Menumbuhkan Birokrat Yang Kritis dan Membangun

Menumbuhkan Birokrat Yang Kritis dan Membangun

Michael G. Roskin (2007) menyebut birokrasi sebagai organisasi berskala besar yang terdiri atas para pihak yang diangkat. Fungsi utama birokrasi adalah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan.

Birokrasi lazimnya dijalankan di atas rel yang bernama konstitusi dan aturan-aturan lain yang menjadi turunannya. Biasanya terdapat prosedur standar yang mengatur tata-laksananya. Walaupun demikian, kreativitas dan inovasi sangat dibutuhkan untuk mencapai target kinerja, sepanjang ia tak keluar dari jalur yang ada.

Menurut Max Weber (1974), karakteristik birokrasi terdiri dari:

  1. Organisasi yang disusun secara hirarkis
  2. Setiap bagian memiliki wilayah khusus
  3. Pelayanan publik terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, berdasarkan kualifikasi kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian.
  4. Pelayan publik menerima gaji berdasarkan posisi.
  5. Pekerjaan merupakan jenjang karir.
  6. Para pekerja tidak memiliki kantor mereka.
  7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.
  8. Promosi didasarkan atas penilaian atasan.

Kenyataan di lapangan memang selalu berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Weber itu. Delapan karakteristik ideal itu sering tidak terpenuhi. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.

Sebagai contoh, poin nomor 5 sering tidak berjalan. Bahkan, poin 5 ini sering diabaikan untuk jabatan politisi, seperti kepala daerah dan presiden. Posisi ini terbuka untuk mereka yang berada di luar birokrasi. Padahal, mereka adalah pemimpin tertinggi birokrasi pada level daerah dan negara.

Kepatuhan Terhadap Pimpinan

Apakah birokrat harus patuh kepada pimpinan? Berdasarkan definisi birokrat dan aturan kepegawaian, hakikatnya birokrat mesti patuh kepada pimpinan.

Apakah pemimpin itu selalu benar? Mengingat bahwa pemimpin adalah manusia biasa, sangatlah terbuka kemungkinan munculnya pemimpin yang keliru, apakah dalam kategori lalai atau sengaja.

Apakah barometer yang kita gunakan untuk mengukur pemimpin yang keliru? Tentunya, ukurannya adalah peraturan yang berlaku, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 hingga peraturan terendah, seperti surat keputusan di setiap level hirarki.

Dapat kita simpulkan, birokrat idealnya tunduk kepada pimpinan. Kemudian, pimpinan tunduk kepada peraturan, di mana peraturan itu merupakan produk kedaulatan rakyat.

Dengan demikian, birokrat sejatinya pada akhirnya tunduk pada peraturan juga (secara tidak langsung kepada rakyat) dan berlaku absolut jika suatu waktu pimpinan mengabaikan atau menabrak peraturan.

Fenomena ini sering diperbincangkan dan mendorong berbagai reaksi. Bahkan, ia sering diinterpretasikan sebagai “pemberontakan”. Misalnya, ketika menyikapi pandangan Panglima TNI belakangan ini. Tentu juga kita bisa melihat kondisi internal di beberapa partai politik, seperti kritik pengurus Partai Golkar dalam kasus Setya Novianto.

Fenomena pemimpin melanggar aturan banyak ditemui di lapangan sehingga menghasilkan ketidakpercayaan bawahan, masyarakat, hingga melahirkan pemeo dan stigma seakan-akan birokrasi itu bobrok, yang kesannya birokrat cenderung menyalahgunakan wewenang dan korup.

Namun, perlu dipahami, tidak semua birokrat buruk. Selalu ada orang baik yang punya kemampuan kerja yang baik. Termasuk, pada kelompok-kelompok yang reputasinya sudah terkenal sangat buruk.

Orang-orang ini mungkin merupakan golongan minoritas. Ada yang hanya diam, tetapi tetap menjalankan tugasnya dengan baik.

Dilema Birokrat

Birokrat adalah orang yang bekerja bagi birokrasi dan digaji oleh negara atau korporasi. Birokrat haruslah menjalankan visi dan misi organisasi, baik misi organisasi publik ataupun privat (swasta). Mereka menerjemahkan kebijakan pimpinan melalui program dan kegiatan. Birokrat adalah bagian dari sistem birokrasi itu sendiri. Hal ini tidak bisa diingkari.

Masalahnya, birokrat juga bisa mengalami dilema. Berikut ini beberapa ilustrasi yang mungkin bisa menginspirasi munculnya dilema birokrat. Pertama, dalam sebuah kelompok manusia di benua antah berantah terdapatlah kelompok Suku Putih dan Suku Hitam. Suku Putih mempunyai tradisi tertentu. Demikian pula halnya dengan Suku Hitam.

Apa yang terjadi jika seorang dari Suku Putih ternyata menolak tradisi kelompoknya? Bagaimana jika ia menjelek-jelekkan Suku Putih dan pemimpinnya?

Kedua, bagaimana pula jika seorang ahli Agama A ternyata tidak percaya pada ajaran agamanya, lalu menyebarkan penolakan terhadap agamanya dan melecehkan pemimpinnya, sementara ia masih tetap menganut agama tersebut?

