Dalam diskursus pendidikan nasional, permasalahan anggaran pendidikan menjadi topik pembahasan tersendiri. Hal ini karena pendidikan menjadi faktor penting dalam pembangunan bangsa dan anggaran sangat dibutuhkan untuk mendukung peran strategis tersebut diwujudkan.
Pendidikan Islam turut berperan penting dan strategis dalam upaya mewujudkan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Membekali generasi mendatang dengan modalitas kecerdasan dan budi pekerti mulia jelas menjadi tugas dan tanggung jawab Pendidikan Islam.
Dalam banyak literatur dan medium, disebutkan bahwa akhlak mulia paralel dengan adab. Dalam pandangan lebih lanjut, kedudukan adab bahkan dipandang lebih tinggi dari ilmu.
Seseorang yang memiliki ilmu tapi tidak beradab, berarti ilmu itu tidak berguna bagi dirinya karena tidak menjadikannya beradab. Adab menyediakan kemungkinan menjadi bahagia dunia dan akhirat, hal ini menjadi perhatian penting dalam ajaran Islam.
Peringatan ini sebagaimana yang terjelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 30 – 34. Ayat ini menjelaskan betapa sikap sombong, merendahkan orang lain, tidak mau berbagi ilmu dan pengetahuan melekat pada sosok iblis. Hal demikian mendorongnya berlaku pongah tidak mau taat kepada Allah SWT hanya karena merasa tahu dan mampu.
Pada puncak resonansi pengetahuan yang dimiliki, tahu dan mampu menjadi titik penting kesadaran manusiawi. Dengan dua hal ini, manusia meraih superioritas dengan pengetahuannya, menjadi ubermensch atas problem kemanusiaan yang dihadapi.
Itulah mengapa dalam banyak hal, teknologi turut mengantarkan manusia pada kehampaan spiritualitas. Pada puncak-puncak pengetahuan yang diraihnya, kehampaan spiritual turut mengiringi eksistensialisme manusia.
Manusia bukan hanya tidak menemukan kesejatian pada upaya pencariannya, namun lebih dari itu manusia merindukan spiritualitas tersebut hadir dan mewarnai kehidupannya.
Dengan adab, manusia memiliki sikap yang menyadari bahwa segala pencapaian diri adalah merupakan rahmat dari Allah SWT dan menyadari keterkaitan erat di dalamnya. Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari dalam Adab Al’Alim Wa Mutaallim mengatakan bahwa:
“Tauhid mewajibkan wujudnya iman;
barangsiapa yang tidak beriman, maka sebenarnya dia tidak bertauhid.
(dan) iman mewajibkan wujudnya syariat, maka barang siapa yang tidak melakukan syariat, sebenarnya dia tidak beriman dan tidak pula bertauhid. (dan) syariat mewajibkan
wujudnya adab; maka barang siapa yang tidak memiliki adab,
maka pada hakikatnya dia tidak menjalankan syariat, tiada beriman, dan
tidak ada tauhid padanya.”
Adab, syariat, dan tauhid dalam pandangan yang diajarkan di atas pada gilirannya juga menekankan perlunya sikap dan penerimaan atas kondisi yang berkembang di sekitar. Hal ini menjadi penegasan bahwa ketika adab berada di atas ilmu, tidak lantas berarti ilmu ditinggalkan. Ilmu menjadi tujuan di saat adab mendampingi.
Pendidikan Islam dan tantangan kekinian
Pandangan substantif di atas berjalan seiring dengan bagaimana pendidikan Islam harus adaptif dengan perkembangan dan tuntutan kekinian.
Pendidikan Islam turut terimbas dan berusaha bangkit dari kondisi stagnan yang sempat terjadi. Data Bappenas menunjukkan, secara nasional siswa Indonesia telah kehilangan 11 bulan belajar matematika dan bahasa.
Dari faktor lamanya kehilangan waktu belajar berdasarkan mata pelajaran, jenis kelamin, dan kondisi ekonomi keluarga, disebutkan bahwa siswa dari keluarga 20 % termiskin telah kehilangan 18 bulan dalam pelajaran matematika dan 27 bulan dalam pelajaran bahasa.
