Menyaksikan film “The Lion (2016)”, sebuah karya seni yang dibintangi oleh Dev Patel dan diangkat dari kisah nyata, berhasil membuat saya overthinking selama berminggu-minggu.
Pemeran utama dalam film Slumdog Millionare (2008) ini tidak hanya mampu mewakili visualiasi fisik humanis khas Asia Selatan namun juga mengajak penonton menyelam dalam karakternya yang tidak biasa.
Mendalami Peran
Sebenarnya, tidak hanya Dev Patel yang perlu diacungi empat jempol karena acting-nya sebagai Saroo dewasa, tapi juga dirinya versi anak-anak yang dimainkan dengan sangat baik oleh Sunny Pawar.
Aktor kecil yang mencuri perhatian dalam perhelatan Piala Oscar 2017 itu rupanya berhasil terpilih melalui casting di antara 2000-an anak lainnya, salah satunya karena peran yang tak jauh beda dengan kehidupan aslinya.
Ya, Sunny di dunia nyata dan Saroo di film “The Lion”, keduanya adalah seorang anak kecil yang begitu polos, sosok fisiknya yang kurus kecil menunjukkan beratnya hidup sebagai seorang anak dari keluarga miskin dan orang tua yang bekerja serabutan.
Saroo kecil yang menghilang terbawa kereta api ribuan kilometer jauhnya, terlunta-lunta berbulan-bulan sebagai gelandangan dan pelarian, akhirnya tertolong oleh sepasang suami istri baik hati yang mengadopsi dan membawanya ke New Zealand.
Idealisme itu (masih) ada di mana-mana
Untuk peran sentral tokoh watak sebagai ibu angkat Saroo, dipilihlah Nicole Kidman. Sebuah pilihan yang tepat sekali, karena aktris kawakan tersebut berhasil memerankan dengan baik sosok Sue Brierly.
Sue, seorang perempuan cerdas dan beradab yang (meskipun terdengar begitu idealis tapi nyata) memilih untuk tidak melahirkan anaknya sendiri, melainkan menolong anak-anak malang dari India dan membesarkannya dengan penuh cinta. Tak peduli bahwa mereka berasal dari ras dan peradaban yang jauh berbeda.
Mengingat bahwa ini kisah nyata, saya jadi makin percaya bahwa orang-orang baik itu ada di mana-mana, terlepas dari apa warna kulit, bahasa, dan sebagainya. Tentu case-nya bukan hanya dari film ini, tapi juga dari beberapa film lain yang diangkat dari kisah nyata.
New Zealand, kala itu di sekitar tahun 1990 telah menjadi sebuah negara yang tertata rapi, sejahtera dan berdikari. Jauh berbeda dengan suasana penuh derita dan kesenjangan sosial ekonomi di kampung halaman Saroo di India.
Dia kemudian dibesarkan dengan sangat tercukupi secara materi dan kasih sayang. Tumbuh menjadi pemuda tampan yang tinggi gagah perkasa. Meskipun begitu ada bagian dari jiwanya yang hilang dan ingin kembali mencari asal usulnya, ibu dan saudara-saudaranya.
Imajinasi yang Berbeda tentang India
Menarik sekali mengamati alur cerita dalam film ini. Setengah sulit dipercaya, namun itu fakta. Banyak hal mengubah pandangan saya tentang India. Latar belakang film The Lion tahun 1986 – 2016 menjadi bahan observasi di balik kisah utama tentang bagaimana “kejamnya” dunia.
Jika dulu di tahun 90-an, ketika saya masih kecil, India digambarkan sebagai negara dengan penduduk yang kaya raya cantik-cantik tampan rupawan seperti Kajol dan Shahrukh Khan. Namun kini, gambaran realistis tentang negara berpenduduk 1,4 Miliar ini membuat saya menjadi ketar-ketir.
Rupanya populasi penduduk yang begitu banyaknya membawa masalah yang berabad-abad lamanya tak pernah hilang dari peradaban: kemiskinan, kesenjangan sosial, dan berbagai isu pelik yang mengikutinya.
Sayangnya, India masih menghadapi tantangan yang signifikan dalam hal kemiskinan anak. Meskipun ada beberapa kemajuan yang telah dicapai dalam mengurangi tingkat kemiskinan, masih banyak anak di India yang terjebak dalam kondisi jauh dari kata sejahtera.
