Memahami Kehidupan ASN Dari Sebotol Minuman Bersoda

by | Sep 7, 2021 | Birokrasi Berdaya, Motivasi | 6 comments

Entah mengapa setelah melihat iklan minuman bersoda di televisi, saya tergoda juga untuk menikmatinya. Langsung saya starter sepeda motor, ngacir ke minimarket. Pilihan saya jatuh ke Fanta. Warna merah, lengkap dengan butiran embun di botolnya, menjadi kombinasi yang pas untuknya dinikmati di siang hari yang terik.

Setelah menyelesaikan tegukan pertama, pikiran saya kok rasanya mulai berfantasi. Fanta ini merupakan salah satu produk yang unik. Mengapa? Walaupun komposisinya sama, cara produksinya sama, tetapi harganya bisa berbeda-beda. Tergantung di mana tempat ia berada.

Ada Lingkungan Ada Harga

Saya membayangkan sebuah truk yang mengangkut botol-botol Fanta. Truk itu keluar dari pabriknya. Mendistribusikan botol-botol Fanta ke berbagai tempat. Ada yg dititipkan di warung pedagang kaki lima, ada yang ditempatkan di minimarket, kemudian ada yg dijual di restoran dan hotel.

Coba kita jalan-jalan dan membeli produk Fanta di pedagang kaki lima. Kemudian, beli lagi di minimarket. Kemudian beli lagi di hotel. Kita akan mendapati harga yang berbeda-beda.

Harga satu botol Fanta di warung pinggir jalan mungkin hanya berkisar 5 ribu. Beli di minimarket, harganya 7-8 ribu. Dan di hotel atau di restoran, sebotol Fanta bisa dibandrol dengan harga puluhan ribu rupiah.

Seandainya botol-botol Fanta itu dapat berbicara. Mungkin mereka akan request kepada supir truk pengangkut untuk ditempatkan ditempat yang lebih prestisius, agar memiliki nilai jual yang tinggi. “Brader, tolong letakkan aku di hotel ya, jangan diturunkan di warung pinggir jalan”, pinta botol Fanta.

Harga Fanta berbeda-beda tergantung tempat, padahal ia berasal dari bahan dan pabrik yang sama. Ini senada dengan apa yang terjadi pada manusia. Manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan tempat yang lebih ‘mewah’, untuk mendapat ganjaran harga yang lebih tinggi. Di dunia ini, ternyata bukan hanya ada istilah, ada harga ada barang. Tetapi juga, ada lingkungan ada harga.

Lingkungan dapat memberikan keistimewaan tersendiri. Anak yang lahir di lingkungan keluarga yang kaya raya, akan berbeda dengan anak yang lahir dari keluarga sederhana. Di masa sekolah, anak yang mampu mengakses pendidikan di sekolah yang berlabel standar internasional, akan berbeda dengan anak yang bersekolah di sekolah negeri.

Maudy Ayunda dan Lingkungan Sekolahnya

Ada Maudy Ayunda, yang belum lama ini berhasil mendapatkan gelar Master dari Universitas Stanford. Ada kisah menarik dibalik kesuksesan Maudy Ayunda hingga mampu mengenyam pendidikan sampai ke luar negeri.

Dalam laman instagram miliknya, Ibunda Maudy Ayunda menceritakan, dari TK sampai kelas 2 SD, Maudy bersekolah di sekolah dengan kurikulum nasional. Pada awalnya, ia tidak terpikir untuk memindahkan sekolah anaknya tersebut. Karena sekolah itu memiliki fasilitasnya cukup memadai.

Sampai suatu ketika, Ia mengalami kegelisahan saat menemani anaknya belajar. Ia mendapati hal yang membuatnya kecewa atas materi yang diajarkan. Murid diminta untuk menghafal nama-nama kecamatan yang ada di Jakarta dan materi-materi hafalan lain, sesuatu yang dianggapnya kurang tepat.

Sejak saat itu, ibunda Maudy mulai hunting sekolah untuk anaknya. Dengan cara yang cukup unik Ia mencicipi calon sekolah untuk anak sulungnya tersebut. Ia tidak masuk ke dalam ruang kantor kepala sekolah. Tetapi ia mengamatinya dengan cara duduk di kantin, mengamati murid-murid berceloteh, mengintip proses belajar di kelas.

Sampai pada akhirnya, ia menemukan sebuah Sekolah Dasar berkurikulum Nasional Plus yang terbilang masih baru. Di sana, ia mendapati lingkungan yang kondusif. Para siswa terlihat santun, walaupun berbicara dengan bahasa asing.

Para guru juga terlihat begitu akrab dengan siswa. Ia merasakan proses belajar yang menyenangkan, penuh semangat, dan kegembiraan, karena proses belajar terjadi secara dua arah. Seperti yang sudah diduga, sang Ibu mengajak anaknya untuk survey dan trial di sekolah tersebut.

Pada akhirnya, Maudy dan ibunya memutuskan untuk bersekolah di sana, dari SD sampai tingkat SMP. Ketika SMA, tentulah Maudy memilih sekolah yang lingkungannya minimal sama dengan lingkungan sekolah yang ia rasakan sebelumnya.

