Seandainya hakikat kurban telah dipahami sebagai sebuah pengorbanan untuk berani ‘menyembelih’ kepentingan pribadi, rasanya kondisi yang sedang terjadi saat ini dapat teratasi. Saat ini kita sedang gelisah di tengah wabah. Gelombang kedua serangan COVID-19 tengah menyebar laksana air bah yang melanda ibu kota.
Ya, seperti bencana banjir atau bencana alam lainnya. Banyak yang hanya bisa memberikan kritikan dan nyinyiran, namun tak pernah memberikan solusi yang konstruktif. Banyak yang ingin tampil memberikan bantuan, tetapi tetap kritikan yang terdengar. Sebuah serapah yang seolah-olah ingin menunjukkan bahwa pemerintah selalu salah, bahwa pemerintah tidak pernah cukup baik dalam mengatasi pandemi.
Hari Raya Orang Mampu
Hari Raya Idul Adha merupakan momen ‘pesta pora’ bagi kaum dhuafa. Di masjid-masjid di seluruh pelosok negeri, dibagikan rejeki berupa daging kambing atau sapi qurban. Idul Adha ini sebenarnya adalah hari raya bagi orang yang mampu (the haves). Mereka mengorbankan sebagian hartanya demi membeli hewan ternak, menyembelih, lalu membagikannya kepada yang berhak, termasuk orang miskin.
Mengapa dikatakan Hari Raya untuk orang yang mampu? Karena hari besar umat Islam ini mengandung kewajiban bagi mereka yang ‘mampu’ untuk melaksanakan kurban. Artinya, lebih mengikat atau dibutuhkan oleh umat Islam yang berkemampuan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW, yang dengan tegas dan lugas bahkan mengancam, agar umatnya melaksanakan salah satu rukun islam tersebut. Termaktub dalam hadits dari Abu Hurairah: “Barang siapa ‘yang mampu’ dan tak mau berkurban, dilarang mendekati tempat shalatku.“ (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Prinsip dan Hakikat Berkurban
Kurban tidak hanya semata-mata sebuah ritual memotong atau mengalirkan darah hewan kurban, melainkan tunduk pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan berkurban Allah menguji keimanan hamba-Nya seperti halnya nabi Ibrahim.
Kisah Nabi Ibrahim secara logika memang tidak masuk akal. Awal mulanya Ibrahim diminta untuk menyembelih anak kesayangannya, seorang anak yang diidamkan selama bertahun-tahun lamanya. Meskipun akhirnya digantikan dengan seekor kambing gibas.
Mari sejenak merenung dan merefleksikan diri. Jika berkurban dengan rasa iman, niscaya kita dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan. Banyak masalah yang sejatinya terjadi karena tak ada yang mau mengalah, mementingkan diri sendiri.
Bukankah para guru berkurban agar ilmu yang diajarkan berguna bagi murid-muridnya di masa depan? Bukankah orang kaya berkurban dari harta yang dimilikinya untuk menyempitkan jarak dengan orang miskin?
Bukankah kita, para pegawai baik negeri ataupun swasta, pejabat atau pengusaha, politikus dan lainnya, berkurban dengan waktu, ilmu dan pikiran demi kemajuan tugas yang diemban sesuai dengan peran masing-masing.
Maka pada hakikatnya, berkurban adalah berani ‘menyembelih’ sesuatu yang kita sayangi (harta, ilmu, keluarga, serta waktu) demi kepentingan masyarakat, kepentingan perusahaan, organisasi, atau negara. Inilah hakikat kurban yang pertama!
Hakikat kurban adalah berbagi untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Di dunia ini tidak ada yang disebut kaya bila tidak ada orang miskin. Tidak ada yang dikenal pintar bila tidak ada orang bodoh. Tidak ada atasan bila tidak ada bawahan. Tidak ada direktur bila tidak ada pegawai. Termasuk tidak ada kepala negara bila tidak ada rakyatnya.