Lalu, apakah pandangan kita terhadap seorang pemain klub olahraga X yang ternyata tidak sepenuh hati mencintai klubnya. Diam-diam, ia memfavoritkan Klub Y yang notabene adalah rival Klub X. Di warung-warung kopi tempat ia biasa minum kopi, ia kerap mengolok-olok klubnya sendiri dan mendukung Klub Y.

Apakah anggota Suku Putih, ahli Agama A, dan pemain Klub X tak bercacat? Apakah mereka ini tidak berhak untuk berbeda pandangan dan keyakinan dengan para pemimpinnya?

Jika demikian, bagaimana seharusnya setiap anggota kelompok bersikap? Tentu, jawabannya sangat variatif, tergantung konteks masalahnya. Namun, secara umum, diyakini bahwa anggota kelompok akan melaksanakan ritual dan peran yang sudah diatur masing-masing kelompok.

Idealnya, ada mekanisme untuk pelaporan, saran, dan musyawarah di setiap kelompok. Namun, jika yang menjadi perdebatan adalah hal fundamental, maka tentunya anggota Suku Putih tadi akan keluar dari lingkungannya, ahli Agama A akan keluar dari Agama A, dan pemain Klub X pindah ke Klub Y.

Tidaklah tepat karena alasan nafkah dan kehidupan ia tetap bertahan di dalam dan menjadi perongrong dan akhirnya memberikan sumbangsih kinerja yang sangat minim bagi anggota kelompoknya.

Masalahnya, Johannes C. Princen seorang pejuang HAM, pernah dianggap pengkhianat oleh Belanda karena ia membelot dan membela pejuang Indonesia. Kendati demikian, ia jauh lebih terhormat sebagai manusia dengan memilih keluar dari kesatuannya untuk menuruti suara hatinya.

Birokrat yang Kritis

Lalu, apa kaitannya dengan birokrat? Idealnya, kita sebagai birokrat melaksanakan tugas dan fungsi yang sudah diberikan seiring penghargaan yang kita terima. Kita bersungguh-sungguh untuk kesuksesan organisasi yang pada akhirnya membangun lingkungan, masyarakat, dan negara.

Kita kemudian memaksimalkan peralatan yang ada di tangan. Meski terseok-seok, tetaplah perlu kita membajak tanah dengan cangkul, walaupun tidak tersedia traktor.

Kita dikompensasi bukan untuk berpangku tangan atau mengerjakan urusan yang bukan merupakan tugas kita. Apalagi, untuk sekedar menjadi pengamat yang tanpa sadar dapat saja membangun citra buruk tentang negara.

Sebab, akademisi telah diberikan kompensasi untuk peran itu. Pelurusan dari penyimpangan yang terjadi memang merupakan bagian dari tugas mereka.

Anggota parlemen, terlebih yang berada pada oposisi, memang dikompensasi untuk mengontrol eksekutif.

Para jurnalis dan pengamat memang diberikan penghargaan untuk membantu pemerintah melalui saran dan kritik mereka. Intinya, setiap peran bekerja sesuai porsinya. Walaupun, kenyataannya, bisa saja tercampur-aduk peran itu.

Sebab, jika kesan terhadap partai politik cenderung negatif, siapa lagi yang bisa mengubahnya jika bukan kader partai tersebut? Jika stigma masyarakat terhadap kepolisian terlanjur jelek, bukankah hanya bisa diubah oleh anggota polisi itu sendiri?

Saya adalah generasi reformasi yang berhari-hari berdiri di jalanan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Saya adalah generasi yang dicekoki kritik dan hujat kepada pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu. Namun, hingga lima presiden berganti, gaya protes yang sama masih tetap ada. Bahkan, ada yang masih dilakukan oleh orang yang sama pula.

Saya mendapatkan pelajaran bahwa jika ingin mengubah keadaan, ubahlah dengan kapasitas yang kita miliki. Setiap pemerintahan di berbagai masa selalu hadir dengan kelebihan dan kekurangannya. Kita perlu belajar untuk mensyukuri pemimpin dan mencari jawaban dari setiap kekurangannya.

Bobroknya birokrasi sebaiknya kita lawan dengan integritas. Citra buruk pemerintah bisa kita balas dengan citra baik pribadi, walaupun berupa titik cahaya lilin kecil, yang jika menyebar akan mengubah suasana dan pandangan orang banyak.

Itulah idealnya cara berjuang birokrat, yaitu menjadi birokrat yang kritis dan membangun. Birokrat yang kreatif, inovatif, dan kritis sangat dibutuhkan di setiap elemen saat ini dan di masa depan. Tanpa kreasi dan inovasi maka kinerja birokrasi akan menjadi sangat kaku dan ketinggalan jaman.

Karenanya, birokrat perlu merancang perubahan dan menulis semangat yang membangun. Menulis yang membangun bukan berarti manipulatif, tetapi secara kritis, dan jika memungkinkan dengan solusi.

Lebih hebat lagi jika kita bisa menuliskan ide-ide brilian serta potret keberhasilan kerja kita untuk menjadi inspirasi bagi orang lain secara kritis. Tanpa pikiran yang kritis maka birokrasi akan terperosok ke jurang penyimpangan yang selalu dibiasakan.

