‘Dekriminalisasi’ Pengadaan Melalui Integrasi Penanganan Permasalahan Hukum  Barang/Jasa

‘Dekriminalisasi’ Pengadaan Melalui Integrasi Penanganan Permasalahan Hukum Barang/Jasa

 

Oleh : RAHMAD DAULAY*

 

 

Mekanisme pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah sebenarnya sudah merujuk pada berbagai aturan yang ada di Indonesia. Mekanisme ini disusun berdasarkan peraturan terkait perbendaharaan negara, penyelenggaraan jasa konstruksi, dan pengelolaan barang milik negara/daerah. 

Oleh karena itu, mekanisme ini memungkinkan penanganan permasalahan dan kasus pengadaan, jika terjadi, secara cepat dan tuntas. Ironisnya, aparat penegak hukum (APH), seperti kepolisian, kejaksaan, dan auditor, selama ini ternyata tidak menggunakan mekanisme tersebut. Hal ini terjadi karena APH menggunakan mekanisme yang berbeda. Akibatnya, pelaku pengadaan menganggap telah terjadi praktik ‘kriminalisasi’ oleh APH terhadap mereka. 

Walaupun isu kriminalisasi ini telah menjadi perhatian utama Presiden Jokowi karena terhambatnya pertumbuhan belanja pemerintah, sampai sekarang praktik kriminalisasi itu masih terjadi di lapangan, terutama di lingkungan pemerintah daerah. Untuk ‘mendekriminalisasi’ tindakan APH tersebut, artikel ini mencoba memberikan solusi jalan tengah.

———

 

Data BPS dalam bulan Agustus 2017 ini menunjukkan bahwa jumlah APBN mengalami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir.

Konsumsi pemerintah juga cenderung turun. Hal itu menunjukkan bahwa ada faktor yang menghambat penyerapan dana pemerintah, terutama atas dana yang dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa. Faktor penghambat itu adalah ancaman ‘kriminalisasi’ oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap pelaku pengadaan barang/jasa.

APH tidak secara langsung melakukan ancaman kriminalisasi. Bentuk kriminalisasi yang terjadi adalah segala pengaduan masyarakat atas sengketa pengadaan langsung diperlakukan sebagai sebuah kejahatan pidana. Jadi, pengaduan masyarakat sebagai awal, perlakuan sebagai pidana sebagai proses, dan permasalahan hukum sebagai hasil.

Kriminalisasi dalam pengadaan barang/jasa terjadi karena perbedaan persepsi dalam memahami substansi perkara pengadaan. Penerapan pasal-pasal tindak pidana korupsi (tipikor) oleh APH sering dipaksakan atas semua masalah pengadaan. Suatu perbuatan yang sebenarnya hanya bersifat administratif bisa ‘digiring’ oleh mereka untuk memenuhi unsur tipikor. 

Padahal, penanganan secara hukum dengan pasal-pasal Tipikor oleh APH mestinya merupakan jalan terakhir yang ditempuh dalam menyelesaikan kasus pengadaan. Penanganan secara administrasi idealnya yang dikedepankan. Terkecuali ditemukan indikasi pelanggaran hukum, barulah masalah itu ditindaklanjuti menjadi kasus tipikor. 

Sebab, sebenarnya telah ada mekanisme yang memadai untuk itu, yaitu yang terkait dengan penanganan pengaduan, penanganan kerugian negara, dan penanganan kegagalan bangunan dan ganti rugi. 

Penanganan Pengaduan

Penangan pertama terhadap seluruh pengaduan tentang permasalahan pengadaan barang/jasa berada di tangan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Idealnya, APH hanya bisa bekerja setelah mendapatkan laporan atau pelimpahan dari APIP atau LKPP. 

Penanganan pengaduan dalam masalah pengadaan mestinya disampaikan kepada APIP dan LKPP. Pengaduan ini harus disertai dengan bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan. 

Selanjutnya, APIP atau LKPP menindaklanjuti pengaduan tersebut sesuai dengan kewenangannya. Jika diyakini terdapat indikasi KKN yang akan merugikan keuangan negara, mereka akan melaporkannya kepada APH.

Penanganan Kerugian Negara

Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Setiap kerugian negara/daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Selanjutnya, pengenaan ganti rugi kerugian negara/daerah ditetapkan oleh BPK. Apabila ditemukan unsur pidana, maka BPK menindaklanjutinya sesuai peraturan yang berlaku, yaitu menyampaikan kepada APH. 

Penyelesaian kerugian negara ini perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya. 

Dari uraian ini, bisa disimpulkan bahwa kerugian negara/daerah ditangani pertama kali oleh BPK dan bila ditemukan unsur pidana baru ditindaklanjuti kepada APH. 

Penangangan Kegagalan Bangunan dan Ganti Rugi

Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik sebagian maupun keseluruhan, dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjan konstruksi. 

Bangunan yang bisa dikatakan mengalami kegagalan bangunan harus ditetapkan oleh penilai ahli. Ganti rugi kegagalan bangunan dapat dilakukan oleh asuransi. Penyelesaian sengketanya juga dilakukan di luar pengadilan. Dari uraian ini, bisa diambil kesimpulan bahwa kesalahan atas kegagalan bangunan ditetapkan oleh penilai ahli.

