Usaha Properti Amatir: Passive Income Birokrat

by | Dec 31, 2021 | Birokrasi Berdaya | 1 comment

Prolog

Tulisan ini terinspirasi dari salah satu artikel trending di Birokrat Menulis berjudul ‘Memilih Mundur dari PNS. Namun demikian, tulisan ini bukan bertujuan untuk menegasi, bukan pula untuk mendukung artikel tersebut. Tulisan ini lebih kepada memberikan pandangan alternatif, terutama bagi birokrat yang masih ingin mengabdi tetapi merasa gamang akan keamanan kondisi finansialnya.

Memang, mundur dari PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pilihan yang rasional. Hal itu biasanya dipicu oleh lingkungan kerja yang kurang mendukung, di sisi lain ada kesempatan untuk berkarya di tempat lain dengan pendapatan lebih tinggi.

Penulis tidak dalam posisi menghakimi, hanya memberikan pespektif berbeda agar lebih mantap dalam mengambil keputusan. Jika hanya karena ingin pendapatan yang lebih tinggi, sebenarnya ada solusi selain mundur dari ASN. Solusinya berupa rumus keseimbangan kehidupan, bukan dari ilmu ekonomi, namun diadopsi dari ilmu fisika.

Tren ASN Mengundurkan Diri

Meskipun katanya ASN merupakan profesi calon menantu idaman, nyatanya banyak di antara ASN yang memilih untuk mengundurkan diri dan mengabdi di tempat lain. Alasannya beragam, mulai dari alasan keluarga, kesehatan, lingkungan kerja yang kurang mendukung, dan yang paling umum adalah pendapatan yang lebih tinggi.

Bagi ASN yang tidak memiliki kewajiban ikatan dinas, mengundurkan diri tentunya tidak membawa konsekuensi finansial. Namun bagi ASN yang memiliki kewajiban ikatan dinas, harus menyelesaikan atau membayar ganti rugi terlebih dahulu.

Perlu diakui bahwa birokrasi di Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi, utamanya semangat melayani yang masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari sejarah penjajahan yang menciptakan kaum ambtenaar atau pegawai pemerintahan yang mengabdi pada pemerintahan Belanda, bukan melayani pribumi.

Budaya ini membentuk golongan priyayi yang merasa satu level lebih tinggi dari masyarakat biasa yang umumnya adalah kaum petani, nelayan, dan pedagang. Pola pikir itulah yang menyebabkan pekerjaan ASN masih banyak diminati meskipun seringkali abai dalam melayani masyarakat.

Namun, setelah resmi menjadi ASN, tidak sedikit yang kecewa karena yang dibayangkan tentang ASN tidak sesuai kenyataan. Birokrasi yang kaku, gaji yang rendah, serta lingkungan kerja yang tidak kondusif menjadi penyebabnya.

Jika ada ASN yang memiliki kekayaan yang mencolok, bukannya tidak boleh, tetapi perlu dipastikan bahwa itu bukan karena hasil korupsi. Tidak dapat dipungkiri, memang ada beberapa bidang pekerjaan ASN yang memiliki kewenangan yang sangat mungkin disalahgunakan untuk memperkaya diri, misalnya kepolisian, kejaksaan, perpajakan, keuangan, dan perizinan.

Beberapa bidang itu sudah ada kebijakan tunjangan khusus untuk menekan korupsi pegawainya. Namun, untuk ASN bidang lainnya, bisa jadi perlakukan khusus itu semakin membulatkan tekadnya untuk mengundurkan diri.

Gaya Hidup Itu Membunuh

Celakanya, karena dianggap memiliki pendapatan yang pasti dan sangat jarang ada kasus pemecatan ASN, maka lembaga keuangan, mulai dari perbankan, kartu kredit, hingga pinjaman online berbondong-bondong menawarkan pinjaman kepada ASN melalui sistem potong gaji.

Inilah titik awal bencana birokrasi, ketika sebagian besar gaji ASN dipotong pinjaman, mendorong ASN mencari sumber lainnya, salah satunya adalah perjalanan dinas. Jika tidak ada perjalanan dinas, atau pembagian jatah perjalanan dinas tidak merata, berkembang menjadi bahan pergunjingan yang pada ujungnya menurunkan kinerja, menciptakan lingkungan kerja yang tidak kondusif, serta membuat sebagian ASN tidak betah dan akhirnya mengundurkan diri.

Rumus Keseimbangan Hidup

Dalam rumus fisika, tekanan itu sebanding dengan gaya, berbanding terbalik dengan luas area yang menopangnya (P=F/A). Sama halnya dengan kehidupan, semakin tinggi gaya hidup seorang ASN, maka tekanan hidupnya juga semakin besar, dan ketika tidak ditopang dengan pendapatan yang cukup, akibatnya pertahanan akan jebol, bahkan dalam beberapa kasus menjadi pemicu kasus perceraian, bahkan sampai dengan bunuh diri.

Kuncinya ada di gaya hidup, bahkan ketika berpindah kerja dengan pendapatan lebih tinggi, godaan gaya hidup tetap ada, misalnya menambah limit kartu kredit, beli mobil baru, kredit apartemen, rutin perawatan wajah, jam tangan baru, pakaian, tas baru, ganti hand phone, makan di restoran, dan sebagainya. Sayangnya, gaya hidup yang sudah terlanjur tinggi, akan sangat sulit untuk diturunkan, inilah yang kadang menjebak seorang ASN dalam lingkaran setan yang tidak berujung.

Padahal, banyak cerita pegawai pabrik dengan gaji 3 juta, bisa memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga, termasuk menyisihkan dana cadangan 300 ribu per bulan. Kok bisa? Sekali lagi kuncinya adalah gaya hidup.