Coba kita bayangkan bila Maudy Ayunda tidak pindah sekolah. Mungkin Ia akan sulit terpacu untuk mengembangkan dirinya, dan menjadi anak yang biasa-biasa saja. Mimpi untuk mengenyam pendidikan di luar negeri pun mungkin harus dilalui dengan proses yang lebih berdarah-darah.

Job Hopper, Kaum Milenial di Tempat Kerja

Ya, memang kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di lingkungan keluarga kaya raya, atau keluarga biasa. Dan, Tuhan Maha Adil, dalam fase berikutnya pun, semua kembali kepada individu masing-masing.

Apakah ingin memanfaatkan privilege tersebut dengan mengenyam pendidikan yang lebih baik, atau sudah merasa puas berada di titik tersebut. Tidak sedikit, orang yang berasal dari lingkungan berada, namun memiliki masalah dalam pendidikannya.

Begitu juga saat kita memasuki dunia kerja. Selepas selesai masa studi, umumnya kita mulai berpetualang untuk mencari tempat kerja yang ideal. Ideal dari sisi lingkungan kerja serta tentu saja remunerasinya.  Bila belum cocok, umumnya kita memilih mencari alternatif tempat bekerja lain.

Bagi generasi milenial yang bekerja di sektor swasta, mereka mudah sekali berpindah-pindah tempat kerja. Sangat jarang ada yang ingin bekerja di suatu tempat dari sejak lulus kuliah sampai dengan masa pensiunnya nanti. Fenomena ini yang membuat kaum milenial dijuluki dengan sebutan job hopper atau kutu loncat.

Survey Deloitte pada tahun 2019 menemukan bahwa 49,5% responden yang berasal dari generasi milenial mengaku waktu yang ideal untuk bekerja di satu tempat atau perusahaan adalah 3-5 tahun. 24% responden merasa bahwa waktu 1-2 tahun adalah waktu yang ideal. Hanya 15% responden yang ingin bekerja di suatu tempat lebih dari 5 tahun.

Dalam survey ini juga ditanyakan tentang apa saja yang diinginkan oleh milenial dari tempat kerjanya? Pada pertanyaan ini responden boleh memilih lebih dari satu jawaban. Hasilnya, sebanyak 83% mengatakan bahwa faktor yang paling diharapkan oleh milenial dari tempat kerjanya yaitu lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi.

81% mengharapkan suasana kerja yang menyenangkan. 44% mengungkapkan harapan akan adanya pemenuhan diri. 34% mengharapkan remunerasi. 26% di antaranya mengharapkan perusahaan tempatnya bekerja  memiliki perhatian sosial dalam bisnisnya.

Pengembangan Diri: Motivasi Utama Milenial

Dari survey ini kita dapat melihat bahwa kaum milenial sadar betul betapa pentingnya pengembangan diri, alih-alih berfokus pada peningkatan gaji. Dengan kualitas diri yang semakin berkembang, peningkatan karir serta pendapatan tentu akan mengikuti.

Di usia dewasa, lingkungan kerja menjadi faktor yang dominan dalam memengaruhi perilaku, kualitas diri, dan tentunya kesejahteraan ekonomi. Sebab, minimal sepertiga waktunya dalam sehari berada di lingkungan kerja.

Oleh karena itu, mereka ogah berlama-lama berada di suatu tempat yang tidak mampu mendukung dalam pengembangan diri. Di tengah persaingan global, kita menyadari bahwa untuk memenangkan persaingan ini hanya bisa dilakukan dengan cara mengembangkan kapasitas diri. Lingkungan berkontribusi untuk terus menjaga motivasi dan spirit tersebut.

Inilah kenapa banyak kaum milenial yang terkesan seperti kutu loncat, pindah dari satu kantor ke kantor lain. Orientasi milenial yang tidak ingin bekerja sampai dengan usia pensiun. Mereka bekerja untuk mencari pengalaman dan untuk meningkatkan berbagai macam skill yang mulai dari marketing, pengelolaan SDM, sampai dengan purchasing.

Semua keahlian ini akan menjadi bekalnya kelak saat membuka usaha sendiri. Selain itu, mereka juga mengincar tempat bekerja atau perusahaan yang mempu memberikan gaji lebih besar besar guna mempercepat pengumpulan modal usaha.

Turn Over yang Rendah dan Loyalitas ASN

Bagaimana dengan pekerja yang bekerja di sektor publik? Dalam acara yang bertajuk Talkshow ASN BerAKHLAK & Bangga Melayani Bangsa “Edisi Spesial Olimpiade Tokyo 2020” yang dihelat pada 19 Agustus 2021 lalu, Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB mengungkapkan bahwa sebanyak 87,3% ASN memiliki keinginan bekerja sampai dengan usia pensiun.

Bila harus pindah, 73,3% juga memilih untuk pindah di instansi pemerintahan juga. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang tergambar dari sektor swasta. Mungkin sebagian besar dari kita menganggap bahwa menjadi PNS adalah pekerjaan yang ideal, sehingga bisa digeluti sampai dengan usia pensiun.