Sementara itu, terkait dengan ganti rugi, setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi. Sanksi yang bisa diberikan kepada pihak yang menimbulkan kerugian adalah sanksi administratif dan atau sanksi pidana.

Kesimpulannya, semua permalahan yang mungkin timbul dalam proses pengadaan sudah mempunyai saluran dan mekanisme penanganannya sendiri-sendiri sebelum ditangani dengan pasal-pasal Tipikor oleh APH. 

Intinya, pengaduan disampaikan ke APIP/LKPP, kerugian negara/daerah ditangani oleh BPK, kegagalan bangunan diperiksa oleh penilai ahli, dan kerugian negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi. 

Penyebab Kriminalisasi

Dengan mekanisme yang jelas seperti itu, seharusnya tidak banyak pelaku pengadaan yang terjerat masalah hukum. Sebab, sudah ada prosedur administratif yang bisa memberikan jaminan bagi tuntasnya setiap permasalahan pengadaan tanpa melibatkan APH terlebih dahulu. 

Namun, fakta berbicara lain. Pertanyaannya, mengapa masih banyak pelaku pengadaan yang mengalami kriminalisasi pengadaan? 

Salah satu penyebabnya adalah karena APH hanya berpedoman pada ‘pakemnya’ sendiri. Mekanisme penanganan permasalahan pengadaan yang diatur dalam sejumlah peraturan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, tidak dianggap sebagai bagian dari proses penyelesaian Tipikor oleh APH. 

Sedihnya, sepanjang pengamatan saya, tidak ada satu pasalpun yang mengakui dengan kokoh eksistensi APIP, LKPP, BPK, dan penilai ahli dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Peluang Dekriminalisasi

Arahan Presiden di Istana Negara pada tanggal 19 Juli 2016 telah menegaskan bahwa pembangunan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan APH harus sejalan dengan semangat presiden dalam melaksanakan kebijakan pembangunan. 

Instruksi Presiden tersebut meliputi kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan, tindakan administratif tidak boleh dipidanakan, kerugian negara ditentukan oleh BPK, kerugian negara harus konkrit dan tidak mengada-ada, dan permasalahan pengadaan tidak perlu diekspos ke media massa secara berlebihan sebelum dilakukan penuntutan.

Instruksi Presiden tersebut telah disambut gembira oleh para pelaku pengadaan karena bermuatan ‘dekriminalisasi’ pengadaan. Namun, seiring dengan berlalunya waktu, instruksi Presiden tersebut mulai hilang dari ingatan para APH. Mungkin karena dalam tata urutan perundang-undangan posisi Instruksi Presiden ini berada sangat jauh di bawah UU. Sementara itu,  APH bekerja berdasarkan UU. 

Oleh karena itu, untuk men-dekriminalisasi pelaku pengadaan, kita perlu melakukan harmonisasi antara mekanisme penanganan permasalahan pengadaan dan aturan yang diacu oleh APH. Dengan demikian, instruksi Presiden itu tidak akan hilang dari ingatan APH. 

Caranya, para pelaku pengadaan harus berkoalisi dengan LKPP, IAPI, dan APPI untuk duduk bersama dengan APH mengharmonisasi peraturan masing-masing agar selaras dengan instruksi Presiden tanggal 19 Juli 2016 itu. 

Mereka perlu mengintegrasikan penanganan permasalahan pengadaan ke dalam berbagai UU yang menjadi acuan APH. Alternatif lain adalah membentuk suatu UU yang bersifat komprehensif terkait penanganan kasus pengadaan barang/jasa di Indonesia yang mengintegrasikan berbagai peraturan yang ada, terutama yang diacu oleh APH.

Dengan integrasi ini, para aktor seperti APIP, LKPP, BPK, dan penilai ahli akan diakui eksistensinya dalam UU yang menjadi acuan APH. Sepanjang integrasi ini tidak dilakukan, maka kriminalisasi APH akan menjadi cerita berulang di negeri ini.

Intinya, dekriminalisasi pengadaan adalah mimpi kita semua.

Salam reformasi, dari Madina untuk Indonesia!

 

*) Penulis adalah Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatra Utara. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.

 

 

0
0
Nottingham City Transport, Sebuah Benchmark Transportasi Kota

Nottingham City Transport, Sebuah Benchmark Transportasi Kota

TransJakarta, sebuah terobosan di bidang transportasi di Jakarta yang lahir lebih dari 10 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2003 dengan nama Badan Pengola (BP) TransJakarta (berubah pada tahun 2006 menjadi Badan Layanan Umum Daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta). TransJakarta dibangun dalam sistem Bus Rapid Transit (BRT), merupakan BRT pertama di Asia Tenggara dan Selatan dengan panjang jalur rute terpanjang di dunia (208 kilometer).

Sistem BRT sendiri merupakan sebuah terobosan untuk mengatasi masalah yang terjadi pada sistem bus konvensional karena BRT memiliki keunggulan dalam hal adanya jalur khusus bagi bus dan memiliki sistem atau fitur khusus untuk memudahkan penumpang dalam membeli tiket sehingga mengurangi potensi delay. Sistem ini mengkombinasikan antara pengangkutan masal, biaya yang murah, dan kemudahan akses.

