun RI yang ke-12, tanggal 17 Agustus 1957, pernah mengungkapkan bahwa melawan musuh-musuh kita dalam masa perang lebih mudah. Kita masih memiliki kekuatan idealisme, keikhlasan, satu misi, musuh kita jelas dan semuanya kita adalah pejuang dan pekorban.

“Dalam masa Liberation (perang), idealisme masih cukup menyala-nyala, api keikhlasan masih cukup bersinar terang, kekeramatan mission sacrée masih cukup menghikmati jiwa. Dalam masa Liberation, semua orang adalah pejuang, semua orang adalah pekorban, semua orang adalah baik. “There are no bad men in a battle”, – “tidak ada orang yang tidak baik dalam satu pertempuran mati-matian”, tegas Presiden Soekarno mengutip seorang Panglima Perang.

Yang lebih berat adalah pada era nation-building, era mengisi kemerdekaan. Era dimana ego individual lebih menonjol. Era dimana ego kelompok/golongan, asal usul daerah, partai, ras, suku bangsa, agama, lebih penting daripada kebersamaan dan gotong royong. Pada masa seperti ini revolusi mental menjadi sangat penting.  Dalam bagian lain, Bung Karno dalam pidatonya juga menegaskan hal ini.

“… Lebih-lebih lagi dalam sesuatu masa nation-building, – nation-building dengan segala godaan-godaannya, dan dengan segala aberasi-aberasinya, – maka satu Revolusi Mental adalah mutlak perlu untuk mengatasi segala kenyelèwèngan, – lebih perlu daripada dalam masa sebelum nation-building itu, yaitu dalam masa Liberation”.

*****

Banyak pembelajaran penting yang bisa kita petik dari Tim Indonesia Para Games 2017. Pertama, ketidaksempurnaan bukanlah hambatan untuk berprestasi. Kita perlu mencontoh saudara-saudara kita difabel ini. Ketidaksempurnaannya justru dijadikan motivasi besar untuk bangkit dan akhirnya menjadi juara. Kita yang memiliki kesempurnaan justru tidak mampu menaklukkan diri kita yang penuh dengan belenggu: egoisme, kemalasan, suka mengeluh, berfikir negatif, mental korup, primordial dan lain sebagainya. Bangsa ini membutuhkan uluran tangan kita. Kalau para kaum difabel bisa, seharusnya prestasi kita melebihi mereka karena Tuhan memberikan kesempurnaan pada diri kita. Kuncinya adalah keberanian kita melawan musuh terbesar kita: diri kita sendiri.

Para atlet difabel ini mampu melakukannya. Mereka tidak pernah mengeluhkan keterbatasan yang ada padanya. Mereka tidak iri dengan saudara-saudaranya yang memiliki kesempurnaan fisik. Tentu kita malu sebagai manusia sempurna. Lebih suka menuntut daripada mendorong pencapaian hebat seperti mereka.

Kedua, para atlet tidak pernah memikirkan kesempurnaan fisik orang lain. Tidak pernah menggunjing apa yang dilakukan orang lain. Mereka hanya fokus dengan apa yang dipikirkan, dengan apa yang dilakukan. Inilah bedanya kita dengan orang lain. Karakter inilah yang merusak diri kita, merusak masyarakat kita dan merusak bangsa kita. Pernyataan Theodore Rosevelt menjadi pembenar kenyataan ini bahwa “Saya tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang apa yang saya lakukan. Tetapi, saya sangat peduli tentang apa yang saya pikirkan, tentang apa yang saya lakukan. Itu yang disebut karakter.

Ketiga, menyukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita adalah bagian yang terpenting dari upaya kita untuk membangkitkan keterpurukan mentalitas kita sebagai bangsa. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan adalah pemberian Tuhan yang tak ternilai : sebuah kesempurnaan. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”, demikian Firman Alloh SWT dalam Q.S. At Tiin: 4.

Semuanya kembali pada diri kita. kawan-kawan kita difabel telah memberikan contoh terbaiknya. Jika mereka bisa bangkit dari keterpurukan mental dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan, mustinya kita lebih bisa memupuk dan membangkitkan karakter kita sebagai bangsa dengan segala kekuatan dan kesempurnaan yang kita miliki.

Denpasar, 11 Oktober 2017

 

 

0
0
Saya Suka Korupsi

Saya Suka Korupsi

Saya suka korupsi. Karena saya suka, maka rasanya ingin tertawa ketika sekilas membaca tagline sebuah iklan layanan masyarakat yang terpampang besar di dekat pasar sebuah kota besar yang saya lewati. Oh maaf, mungkin juga bukan iklan layanan masyarakat.