Namun, KRITIS bukanlah singkatan dari: mengKRITIk teruS. Perlu dipahami, ‘kritis’ dan ‘kritik’ adalah hal yang berbeda. Kritis mengambil serapan kata dari ‘critical’, sementara kritik mengambil serapan dari kata ‘critics’.

Kritis adalah sebuah proses reflektif pada diri kita, sementara kritik adalah pandangan yang kita sampaikan ke pihak lain. Kritik yang baik adalah hasil dari proses reflektif yang tentunya membutuhkan ketajaman berpikir dan proses yang panjang.

Salam birokrat!

 

 

 

 

 

0
0
Pengalaman Kementerian Keuangan Mencegah Korupsi dengan Mendiagnosis Kesehatan Organisasi

Pengalaman Kementerian Keuangan Mencegah Korupsi dengan Mendiagnosis Kesehatan Organisasi

Kita sebenarnya sudah jenuh dengan maraknya berita buruk (bad news) berbagai penangkapan pejabat publik dan swasta di Indonesia karena tindak korupsi. Berbagai pendekatan juga telah disampaikan untuk mencegah korupsi ini. Sayangnya, pendekatan tersebut kurang memperhatikan konteks lokal. Praktisi dan akademisi Indonesia terlalu latah menyerap strategi pemberantasan korupsi dari negara lain yang belum tentu cocok dengan konteks lokal masing-masing organisasi publik di Indonesia. Karenanya, artikel ini mencoba menawarkan pendekatan lain mencegah korupsi, yaitu dengan mendiagnosis kesehatan organisasi’. Diagnosis kesehatan organisasi ini sangat berbasis konteks lokal karena ia didiagnosis langsung oleh pegawai di dalam organisasi. Keberhasilan mencegah korupsi dengan diagnosis kesehatan organisasi ini juga sudah dibuktikan di sebuah organisasi bergengsi negeri ini, yaitu Kementerian Keuangan.

 

Korupsi di Indonesia tercinta, fenomenanya, seperti penyakit menular yang menjangkiti birokrasi setiap rezim pemerintahan. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Fakta banyak tertangkap tangannya pejabat publik dan swasta menegaskan bahwa korupsi masih menjadi momok yang mengganggu kelangsungan kehidupan berbangsa.

Bahkan, banyak pihak mengatakan berbagai operasi yang dilakukan KPK belum menimbulkan efek jera yang dapat menghentikan perilaku koruptif, baik di pusat maupun daerah. Pertanyaan yang selalu menggelitik adalah: Apakah sebenarnya yang menyebabkan mereka melakukan korupsi? Apakah hanya masalah kebutuhan atau gaya hidup? Lalu, bagaimana mencegahnya?

Korupsi dan Faktor Penyebabnya

Apabila disederhanakan, penyebab  korupsi meliputi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari diri pribadi, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri pribadi.

Faktor internal terdiri dari lemahnya keimanan, rendahnya kejujuran, kurangnya rasa malu, dan  kecenderungan konsumtif. Faktor eksternal lebih luas lagi, yaitu faktor ekonomi, politik, hukum, dan sosial.

Secara konseptual, Donald R. Cressey (1950) mengenalkan penyebab korupsi atau kecurangan (fraud) sebagai Fraud Triangle pada Gambar berikut.

Cressey mengungkapkan bahwa ada tiga penyebab utama yang mendukung seseorang melakukan kecurangan, yaitu tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).

Tekanan adalah sebuah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Ia bisa dalam bentuk hutang atau tagihan yang menumpuk, gaya hidup mewah, dan ketergantungan narkoba. Saya tidak perlu memberikan contoh di sini karena saya rasa begitu banyak kita melihatnya di media.

Kesempatan adalah peluang yang dapat kita pahami sebagai situasi dan kondisi yang ada pada setiap orang atau individu. Situasi dan kondisi tersebut memungkinkan seseorang bisa berbuat atau melakukan kegiatan yang memungkinkan kecurangan terjadi.

Biasanya, kesempatan ini muncul karena pengendalian internal yang lemah dan kurangnya pengawasan. Seseorang tanpa tekanan dapat melakukan kecurangan dengan adanya kesempatan ini.

Sebagai contoh, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang tertangkap  KPK pada kasus proyek pembangunan jalan di Kabupaten Rejang Lebong dikenal sebagai orang yang berprestasi dan berkelakuan baik. Artinya, tekanan tidak menjadi faktor pendorong ia berkorupsi. Namun, lemahnya pengendalian internal menjadikannya memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi.

Rasionalisasi dapat diartikan sebagai tindakan mencari alasan pembenaran oleh orang-orang yang merasa dirinya terjebak dalam suatu keadaan yang buruk. Pelaku akan mencari alasan untuk membenarkan kejahatan agar tindakan yang sudah dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat.

Secara tidak langsung, rasionalisasi digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan norma. Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh adalah penangkapan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono.

Ia mengumpulkan dan menerima gratifikasi yang menurutnya uang tersebut berasal dari Tuhan. Artinya, ia menjustifikasi gratifikasi yang diperolehnya adalah sah karena berasal dari Tuhan. Dengan kata lain, diterimanya gratifikasi ini dianggap sebagai proses yang diatur oleh Tuhan untuk dirinya dalam mendapatkan rezeki.

