Mempertanyakan Peran Auditor Internal dalam Mengelola Risiko Korupsi di Lingkungan Pemerintah Daerah

Mempertanyakan Peran Auditor Internal dalam Mengelola Risiko Korupsi di Lingkungan Pemerintah Daerah

Artikel ini merupakan hasil penelitian di dua inspektorat di Indonesia. Tujuannya adalah memberikan kontribusi bagi peningkatan peran auditor internal pemerintah dalam pengelolaan risiko korupsi di sektor publik dan rasa empati penulis terhadap maraknya kasus korupsi yang menimpa pimpinan daerah di seantero negeri ini.

Prolog

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menimpa banyak pimpinan daerah sudah seperti cerita dunia persilatan, sambung menyambung tidak kunjung berhenti. Atas fenomena tersebut, menjadi sangat logis jika kita mempertanyakan peran auditor internal di pemerintah daerah dalam mencegah kecurangan (fraud), yang pada masyarakat umum dikenal sebagai korupsi (corruption).

Idealnya, auditor internal lebih waspada dalam melakukan audit atas area yang memiliki risiko tinggi terjadinya korupsi (Muehlmann, et, al. 2010). Sebagaimana pengawasan berlapis sesuai konsep tiga lapis pertahanan (the three line defense), auditor internal juga perlu menjaga independensi dan objektivitasnya untuk memastikan bahwa pengelolaan risiko korupsi (fraud risk management) berjalan secara efektif (Douglas, et, al. 2013).

Oleh karenanya, auditor internal harus memfokuskan audit pada area yang berpotensi terjadinya fraud melalui pendekatan audit berbasis risiko (risk-based audit) (Fraser (2011), di mana audit berbasis risiko dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko pemerintah daerah (Danescu, et, al. 2010).

Beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab, antara lain, adalah:
• Apakah peran auditor internal dalam memberikan keyakinan (assurance) pengelolaan risiko korupsi?
• Apakah auditor internal telah melaksanakan audit berbasis risiko?
• Bagaimanakah kesiapan auditor internal dalam membangun pengembangan kapasistas (capacity building) SDM di internal mereka?
• Bagaimanakah peran auditor internal menjaga kualitas kendali mutu proses audit, termasuk reviu berjenjang,  prosedur dan teknik audit berbasis risiko?

Aktivitas Auditor Internal di Pemerintah Daerah
Penelitian penulis pada dua kabupaten di Indonesia menemukan bahwa peran auditor internal di pemerintah daerah ternyata belum mencapai hasil optimal, yaitu mereka belum terlibat dalam pengelolaan risiko korupsi secara memadai.

Auditor internal pemerintah belum optimal dalam menjalankan fungsi assurance terhadap proses pengelolaan risiko korupsi karena proses audit berbasis risiko belum dilaksanakan sebagaimana idealnya fungsi auditor internal.

Berikut salah satu petikan wawancara dengan pimpinan inspektorat:

Sebenarnya kami sudah membuat daftar beberapa risiko audit, tetapi baru terbatas pada beberapa penugasan audit yang nilainya besar. Selain itu, kami belum membuat pembobotan pada setiap jenis risiko tersebut sehingga kami belum bisa menentukan area-area mana yang harus kami prioritaskan untuk fokus audit kami (seorang kepala inspektorat).

Dari wawancara tersebut, kita bisa melihat bahwa walaupun sebuah inspektorat sudah membuat daftar area yang memiliki risiko tinggi pada beberapa unit kerja yang menjadi objek auditnya, tetapi dalam praktiknya mereka belum menjadikan daftar prioritas risiko tersebut sebagai fokus pelaksanaan audit. Kemungkinan, hal ini karena ketiadaan bobot masing-masing risiko tersebut. Sepertinya, inspektorat tersebut belum melaksanakan audit berbasis risiko secara komprehensif.

Dampak belum dilaksanakannya audit berbasis risiko pada inspektorat terlihat pada kutipan wawancara berikut ini:

Ya, ini sering menjadi kekhawatiran saya, beberapa tugas audit atas proyek pemerintah yang nilainya besar malah bisa terlewatkan potensi risiko korupsinya karena tidak adanya fokus audit pada area-area yang berisiko. Bahkan, pernah terjadi audit terhadap sebuah pekerjaan konstruksi yang berpotensi fraud, tidak ditemukan fraud yang signifikan oleh auditor internal kami, tetapi permasalahannya justru ditemukan oleh auditor eksternal, yaitu BPK (seorang kepala inspektorat).

Hal ini mengindikasikan bahwa proses pencegahan terhadap risiko terjadinya korupsi belum berjalan optimal sebagaimana yang seharusnya. Padahal, menurut standar audit internal yang berlaku umum, penentuan prioritas kegiatan audit internal harus berdasarkan pada penilaian risiko yang dilakukan oleh auditor internal.
Kegiatan audit internal juga semestinya dapat mengevaluasi efektivitas dan memberikan kontribusi terhadap perbaikan proses manajemen risiko organisasi, serta dapat mengevaluasi potensi terjadinya fraud. Selain itu, kegiatan audit tersebut juga harus dapat digunakan untuk menilai apakah auditi mengelola risiko terjadinya fraud [Standar Audit Internal Pemerintah Indonesia (SAIPI) No 3010 butir 03 dan No 3120, termasuk poin 24].