Hakikat berkurban adalah adanya kebersamaan di antara kita, yang sadar akan posisi dan peranan masing-masing. Sang guru diberkahi ilmu agar dapat diamalkan kepada muridnya, orang kaya diamanahi harta dan berkewajiban memberikan kepada yang tidak mampu, pengusaha berkewajiban memberi lapangan kerja dan menyejahterakan pegawainya. Begitupun para pejabat memiliki kedudukan dan berkewajiban melaksanakan tugas dengan memperhatikan hak-hak bawahannya.
Sebenarnya, prinsip berkurban sudah diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama di dalam keluarga, yaitu antara orang tua dan anaknya. Orang tua bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga dan mendidik anak-anaknya tanpa pamrih. Masalahnya, mengapa sulit menerapkannya dalam lingkungan yang lebih luas: bermasyarakat dan bekerja?
Kadangkala kita hanya menjalankan perintah kurban tanpa mengerti maksud dan tujuannya. Seorang peternak misalnya, hanya ‘sekedar’ menjual hewan kurbannya kepada pedagang, yang kemudian dibeli oleh si pemilik baru untuk kemudian diserahkan kepada panitia kurban. Si pemilik baru, bila perlu, menyaksikan hewan kurbannya disembelih. Lalu urusan bagi-bagi porsi kembali diserahkan kepada panitia kurban.
Tetapi, apakah hakikat kurban sedangkal itu?
Pembagian Kurban dan Kebersamaan
Di zaman nabi, momen berkurban selalu disempatkan sebagai ajang kumpul dan makan bersama kaum dhuafa. Ada rasa kebersamaan yang tercipta saat nabi menjawab pertanyaan atau sekedar mendengarkan keluh kesah dari kaum dhuafa. **Inilah hakikat berkurban yang kedua!
Dengan prinsip berkurban dan kebersamaan serta mau ‘menyembelih’ kepentingan, niscaya tidak akan pernah ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Kaya atau miskin, atasan atau bawahan, pejabat ataupun rakyat jelata, mereka dapat berkumpul dalam kebersamaan.
Tidak ada jarak di sana. Semua masalah dibicarakan. Semua masalah coba diselesaikan. Ada candaan di sela-sela tukar pikiran. Ada kehangatan yang menguar di udara serta rongga perut. Semua melebur hingga lupa apa itu jarak.
Tetapi, mengapa kondisi yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya? Dalam media televisi saat ini, para pejabat atau penegak hukum justru ‘gontok-gontokan’ walaupun berada di depan publik sekalipun. Mengapa mereka tidak memiliki kebersamaan dan justru saling menjatuhkan sehingga mereka lupa akan posisi atau peran maupun tugas sebenarnya?
Jawaban secara gamblang dan lugas adalah karena mereka tidak mau melepas ‘ego’ atau kepentingan masing-masing, sehingga tidak ada kebersamaan. Mereka bisa saja mampu menyembelih berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus ekor hewan kurban. Akan tetapi penyembelihan itu hanya dijadikan sebagai ritual belaka, karena mereka gagal untuk ‘menyembelih’ kepentingan pribadinya.
Pengakhir Kata
Seandainya kita bisa duduk bersama, mengesampingkan ego dan kepentingan masing-masing untuk fokus menyelesaikan masalah, mungkin situasi krisis ini bisa terselesaikan secara optimal. Namun sayangnya masih ada kecenderungan untuk mengenyampingkan ide pihak lain yang meskipun itu lebih baik.
Atas nama aktualisasi, kita lebih memilih untuk menjalankan ide kita sendiri. Di sisi lain, masyarakat pun lebih senang menyampaikan cuapan tidak berarti di sosial media sehingga hanya menambah kegaduhan, padahal saluran untuk menyuarakan aspirasi sudah disediakan.
Jika semua mau duduk bersama, mau memahami tugas dan perannya, menundukkan egonya untuk sejenak berhenti mengharap pengakuan dan pujian, maka sejatinya kita telah menjalankan hakikat kurban.
Kita tidak saja menjalankan sebuah ritual agama, tetapi kita sebagai warga negara Indonesia telah menyatukan langkah dan bekerja sama meruntuhkan ego masing-masing untuk mencari solusi yang paling optimal dalam menghadapi masalah COVID-19 ini.
Bekasi, Medio Juli 2021
0 Comments