Contoh lain adalah anggota DPR dari Partai Golongan Karya Aditya Anugrah Moha menyuap Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara Sudiwardono agar ibunya, mantan Bupati Bolaang Mongondow Marlina Moha Siahaan, divonis bebas dari tuntutan korupsi.

Langkah-Langkah Pencegahan Korupsi

Beberapa pihak telah mengusulkan solusi atas permasalahan korupsi di negeri ini. Masing-masing solusi itu bisa dipetakan berdasarkan penyebab Fraud Triangle sebagaimana tampak pada Tabel berikut.

Penyebab

Solusi

Tekanan
  • Penyederhanaan sistem rekrutmen ASN untuk mengurangi dampak biaya tinggi.
  • Larangan rotasi jabatan dalam jangka waktu tertentu pasca Pilkada.
  • Penetapan mekanisme dan kriteria pola pengisian/mutasi jabatan berbasis kompetensi yang memadai.
Kesempatan
  • Penguatan fungsi perencanaan melalui kegiatan partisipasi perumusan program/kegiatan yang lebih intensif dengan melibatkan para stakeholder.
  • Melakukan modernisasi pengadaan baik di pusat dan daerah.
  • Penerapan manajemen kinerja realisasi program dan kegiatan dengan indikator keluaran yang jelas.
  • Reformulasi dan penguatan kelembagaan institusi pengawasan.
  • Penataan kembali hubungan pusat dan daerah.
Rasionalisasi
  • Penguatan kesehatan organisasi
  • Penguatan budaya birokrasi

Sumber: Diolah oleh penulis dari berbagi sumber.

Penilaian Kesehatan Organisasi

Dari berbagai penyebab di Fraud Triangle tadi, yang paling berbahaya adalah rasionalisasi. Sebab, ia bisa memicu budaya organisasi yang tidak sehat. Rasionalisasi dapat secara tidak sadar menumbuhkan praktik ‘membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar’.

Contoh kasus di Sulawesi Utara tadi, yaitu menyuap hakim demi menyelamatkan ibu tercinta dari hukuman karena melakukan korupsi, akan ‘membenarkan yang biasa’, yaitu kebiasaan menyuap demi pengabdian anak kepada ibunya.

Karenanya, tulisan ini akan fokus pada rasionalisasi ini. Sebab, ‘membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar’ telah menimbulkan penyakit kronis di berbagai organisasi publik di Indonesia. Idealnya, kita menuju ‘membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang biasa.

Salah satu cara mengatasi rasionalisasi korupsi adalah dengan mendiagnosis kesehatan organisasi (organisational health) secara reguler, sebagaimana kita secara rutin melakukan general medical check up ke dokter. Bedanya, kesehatan organisasi bisa didiagnosis oleh diri kita sendiri dengan berbagai ukuran yang telah dikembangkan.

Sebagai contoh, Kementerian Keuangan telah melakukan diagnosis kesehatan organisasi sejak lama. Diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan dimulai tahun 2013. Pada tahun 2014, alat diagnosis kesehatan organisasi ini ditingkatkan kehandalannya dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523 tahun 2014.

Diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan mengacu pada  metodologi yang dikembangkan oleh Keller dan Price (2011). Diagnosis ini mengelompokkan kesehatan organisasi dalam 3 cluster utama, yaitu:

  • Keselarasan internal (arahan, kepemimpinan, budaya dan iklim kerja, kreativitas dan kewirausahaan);
  • Kualitas pelaksanaan (akuntabilitas, koordinasi dan pengendalian, kapabilitas, dan motivasi); dan
  • Kapasitas pembaharuan (orientasi eksternal, inovasi, dan pembelajaran).

Kementerian Keuangan paling tidak telah melakukan diagnosis kesehatan organisasi setiap dua tahun sekali. Artinya, tidak berbeda jauh sebagaimana saran dokter untuk mereka yang umurnya di atas 30 tahun perlu melakukan general medical check secara reguler setiap dua tahun sekali.

Diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan tahun 2013 sampai 2015 dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara online ke para pegawai yang diseleksi secara acak. Memang, Kementerian Keuangan tidak secara langsung mendiagnosis organisasinya secara langsung, tetapi dengan melihat dari rata-rata kesehatan organisasi eselon I yang berada di bawah binaannya.

Ibaratnya, kesehatan organisasi Kementerian Keuangan itu dilihat dari mendiagnosis kesehatan setiap anggota peleton. Ia bukan secara langsung melihat kesehatan keseluruhan peleton sebagai sebuah sistem (a whole system), tetapi mengambil simpulan dari rata-rata kesehatan setiap anggota peleton tadi sebagai bagian-bagian (parts) dari sebuah sistem. Artinya, masih ada keterbatasan di sini karena sebuah sistem idealnya mesti dilihat tidak sekedar dari agregasi bagian-bagian sebuah sistem (a system is more than the sum of its parts).

Jelasnya, pada proses diagnosis ini, para observer, dalam hal ini para pegawai di Kementerian Keuangan yang terseleksi secara acak, akan diminta mendiagnosis kesehatan masing-masing organisasi eselon I-nya dan bukan secara langsung kesehatan organisasi Kementerian Keuangan secara keselurahan (as a whole).