Beberapa hal yang terungkap dalam wawancara sebagai penyebab rendahnya pengelolaan risiko korupsi, antara lain adalah auditor internal belum memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap pentingnya risiko dalam pendekatan audit. Kemudian, dukungan pimpinan organisasi terhadap kuantitas dan kualitas tenaga auditor masih belum memadai. Selain itu, proses kendali mutu termasuk proses reviu berjenjang dalam proses audit belum berjalan secara optimal.

Dengan demikian, kita saat ini dapat merefleksikan bahwa pengelolaan risiko korupsi yang dilaksanakan oleh manajemen pada inspektorat di dua pemda yang diteliti tidak berjalan optimal. Salah satunya adalah karena proses bisnis auditor internal belum mendukung sebagai sebuah sinergi pencegahan fraud.

Epilog

Sebagai catatan kecil dari kedua studi kasus ini, kita bisa menyimpulkan bahwa peran auditor internal di kedua pemerintah daerah belum aktif mencegah terjadinya korupsi melalui pengelolaan risiko korupsi. Hal ini tercermin dari pelaksanaan audit yang masih belum menggunakan audit berbasis risiko. Auditor internal juga belum melakukan penilaian terhadap peta atau daftar risiko auditi, termasuk langkah mitigasi risikonya, terutama terhadap area yang berisiko tinggi terjadinya korupsi.

Faktor pemicunya adalah karena kurangnya kesadaran dan kepedulian terhadap pentingnya risiko dalam audit, kualitas dan kuantitas SDM, serta proses bisnis audit yang belum optimal.
Beberapa hal perlu dipertimbangkan oleh inspektorat di Indonesia. Pertama, mereka perlu menyusun rencana audit berbasis risiko (risk-based audit plan). Kedua, mereka dapat menyelenggarakan program peningkatan kesadaran dan kepedulian seluruh auditornya terhadap risiko. Ketiga, mereka mulai melakukan beberapa audit berbasis risiko.

Selain itu, inspektorat perlu mengintensifkan program peningkatan kapasitas SDM, baik aspek kuantitas maupun kualitas auditor serta peningkatan kualitas kendali mutu, termasuk reviu berjenjang dalam proses audit.

Hal konkrit yang dapat dilaksanakan adalah melaksanakan piloting bagi satu atau dua tim untuk melaksanakan audit berbasis risiko terhadap area yang memiliki risiko korupsi tinggi. Hasil piloting diharapkan dapat menjadi contoh yang baik sebuah audit berbasis risiko bagi audit-audit lainnya di sebuah inspektorat.
Manajemen inspektorat tampaknya perlu mengambil langkah aksi atas beberapa hal tersebut. Kemudian, pada level nasional, pembina auditor internal pemerintah perlu mengenalkan lebih jauh tentang risiko terjadinya korupsi ke berbagai inspektorat, serta mendorong pentingnya mengelola risiko korupsi dalam pelaksanaan audit.***

 

 

*) Versi lengkap tulisan ini disajikan dalam International Conference On Administrative Science (ICAS) yang bertemakan Challenges of Public Administration in Developing Countries tanggal 20-21 November di Universitas Hasanuddin Makassar.

 

0
0
Wasiat Atasan Kepada Anak Buah Menghadapi Budaya Birokrasi Kita Yang Sungguh Hebat!

Wasiat Atasan Kepada Anak Buah Menghadapi Budaya Birokrasi Kita Yang Sungguh Hebat!

Wasiat ini untuk para anak buah, yang kalau tidak ada aral melintang, suatu saat nanti akan menjadi pemimpin.
Saat ini mungkin ada pimpinan yang tidak ‘sesakti’ seperti dalam uraian wasiat ini. Begitu pula mungkin ada instansi pemerintah yang tidak sehebat  yang tergambar dalam narasi wasiat ini.
Namun percayalah, wasiat ini masih sangat berguna untuk sebagian besar kalian, wahai para anak buah….

Saya tidak habis pikir mengapa banyak anak buah saya, akhir-akhir ini begitu semangatnya ingin mengubah budaya birokrasi kita? Budaya birokrasi mau diubah dari dilayani menjadi melayani, dari kurang kreatif menjadi proaktif dan inovatif.

Wahai anak buah,

Kata siapa birokrasi kita kurang melayani? Kata siapa birokrasi kita kurang kreatif? Kalau ada kalian yang kurang kreatif dalam melayani, mungkin iya. Melayani siapa? Ya tentu saja melayani saya, pimpinan kalian.

Masih saja kalian ada yang tanya, “Lalu masyarakat bagaimana? Apa mereka tidak perlu dilayani?”

Begini ya anak buah, masyarakat itu sudah mandiri. Mereka tidak perlu lagi kalian layani sepenuh hati. Kita pun tak perlu lagi serius mendengar keluhan mereka. Hanya orang-orang baper saja yang suka protes. Lagian hidup kok banyak mengeluh.

Budaya Birokrasi Kita Sudah Mapan dan Nyaman, lho….

Bagaimana tidak mapan, kalian tahu kan, budaya ini warisan dari zaman kerajaan, lalu diperkuat di zaman penjajahan, terus bertahan sampai sekarang. Bukan main lamanya. Sesuatu yang sudah lama dan dipertahankan itu pasti sudah mapan. Sudah penak tenan di posisinya.

Selain mapan, budaya birokrasi kita juga nyaman. Bagaimana tidak nyaman? Kalian itu harus selalu ‘Nrima Ing Pandum’, itulah singkatan dari NIP. Artinya menerima apa yang dibagikan. Kalian harus membiasakan diri untuk menerima semua yang bisa saya berikan, apapun itu, berapapun itu. Kebiasaan itu membuat perasaan kalian jadi nyaman kan?