Dengan pilihan huruf khas birokrat, dan besar pula,  iklan itu menyajikan kalimat “Dengan Pekan Olah Raga dan Seni Pegawai Daerah, Kita Tingkatkan Layanan Masyarakat untuk Kota XXXXX”. Pekan Olah Raga? Pegawai daerah? Layanan masyarakat meningkat? Saya jadi sedikit linglung membacanya.

Meskipun ketika kuliah saya termasuk mahasiswa yang ‘pas-pasan’ dalam mata kuliah ekonometri, rasanya logika bodoh saya sulit menerima bahwa olah raga untuk pegawai daerah berkorelasi dengan layanan publik. Itu logika untuk saya yang suka korupsi. Gue banget, begitu kata kids zaman now.

Jika, dan hanya jika, tulisan dalam iklan itu adalah “Dengan Pegawai Daerah yang Sehat, Kita TIngkatkan Layanan Masyarakat untuk Kota XXXX”, maka narasi itu masih bisa masuk dalam nalar saya. Lalu saya pun iseng berandai-andai, materi ini sepertinya menarik untuk dijadikan bahan stand up comedy yang biasa ada di televisi.

Materi itu bisa segar sekaligus cerdas, malah mungkin layak mendapat predikat kompor mledhuk. Bayangkan saja jika kalimat berikut dibawakan oleh Arie Kribo atau Mongol, sang bintang komedi berdiri itu. Dengan pegawai yang jago main tenis, volley, futsal, atau menyanyi, layanan kepada masyarakat seketika menjadi baik! Antrian pengurusan ijin bisa cepat dan singkat karena di lob oleh bagian pendaftaran, diketik oleh bagian administrasi persyaratan dengan back hand, lalu diperiksa dengan jumping smash oleh bagian verifikasi. Lembaran ijin melayang di udara lengkap dengan tanda tangan dan sampailah tepat di depan bibir net yang tidak bisa di hentikan oleh lawan”. Jebreeet.. ! Ahhhhaaayyy!!!

Karena saya suka korupsi, ‘materi stand up’ ini bisa lebih menarik bila ternyata kegiatan itu dibiayai dari pos-pos anggaran yang belum dioptimalkan. Belum terealisasi sampai dengan bulan Juni tahun berjalan.

Padahal seperti kita tahu, betapa pemerintah pusat berupaya mati-matian mendorong penerimaan negara dengan sepenuh hati. Mereka berupaya begitu keras, sekaligus mencoba mengetatkan pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Tapi di sisi lain, ada bagian dari pemerintahan yang tidak punya sensitivitas terhadap krisis yang sebangun.

Lebih lucu lagi, bila lokasi acara itu ada di kantor-kantor instansi pusat. Ironi dan seolah tayangan komedi satir ketika di satu sisi gedung sedang berlangsung rapat yang mati-matian membahas bagaimana rasionalisasi anggaran dilakukan, tapi di sisi gedung lainnya para pejabat berikut pegawai-pegawainya bersorak-sorai kegirangan dalam acara yang juga dibiayai APBN. Mereka asyik bernyanyi dan bergembira hingga larut malam merayakan pesta kesenian. Tapi sudahlah, saya tidak akan menambah efek dramatisnya, cukup pada pandangan saya saja, yang masih suka korupsi.

Karena saya suka korupsi, meski tidak cinta, fenomena tersebut menggelikan. Meski saya bukan anti seni dan olah raga, malah saya termasuk orang yang punya keahlian itu, tapi tetap saja itu menggelikan bagi saya. Menggelikan karena saya masih suka korupsi, juga bernyanyi, dan sekali-kali beladiri. Sekali lagi suka, bukan cinta. Beneran, ini bukan cinta.

Suka itu seperti anak laki-laki Sekolah Menengah Pertama yang malu-malu memberikan kaset untuk teman perempuan yang duduk di bangku depan kelas. Kaset durasi rekam 60 menit hasil menabung sebulan serta usaha merekam lagu dari siaran radio FM dengan mini compo hadiah bapaknya.

Atau anak perempuan yang seumurannya, yang membungkus tas tali dari bahan jeans rombeng bekas jacket pamannya dengan kertas bunga-bunga. Kado itu diberikannya kepada anak laki-laki, ketua kelas pujaannya, yang suka merapikan barisan atau kursi guru.

Ya, cerita itu memang berdasar kejadian nyata dari generasi tahun 90-an, tapi bukan itu intinya. Intinya adalah perasaaan suka, hanya suka. Iya, hanya suka. Perasaan yang muncul karena proses pendewasaan, pengaruh, dan pandangan baru yang muncul ketika melihat lingkungannya. Cuma sebentar muncul, tenggelam, muncul lagi.

Perasaan yang timbul tenggelam ketika melihat lawan jenis yang mulai terlihat berbeda. Entah itu hanya temporer berpaku pada satu obyek dan perspektif sebagai dampak dari proses baliq-nya anak-anak. Kalau boleh dianalogikan, hari ini kaset untuk anak perempuan berambut panjang, keesokan harinya boleh dan sah-sah saja diberikan kepada anak perempuan berkacamata. Hanya suka, belum cinta. Masih boleh berubah, masih boleh berpindah.