Hasil diagnosis ini telah menghasilkan skor kesehatan masing-masing organisasi eselon I tahun 2013-2015 pada Gambar berikut.

Skor Kesehatan Organisasi Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2013-2015.

Sumber: Website Kementerian Keuangan.

Secara keseluruhan, seluruh organisasi eselon I mengalami penurunan kesehatan pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh perbedaan pada metodologi diagnosis, terutama pada butir-butir ukuran dan pemilihan observer, antar tahun tersebut.

Walaupun demikian, menariknya, jika dibandingkan antar organisasi eselon I ini, DJKN dan DJPB adalah organisasi eselon I yang selalu paling sehat, sementara DJA adalah organisasi eselon I yang cukup sehat, tetapi nilai kesehatannya selalu paling rendah. Hasil diagnosis ini sangat menarik untuk menjadi kajian lebih lanjut.

Pada tahun tahun 2016 Kementerian Keuangan tidak melakukan diagnosis kesehatan karena tahun tersebut digunakan untuk melaksanakan rekomendasi hasil diagnosis tahun-tahun sebelumnya. Rencananya, diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan akan dilakukan lagi pada tahun 2017 ini.

Hasil diagnosis kesehatan organisasi ini kemudian dianalisis dan dibahas secara lebih mendalam di dalam serangkaian focus group discussion (FGD) dengan perwakilan pejabat dan pelaksana dari masing-masing organisasi eselon I. Berdasarkan hasil analisis tersebut, kemudian disusun rencana jangka pendek berupa kegiatan tindak lanjut peningkatan kesehatan organisasi Kementerian Keuangan untuk diimplementasikan pada tahun selanjutnya.

Salah satu langkah penting hasil diagnosis kesehatan organisasi tersebut adalah munculnya ‘Inisiatif Strategis’ untuk kepentingan strategi reformasi Kementerian Keuangan tahun 2017. Sebagai contoh, dalam inisiatif ini dimasukkan program penguatan budaya organisasi sebagai jantung perubahan organisasi. Dalam program penguatan budaya ini juga diintegrasikan gerakan efisiensi.

Walaupun belum dilakukan pengujian secara empirikal, kemungkinan besar diagnosis kesehatan organisasi inilah yang membuat Kementerian Keuangan tampak semakin ‘menawan’ dan ‘ciamik’. Berita-berita buruk terkait korupsi pegawainya di masa lalu juga semakin menurun secara drastis. Artinya, berita baiknya, kita masih memiliki harapan bahwa korupsi di Indonesia bisa dikurangi sepanjang kita melakukan pencegahan korupsi yang berbasis konteks lokal. Salah satunya adalah dengan diagnosis kesehatan organisasi.***

 

 

0
0
Kaderisasi Partai Politik,  Upaya Mengatasi Pemimpin Instan

Kaderisasi Partai Politik, Upaya Mengatasi Pemimpin Instan

Prolog

Ternyata Indonesia juga dikenal sebagai negeri Mie Instan. Tidak percaya? Data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Mie Instan Dunia atau World Instant Noodles Association (WINA) menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua negara dengan konsumsi mie instan tertinggi di dunia yaitu sebanyak 13,2 milyar bungkus mie instan pada 2015. Tiongkok berada di urutan pertama dunia negara dengan konsumsi mie mencapai 40,34 milyar bungkus mie. Luar biasa!

Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 260 juta orang (data Mei 2016 menurut worldometers.info), maka setiap orang Indonesia rata-rata mengonsumsi 51 sajian mie instan setahun.

Seperti dikutip dari Indonesia Investment, Kepala Asosiasi Produsen Roti, Biskuit, dan Mie Instan (Aromi), Sribugo Suratmo menyatakan bahwa mie instan sudah menjadi lauk bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya sekedar sebagai snack. Selain kemudahan dalam memasak, harga yang murah, dan rasa yang sesuai selera masyarakat, rasa yang semakin beragam juga menjadi faktor utama tingginya konsumsi terhadap mie instan.

Lantas, apa hubungannya dengan Pemimpin Instan? Regulasi yang berlaku saat ini memungkinkan setiap warga negara Indonesia dapat maju dan mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri, baik di eksekutif seperti bupati, walikota, gubernur, bahkan Presiden sekalipun, maupun di legislatif sebagai anggota DPRD, DPR, dan DPD RI.

Tanpa harus melalui rekrutmen kaderisasi partai politik, asal bisa mendekati partai politik, diusung oleh partai politik, dan didukung dengan kemampuan keuangan, maka jadilah! Kemudian, lahirlah pemimpin-pemimpin instan  (Pemimpin Ujug-Ujug) seperti pernah disampaikan oleh Gubenur DKI Djarot Saiful Hidayat:

“Jadi pemimpin itu enggak bisa ujug-ujug begitu loh ya, harus ada proses dari bawah. Jangan sampai karbitan. Kalau karbitan, buah karbitan (saja) cepat busuk, asam,” kata Djarot di Ciracas, Jakarta Timur, Senin (16/1/2017).

Menurut Djarot Saiful Hidayat, diperlukan banyak pengalaman untuk menjadi pemimpin. Dengan kata lain, pemimpin tak bisa tiba-tiba muncul tanpa adanya proses pembelajaran.