Sementara itu, dari faktor kesenjangan pembelajaran berdasarkan lamanya menggunakan internet, dikatakan siswa yang tidak menggunakan internet sama sekali selama penutupan sekolah akibat pandemik, memiliki capaian pembelajaran yang sangat rendah, yaitu setara kehilangan waktu 35 bulan dalam pembelajaran matematika dan 57 bulan dalam pembelajaran bahasa.
Kontras dengan kondisi di atas, harapan pada pendidikan Islam tetap melambung tinggi. Secara esensial, agama Islam diharapkan menjadi sumber nilai, basis etika dan moralitas untuk memandu bangsa dalam membangun tatanan kehidupan yang adil dan maslahat.
Di samping itu, agama Islam diharapkan menjadi kekuatan pendorong dan energi penggerak merealisasikan program pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.
Idealitas pendidikan Islam juga menegaskan pada harapan agar agama Islam mampu menjadi sumber inspirasi dalam membangun harmoni sosial dalam kehidupan masyarakat yang majemuk dan memperkuat integrasi nasional.
Harapan ini mewujud pada upaya pembangunan pendidikan Islam yang secara umum melihat dan meletakkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama Islam yang mampu menjadi landasan dalam membangun karakter manusia.
Hal demikian menjadi mungkin karena karakter merupakan faktor esensial dalam pembentukan kualitas dan daya saing SDM.
Anggaran pendidikan
Harapan pada pendidikan Islam yang tinggi tersebut beriringan dengan amanah pendidikan secara makro yang juga tidak ringan. Bersama dan saling melengkapi, pendidikan Islam dan pendidikan nasional menuju pada tahapan krusial berjudul Indonesia Emas 2045.
Indonesia Emas sendiri memiliki 5 visi utama, yakni:
- pendapatan per kapita setara negara maju,
- kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang,
- kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat,
- daya saing sumber daya manusia meningkat, dan
- intensitas emisi GRK menurun menuju net zero emission.
Terlihat, harapan besar terkait pendidikan berada pada visi daya saing sumber daya manusia meningkat di mana Indeks Modal Manusia memiliki target peningkatan dari skor baseline tahun 2025 sebesar 0,54, menjadi 0, 61 pada 2029 dan menuju 0,73 pada 2045.
Tujuan mulia ini sudah sepatutnya ditopang oleh sistem penganggaran yang memadai. Anggaran pendidikan juga menjadi soko guru proses pencerdasan anak bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Dengan dukungan pendanaan pendidikan yang memadai, ikhtiar mewujudkan Generasi Emas yang cerdas dan berakhlak mulia memiliki kemungkinannya sendiri untuk mewujud. Pendidikan Islam mengemban amanah yang berat dalam konteks tersebut.
Anggaran pendidikan diperlukan untuk memastikan berbagai rancang bangun pendidikan nasional dan upaya pembangunan pendidikan menjadi mungkin dilaksanakan. Anggaran pendidikan nasional dikelola dua kementerian, Kemendikbud Ristek dan Kemenag.
Berdasarkan Perpres Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024 adalah sebesar Rp 3.325 triliun. Sebanyak 20 persen di antaranya atau Rp 665 triliun digunakan untuk anggaran fungsi pendidikan.
Sekitar setengah dari total anggaran fungsi pendidikan digunakan untuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Proporsi terbesar digunakan untuk transfer daerah, yaitu sebanyak 52%, dengan angka sejumlah Rp 356,5 triliun.
Kemendikti Ristek sendiri mengelola sebesar 15% dari anggaran fungsi pendidikan atau sebesar Rp 98,9 triliun. Sementara itu, 33% anggaran pendidikan 2024 tersebar di Kementerian Agama (Kemenag), kementerian atau lembaga (K/L) lain, dan Kementerian Keuangan sebagai pengelola anggaran pembiayaan pendidikan dan anggaran pendidikan non-K/L.