Menurut laporan dari UNICEF, pada tahun 2021, sekitar 29% anak di India hidup di bawah garis kemiskinan. Faktor-faktor seperti ketimpangan ekonomi, akses terbatas ke pendidikan yang berkualitas, fasilitas kesehatan yang terbatas, serta kurangnya peluang pekerjaan yang layak berkontribusi terhadap tingginya tingkat kemiskinan anak di negara ini.
Masalah Pelik di Negara yang Padat Penduduknya
Menurut berbagai sumber, Pemerintah India telah mengadopsi berbagai program dan kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan anak, seperti program pemenuhan gizi anak, program pendidikan inklusif, dan program perlindungan anak. Mirip halnya dengan Indonesia.
Namun, tantangan yang kompleks dan skala masalah tersebut membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, organisasi internasional, dan sektor swasta untuk mencapai perubahan yang signifikan. Singkatnya, masih jauh panggang dari api.
Statistik menunjukkan, meskipun termasuk dalam anggota G-20 dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, namun kesenjangan ekonomi di negeri itu sangat tinggi. Mengingat populasinya yang tertinggi di dunia bersaing dengan China, pesatnya jumlah penduduk tanpa diiringi pemerataan kesejahteraan riskan membawa pada kesenjangan.
Menurut sebuah laporan, 58.4% kekayaan negara India hanya dimiliki oleh 1% penduduknya. Hal ini menjadikan India sebagai negara kedua paling dalam jurang kesenjangan ekonominya setelah Rusia. Sedikit turun presentasenya, Indonesia di posisi ke empat dengan 49% kekayaan dimiliki 1% populasi.
Ilusi Bonus Demografi: Hikmah bagi Indonesia
Apa yang terjadi di India ini kemudian bisa menjadi contoh bagi Indonesia, supaya tidak berhenti berjuang dalam ilusi bernama “bonus demografi”. Kita tengah dalam periode di mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada anak-anak dan lansia.
Berkaca pada banyak negara, telah nyata contohnya bahwa jumlah penduduk yang begitu pesatnya akan tumbuh beriringan dengan berbagai masalah ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Alih-alih menjadikan generasi muda sebagai angkatan produktif yang meningkatkan pendapatan rumah tangga dan negara, ketika kemiskinan anak terjadi sejak dini maka harapan memetik manfaat dari “bonus” demografi akan rentan berubah menjadi “kutukan” demografi.
Yaitu, ketika anak-anak generasi penerus Indonesia tidak dipersiapkan dengan pendidikan yang memadai, gizi yang layak, nilai moral yang ditanamkan dengan kokoh, serta semangat nasionalisme serta loyalitas tinggi pada bangsa dan negaranya.
Tanpa persiapan yang pantas, puncak bonus demografi Indonesia beberapa tahun ke depan hampir bisa dipastikan justru akan menjadi malapetaka, bukannya menambah kekuatan bangsa kita menjadi maju dan sejahtera.
Mengambil Manfaat dari Globalisasi
Kembali pada film The Lion (2016). Belajar dari Saroo yang “beruntung” karena dibesarkan di New Zealand, pada dasarnya setiap manusia yang diciptakan di muka bumi mampu menjadi apa saja, dan mampu mengubah nasibnya keluar dari kutukan kemiskinan.
Hanya saja, dibutuhkan tangan-tangan yang diulurkan oleh orang-orang idealis yang masih peduli, para pemberani yang berbaik hati, dan kesempatan mengenyam pendidikan serta kehidupan yang layak.
Nyatanya, seorang Saroo kecil yang kurus kering dan memprihatinkan kelak menjadi seorang pemuda tangguh, mapan, baik hati dan rupawan.
Dengan globalisasi, apalagi di era di mana teknologi semakin canggih hari ini, itu semua bisa terjadi. Kemanusiaan semestinya bersifat universal, tidak memandang batas geografis, perbedaan bahasa dan warna kulit manusia. Pendidikan dan kehidupan yang nyaman adalah hak segala bangsa.
Sudah zamannya kita buktikan bahwa globalisasi bukanlah kolonialisasi era modern. Globalisasi, adalah media untuk merdeka.
Seorang pekerja sektor publik yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal.
0 Comments