Prolog
Beberapa waktu yang lalu, kasus penggunaan kembali alat rapid test bekas di Bandara Kualanamu menghentak kesadaran publik. Di samping sangat berbahaya dan jahat, kasus ini juga merupakan tindakan koruptif karena terdapat unsur penyelewengan dana yang di dalamnya terdapat komponen keuangan negara.
Dalam konteks penanganan dan antisipasi penyebaran pandemi Covid-19, kasus ini menambah kehebohan peristiwa sebelumnya di Bandara Soetta, di mana terungkap adanya mafia karantina warga India yang dapat lolos dari amatan petugas bandara. Padahal, India tengah diguncang prahara “tsunami” Covid-19 yang demikian menggiriskan.
Meski sudah terungkap oleh pihak kepolisian dan sudah pula diambil langkah penindakan, kedua kasus tersebut sangat mungkin merefleksikan kondisi yang lebih memprihatinkan yang belum terungkap dengan terang. Hal ini karena pemerintah telah mengalokasikan dana yang demikian besar dalam penanganan Covid-19 dalam berbagai bentuknya.
Dana tersebut dirupakan dalam berbagai instrumen program dan kebijakan yang penempatannya tersebar di berbagai insitusi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sayangnya, kita terbiasa bergerak setelah satu kasus menjadi kehebohan dan menyita perhatian publik. Mudah terbayang, berapa warga yang telah menjadi korban kejahatan tindakan oknum petugas rapid test di Kualanamu yang disinyalir telah dilakukan dari beberapa bulan sebelumnya.
Urgensi Pengawasan oleh Ombudsman
Terungkapnya kasus mafia karantina di Bandara Soekarno Hatta dan manipulasi alat rapid antigen di Kualanamu memantik pertanyaan tentang peran pengawasan dan kontrol pihak terkait. Dalam konteks yang lebih luas, pada dasarnya banyak komponen layanan publik yang dijalankan dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 pada saat belum ditemukan solusi komprehensif terhadap problem pandemi Covid-19.
Artinya, dibutuhkan “nafas panjang” layanan publik program penanganan pandemi covid-19 beserta pengawasan yang diperlukan di dalamnya. Dalam kasus Kualanamu, misalnya, internal BUMN dan pihak berwajib sudah mengungkap kedua kasus tersebut.
Namun demikian, sebagai bagian dari proses layanan publik dalam kaitan penanganan dan antisipasi penyebaran pandemi Covid-19, pelibatan pihak terkait, dalam hal ini Ombudsman Republik Indonesia (ORI), patut untuk lebih ditingkatkan.
Sebagai lembaga pengawas layanan publik independen, Ombudsman bersifat mandiri, tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara atau instansi pemerintah lainnya.
Ombudsman menjalankan fungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik di pusat maupun daerah, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
ORI hakikatnya memperkuat mekanisme checks and balances yang dilakukan kekuasaan legislatif parlemen khususnya dalam mengawasi pelayanan publik yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif. Namun demikian, keberadaan ORI, dengan kewenangannya untuk memberikan rekomendasi (recommendation power) kepada pemerintah, berperan strategis dalam memperkuat kekuasaan eksekutif.
ORI, karena itu, dapat melakukan fungsi konstitusional sebagai jembatan penguat (empowering bridge) antara kekuasaan legislatif parlemen dan kekuasaan eksekutif pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan (Roby Arya Brata, 2021).
OMI: Sebuah Terapi Kejut
Kasus mafia karantina dan penggunaan alat bekas rapid antigen patut dipahami sebagai fenomena gunung es. Dengan masifnya bantuan dan dana yang diguyurkan pemerintah di berbagai sektor untuk menopang daya tahan pemerintah dan negara dalam menghadapi berbagai goncangan ekonomi dan sosial sebagai dampak pandemi, potensi penyelewengan dapat saja terjadi pada berbagai lapisan dan layanan.
Dalam konteks pemahaman demikian, jelas layanan Kimia Farma, Bandara Soekarno Hatta, dan berbagai layanan instansi pemerintah berada dalam koridor pengawasan ORI pada satu sisi, dan peluang strategis ORI dalam mendukung dan memastikan kualitas prima layanan pemerintah kepada warganya di sisi lainnya.