Wahai anak buah,

Budaya di birokrasi kita ini juga sudah nyaman dengan relasi hirarki antara saya sebagai atasan dan kalian sebagai bawahan. Hirarki yang kuat memang diperlukan untuk saya benar-benar bisa mengatur kalian. Saya ini biasa disebut patron, sedang kalian, anak buah, disebut client.

Hubungan patron-client kita ini dibilang budaya paternalistik, bagus kan namanya? Bayangkan jika saya tidak bisa mengatur kalian, kalian pasti akan mengatur diri kalian sendiri, dan akhirnya malah tidak teratur. Pas, bukan?

Tahukah kalian, hubungan kita ini bagaikan bapak-anak. Yang namanya bapak itu punya hak mendidik dan membina anaknya. Begitu juga anaknya, harus rela dididik dan dibina bapaknya. Anak harus menghormati dan menuruti apa kata bapaknya. Hubungan kita ini punya istilah, bapakisme. Jangan coba-coba ‘ngeyel’, bisa kualat nanti.

Saya heran, kok masih saja ada dari kalian yang ngeyel. Ada yang bilang: “Bukankah kekuasaan itu tidak absolut, tidak bisa dipegang, bahkan kekuasaan itu ada dimana-mana? Kekuasaan itu bersifat produktif. Oleh sebab itu anak buah sebaiknya diakui otonominya”.

Ah, itu kan kata Foucault, saya kenal orang itu. Sudahlah tidak usah didengarkan. Dia itu ngawur. Di mana-mana kekuasaaan itu absolut, dipegang oleh elit. Titik.

Wahai Anak Buah, Kalian Tidak Usah Iri….

Saya dan pimpinan lainnya itu memang disebut elit. Elit itu artinya sekelompok orang eksklusif pemegang kekuasaan, punya kecakapan lebih, dan berhak menentukan nasib kalian.

Bagaimana tidak eksklusif, saat pelantikan saja saya pakai setelan jas, itu setelan pakaian yang melambangkan kedigdayaan. Saya dan pimpinan lain itu dikumpulkan dalam ruangan khusus, dibacakan ‘mantera’, lalu diberi selamat. “Selamat, Anda sudah menjadi pimpinan, sudah berbeda dengan pegawai kebanyakan,” begitu kata orang yang melantik saya.

Keluar dari ruangan pelantikan, saya sudah disediakan ruangan yang tak kalah eksklusif, ruangan tertutup, lengkap dengan sekretaris yang mampu menyaring siapa saja tamu-tamu yang datang. Jangan coba-coba kalian masuk ruangan tanpa sepengetahuan sekretaris saya, bisa saya semprot air tajin nanti.

Oya, sebelum datang, kalian bisa telepon sekretaris lebih dulu untuk dapat ‘nomor antrian’. Jika kadang sekretaris saya tidak bisa dihubungi, ya cobalah lain waktu, karena terkadang sekretaris saya lebih sibuk dibanding saya.

Taukah kalian, setelan jas, ucapan selamat, ruangan, dan sekretaris, itu semua adalah bagian dari simbol eksklusivitas saya. Jangan ngiri ya anak buah, namanya juga pimpinan. Sudah selayaknya saya mendapat fasilitas itu.

Malah, saya juga dapat fasilitas yang lebih lengkap lagi, seperti rumah dan mobil dinas dengan plat nomor khusus. Lha kok enak? Ya iya lah.

Coba kalian bayangkan, mosok saya harus ngontrak rumah? Apa kata dunia? Mosok saya harus pesan gocar tiap mau ke kantor dan menghadiri undangan? Apa kata driver gocar nanti?

Kalian pasti paham kan, gaji saya pun lebih besar dari kalian karena memang tugas saya berat. Kalau kalian kan tugasnya hanya melaksanakan arahan. Lha kalau saya, selain memberi arahan, juga kasih petunjuk dan juga perintah. Belum lagi kadang harus keluar energi besar untuk memarahi kalian. Berat sekali bukan?

Lebih Enak Jadi Anak Buah, Tau…?

Ada yang bilang, kalau saya itu tidak percaya kalian. Siapa bilang? Percaya kok. Buktinya saya sering terlihat santai saat kalian pontang-panting bekerja, kan? Saya juga selalu percaya kalian pasti akan minta petunjuk saya sebelum mengerjakan sesuatu.

Saking percayanya saya pada kalian, jika saya dapat teguran dari pimpinaan saya karena hasil pekerjaan tidak sesuai harapannya, saya seringkali mencari kalian untuk disalahkan. “Salah kamu nih, sudah dipercaya kok masih kerja begitu”.

Semakin tinggi level saya, semakin berat lho tanggung jawabnya. Tidak percaya? Coba saja lihat di saat ada masalah berat di lingkungan kantor, saya selalu bertugas menjawab dan kalian, anak buah, cukup menanggungnya. Enak kan kalian jadi anak buah?

Arahan, petunjuk, dan perintah saya itu juga ajaib. Semuanya benar, karena saya selalu lebih tahu dibandingkan kalian. Nah, kalo sudah begitu mosok kalian tidak nurut. Pengetahuan dan kebenaran saya itu sungguh sudah di atas kalian. Ya namanya juga atasan, kan..