Tentu dari berbagai pemberitaan di media, kinerja TransJakarta dalam mencapai tujuan pembentukannya belum dianggap memuaskan dan belum mampu mengurangi permasalahan kemacetan di ibukota. TransJakarta belum mampu secara signifikan menggiring para pengguna kendaraan bermotor menjadi pengguna layanan transportasi tersebut.

Banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut, diantaranya jumlah armada yang dirasa masih kurang sehingga menyebabkan penumpukan penumpang di koridor dan waktu kedatangan armada bus yang sulit diperkirakan, meskipun di beberapa koridor sudah terdapat papan yang menunjukkan prediksi waktu kedatangan. Belum lagi dalam perjalanan, jalur khusus bus masih sering digunakan oleh pengendara kendaraan pribadi yang akhirnya mengganggu kelancaran perjalanan bus. Beberapa poin tersebut menyebabkan secara prinsip sistem BRT belum dapat dicapai sesuai tujuannya.

Belum tercapainya sistem BRT yang baik di Jakarta bukan berarti kegagalan, namun tentu memerlukan proses perbaikan yang serius pada banyak aspek. Salah satu langkah perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan belajar dari negara lain yang juga menerapkan sistem yang serupa.

Salah satu negara yang juga mengadopsi sistem BRT sebagai salah satu upaya modernisasi transportasi adalah United Kingdom, dan telah diterapkan di berbagai kota disana, seperti London, Manchester, Liverpool, Nottingham, dan kota-kota lainnya. Dari berbagai kota tersebut, Nottingham merupakan salah satu contoh yang ideal sebagai acuan (benchmark) dalam pengelolaan transportasi berbasis bus yang dikelola oleh pemerintah kota di sana dengan status Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bernama Nottingham City Transport (NCT).

NCT layak disebut sebagai acuan transportasi kota karena NCT telah beberapa kali menyabet gelar operator bus terbaik di UK dan merupakan yang terbanyak meraih predikat tersebut yaitu sebanyak empat kali, dengan gelar yang terakhir adalah tahun lalu (2016). Operator bus yang lahir pada tahun 1986 tersebut memang memiliki keunggulan di berbagai aspek, bahkan jika dibandingkan dengan pengelola bus di kota-kota lain di UK sekalipun.

Pertama, NCT memiliki jumlah bus yang besar sehingga jarak tunggu antara satu bus dengan bus selanjutnya di rute yang sama secara rata-rata hanya 15-20 menit, bahkan di rute-rute yang populer, yaitu memiliki jumlah penumpang yang banyak dan di waktu yang peak, jarak antar bus hanya 5 menit. Artinya NCT memiliki data tentang peak dan off-peak penumpang di setiap jalur, sehingga dapat disesuaikan dengan jumlah waktu tunggu antar bus.

Kedua, pada setiap bus stop dilengkapi dengan papan informasi kedatangan bus secara real-time, sehingga calon penumpang dapat melakukan self-estimation apakah waktu tunggu bus masih sesuai dengan toleransi tunggu masing-masing. Pada papan tersebut juga dilengkapi dengan informasi tambahan jika memang terdapat kejadian yang tidak biasa, seperti kemacetan atau kecelakaan,  sehingga calon penumpang terinformasikan tentang adanya potensi keterlambatan. 

Papan informasi real-time ini merupakan hal yang paling jelas membedakan NCT dengan beberapa operator bus lain di UK, karena tidak banyak yang telah melengkapi bus stop-nya dengan alat ini.

Ketiga, dengan rute berjumlah 67 rute, hampir setiap lokasi di Nottingham dapat diakses dengan menggunakan NCT bus, memenuhi prinsip transportasi yang terintegrasi.

Keempat, NCT memberikan banyak opsi untuk membeli tiket, dari mulai pembelian tiket secara cash, melalui aplikasi, atau kartu berlangganan dari mulai harian, mingguan, bulanan, sampai tahunan, tergantung kebutuhan penumpang. Uniknya, jika dibeli secara cash, bus tidak menyediakan uang kembalian sehingga penumpang harus menyiapkan uang pas. Kebijakan ini dijalankan untuk mengurangi waktu terbuang karena sopir bus harus menyiapkan uang kembalian, yang jika terakumulasi dapat menyebabkan delay perjalanan.

Kelima, NCT dapat diakses oleh siapapun, termasuk para penyandang disabilitas, hal yang mungkin masih sulit dilakukan oleh TransJakarta. Tidak sedikit terlihat penyandang disabilitas (termasuk pengguna kursi roda) dan orang-orang lanjut usia yang bisa berpergian ke city centre dari rumahnya sendirian karena kemudahan transportasi. Sebuah bukti nyata keadilan bagi seluruh rakyat dalam bidang transportasi.

Terakhir, NCT diklaim sebagai operator bus yang memiliki perhatian yang besar dalam keselamatan lingkungan, salah satunya adalah kampanye besar-besaran dalam mengkonversi bus yang digunakan menjadi bus berbahan bakar biogas dengan target 120 biogas bus pada tahun 2020.