Diakuinya bahwa politik mie instan, yaitu politik yang menawarkan rekrutmen terbuka bagi setiap orang untuk diusung menjadi calon kepala daerah dan/atau calon legislatif tanpa melalui kaderisasi partai politik sudah menjadi trend.

Faktor kedekatan, kekerabatan, dan kekuatan modal (baca: uang) menjadi bagian dari penentuan pengusungan partai politik dalam perhelatan pemilu dan/atau pilkada. Setelah yang bersangkutan menjadi kepala daerah atau anggota legislatif baru dinyatakan sebagai kader, bukan hasil kaderisasi partai politik yang berdarah-darah atau berkeringat untuk memperjuangkan ideologi partai politik dari bawah.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam setahun ini sangat mengejutkan masyarakat Indonesia. Dalam waktu tiga bulan saja lima kepala daerah terjaring OTT KPK: Bupati Pamekasan, Walikota Tegal, Bupati Batubara, Walikota Batu, dan terakhir Walikota Cilegon. Siapa yang salah? Apanya yang salah?

Masyarakat langsung menuding sistem rekrutmen dalam partai politik yang salah karena partai politiklah yang melahirkan pemimpin-pemimpin tersebut. Apa benar partai politik yang salah? Bagaimana dengan rakyat yang memilihnya?

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kurang setuju dengan pandangan seperti itu. Dia tak mau menyalahkan partai politik atas banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT KPK. Menurut dia, sistem perekrutan calon kepala daerah melalui partai sudah baik.

“Calon kepala daerah yang didukung partai (sudah) lewat rekrutmen yang tepat. Ada psikotesnya, diklat kadernya, penguatan wawasan ideologinya, diklat kepala daerah juga ada,” terang Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2017).

Kaderisasi Pemimpin

Kaderisasi idealnya dimulai sejak muda atau sedini mungkin. Harus dimulai dari ikut aktif dalam partai politik selama kurun waktu tertentu, sebisa mungkin dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga nasional. Hal ini tentunya akan menciptakan kader partai yang memiliki kematangan, kemahiran politik, dan militan.

Sistem kaderisasi pemimpin perlu diubah dengan melakukan reformasi regulasi terhadap rekrutmen pemimpin-pemimpin nasional negeri ini. Jiwa besar dari pemimpin negeri dan para politikus untuk mereformasi kondisi ini diperlukan agar tidak terlahir pemimpin ujug-ujug atau pemimpin instan. Regulasi pentahapan seseorang untuk dapat dicalonkan sebagai kepala daerah atau anggota legislatif di setiap jenjangnya sangat diperlukan.

Contoh, untuk dapat dicalonkan sebagai bupati/walikota atau wakil bupati/wakil walikota, seseorang harus pernah menduduki jabatan dalam birokrasi atau pemerintahan dalam jangka waktu tertentu. Seperti pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota/Provinsi minimal satu periode, atau pernah menduduki minimal jabatan eselon II selama lima tahun.

Dan seterusnya hingga ke level pusat. Calon legislatif DPR RI harus pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi, atau kepala daerah selama satu periode, atau jabatan tinggi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di tingkat pusat.

Untuk dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden tentunya lebih diperketat lagi syaratnya, seperti pernah menduduki jabatan gubernur dan/atau anggota DPR/DPD RI satu periode, menteri, atau jabatan tinggi lainnya dalam sistem pemerintahan di pusat.

Persyaratan sebagaimana diusulkan di atas diperlukan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki pengalaman dalam birokrasi pemerintahan sehingga mereka dapat dengan segera menyusun kebijakan-kebijakan strategis dalam masa jabatan yang singkat.

Bagaimana dengan warga negara dari sektor swasta atau profesional? Untuk menjaring calon pemimpin dari kalangan swasta/profesional, kita dapat belajar dari proses pemilihan Presiden Singapura.

Salah satu syaratnya adalah mereka pernah menjadi Chief Executive Officer (CEO) dari perusahaan bermodal minimal SGD 500 juta, atau sekitar 5 triliun rupiah. Penetapan modal minimum perusahaan yang pernah dipimpinnya diterapkan untuk mendapatkan calon yang benar-benar bisa memimpin dan mengelola negara.

Syarat minimal modal perusahaan tentunya bisa berbeda bila diterapkan untuk calon bupati/walikota dan gubernur. Atau, bisa juga ditambahkan dengan syarat sudah menjadi kader partai politik sekian tahun.

Perbaikan sistem rekrutmen pemimpin dapat dilakukan pula dengan sistem Konvensi Kepala Daerah atau Presiden ala Amerika Serikat. Dalam konvensi partai politik, semua elemen partai dari semua tingkatan memiliki hak sama. Hak petinggi partai akan sama dengan hak anggota biasa. Hak petinggi partai di jenjang lebih tinggi akan sama pula dengan petinggi partai di jenjang di bawahnya.

Posisi mereka sama-sama memiliki hak suara,  tidak mengenal umur, senior-yunior, pimpinan atau anggota biasa. Tidak ada oligarki kelompok tertentu sehingga kandidat terpilih benar-benar mengakar dan memahami kebutuhan masyarakat bawah.