Pernahkah kalian dengar ada rekan kalian yang mengatakan, “Kita tunggu petunjuk dari pimpinan?” Nah, kalian perhatikan itu, kalimat itu menggambarkan kalau kalian hanya dapat melakukan sesuatu berdasar petunjuk dan arahan saya. Artinya saya yang paling  tahu dan menentukan segalanya. Keren, kan?

Wahai anak buah,

Adakah di antara kalian yang masih merasa tertekan oleh saya sebagai pimpinan kalian? Menurut saya itu perasaan yang aneh. Masih ingat hukum Pascal, kan? Birokrasi ibarat ruang tertutup yang berisi air, maka tekanan di dalam ruangan itu akan diteruskan sama besar ke segala arah.

Jadi ya memang sudah hukum alam, tekanan itu selalu ada dari sang penekan, kemana-mana pula.  Meski begitu, tekanan Pascal tadi kalau digunakan di sistem hidrolik bisa  mengangkat benda yang ditekan tadi. So, tidak usah baper lah.

Jadi Anak Buah Jangan Sok, ya….

Jangan kalian buru-buru merasa hebat kalau punya gagasan besar. Gagasan kalian itu harus saya ‘stempel’ dulu. Seperti anak kalau punya usul harus disetujui orang tua dulu, kan? Saya harus setuju dan itu dilakukan dengan cara saya.

Tidak sopan kalau kalian merasa jengkel. Jengkel karena gagasan kalian, yang kalian rasa mungkin solusi masalah kantor selama ini, saya akui sebagai buah pikiran saya. Lha memangnya kalian itu siapa?

Jangan heran kalau akhirnya nama kalian pun tidak saya sebut saat saya menerima pujian atau dapat sepeda atas keberhasilan gagasan tadi. Lha wong kalian anak buah,  kok minta disebut namanya. Itu namanya caper.

Oya, masih adakah dari kalian yang merasa potensi kalian tidak maksimal karena salah penempatan? Ini juga karena kalian sok yakin saja. Sok yakin dan sok tahu dengan potensi kalian. Mosok ada anak buah yang paham dengan dirinya sendiri tanpa campur tangan pengetahuan saya. Ya jelas saya yang lebih tau lah.

Dialog? Untuk apa lagi? Ingat ya, kan sudah saya bilang, kebenaran dan pengetahuan saya itu di atas rata-rata kalian. Sudahlah, ini demi organisasi. Selalu ada hikmah dari semua ini. Nikmati saja dan suatu saat nanti kalian akan tahu kenapanya.

Anak Buah, Sadarlah, Jangan Keterlaluan!

Kalian mau mengkritik kebijakan atau perilaku saya? Wah, kalau ini benar-benar sudah kebangeten. Apalagi kalau kalian sok jago mau jadi whistleblower melaporkan saya ke pihak lain. Tega sekali kalian ini, saya sudah susah payah memikirkan nasib kalian, eh malah dilaporkan.

Lalu, apanya yang mau dilaporkan? Tindakan wrongdoing? Walah, masa sih saya bisa  wrong. Bukannya sudah saya ingatkan kalau saya itu selalu benar, lha kok malah mau mengkritik apalagi melaporkan. Hanya kalian yang kurang piknik yang berani melakukannya.

Eh, kecuali kalian memang ingin tugas menetap di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, atau Papua. Kalau begitu, silakan saja. Kalian nanti akan bahagia disana. Kalian bisa piknik sepuasnya menikmati Labuan Bajo, Wakatobi, atau Raja Ampat.

Jadi Begini ya Anak Buah….

Saya itu sudah setengah mati memberi perhatian dan perlindungan kepada kalian. Saya juga repot sekali harus menilai kinerja kalian. Mosok kalian masih ragu untuk loyal? Masih tidak ikhlas memuji saya? Mau dinilai minus DP3-nya? Mau tidak saya teken lembar penilaian kinerja-nya? Bisa peyok kalian. Sadarlah kalian mulai detik ini juga.

Sudahlah, saya itu seperti orang tua, harus dihormati dan dibanggakan. Ikutilah kata-kata saya dan laksanakan perintah saya. Kalian tidak usah terlalu repot berpikir bagaimana melayani masyarakat. Mereka sudah cukup mandiri dan bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.

Lebih penting melayani saya. Nikmati saja peran kalian sebagai client menghadapi patron kalian, niscaya hidup kalian akan selamat dan sejahtera seperti yang kalian impikan setiap berangkat dan pulang kerja. Bermimpilah terus, jangan pernah putus asa.

Bagaimana, sudah melek dengan budaya paternalistik di birokrasi kita? Masih mau ngeyel mengubah budaya di birokrasi kita? Kurang kerjaan saja!

3
0
Mengenang Ibuku di Senja Satu Desember itu

Mengenang Ibuku di Senja Satu Desember itu

hari ini satu desember lagi ibu

seperti setiap satu desember enam tahun terakhir

pagi ini satu duka cita dan satu suka cita

kembali tertoreh bersama

 