NCT, tanpa embel-embel menerapkan sistem BRT justru telah berhasil menerapkan poin-poin utama dari sistem tersebut, mampu secara akumulasi menjadi armada transportasi yang memenuhi kebutuhan penumpang dari seluruh penjuru Nottingham ke pusat kota dan sebaliknya, dengan biaya dan akses yang mudah, serta reliable karena jumlah bus yang tersedia dan waktu kedatangan dapat diketahui oleh penumpang.

Bahkan, kinerja NCT yang sangat baik dalam hal pelayanan, mampu menggeser concern mereka pada goal yang lain, yaitu terkait lingkungan. Menunjukkan bahwa tanggung jawab mereka tidak hanya pada pencapaian pelayanan pelanggan yang baik namun pada hal lain seperti keselamatan lingkungan sekitar.

Lalu, mampukah TransJakarta bisa mencapai apa yang dicapai oleh NCT?

 

*) Penulis adalah Pegawai Tugas Belajar BPKP di University of Nottingham, Jurusan Risk Management.

0
0
Maraknya Operasi Tangkap Tangan KPK, Sebuah Indikasi Kesemuan Beragama Masyarakat Indonesia

Maraknya Operasi Tangkap Tangan KPK, Sebuah Indikasi Kesemuan Beragama Masyarakat Indonesia

Ketaatan beragama seharusnya mendorong manusia menjadi pribadi yang religius. Pribadi yang religius selalu menebarkan kebaikan kepada orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Mereka itu hidupnya selalu bermanfaat, membawa berkah, dan menghadirkan suasana suka-cita bagi lingkungannya.

Seseorang yang mengaku religius, tetapi kehidupannya dihiasi dengan berbagai pelanggaran adalah gagal menginternalisasikan ajaran agama yang dianutnya. Karenanya, tidaklah layak ia mengklaim sebagai seorang yang religius. Ia hanyalah mempraktikkan keberagamaan yang semu.

Selama ini masyarakat Indonesia diidentikkan sebagai masyarakat yang religius. Tampaknya, klaim sebagai masyarakat religius ini layak diuji. Artikel ini menunjukkan bukti bahwa masyarakat Indonesia ternyata bukanlah masyarakat yang religius dan karenanya korupsi dan operasi tangkap tangan KPK masih akan terus berlanjut.

 

Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang marak akhir-akhir ini telah memberikan stigma negatif pada birokrasi. Masyarakat beranggapan bahwa birokrasi sudah menjadi lahan subur praktik korupsi.

Apakah kita benar-benar memiliki kesungguhan memberantas korupsi? Ketika ditanya demikian, maka seorang pemimpin maupun pejabat pemerintahan akan menjawab: Sudah! Salah satu buktinya, kita akan ditunjukkan dengan pembentukan lembaga yang independen KPK, yang terbukti telah banyak menangkap-tangan pelaku korupsi.

Akan tetapi, bukti tersebut masih sulit meyakinkan publik. Sebab, belakangan ini upaya pelemahan terhadap KPK terus dibangun, yaitu tampak dari usulan revisi UU KPK dan hak angket KPK yang sedang bergulir. Bahkan, investigasi kasus teror membutakan mata penyidik KPK, Novel Baswedan, masih terkatung-katung. Negara sepertinya lumpuh dalam mengatasi para mafia di negeri ini.

Tampak dengan jelas bahwa negara tidak sepenuhnya ‘hadir’ untuk mengungkap kasus tersebut. Munculnya gagasan dari Kapolri Jenderal Tito Karnivan untuk membentuk badan khusus yang bernama Densus Anti Korupsi semakin dipandang oleh sebagian komunitas pegiat anti korupsi sebagai dagelan baru.

Predikat ‘korup’ karenanya begitu melekat pada birokrasi kita. Korupsi terjadi secara sistemik dan masif. Banyak sudah birokrat yang tersangkut kasus hukum tindak pidana korupsi.

Itu pun sebenarnya masihlah puncak gunung es saja. Korupsi kecil-kecilan di kalangan birokrasi tidak terhitung jumlahnya. Yang bernasib baik karena belum terjerat hukum juga masih banyak. Mereka masih bebas melenggang kangkung.

Kesemuan Beragama

Di sisi lain, selama ini masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius. Akan tetapi, praktik korupsi yang terus berulang itu memancing pertanyaan, apakah masih pantas kita mengklaim sebagai masyarakat yang religius? Jika birokrasi kita adalah birokrasi religius, kenapa korupsi masih terus berulang?

Sepertinya, selama ini klaim sebagai masyarakat yang religius itu tidak berbanding lurus dengan praktik korupsi. Idealnya, semakin religius masyarakat, maka semakin rendah korupsinya.

Sebab, seseorang yang religius mestinya tidaklah materialistis. Mereka tidak akan terpancing berbuat korupsi demi sebuah materi. Mereka menjalankan ajaran agamanya secara ‘kaaffah’, yaitu holistik dan tidak sepenggal-sepenggal. Mereka adalah pribadi yang ikhlas.