Keunggulan sistem ini adalah masyarakat dapat melihat integritas dan track record calon sehingga hanya calon yang memiliki integritas dan track record baik dipastikan akan terpilih.

Selain itu, keterlibatan masyarakat langsung dalam proses pemilihan calon kepala daerah atau presiden sebelum pemilihan umum yang diusung oleh partai politik memungkinkan para pemilih berperan aktif dalam mendukung dana, memberikan masukan, bahkan ikut serta membantu calon tersebut menyelesaikan persoalan yang ada. Pemilih atau para pendukung harus ikut bertanggungjawab agar calonnya lolos dan terpilih.

Pada 2004, Partai Golkar pernah melakukan terobosan dengan melakukan Konvensi Calon Presiden, melibatkan seluruh pengurus-pengurus di tingkat daerah untuk menentukan calon presiden terpilih. Tetapi proses baik ini tidak diteruskan menjadi sebuah kompetisi internal pada tahun 2009. Partai Golkar lebih memilih capres berdasarkan hasil survei.

Epilog

Pola rekrutmen pemimpin-pemimpin negeri ini diharapkan semakin baik agar tidak lahir pemimpin-pemimpin yang instan. Dengan rekrutmen yang baik, diharapkan memperoleh pemimpin dengan empat kriteria, yaitu: (1) Shidiq, yaitu jujur, benar dan sungguh-sungguh dalam bersikap, berucap, dan bertindak dalam melaksanakan tugasnya, (2) Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya dari orang-orang yang dipimpinnya, (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul, dan (4) Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).

Kesimpulannya, negeri ini masih butuh mie instan tetapi bukan pemimpin yang instan. Semoga!

Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan tempat penulis bekerja ataupun lembaga lain.

 

 

0
0
Refleksi Kekalahan KPK: Bertindaklah Cepat, Senyap, dan Tepat!

Refleksi Kekalahan KPK: Bertindaklah Cepat, Senyap, dan Tepat!

Komisi anti rasuah terlihat sangat digdaya ketika berurusan dengan ‘raja-raja kecil’ di daerah. Akan tetapi, menghadapi beberapa elit yang lebih ‘kuat’ di negeri ini, KPK terlihat kurang berdaya. Prestasinya menjadi jauh di bawah ekspektasi masyarakat awam. Bila banyak gubernur, bupati, dan walikota menjadi bukti keberhasilan operasi, maka hal tersebut tidak berlaku ketika akhirnya komisi ini harus tersungkur di praperadilan.

Kekalahan KPK untuk kesekian kalinya di praperadilan, terutama dalam kasus Setya Novanto, menyisakan banyak pertanyaan dan misteri di benak segenap masyarakat Indonesia.

Kok bisa ya? Apakah mungkin kinerja KPK memang perlu dipertanyakan, seperti yang sedang dipermasalahkan oleh Pansus DPR?

Bisa jadi hal tersebut juga menjadi kegamangan besar bagi masyarakat internasional. Mungkin sedikit berlebihan, tapi paling tidak, saya mencoba menyikapi anomali proses hukum di republik ini.

Analisis Kegagalan di Praperadilan

Setidaknya ada dua analisis besar dalam kondisi ini. Pertama, kalau memang kinerja KPK sudah benar sesuai dengan hukum acara, tentunya proses praperadilan para tersangka korupsi akan sangat mudah untuk ditolak hakim. Dalam penanganan perkaranya, perlu dilakukan mitigasi terhadap semua kemungkinan atau celah yang ada.

Berbekal alat bukti yang tidak terbantahkan, valid, dan relevan sebenarnya sudah cukup menggambarkan kinerja komisi. Siapapun yang memahami hukum pasti akan sepakat bahwa hal itu sudah memenuhi semua unsur dalam hukum acara, tanpa dissenting opinion, dan keraguan dari pihak manapun. Kalau sampai hakim mengabulkan gugatan praperadilan dalam kondisi ini, maka hal ini akan menjadi anomali yang luar biasa.

Kedua, keputusan hakim kemungkinan sudah tepat dalam praperadilan. Terdapat proses dalam hukum acara yang tidak matang sehingga menjadikan penetapan tersangka menjadi cacat. Bisa jadi ada yang salah dalam proses pengumpulan bukti, penyelidikan, dan atau penyidikannya.

Memang terasa sangat aneh jika komisi yang sudah menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia melakukan kesalahan dalam tugasnya. Akan tetapi, organisasi terdiri dari kumpulan manusia yang dapat saja berbuat kesalahan. Kesalahan tersebut bisa saja karena kelalaian atau kesengajaan dari oknum internal.

Pada dasarnya, pertarungan antar kutub yang berlawanan selalu terjadi di berbagai belahan dunia. Pertempuran antara panji-panji keadilan melawan panji-panji kemungkaran akan senantiasa terjadi sampai hari akhir nanti. Tidak jarang terjadi kekuatan poros kebaikan dihantam tak berdaya oleh poros angkara murka.

Di balik semua itu, sejarah di dunia menyisakan berbagai kisah  penaklukan dramatis. Kegigihan dan daya juang yang terjaga akan menjadi pemenang di akhir cerita. Mungkin itulah yang diharapkan oleh segenap masyarakat terhadap banyak peristiwa yang terjadi di negeri ini.