Dalam upaya demikian, tantangan yang dihadapi ORI jelas tidak mudah. Keterbatasan dana dan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi masalah utama yang membayangi. Namun, urgensi untuk memberi tekanan kuat terhadap peluang dan upaya penyelewengan serta penyalahgunaan layanan publik tetap harus diterapkan.
Sementara itu, penggunaan alat rapid tes dibutuhkan untuk bermacam keperluan dan persyaratan. Seseorang bisa diwajibkan menjalani rapid tes sesuai keperluan dan frekuensi urusan yang dijalaninya.
Kasus penggunaan kembali limbah alat tes oleh oknum pegawai BUMN dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap proses penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Oleh karenanya, tindakan perbaikan layanan dan pengawasan yang lebih ekstensif perlu segera dilaksanakan.
Sementara itu, terdapat jarak dan kekosongan tindakan antara kasus yang terjadi pada awalnya dan penanganan yang dijalankan pada akhirnya. Pada titik kekosongan ini, ORI dapat lebih menjalankan apa yang lazim dikenal sebagai investigasi prakarsa mandiri (own motion investigation/OMI) secara intensif.
Pendekatan ini berpijak pada perspektif bahwa Ombudsman tidak sekedar sebuah sistem untuk menyelesaikan keluhan masyarakat, tetapi juga bisa mengambil inisiatif tanpa harus menunggu laporan warga.
Konteks besarnya adalah upaya untuk meminta akuntabilitas pemerintah dalam pemberian pelayanan umum dalam bentuk meninjau ulang kebijakan atau tindakan pemerintah yang tidak memenuhi asas-asas dan standar pelayanan umum.
Tindakan ini perlu diambil untuk menghindarkan perilaku maladministrasi yang terus menerus dan sistemik dengan pendekatan investigasi mandiri, tanpa menunggu berkembang, membuncah, dan viralnya masalah yang ada.
Di tengah segala keterbatasan layanan sekaligus pengawasan dari berbagai pihak, own motion diperlukan untuk meneguhkan Ombudsman sebagai lembaga intermediary yang produktif, adaptif, dan solutif atas problem obyek layanan yang dijalankan pemerintah.
Pendek kata, own motion investigation dijalankan tanpa harus menunggu ledakan masalah, tapi lebih didasarkan pada sense of crisis yang hadir dari kecermatan membaca masalah sosial kemasyarakatan dan upaya layanan pemerintah.
Epilog: ORI dan Magistrature of Sanction
Dengan menimbang kegentingan persoalan pengawasan layanan penanggulangan Covid-19, OMI dapat diperkuat dengan proses Kajian Cepat (Rapid Assesment/RA). Salah satu contoh metode kajian cepat yang digunakan ORI adalah dalam kasus meninggalnya petugas KPPS pada Pemilu 2019.
Gabungan metode OMI dan RA diharapkan melahirkan efek kejut yang kuat terhadap kualitas layanan publik, karena mampu menghadirkan ORI sebagai lembaga pemberi pengaruh (magistrature of influence) dalam proses layanan publik yang dijalankan.
Dengan terapi kejut seperti ini, harapannya adalah dapat menghindari terulangnya tindakan negatif serupa oleh petugas atau sistem layanan publik yang disalahgunakan. Entah secara kelembagaan atau oknum petugas, keduanya akan menghadapi resiko pengawasan yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya karena tanpa koordinasi terlebih dahulu dan bisa hadir tiap saat.
Meskipun demikian, kita rasanya cenderung lebih memilih mendudukkan ORI pada batas lembaga pemberi pengaruh saja, bukan pada posisi lembaga yang bisa memberi sanksi (magistrature of sanction).
Padahal, dengan menjadi Lembaga pemberi sanksi, misalnya, ORI dapat berkembang menjadi lembaga yang berkewenangan untuk mencopot pejabat penyelenggara pelayanan publik yang melakukan kesalahan berat maladministrasi.
Lebih jauh, dalam posisi demikian, ORI bahkan bisa menjadi fasilitator pemberian ganti rugi bagi publik atas buruknya layanan yang diberikan pemerintah.
Jika idealitas seperti itu masih berjarak jauh dari kenyataan, prakarsa pengawasan mandiri bisa menjadi pengingat dan harapan untuk peningkatan kualitas layanan publik pada berbagai sektor yang dijalankan.
0 Comments