Mereka taat beragama juga bukan hanya sekedar untuk menjalankan ritual atau formalitas semata, tetapi selalu membawa makna untuk lingkungannya. Karenanya, seorang pelaku korupsi akan diragukan sebagai pribadi yang religius. Bisa saja, ia tampak religius di permukaan, tetapi pada dasarnya ia hanya menjalankan agamanya secara semu.

Operasi tangkat tangan KPK di Pamekasan Madura baru-baru ini memberikan bukti kesemuan beragama yang terjadi di Indonesia selama ini. Penangkapan ini telah membuktikan bahwa  masyarakat Indonesia religius hanyalah tampak di permukaannya saja.

Memang, masyarakat Madura dikenal religius. Budaya dan keseniannya kental dengan pengaruh Islam. Begitu pula dengan kepatuhan masyarakat Madura kepada kyai atau pemuka agamanya.

Orang Madura juga menjunjung tinggi harga diri, yang tergambar dari falsafah hidup katembheng pote mata, angok pote tolang (lebih baik putih mata dibanding putih tulang). Ia mirip pepatah: lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Akan tetapi, kesan ini sebenarnya dibangun dengan sejarah yang panjang.

Sebagai keturunan Madura, bersama beberapa orang asli Madura yang saya temui, saya sepakat mengenai hal yang sama: klaim orang Madura sebagai orang yang religius cenderung hanyalah tampak di permukaannya. Itu hanyalah kesan yang terlihat dari pakaiannya saja dan bisa dibilang sebagai sebuah ‘mitos’.

Masyarakat Madura sepertinya masih kurang dalam pemahaman agamanya. Mereka menjadi muslim, sepengetahuan saya, lebih karena keturunan. Tak sedikit dari mereka yang beranggapan bahwa ritual-ritual yang mereka lakukan sudah dianggap baik dan benar sesuai ajaran agama walaupun sesungguhnya dalam agama tidak ada tuntunannya. Relasi kekuasaan kyai terhadap santrinya, maupun ‘blater’ atau mafia lokal pun masihlah kental.

Keberagamaan semu masyarakat Madura tersebut pun tampaknya juga melanda hampir sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya. Hal ini tidak memandang agama maupun suku tertentu saja. Karenanya, masyarakat Indonesia sepertinya masih belum bisa mengklaim dirinya sebagai masyarakat yang religius.

Hal itu karena belum diamalkannya ajaran agama dalam individu masing-masing, kehidupan masyarakat, dan negara. Agama hanyalah dijadikan simbol formalitas dan tampilan luar semata, seperti ketika kita mempraktikkan sumpah jabatan.

Karenanya, dalam menyambut hari raya idul kurban tahun ini, kita sebagai birokrat perlu memaknai kembali secara mendalam makna religius itu. Utamanya, memaknai kata ‘berkurban’ untuk kepentingan masyarakat luas.

Seorang birokrat haruslah mampu mengemban makna kurban, yaitu mau berkorban untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani yang toto tentrem kerto raharjo. Mental mau berkorban atau altruistis merupakan cerminan dari pengamalan ketaatan agama secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Untuk mengklaim sebagai masyarakat religius, kita juga perlu memaknai kembali arti amanah. Sebuah hadis pantas diperhatikan oleh seorang birokrat:

Abu Dzar berkata: “Ya Rasulallah, tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku?” Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: “Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.”

Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa jabatan itu hanyalah diberikan kepada seseorang yang mampu menunaikan hak dan kewajibannya serta memenuhi tanggung-jawabnya.

Ingatlah, bahwa ritual sumpah jabatan yang diucapkan seorang birokrat pun kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Karenanya, birokrat harus mau berkorban untuk menjalankan amanah yang diberikan padanya.

Wallahu’alam bishowab.

 

*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja atau lembaga lain.

 

 

0
0
Gerakan Efisiensi, Disiplin Nilai, dan Budaya Organisasi Kementerian Keuangan

Gerakan Efisiensi, Disiplin Nilai, dan Budaya Organisasi Kementerian Keuangan

Kondisi birokrasi Indonesia di era reformasi ini bisa dikatakan belum menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Masih banyak ditemukan birokrat yang arogan dan menganggap rakyatlah yang membutuhkan. Praktik KKN masih banyak terjadi. Mentalitas birokrat pun masih menuai kritik.

Salah satu pemahaman yang perlu diperkenalkan di lingkungan birokrasi adalah penerapan Value Discipline (Disiplin Nilai) dalam rangka menanamkan nilai-nilai reformasi. Disiplin ini dapat memperbaiki birokrasi Indonesia. Salah satu contoh dari penerapan disiplin ini adalah ‘gerakan efisiensi’ yang digaungkan Kementerian Keuangan belum lama ini.

Disiplin Nilai

Konsep Disiplin Nilai dikenal luas di sektor swasta, khususnya di bidang marketing. Konsep ini dipopulerkan oleh Michael Treacy & Fred Wiersema (1995). Ia menitikberatkan pada pentingnya fokus (disiplin) terhadap nilai yang mampu mendorong organisasi untuk memperoleh posisi pemimpin pasar, sekaligus bernilai bagi pasar.