Secuil Kisah Penaklukan Yerussalem dan Konstantinopel

Membaca kilasan sejarah dapat bermanfaat untuk menyadarkan kita. Salah satunya adalah, bahwa setiap upaya mencapai tujuan perlu pertimbangan dan persiapan secara mendalam. Sebagai contoh, adanya kekuasaan yang besar dan mendapatkan banyak dukungan, tidak lantas menjadikan penguasa boleh berlaku melebihi batas. Kita dapat belajar hal itu dari kisah penaklukan di masa Perang Salib, terutama dari sisi strategi menaklukkan kekuasaan absolut.

Sejarah menunjukkan bahwa seorang Raynald de Chatilon, pemimpin  Provinsi Antioch di masa Perang Salib, terlalu jumawa untuk mengganggu perjanjian damai dengan Raja Shalahuddin Al Ayyubi atau yang biasa disebut Sultan Saladin. Penyerangan Raynald terhadap rombongan haji dan dagang di jalur Mesir dan Syria menjadi alasan yang memadai bagi sang Raja untuk menggerakkan segenap kekuatannya.

Seperti diungkap oleh Muhammad Ali dalam bukunya yang berjudul  Para Panglima Islam Penakluk Dunia, “Sultan Saladin menaklukkan berbagai kota dan benteng tanpa henti, bahkan perkampungan terkecil sekalipun. Penaklukan meliputi kawasan pesisir maupun pegunungan, membentang ke utara dari Jubail sampai Beirut, hingga ke ujung selatan di wilayah Jaffa, serta dari kawasan Akko hingga Nablus dan sekitarnya. Seakan ia membersihkan wilayah sekitar Baitul Maqdis (Yerussalem) sebagai persiapan untuk menaklukkannya”.

Ada hal yang menarik dalam uraian di atas, untuk menghadapi ketangguhan Yerussalem pada masa itu dibutuhkan upaya yang luar biasa bagi para penakluknya. Pusat kekuatan dengan benteng-benteng kokohnya tidak serta merta bisa dihancurkan dalam sekali gerakan. Para penulis sejarah mengungkapkan bahwa berdasarkan standar-standar militer di masanya, penaklukan itu merupakan prestasi terbesar Sultan Sholahuddin dari segi strategi, taktik, dan semangat kepahlawanan.

Hal yang sama juga terlihat ketika Sultan Muhammad II, atau yang selanjutnya masyhur dengan Sultan Muhammad Al Fatih, menembus benteng Romawi di Konstantinopel (Istambul). Peristiwa itu terjadi di masa Kekhalifahan Turki Usmani.

Berbekal sebuah keyakinan bahwa yang mampu menaklukkan Konstantinopel adalah pasukan terbaik yang dipimpin oleh panglima terbaik, maka Sultan Muhammad mulai menggembleng diri sejak belia.

Beliau dengan tekun memahami kitab suci, petunjuk nabi, dan ilmu agama. Di samping itu, beliau menguasai ilmu matematika, astronomi, sejarah, dan pelajaran militer, baik teori maupun praktik. Beliau juga menguasai berbagai bahasa, mulai dari Bahasa Turki, Arab, Persia, Latin, bahkan Yunani. Semua itu merupakan kemampuan luar biasa yang dimiliki sang Sultan dalam mempersiapkan dirinya menjadi seorang panglima terbaik.

Berbagai pengalaman tempur diperoleh sejak usia 13 tahun, menjadikan wawasan sang Sultan semakin matang. Maka muncul ketakjuban luar biasa, ketika strategi sang Sultan diterapkan dalam penaklukan itu.

Strategi yang brilian, bahkan terbaik di masa itu, ditunjukkan Sultan dengan cara membangun benteng Romalli Hishari, meriam kesultanan, hingga terjadinya “perjalanan darat” kapal melintasi bukit Galata. Penaklukan benteng Konstantinopel yang telah bertahan selama ribuan tahun, akhirnya terwujud pada tahun 1453, di bawah kepemimpinan  sang Sultan.

Epilog

Dengan demikian perjuangan menegakkan integritas di republik ini seharusnya tidak hanya terwujud dalam pemberantasan korupsi semata. Tindak pemberantasan korupsi yang sementara ini digawangi oleh KPK akan jalan di tempat ketika hanya mengandalkan cara-cara biasa.

Menilik sejarah penaklukan di atas, minimal ada dua strategi yang perlu diperkuat dalam penegakan integritas termasuk pemberantasan korupsi. Bercermin kepada persiapan sang Sultan Turki Usmani, maka perbaikan internal, penguatan sumber daya, dan kesempurnaan sistem menjadi pijakan utama sebelum lembaga membuat target dan sasaran.

Sedangkan berkaca kepada kematangan sang Raja Saladin maka perbaikan strategi ‘tempur’ secara bertahap harus mulai diterapkan. Menghadapi oknum yang tidak memiliki back up yang memadai, maka cara-cara biasa bisa diterapkan. Akan tetapi, dalam menghadapi ‘nama-nama besar’ hendaknya menggunakan strategi yang menggambarkan ketajaman tindakan.

Semboyan salah satu korps khusus di militer yang perlu mulai dipertimbangkan adalah, “cepat, senyap, tepat”.

Kenali musuhmu!

 

0
0