Ibu…,

tujuh belas tahun silam kau hembuskan nafas akhirmu

tepat sehari setelah kumohon restumu menapak ke ranah jiran

masih hangat terasa kecupmu di kening

saat kabar kepergianmu menggetarkan jiwa

butuh perjuangan panjang

kembali ke sisi jasadmu

mengenang kecupan terakhir dan sentuhan tanganmu

yang hilang untuk selamanya

 

di setiap satu desember sepuluh tahun berikutnya

hanya duka cita yang tergores atas kehilanganmu

 

lalu…,

satu desember sebelas tahun kemudian

cucumu lahir menggeser duka atas kepergianmu

kedatangannya mengalirkan kebahagiaan

 

sejak itu kujalin keakraban dengan bayi mungilku

mengganti popoknya atau memandikannya

meluluri kulitnya dengan kehangatan

menaburi tubuhnya dengan kelembutan

kadang aku begadang karena kegelisahannya

atau terjaga karena rintihannya

sering kukecup matanya yang jernih

membelai kulitnya yang halus

 

tapi, alangkah tak berdayanya bayi kecil ini

betapa rentan tubuh itu di usianya

beragam tantangan mengancam di sana sini

badannya ringkih tak berdaya

sepenuhnya pasrah pada kehendak alam

apa dayanya tanpa dekapan ibu

 

sebuah tanya mengetuk di benakku

selemah inikah dulu diriku

seringkih inikah aku di usia berbilang hari seperti ini

 

tentu saja

jawabku sendiri

 

untuk menyusu di dada ibu

atau untuk sekedar bernapas dengan baik

mesti ada tangan ibu yang menuntun

mesti ada cinta yang menghangatkan

aku tak mungkin hidup hingga kini

tanpa kasihmu ibu

 

Ibu…,

tanggal wafatmu yang sama dengan tanggal lahir cucumu

bagai untaian pesan terang benderang

pertempuranmu kala melahirkanku

dan pengorbananmu agar aku tetap bernafas

adalah dekapan tangan kehidupan

engkau bukan sekedar sumber kasih sayang

engkau adalah cinta Tuhan

dalam wujud seorang Ibu.

 

kau merawatku dalam sehat dan sakitku

dalam bersih dan kotorku

bahkan andai jika aku terlahir tak sempurna

 

ibu…,

seperti tujuh belas tahun lalu

hari ini kukembali kehilanganmu

tetapi di mata cucumu yang berbinar

kulihat engkau tersenyum

 

hanya seuntai do’a yang bisa kubisikkan

Ya Allah

Sayangi ibuku lebih dari dia menyangiku selama hidupnya

 

 

0
0
Surat Terbuka untuk Jaksa dan Hakim yang Menjeruji Kawan Kami, Palupi

Surat Terbuka untuk Jaksa dan Hakim yang Menjeruji Kawan Kami, Palupi

 

Pengantar:

Pergerakan Birokrat Menulis menerima sebuah surat terbuka dari seorang birokrat muda negeri ini. Surat ini ditulis untuk menyuarakan rasa ketidakadilan yang dialami oleh salah seorang sejawat kita, birokrat profesional negeri ini.

Sejawat kita itu kini berada dalam sebuah jeruji besi setelah menghadapi tuntutan jaksa yang terhormat dan vonis hakim yang mulia dirasakan jauh dari rasa keadilan.

Kami berharap, Anda yang masih mempunyai nurani keadilan dapat meluangkan waktu untuk membaca surat terbuka ini.

 

Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia,

Pada hari Selasa, 24 Oktober 2017, pukul 22.01 WIB dengan berlinang mata, kami mendapat kabar bahwa hakim yang mulia di Pengadilan Tipikor Surabaya telah mengetukkan palunya, memvonis rekan kami Palupi.

Saudara jaksa yang terhormat telah mendakwanya sebagai pihak yang turut-serta melakukan tindak pidana korupsi atas pengadaan barang/jasa di sebuah rumah sakit daerah kebanggaan kami.

Itulah hari paling menyesakkan bagi kami. Perjuangan kami selama berbulan-bulan untuk membelanya pupus sudah. Harapan kami akan datangnya keadilan kandas sudah.

Ntah usaha apalagi yang harus kami lakukan untuk memuliakan harga dirinya, dan mempertahankan perannya yang membanggakan sebagai PNS, birokrat profesional, pelayan rakyat ini.

Kami terpukul dan merasa sangat kecewa.

Bukan saja karena yang menjalani ujian ini adalah seorang PNS yang berintegritas, tetapi karena kami melihat ketidakadilan itu kini nyata di depan mata.

Kapan pun sewaktu-waktu bisa menjerat kami.

Mungkin deretan nama-nama kami tinggal menunggu waktu, terjerembab dalam ketidakadilan itu.

Naudzubillahimindzalik, sungguh kami tidak pernah mengharapkan hal itu terjadi.

 

Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia,

Sekedar untuk Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia pahami, Palupi itu hanyalah seorang ibu muda sederhana, dengan dua anak yang mungil.

Namun, bagi kami, ia adalah seorang pejuang yang memiliki pengetahuan mumpuni di bidang pengadaan.

Ia dipercaya oleh negara ini menjadi pejabat pengadaan di rumah sakit daerah milik rakyat Indonesia.

Ketidakmampuannya menuruti segala bentuk formalitas aturan yang dijalankan telah menjerumuskannya ke jeratan ketidakadilan ini.

Ketidakberdayaannya sebagai seorang PNS yang membuatnya harus menanggung rasa pilu ini.

 

Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia,

Sesuai dengan keputusan presiden nomor 80 tahun 2003 pasal 9 ayat 3 huruf a yang kami taati pada konteks saat itu, salah satu persyaratan dan tugas pokok pengguna barang/jasalah yang menyusun perencanaan pengadaan barang/jasa.

Perencanaan pengadaan selain pemaketan pekerjaan termasuk dalam tugas ini adalah membuat jadual pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa, waktu mulai dan berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, dan waktu serah terima akhir hasil pekerjaan.