Ada satu cerita menarik lagi, sebuah dialog kecil dengan atasan di kantor. Kebetulan pada waktu itu hadir sebuah lembaga baru yang mendobrak penegakan hukum terkait korupsi di Indonesia, sedang menawarkan peluang berkarir untuk pejabat dan pegawai disana. Sebuah dialog yang diawali dengan pertanyaan lugu dari seorang pegawai baru di kantor, seorang fresh graduate, kepada seniornya, “Bapak tidak ikut pendaftaran calon petinggi KPK?’.

Jawaban dari atasan saya bagaikan mantra sampai saat ini. “Nggak-lah, gue masih suka korupsi” ucap beliau ringan. Suka korupsi? Begitu jelas dan lugas jawaban itu, sampai-sampai membuat saya terhenyak dan hampir tersandar di mejanya.

Korupsi, suatu kata magis yang memalukan dan menghinakan bila disematkan pada seseorang dengan jabatan sestrategis beliau. Korupsi! Namun beliau dengan gagah mengakuinya. Singkat cerita, pembicaraan berhenti sampai di situ, selanjutnya syaraf auditor saya yang bekerja. Alhasil, dalam seminggu kemudian saya melakukan observasi, dan tepat pada hari ketujuh sebuah simpulan telah didapatkan. Iya, beliau masih suka korupsi!

Sepertinya jawaban tadi adalah sebuah pilihan jujur pengungkapan diri yang berasal dari dialog dan pemahaman yang panjang.

Dengan pendidikan dan jabatannya yang cukup tinggi, atasan saya masih suka menggunakan telepon kantor di jam kerja untuk berkabar dengan keluarganya di tempat tinggalnya sekedar memastikan putrinya pulang ke rumah dengan selamat. Setiap pagi, beliau mulai duduk di meja kerjanya lebih lambat sepuluh sampai lima belas menit dari waktu yang ditentukan untuk menjalankan ibadah sholat.

Di siang hari, sepuluh sampai lima belas menit, beliau menyempatkan untuk tidur siang. Hal itu dilakukannya karena beliau meyakini bahwa tidur siang adalah obat dari kelelahan untuk melaksanakan tugas yang lebih baik. Demikian banyak catatan observasi saya, sehingga saya menyimpulkan beliau jujur dengan pernyataannya, “Gue masih suka korupsi”, sehingga sangat merasa tidak layak berkarya di institusi pemberantasan korupsi yang tentunya anti korupsi.

Saya suka korupsi dan pasti bukan cinta mati dengan korupsi. Saya masih suka korupsi, karena belum bisa mencontoh teladan para pemimpin pengikut setia Rasullullah yang dengan sadar diri mematikan lampu di rumah dinasnya ketika menerima tamu untuk kepentingan pribadi. Saya masih suka korupsi,  bukan cinta. Tidak seperti para politisi yang kemarin divonis sakit atau rela berpura-pura tak waras, lalu esoknya kembali berpidato dan mengkritik pedas para pihak yang berseberangan dengan kecintaannya. Korupsi.

Saya masih suka korupsi, meski bukan cinta, karena masih belum merasa berdosa membuang-buang kertas dan energi yang dibeli hasil pajak dari negeri. Saya tidak cinta korupsi, hanya masih suka.

Semoga rasa suka ini semakin berkurang menjadi cinta pada waktu dan pada obyek yang benar, dan itu semoga bukan pada korupsi. Karena saya menyadari bahwa kedewasaan, pengetahuan, dan kesadaran memberi pemahaman, sehingga cinta harus dijatuhkan pada obyek yang tepat. Dan sekali lagi, itu bukan korupsi.

Sampai di sini syaraf pujangga saya yang berkata, “andai semua orang sadar bahwa rasa suka masih bisa berubah seiring dengan kedewasaan kita, korupsi seharusnya benar-benar menjadi kata yang harus dijauhkan dari kata cinta”.

Korupsi harus benar-banar diperangi. Bukan berbangga-bangga dengan korupsi, lalu mencintai dan menjadi pendamping diri.

Sampai di sini, lagi-lagi jari ini harus saya hentikan untuk menulis. File lain masih terbuka, masih ada kotak dan lingkaran yang harus saya hubungkan dengan garis lurus dan panah penunjuk. Kemudian memberi warna yang menarik pada tampilan, menonjolkan kata dan pesan,. Tidak lupa saya menyisipkan gambar-gambar untuk mendramatisasi presentasi untuk esok pagi. Saya buat dengan cinta, tidak cukup hanya suka.

 

6 Oktober 2017 pukul 23.01 Waktu Indonesia Bagian Bekasi.

 

 

1
0