Mengikuti rumus fisika tadi, tidak masalah gaya hidup menyesuaikan gaji, tapi kalau gaji habis untuk gaya hidup, bagaimana kalau nanti sudah pensiun? Makanya muncul fenomena post power syndrome, dimana ASN yang sudah pensiun tidak siap dengan pendapatan yang turun drastis, padahal gaya hidup sudah terlanjur tinggi.

Kuncinya adalah Menunda Kesenangan

Menunda kesenangan bukan berarti melarang ASN menikmati hidup, tapi menunda sementara waktu, sampai menghasilkan passive income yang cukup sehingga mampu mebiayai gaya hidup yang diinginkan.

Kelihatan sederhana, tetapi semua butuh kesabaran dan konsistensi. Ketika ada kawan beli mobil baru, kita masih naik motor, kita mesti bersabar. Ketika yang lain pakai handphone baru, kita masih pakai handphone lama, sabar. Ketika yang lain makan di restoran, kita bawa sendiri dari rumah, sabar.

Intinya perlu dibedakan antara kebutuhan dan keinginan, jika memang kebutuhan harus dibeli, tapi kalau hanya keinginan, tahan dulu. Uang hasil dari kesabaran itu kemudian kita putar untuk menghasilkan lebih banyak dan halal, caranya adalah berinvestasi. Investasi apa yang paling cocok untuk ASN yang tidak mengganggu waktu kerja?

Salah satu contohnya adalah rumah atau bangunan yang dapat dikontrakkan atau membuka usaha kos. Banyak orang sudah membuktikannya. Memang sekilas mahal, tapi bisa dilakukan bertahap dan jika ada niat dan diiringi doa insyallah bisa, apalagi dibarengi dengan sedekah.

Tahap pertama tentunya beli tanahnya dulu, targetnya adalah wilayah sekitaran kampus, dekat stasiun, dekat pabrik, atau wilayah lain yang kira-kira bakal ada yang sewa. Saat ini banyak tanah yang dijual dibawah 100 juta dan sudah sertifikat.

Oleh karena itu, kita harus banyak mengikuti grup jual beli properti, grup jual beli alumni, dan sebagainya. Nantinya, saat di waktu senggang, sembari ngopi, kita bisa melihatnya, termasuk situs lelang DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara) yang sudah terjamin legalitasnya.

Setelah tanah terbeli, tinggal proses membangun. Itupun dapat dilakukan secara bertahap. Mulai dari membeli sebagian bahan bangunan, hingga mencari tenaga/tukang untuk bangun. Syukur jika tukang yang sudah kita kenal baik, sehingga tidak perlu pengawasan yang ketat. Setelah kontrakan atau kost sudah jadi, tinggal dipasarkan secara online agar menjangkau lebih banyak peminat.

Saatnya Menikmati Hasil

Capek memang menunda gaya hidup, tapi ada hasilnya. Kini saatnya menikmati, silahkan mulai bergaya, asalkan tidak melebihi hasil passive income yang diperoleh. Namun jika ingin lebih cepat, tunda sekali lagi kesenangan untuk beli properti yang kedua. Properti kedua akan terbeli lebih cepat karena sudah ada hasil dari pertama, kemudian beli properti ketiga dan seterusnya. Daripada menyewakan satu rumah, lebih baik dibangun sistem rumah petakan beberapa unit, karena lebih laku disewakan dan jika dikumpulkan hasilnya lebih banyak.

Apabila kebiasaan baik ini diteruskan sampai dengan pensiun, manfaatnya luar biasa. Bahkan ada cerita seorang pegawai biasa yang karena kedisiplinan istrinya menyisihkan sebagian pendapatan untuk investasi kontrakan, ketika pensiun berhasil memiliki 80 unit, dengan rata-rata sewa per bulan 500 ribu/unit saja. Dengan demikian, pendapatan per bulan mencapai 40 juta. Itulan cara pensiun dengan damai, punya pendapatan dan tanpa utang.

Epilog

Tulisan ini dirangkum dari sharing seorang kawan yang memang sudah mempraktekkan menunda kesenangan untuk membangun passive income.

Tidak mudah memang untuk memulainya, tapi poinnya bukan seberapa besar pendapatan kita, tapi seberapa banyak yang bisa kita sisihkan untuk membangun passive income.

Khusus bagi ASN muda, program ini sebaiknya segera di praktikkan, sebelum terlanjur terjerumus dalam gaya hidup yang tidak sehat. Memang banyak yang menyarankan untuk mengambil jalan pintas dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), tapi mempertimbangkan riba dan risikonya, maka masih lebih menguntungkan apabila membeli properti bertahap mulai dari tanah.

Selamat mencoba.

Baca juga: https://birokratmenulis.org/tips-buat-pns-menambah-penghasilan-rp50-juta-dari-usaha-sampingan-bermodalkan-rp5-juta/

0
0
Tri Wahyono ◆ Active Writer

Tri Wahyono ◆ Active Writer

Author

Penulis adalah seorang ASN dengan latar belakang pendidikan bidang Pengurusan Piutang Lelang Negara, Akuntansi Pemerintahan, Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Internal Audit, serta Public Policy yang sekaligus menjadi bekalnya dalam menekuni ketertarikannya terhadap ekonomi perilaku dan kebijakan publik. Tiga kata yang menggambarkan dirinya adalah kesederhanaan, keramahan, dan ketulusan.

1 Comment

  1. Avatar

    saya sudah praktek rumah petak sejak 5 tahun lalu dengan modal dengkul alias beli properti yang ansguran di hasilkan dari sewa sekarang masih terhutang akan tetapi next jadi pasive incae

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post