Dapatlah Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia pahami, apatah yang terjadi apabila dokumen perencanaan baru diserahkan oleh pengguna barang/jasa kepada pejabat pengadaan setelah berjalannya proses pelaksanaan pekerjaan fisik?

Itulah Palupi, seorang pejabat pengadaan, dengan rela menata-ulang jadual pelaksanaan pengadaan agar dapat memenuhi jadual pengguna barang/jasa, di tengah kelalaian pengguna barang/jasa itu sendiri.

Itulah posisi dilematis seorang Palupi saat itu. Sebagai birokrat yang bersertifikasi pengadaan barang/jasa, yang masih rendah di negeri ini, ia dengan rela meluangkan waktunya untuk pekerjaan tambahan itu.

Kesalahan Palupi adalah ia begitu rela meluangkan waktunya untuk menata jadual itu, sebuah tugas negara, yang sebenarnya lebih bermanfaat untuk dirinya sendiri jika ia mengabaikannya dan bercengkerama dengan anak-anaknya yang belia itu.

Namun, apatah daya seorang pejabat pengadaan seperti Palupi tuk menolak permintaan pengguna barang/jasa atasannya itu.

Ia memang tidak memiliki keberanian itu, sebagaimana begitu beraninya Saudara jaksa yang terhormat menuntutnya di muka pengadilan, walaupun Saudara jaksa yang terhormat bisa merasakan pedihnya jika berada di posisi Palupi itu.

Bagi seorang Palupi, keberanian menolak itu adalah sesuatu yang sangat mahal. Ini menyangkut jabatan yang diembannya dari negara.

Saudara jaksa yang terhormat tentu pernah mengalami juga dilema itu.

 

Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia,

Kami juga ingin bertanya kepada Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia, apakah kesalahan pengguna barang/jasa yang berakibat pada kurangnya kuantitas/kualitas hasil pekerjaan karena kelalaian dan ketidakprofesionalannya layak ditimpakan kepada pejabat pengadaan?

Perlulah Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia pahami, dalam pelaksanaan pekerjaan fisik, setidaknya dalam waktu tujuh hari setelah penandatanganan kontrak, pengguna barang/jasa mesti melakukan Rapat Pra Pelaksanaan atau Pre Construction Meeting (PCM).

Rapat ini begitu penting karena ia akan menyamakan persepsi seluruh isi dokumen kontrak serta membuat kesepakatan terhadap hal-hal yang belum terdapat di dalam dokumen kontrak.

Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia, siapakah yang terlibat dalam rapat penting itu?

Untuk lagi Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia pahami, yang terlibat itu adalah pejabat pembuat komitmen (PPK), kontraktor, dan konsultan pengawas.

Alangkah teledornya Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia jika tidak memahami bahwa pejabat pengadaan tidak lagi terlibat di dalam rapat ini.

 

Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia,

Lagi-lagi, Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia, bukanlah maksud kami tuk menggurui.

Akan tetapi, perlulah Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia pahami, pelaksanaan pekerjaan yang telah disampaikan di rapat itu seharusnya menjadi momen penting tentang hal-hal yang akan dipenuhi berbagai pihak.

Bila dalam rapat itu–dan kenyataannya di lapangan–tidak disepakati adanya konsultan pengawas, apakah kesalahan kesepakatan itu mesti ditimpakan ke pejabat pengadaan?

Bukankah Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia sendiri bisa memahami bahwa hal itu adalah kewenangan pengguna barang/jasa?

Jika Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia dalam posisi sebagai pengguna barang/jasa, tentulah bisa memahami bahwa seharusnya mitigasi risiko dapat dilaksanakan dari berbagai laporan proyek.

Laporan-laporan itu tentulah dibuat untuk memberikan keterangan atas berbagai tindakan penting, secara berkala maupun waktu tertentu.

Selain itu, laporan-laporan itu adalah alat kendali dalam rangka koordinasi proyek. Laporan-laporan itu juga berfungsi sebagai pertanggungjawaban dan alat komunikasi untuk menyampaikan keputusan-keputusan penting.

Begitupun, Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia tentu memahami, apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal, pengguna barang/jasalah yang harus memberikan peringatan secara tertulis.

Bukan Palupi, seorang pejabat pengadaan.

Serah terima pekerjaan pun dilaksanakan oleh tim tersendiri.

Sekali lagi, bukan Palupi, seorang pejabat pengadaan.

 

Nah, Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia,

Dengan begitu banyaknya pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan, sungguhlah tidak adil apabila kesalahan malah ditimpakan kepada Palupi, seorang pejabat pengadaan yang sederhana itu.

Sekali lagi, dalam kondisi tidak berdaya, kami menggugat nurani keadilan Saudara jaksa yang terhormat dan hakim yang mulia, pantaskah seorang pejabat pengadaan disangkakan dengan pasal turut serta itu?

 

Tertanda,

Warga negara biasa,

Yang berkumpul di sebuah Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia.

3
0
Terobosan dalam Upaya Fleksibilitas Pengadaan BLU/D Bidang Kesehatan

Terobosan dalam Upaya Fleksibilitas Pengadaan BLU/D Bidang Kesehatan

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Fleksibilitas Pengadaan Barang/jasa Pada Layanan Kesehatan Masyarakat. Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa BLU/D dapat menggunakan manajemen rantai pasokan dalam menjalankan fleksibilitas pengadaan barang/jasanya. Sejalan dengan fleksibilitas yang dimiliki BLU/D dalam pengelolaan keuangan, termasuk dalam pengadaan barang jasanya, maka diperlukan sinkronisasi terhadap tata kelola pengadaan sesuai praktik bisnis yang sehat.