Rincian pos anggaran pendidikan 2024 dari 20% APBN setara Rp 665 triliun adalah sebagai berikut:
- Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD): Rp 356,5 triliun (52%),
- Kemendikbudristek Rp 98, 987 triliun (15%),
- Kemenag Rp 62,305 triliun (9%),
- Kementerian/lembaga lainnya Rp 32,859 triliun (5%),
- pengeluaran pembiayaan (termasuk Dana Abadi) Rp 77 triliun (12%),
- Anggaran pendidikan pada belanja nonkementerian/lembaga: Rp 47,313 triliun (7%).
Catatan tentang Anggaran Pendidikan
Dari sebaran anggaran ini, terdapat beberapa catatan.
- Pertama, dari data APBN 2024 tersebut terlihat adanya proporsi yang tidak berimbang. Nota Keuangan 2023, yang menjelaskan APBN 2024, menjelaskan anggaran pendidikan yang bersumber dari Dana Transfer Umum (DTU) dan Dana Transfer Khusus (DTK).
Keduanya merupakan anggaran pendidikan untuk sekolah di bawah Kemendikbudristek. Jumlah tersebut termasuk anggaran DAK Fisik & DAK Non-Fisik (TPG & BOS) untuk sekolah Kemendikbudristek yang hanya mencakup satuan pendidikan PAUD, dasar, dan menengah (tidak termasuk pendidikan tinggi).
Di pihak lain, anggaran Kemenag yang sebesar 62,305 T pada dasarnya melekat padanya anggaran pendidikan mulai dari PAUD, dasar, menengah, pendidikan tinggi, pondok pesantren, dan Pendidikan Agama Islam.
Dengan Kemenag yang memakai pakem instansi vertikal,
praktis anggaran tersebut dibagi antara pusat dan daerah. Dana Kemenag yang 62,305 T
mencakup TPG, BOS, PIP, mutu pendidikan yang mencakup mulai RA, MI, MTs, MA,
dan PTKI (UIN, IAIN, STAIN, dan PTKIS lainnya).
Lebih dari itu, termasuk di dalam anggaran tersebut adalah anggaran untuk satuan pendidikan keagamaan Islam (Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren) dan satuan pendidikan keagamaan lainnya (Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu).
Di sinilah letak ketidakberimbangan yang terus mengikuti dinamika Kemenag tiap tahunnya. Tiap tahunnya, Kemenag harus berjibaku menghadapi kekurangan anggaran berbagai tunjangan guru, termasuk guru yang pada dasarnya berada di bawah koordinasi Kemendikbud (guru PAI).
Padahal, Kemenag menyumbang 15% jumlah siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
- Kedua, APBN 2024 menegaskan perlunya sinergi dan kolaborasi. Kekurangan anggaran yang dihadapi Kemenag tidak harus dicari kambing hitam sebagai solusinya.
Namun demikian, politik anggaran harus dikembangkan sedemikian rupa untuk keberpihakan kepada pendidikan Islam dan pendidikan agama secara umum.
Epilog: Perlunya keterbukaan diri
Dalam konteks ini, pemerintah daerah perlu lebih membuka diri terhadap entitas pendidikan Islam dan pendidikan agama secara umum. Jika ingin menjadikan pendidikan sebagai penopang utama menuju Indonesia Emas, tidak lain tidak bukan di antaranya dibutuhkan keterbukaan diri.
Keterbukaan diri ini akan mendorong terbukanya sekat-sekat yang selama ini menjadi penghalang. Pendidikan adalah upaya mendasar dalam menyongsong hari esok. Pendidikan Islam adalah subsistem pendidikan nasional.
Jika diibaratkan, Kemenag adalah makmum dari imam yang diampu oleh Kemendikbudristek. Jika imam memutuskan bahwa salatnya adalah salat yang di-qashar atau dijamak, maka imam tinggal memberi kode kepada makmum untuk melaksanakan salat dengan metode yang diputuskan imam.
ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.
0 Comments