Terdapat tiga elemen utama Disiplin Nilai yang harus selalu dimiliki oleh perusahaan apapun latar belakang industrinya. Ketiga elemen ini adalah product leadership, operational excellences, dan customer intimacy. Ketiganya merupakan platform atau landasan dasar perusahaan untuk mengimbangi ketatnya persaingan usaha.

Setiap elemen tersebut akan menjadi fokus perusahaan, tergantung dari model bisnisnya. Tidak rumit, elemen tersebut merupakan konsep utama yang nanti dapat diturunkan secara detil menurut model bisnis masing-masing (lihat Gambar).

Model Disiplin nilai

Elemen product leadership berbicara bagaimana perusahaan fokus dalam pengembangan inovasi produk baru. Elemen operational excellences lebih fokus pada penerapan operasional yang mudah dan cepat.

Di sisi lain, elemen customer intimacy diterapkan pada model bisnis yang sering berhubungan langsung dengan manusia. Ketiga elemen ini memiliki bobot masing-masing tergantung dari model bisnis.

Disiplin Nilai dalam Birokrasi

Penerapan Disiplin Nilai dalam kehidupan birokrasi dapat menjadi sebuah terobosan. Tujuannya, mewirausahakan birokrasi untuk lebih berdayaguna dan berhasilguna dalam melaksanakan tugas yang diembannya. Implementasi dari Disiplin Nilai adalah berupa internalisasi nilai-nilai reformasi.

Sedikit berbeda pada penerapan di sektor swasta, penerapan disiplin nilai di sektor publik bukan untuk memilih fokus pada salah satu elemen, tetapi menjadi pengingat kita bahwa ketiga elemen tersebut perlu bersinergi.

Secara lebih spesifik, model Disiplin Nilai merupakan engine yang dapat meningkatkan kualitas ASN sebagai pelaksana layanan publik yang profesional dan akuntabel.

Untuk mengimplementasikannya, diperlukan sebuah nilai yang diyakini dapat menjadikan layanan publik sebagai product leadership yang mempunyai output yang berdaya guna dan berhasil guna.

Operational excellence di sektor publik dapat diartikan sebagai proses penyelenggaraan layanan publik dengan menjadikan efesiensi sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan proses dalam mencapai tujuan organisasi.

Customer intimacy adalah sebuah implikasi strategis yang ingin dicapai dari layanan publik yang dihasilkan, yaitu mampu menjadi bukti bahwa layanan publik bermanfaat bagi rakyat banyak dan menstimulasi berbagai aspek untuk mendukung kesejahteraan masyarakat.

Disiplin Nilai di Kementerian Keuangan

Untuk membuat disiplin nilai terserap ke dalam fungsi penyelenggaraan pemerintahan secara optimal, tentunya harus ada tool untuk mengikat semua nilai tersebut.                                           

Tool itu dapat berupa sebuah kebijakan yang secara tegas mengkomunikasikan nilai yang harus ditegakkan. Di lingkungan Kementerian Keuangan, tool ini ditetapkan formal melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011.

Tool itu mengintegrasikan nilai-nilai di Kementerian Keuangan. Integrasi nilai-nilai ini penting untuk membangun sinergi seluruh jajaran Kementerian Keuangan. Integrasi ini juga menunjukkan kepada masyarakat perubahan yang diwujudkan oleh Kementerian Keuangan secara holistik.

Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa Kementerian Keuangan memiliki identitas berbeda dengan organisasi publik lain di Indonesia. Nilai-nilai ini juga merupakan langkah Kementerian Keuangan sebagai penggerak reformasi birokrasi di Indonesia. Harapannya, nilai-nilai ini dapat diterapkan di organisasi publik lainnya.

Nilai-nilai Kementerian Keuangan meliputi ‘integritas’, ‘profesional’, ‘sinergi’, ‘pelayanan’, dan ‘kesempurnaan’. Berdasarkan nilai-nilai ini kemudian dirumuskan konsensus mengenai program budaya (culture program) di Kementerian Keuangan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 127/KMK.01/2013.

Program budaya di Kementerian Keuangan adalah: Satu Informasi Setiap hari, Dua Menit Sebelum Jadwal, Rencanakan, Kerjakan, Monitor, dan Tindaklanjuti, serta Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin.

Mengacu Ardeno Kurniawan yang menulis budaya organisasi dengan basis competing values framework (CVF), budaya organisasi Kementerian Keuangan ingin diarahkan menuju pada budaya organisasi yang berorientasi pasar.

Budaya organisasi ini menekankan pada pencapaian hasil dan kinerja terbaik. Karenanya, Kementerian Keuangan cenderung melakukan aktivitas dengan efisien dan efektif guna mencapai tujuan yang dikehendaki.

‘Gerakan efisiensi’ yang baru digulirkan Kementerian Keuangan adalah salah satu contoh mewujudkan budaya organisasi yang berorientasi pasar itu. Gerakan ini ingin mengubah budaya yang masih kurang efisien sebagaimana diindikasikan Joko Pitono.