—-

 

Responsivitas dari Fleksibilitas Pengadaan BLU/D

Aktivitas sebuah layanan publik, termasuk layanan kesehatan rujukan, tidak pernah lepas dari aktivitas belanja melalui pengadaan barang/jasa. Untuk menjaga keberlangsungan layanan kesehatannya, sebuah rumah sakit mewajibkan dirinya untuk dapat menyediakan sarana dan prasarana layanan kesehatan yang cepat dan berdaya guna. Kegiatan tersebut membutuhkan sebuah tata kelola di bidang pengadaan barang/jasa.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 telah menjelaskan bahwa BLU dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan yang berlaku umum bagi pengadaan barang/jasa pemerintah bila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi. Oleh karenanya, tata kelola pengadaan barang/jasa pada BLU/D sudah seyogyanya menjadi lebih responsif menjawab tantangan pelayanan yang semakin meningkat.

Semakin masifnya layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, berdampak meningkatnya secara signifikan jumlah pasien di semua rumah sakit rujukan. Fenomena adanya pasien yang harus “parkir” dulu di fasilitas lain sebelum mendapatkan ruang di bangsal perawatan yang semestinya harus bisa diantisipasi bahkan dimitigasi dengan menggunakan pengadaan melalui pengadaan BLU/D.

Terobosan dalam Perpres Pengadaan Barang Jasa yang Baru

Salah satu pasal dalam peraturan presiden terbaru, pengganti Perpres Nomor 4 Tahun 2015 (Pasal 16 Perpres Nomor 16 Tahun 2018), menyatakan bahwa peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah akan dikecualikan terhadap: (1) Pengadaan barang/jasa pada Badan Layanan Umum; (2) Pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan berdasarkan tarif yang dipublikasikan secara luas kepada masyarakat; (3) Pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan sesuai dengan praktik  bisnis yang sudah mapan; dan (4) Pengadaan barang/jasa yang diatur dengan peraturan perundang- undangan lainnya.

Pengecualian ini merupakan sebuah terobosan luar biasa dalam praktik pengadaan yang diterjemahkan dalam regulasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka BLU/D diharapkan mulai melakukan asesmen (penilaian diri) terhadap kebutuhan tata kelola pengadaan terbaik untuk ditetapkan.

Kesadaran yang perlu dibangun adalah bahwa banyak kebutuhan di lingkungan BLU/D yang sangat tergantung kepada jumlah pendapatan yang diterima. Pola belanja BLU/D juga dipengaruhi oleh alokasi belanja yang senantiasa fluktuatif dan tidak rigid sebagaimana pola belanja di birokrasi yang menggunakan dana APBN/D.

Selain itu, proses bisnis dalam layanan kesehatan juga sangat tergantung kepada pola penyakit, pola kasus, atau juga pola tindakan/layanan yang akan dilaksanakan di layanan publik.

Keadaan Cito dan Pengadaan Cito

Sebagai contoh ekstrim, dalam lingkungan BLU/D layanan kesehatan akan dijumpai kondisi cito. Kondisi cito didefinisikan oleh beberapa praktisi sebagai: “Sebuah kondisi yang sangat segera dan jika tidak diadakan/diperbaiki/ditangani akan mengganggu pelayanan rumah sakit atau berakibat akan membahayakan keadaan pasien/jiwa.”

Beberapa kriteria keadaan cito ini adalah:

  1. Keadaan yang mengancam keselamatan jiwa.
  2. Barang/ jasa yang harus mendapat penanganan kurang dari 48 (empat puluh delapan) jam.
  3. Barang/ jasa diadakan yang perlu penanganan khusus secara cepat.
  4. Terjadinya wabah, bencana, atau terjadinya lonjakan kasus secara signifikan yang memerlukan penanganan segera.

Untuk menangani keadaan cito maka diperlukan tata kelola pengadaan cito yang sangat responsif, lebih dari sekedar penunjukan langsung. Dalam salah satu terminologi medis, penanganan keadaan cito ini akan sangat dipengaruhi golden hours, yaitu masa-masa kritikal yang merupakan waktu toleransi untuk penanganan secara segera. Penanganan kondisi medis cito melebihi golden hours karena akan membahayakan keselamatan jiwa pasien dan sering berujung kepada fatalitas.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kizito Elijah Kanyoma & James Kamwachale Khomba pada tahun 2013 (The Impact of Procurement Operations on Healthcare Delivery: A Case Study of Malawi’s Public Healthcare Delivery System).

Penelitian tersebut mengatakan bahwa akibat dari ketiadaan stok (sebagai akibat lemahnya proses pengadaan) akan memberikan dampak di antaranya kematian pasien, keruwetan di rumah sakit (overcrowding), menurunkan kondisi medis pasien, dan penundaan/keterlambatan tindakan operasi.

Pendekatan manajemen rantai pasok dalam penanganan keadaan cito ini dapat dijadikan sebagai benchmark bagi layanan kesehatan berbasis BLU/D. Pemahaman bahwa pengadaan merupakan sebuah optimasi proses memperoleh barang jasa yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kebutuhan yang terjadi digambarkan secara memadai dalam manajemen rantai pasok tersebut.