Namun ternyata, dalam survey yang dilakukan oleh Kementerian PANRB itu tergambar bahwa faktor ingin berkontribusi terhadap negara (perbaikan pelayanan masyarakat) menjadi alasan terbanyak dari para responden memilih berkarir sebagai ASN, yaitu sebesar 84,3%.

Sementara itu, 51% dari responden memilih menjadi ASN karena adanya kesejahteraan (gaji dan tunjangan yang menarik, ada jaminan pensiun). Selain kesejahteraan, ada pula kesempatan mengembangkan diri, serta adanya jenjang karir yang jelas.

Dari survey tersebut, dapat dilihat bagaimana loyalitas serta motivasi para PNS yang cukup tinggi. Dengan turn over yang kecil, instansi publik tidak memiliki kesulitan dalam mengatasi dinamika pegawai yang keluar-masuk. Karena sudah terpetakan, kapan pegawai akan keluar (pensiun), sehingga perencanaan penempatan pegawai bisa disusun lebih akurat.

Namun, hal yang menjadi tantangan dengan loyalitas semacam itu adalah bila pegawai tidak menunjukkan performa yang baik. Selama itu pula, instansi akan sulit mencapai performa terbaiknya.

Untuk itu, diperlukan lingkungan atau ekosistem organisasi pembelajar. Lingkungan yang mampu membuat para pegawai dapat mengembangkan kapasitas serta kompetensinya. Hal ini senada dengan amanat dalam UU ASN yang menyebutkan bahwa pengembangan kompetensi ASN, selain menjadi tanggung jawab di level nasional juga di level instansional.

Epilog: Kembali pada Minuman Bersoda

Bagi sebotol minuman bersoda, lingkungan tempat dia berada dapat menciptakan harga. Namun, bagi manusia, lingkungan bisa menentukan kualitas diri, yang pada akhirnya akan menentukan nilai. Dengan kualitas yang dimilikinya, maka nilai dirinya pun akan terbentuk. Manusia akan menerima penghargaan sesuai dengan kualitas yang dimilikinya.

7
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

6 Comments

  1. Avatar

    Keren mas Oki, ditunggu tulisan selanjutnya

    Reply
    • Avatar

      terima kasih bang Nando.. Semoga kita bisa bersua kembali ya

      Reply
  2. cakbro

    Seorang anak bagai secarik kertas putih, bergantung orangtuanya ia ingin menjadi apa. Saat saya kecil menjadi anak tersisa kejayaan (anak bungsu) karena bapak seorang pensiunan PNS, dan terpaksa pindah ke daerah bisa dibilang kumuh diujung kota. tanjung priok namanya. Saya hanya ingat nasehat orang tua, boleh berteman dengan siapa saja, termasuk yang buruk perilakunya, tapi selalu diingatkan bahwa dulu saya adalah keluarga terhormat dan harus dijaga perilakunya.
    Bersama teman yang buruk atau jahat sekalipun berusaha tidak terpengaruh, bersama teman yang kaya justru menjadi motivasi, dan berteman dengan orang pintar selalu mempelajari caranya belajar. Semuanya saya tulis dalam buku kisah pribadi “Laskar Pelangi ala Cak Bro”.

    Saat menjadi orang tua, saya selalu mengajak anak ketempat orang susah, ke pasar melihat kuli-kuli, tukang parkir. Dan juga saya ajak ke kantor-kantor megah. Dan hanya mengajarkan mau jadi apa terserah dan lihat apa hasilnya apa mau jadi anak yang pintar dan rajin atau jadi pemalas.
    Ketika saya ditugaskan di daerah yang jelas jauh dari keluarga, kualitas bertemu hanya untuk mengingatkan untuk selalu mandiri. Saya ajarkan untuk tidak minta diajarkan PR sekolah, saya hanya bilang bahwa ibu saya tidak pernah sekolah tapi anaknya bisa jadi sarjana berarti kalian juga harus mandiri, kalian pintar karena diri sendri bukan diajarkan orang tua. Alhamdulilah, mereka semuanya sukses. Sejak kecil hingga dewasa, mereka pernah tak pernah meminta sesuatu yang berlebihan dan mandiri.

    Kesimpulan: jangan pernah merasa kecewa dengan apa yang dimiliki seandainya buakn berasal dari keluarga yang berada tapi bisa optimalkan apa yang ada untuk peningkatan diri.

    Reply
    • Avatar

      Sepakat Pak. Karakter dan kualitas kita bukan ditentukan dari “uang” orangtua. Didikan dari orangtua menjadi penentu karakter sang anak saat Ia dewasa. Beruntung kita mendapat didikan yang baik dari orangtua yang baik.

      Terima kasih pak, sudah berkenan berbagi. Sukses terus, Cak..

      Reply
  3. Avatar

    Gokil, sangat menginspirasi tulisan nya

    Reply
    • Avatar

      Alhamdulillah, terima kasih mas Nasikhin..

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post