Gerakan ini secara moral juga menjadi langkah nyata dalam pelaksanaan tugas, baik tugas yang dikapitalisasi dengan efisiensi finansial maupun efisiensi dalam rangka memangkas proses birokrasi. Tujuannya adalah agar pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lebih cepat dan lebih tepat sasaran.

Gerakan efisensi ini dituangkan dalam Instruksi Menteri Keuangan (IMK) Nomor 346/IMK.01/2017 tentang ‘Gerakan Efisiensi sebagai Penguatan Budaya Kementerian Keuangan’.

Instruksi tersebut adalah sebuah niatan positif untuk mewujudkan perubahan budaya organisasi Kementerian Keuangan guna mendorong reformasi birokrasi, sekaligus menjadi branding position Kementerian Keuangan secara nasional.

Dalam instruksi menteri tersebut, terdapat beberapa langkah efisiensi pelaksanaan tugas. Salah satunya adalah worklife balance, yang isinya pemanfaatan jam kerja secara efektif dan meminimalikan jam lembur, dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dan penyelesaian tugas.

Selain itu, gerakan efisiensi juga bermaksud mendorong percepatan pelaksanaan tugas, antara lain melalui percepatan proses untuk menangani berkas masuk/keluar pada level unit eselon I, II, III, dan IV.

Gerakan efisiensi ini juga terkait pengelolaan rapat, yaitu rapat yang mesti tepat waktu dan terstandarisasi. Artinya, terdapat kejelasan durasi rapat, tujuan rapat, dan peserta rapat yang kompeten.

Selanjutnya, gerakan efisiensi tersebut juga secara formal mengajak seluruh jajaran pegawai di Kementerian Keuangan melakukan efisiensi anggaran birokrasi, seperti efisiensi perjalanan dinas, pembatasan Rapat Dalam Kantor (RDK), pengurangan makanan rapat, pembatasan makan siang, serta pembatasan pemberian honorarium tim kerja dan narasumber.

Selain itu, ada pula ajakan untuk go green, yang bermaksud menghemat penggunaan air, listrik, ATK, dan internet, serta melakukan efisiensi pengadaan barang dan jasa.

Harapan yang ingin dicapai dari adanya gerakan ini adalah menjadikan proses dapat diukur efisiensinya. Penghematan anggaran dari efisiensi proses ini nantinya dapat menjadi bukti bahwa Kementerian Keuangan sangat berberhati-hati dalam mengelola keuangan publik.
Kementerian Keuangan sendiri menjadikan pelayanan dan kesempurnaan sebagai bagian dari nilai-nilai organisasi yang harus dilaksanakan setiap pegawai. Pelayanan tak akan menuju sempurna apabila tidak dimulai dari hal yang kecil.

Adanya walk the talk dari pimpinan sebagai role model menjadi bukti nyata perubahan tersebut. Sebagai contoh, Sri Mulyani selaku pimpinan tertinggi Kementerian Keuangan mengilustrasikan langsung dampak dari gerakan efisiensi yang dilakukan.

Katanya, apabila Kementerian Keuangan melakukan 10% saja penghematan anggaran operasional, nilainya setara dengan 626.666 siswa SD mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Nilai ini juga sama dengan biaya rehabilitasi 2.820 ruang kelas.

Bahkan, Sri Mulyani sempat berpesan kepada pegawai Kementerian Keuangan:

Jadilah birokrat yang kredibel, profesional dan menjadi role model bagi bangsa Indonesia. Insya Allah kita akan membangun Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur.

Artinya, efisiensi sebagai instrumen yang selama ini kita anggap normatif, dapat memiliki dampak luar biasa bagi rakyat kita. Uang tidak kita lagi boroskan untuk membayar perjalanan dinas yang tidak perlu, mengurangi pembayaran listrik, air, dan ATK. Semua itu dapat kita hemat tanpa mengurangi produktivitas kita. Juga itu dapat dilakukan tanpa mengurangi kinerja kita.

Penerapan Disiplin Nilai ini merupakan komitmen Kementerian Keuangan untuk juga dapat ditularkan kepada instansi lainnya. Disiplin Nilai ini dapat menjadi sebuah jembatan agar Kementerian Keuangan dapat menjadikan gerakan efisiensi sebagai alat untuk membentuk budaya organisasi publik menuju market oriented.

Semoga!

 

 

1
0
Lelang Cepat Sebagai Inovasi Pengadaan

Lelang Cepat Sebagai Inovasi Pengadaan

Proses pengadaan barang atau jasa dalam instansi pemerintah selalu dipersepsikan berlangsung lama. Seperti misalnya yang terjadi pada sejumlah BUMN. Untuk suatu pengadaan sederhana saja, biasanya proses pelelangannya memerlukan waktu lebih dari satu bulan. Benarkah selalu demikian?

Mungkin ada benarnya. Akan tetapi pemerintah, dalam hal ini LKPP, telah memberlakukan proses pengadaan dengan menggunakan lelang cepat. Di mana durasi waktunya paling cepat 3 hari. Pengadaan dengan lelang cepat ini mempersyaratkan antara lain: pertama, pengadaan tersebut tidak memerlukan penilaian penawaran dari aspek teknis; kedua, pekerjaan itu juga tidak kompleks, dan yang ketiga, seluruh dokumennya telah siap. TOR/Spesifikasi, HPS, draft kontrak dan dokumen pengadaan lainnya sudah ada.