Pendekatan Manajemen Rantai Pasok dalam Pengadaan BLU/D

Manajemen Rantai Pasok atau Supply Chain Management (SCM) adalah suatu sistem antar fungsi operasional yang strategis dalam suatu organisasi yang berperan dalam mengelola tugas-tugas yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pasokan di semua lini. Pengelolaan tersebut dimulai dari proses hulu, proses internal, hingga proses hilir yang dilaksanakan secara terpadu, terencana, terukur, efektif, dan efisien (Turban, Rainer, and Porter, 2004).

Adapun komponen SCM terbagi atas :

  1. Rantai suplai hulu, yaitu aktivitas perencanaan dan pengadaan.
  2. Rantai suplai internal, yaitu aktivitas penerimaan, penyimpanan, dan pengolahan.
  3. Rantai suplai hilir, yaitu aktivitas alokasi dan pendistribusian ke pengguna akhir.

Penentuan kriteria barang/jasa menggunakan kuadran supply positioning model masih sangat relevan dalam perencanaan kebutuhan pengadaan barang jasa di lingkungan BLU/D. Penggunaan kategori critical, bottleneck, leverage, maupun routine sudah saatnya dijabarkan dalam tata kelola yang simpel tetapi tetap akuntabel. Barang dan jasa dikategorisasi tidak hanya berdasarkan nilai belanjanya tetapi juga diperhitungkan nilai risiko pemenuhan barang jasa tersebut bagi layanan kesehatan.

Praktik pengadaan terbaik di berbagai tempat, baik lingkungan birokrasi di negara maju atau bahkan di lingkungan  korporasi, dapat diadopsi untuk digunakan. Dalam praktik tersebut  lelang hanya merupakan salah satu alat dalam pemilihan penyedia, dan bukan yang utama.

Dalam alur manajemen pasokan, sebelum menggunakan atau mendistribusikan barang dan jasa perlu terlebih dulu mencari barang dan jasa sesuai kebutuhan. Barang/jasa tersebut dapat berbentuk produk jadi, jasa layanan, maupun pekerjaan konstruksi. Proses perencanaan dalam alur manajemen pasokan, dibagi menjadi 3 kategori utama, yaitu :

  1. Barang/jasa berbasis kebutuhan berulang (repeatable based).

Pada kategori ini metode estimasi dapat digunakan untuk merencanakan belanja yang akan dilakukan. Prinsip sederhananya adalah mengikuti pola belanja kurun waktu sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi saat akan belanja. Penggunaan marketplace, online shop, e-purchasing  umumnya dilaksanakan untuk menyelesaikan kebutuhan barang/jasa ini.

  1. Barang/jasa berbasis proyek (project based)

Pada kategori ini penyusunan kerangka acuan kerja (Term of Reference) yang dilanjutkan dengan penyusunan harga perkiraan pekerjaan (Owner Estimate) perlu dilakukan. Pekerjaan dalam kategori ini merupakan barang/jasa yang membutuhkan serangkaian proses yang beraneka ragam dan penyelesaian pekerjaannya pun membutuhkan waktu. Contohnya pembangunan gedung bangsal.

Pola pemilihan penyedianya pun bisa bervariasi, mulai dari pemilihan penyedia (quotation), tender terbuka, atau bisa juga penunjukan langsung. Dalam rangka mencapai kebutuhan maka batasan biaya hanya menjadi salah satu parameter saja.

  1. Barang/jasa berbasis penanganan emergensi/darurat (emergency based)

Terhadap barang/jasa yang berbasis penanganan emergensi/darurat, maka filosofi pengadaan secara umum yang dilaksanakan pada kondisi normal tidak digunakan. Perhatian utama dalam pengadaan barang/jasa pada kategori ini adalah kebutuhan barang/jasanya harus segera ada ketika dibutuhkan tanpa direpotkan dengan serangkaian administrasi dalam keadaan biasa.

Penanganan kasus menjadi prioritas utama, sedangkan proses administrasi dilakukan sesederhana mungkin dan dilaksanakan setelah kondisi emergensi/daruratnya terlewati. Pengadaan cito bisa jadi akan memakan biaya lebih mahal, tetapi akan menjaga kepentingan lain yang lebih besar karena pada hakikatnya kesehatan dan keselamatan jiwa tidak bisa diganti dengan uang asuransi sebesar apapun. Namun, dalam proses ini perlu disiapkan pola pertanggungjawaban yang memadai  dan akuntabel dengan memanfaatkan perkembangan teknologi kekinian.

Pemilihan penyedia/rekanan dalam manajemen rantai pasok akan menyesuaikan kompleksitas dari masing masing kategori di atas.

Epilog

Masih terdapat tantangan yang besar untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai proses bisnis di lingkungan BLU/D dan sekaligus memberi peluang perbaikan pengadaan yang luas. Hal ini disebabkan mayoritas layanan kesehatan BLU/D yang ada saat ini masih mengandalkan proses pengadaannya hanya kepada pengaturan jenjang nilai semata.

Semangat fleksibilitas yang sudah mulai dipahami dalam perpres pengadaan yang terbaru perlu diimplementasikan dalam suatu tata kelola pengadaan BLU/D yang dinamis dan fleksibel.

Segenap pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Kesehatan, LKPP, dan praktisi pengadaan di sektor kesehatan, perlu bersinergi untuk benar-benar mampu mewujudkan inovasi pengadaan barang jasa di lingkungan BLU/D kesehatan.

Mari bersama menuju Indonesia sehat!

 

2
0