Lelang cepat ini dapat dilakukan untuk pengadaan barang, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya. Kemudian yang terpenting adalah para calon penyedianya sudah tercantum dalam aplikasi SIKAP (Sistem Informasi Kinerja Penyedia).

Aplikasi SIKAP adalah aplikasi yang memuat database penyedia. Dalam aplikasi ini penyedia memasukkan klasifikasi usahanya dan lain sebagainya. Adapun aplikasi lelang cepat harus menggunakan aplikasi SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) versi 4.

Proses lelang ini dimulai dengan pemanggilan penyedia melalui aplikasi. Misalnya untuk penyedia yang memiliki klasifikasi/kompetensi untuk membangun konstruksi gedung, maka setiap ada pekerjaan konstruksi gedung, penyedia ini akan dipanggil (diundang). Jika penyedia yang dipanggil tersebut berminat untuk mengikuti proses lelang, maka mereka disilakan menyampaikan penawaran harga.

Penyampaian penawaran harga ini dapat dibuat dalam 3 hari atau lebih. Misalnya dalam 6 hari kalender untuk memberikan kesempatan kepada penyedia menghitung harga penawaran atau untuk menjaring lebih banyak penyedia.

Semua penawaran yang masuk langsung disortir oleh sistem berdasarkan penawaran termurah. Di sini evalusi pelelangan atau evaluasi harga tidak dilakukan oleh Pokja ULP secara manual, melainkan oleh sistem, sehingga calon pemenang tidak bisa diatur.

Selanjutnya terhadap penyedia terpilih dilakukan pembuktian kualifikasi. Namun jika penyedia telah melakukan pembuktian kualifikasi di tempat lain, maka pembuktian kualifikasi tidak diperlukan. Mungkin cukup mencermati aspek administrasi lainnya saja, seperti perizinan kadaluwarsa atau tidak

Dalam lelang cepat, kemungkinan pemenang adalah penyedia yang harga penawarannya paling rendah. Tentunya penawaran di bawah 80% dari HPS perlu dicermati. Apalagi untuk pekerjaan konstruksi yang penyedianya berasal dari daerah yang jauh, maka perlu diklarifikasi kembali.

Bila penawaran yang murah itu sudah meyakinkan dan tidak ada lagi keragu-raguan mengenai kemampuan penyedia melaksanakan tugasnya, maka penyedia yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai calon pemenang dan siap diproses menjadi kontrak.

Pengendalian kontrak menjadi hal penting berikutnya. Pengendalian kontrak sejak berkontrak yang dilanjutkan dari waktu ke waktu sangat penting. Kontrak dari penawaran penyedia yang murah belum tentu jelek jika kontrak dikendalikan dari waktu ke waktu. Sebaliknya kontrak mahal juga belum tentu bagus jika kontrak tidak dikendalikan dengan baik. Keberhasilan proses pengadaan terletak pada pengendalian kontrak oleh PPK berserta timnya.

Manfaat terbesar dengan adanya lelang cepat adalah intervensi dari pihak-pihak atau oknum tertentu dalam proses lelang, misalnya Kepala Daerah, DPRD, Kepala Dinas, dan sebagainya, sudah tidak terjadi lagi. Hal itu disebabkan karena dalam lelang cepat, tidak ada lagi proses evaluasi terhadap penyedia. Penawar termurah akan terpilih secara otomatis oleh sistem.

Mendorong terselenggaranya lelang cepat merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan proses pengadaan yang sehat. Kendala yang mungkin timbul dalam proses ini antara lain dari proses penyiapan dokumen lelang. Misalnya penetapan HPS yang seyogianya dilakukan dengan cermat sehingga membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Dalam lelang cepat, penyebutan merek dalam spesifikasi di dokumen pengadaan bisa dilakukan, asalkan tidak mengunci atau mengarahkan hanya kepada satu penyedia saja. Artinya semua penyedia berpeluang memperoleh barang tersebut.

Tuntutan berikutnya yang harus dipenuhi adalah bagaimana me-manage database penyedia agar bisa masuk dalam daftar vendor yang  berkinerja yang baik.  Dengan demikian, hanya penyedia yang berkinerja baik, dengan prestasi atau hasil pekerjaan yang baik, yang nantinya bisa ikut dalam model pelelangan yang hanya bisa diikuti oleh penyedia yang berkinerja baik. Hal itu sekaligus menjadi insentif bagi penyedia yang kompeten. Kriteria penyedia yang terdaftar dalam SIKAP harus teruji, terutama kemampuan memberikan keyakinan (assurance) kepada user atau publik mengenai kapasitas dan kompetensinya dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nantinya hanya bisa diikuti untuk yang berkinerja minimal baik.

Proses pengadaan dari waktu ke waktu memerlukan perubahan dan inovasi, masih banyak inovasi yang perlu kita sediakan atau untuk diimplementasikan.

 

 

0
0