Sumpah Pemuda di Era Milenial: Persatuan dan Kesatuan Bangsa dan Tidak Dikuasai Teknologi

by | Oct 29, 2021 | Berita | 0 comments

Pada hari Kamis Tanggal 28 Oktober 2021, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI) bersama seluruh warga Indonesia telah menggelar acara puncak secara virtual berkaitan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) Ke-93 Tahun 2021 di Auditorium TVRI, Jakarta Pusat.

Momentum itu disebut sebagai acara puncak karena Kemenpora RI selama sebulan penuh pada Oktober 2021 telah menggelar berbagai kegiatan tentang Kepemudaan. Di antaranya Sayembara Logo Hari Sumpah Pemuda ke-93, Pemilihan Pemuda Pelopor, Pemilihan Pasangan Muda Inspiratif, Pemilihan Wirausaha Muda Penggerak Berprestasi, Sumpah Pemuda Tiktok Challanges, Lomba Cover Lagu Kita Satu, Pesantrenpreneur 2021, hingga Anugerah Kepemudaan dan Acara Puncak Hari Sumpah Pemuda.

Bersatu, Bangkit dan Tumbuh

Puncak acara peringatan Sumpah Pemuda tersebut dihadiri secara daring oleh Presiden Joko Widodo, Ketua DPR, Ketua MPR, Ketua DPD RI, para Menteri Kabinet Indonesia Maju, para Kepala Daerah, dan Pimpinan Organisasi Kepemudaan.

Sedangkan secara luring bertempat di studio TVRI, selain dihadiri oleh seluruh pejabat Kemenpora, juga dihadiri oleh para Menteri sebelumnya (mantan) yakni Agung Laksono, Adhyaksa Dault, dan Roy Suryo.

Dalam laporan acara kepada Presiden RI, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Zainudin Amali, mengungkapkan bahwa Hari Sumpah Pemuda ke-93 mengangkat tema “Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh”.

Tema peringatan HSP tahun 2021 diusung untuk menegaskan kembali komitmen yang telah dibangun oleh para pemuda yang diikrarkan pada tahun 1928. Tema “Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh” diperuntukkan pemuda termasuk seluruh elemen bangsa.

Di tangan pemudalah kita berharap Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19 dan melangkah lebih maju untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Hermansyah, Harian Terbit, 28 Oktober 2021). 

Presiden: Momentum Pemuda Menguasai Teknologi

Sementara itu, Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo dalam sambutannya di acara HSP tersebut menyatakan bahwa peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) ke-93 di era disrupsi ini agar dapat menjadi momentum bagi pemuda untuk menjadi pemimpin dan memenangkan kompetisi, termasuk penguasaan teknologi.

Presiden juga menegaskan bahwa dalam dunia yang penuh disrupsi, waktunya kaum muda menjadi pemimpin untuk memenangkan kompetisi. Pemimpin yang menguasai teknologi, bukan dikuasai teknologi.

Pemuda yang menjadi pemimpin harus berani mengambil inisiatif dan mengedepankan sikap humanis. Pemuda juga harus terus belajar kepada siapa saja, tentang apa saja, serta siap untuk berkontribusi demi kemajuan bangsa Indonesia. 

Di era saat ini, perusahaan start-up tumbuh begitu pesat dan diharapkan pemuda bisa menjadi pemain global untuk mengalahkan perusahaan lama. Sebagai contoh di bidang seni dan budaya, beberapa karya pemuda Indonesia telah menarik minat masyarakat dunia.

Demikian pula prestasi pemuda kita di bidang olahraga pada tingkat dunia sudah banyak mengharumkan nama bangsa. 

Presiden Jokowi memahami bahwa tidak semua pemuda Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan tinggi. Namun demikian, Presiden berharap agar pemuda Indonesia harus saling memberi informasi, pengetahuan hingga keterampilan, sikap yang demikian dimaknai dengan esensi kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah membantu yang tidak bisa menjadi bisa, dan membantu yang sudah bisa menjadi lebih bisa lagi. Kepemimpinan adalah pengaruh, kepemimpinan adalah inspirasi (Hermansyah, Harian Terbit, 28 Oktober 2021).

Napak Tilas Peringatan Sumpah Pemuda

Sejarawan JJ Rizal dalam Ridwan Nanda Milyana (2016), menyatakan bahwa tanggal 28 Oktober pada awalnya diperingati sebagai Hari Lahir Indonesia Raya yakni pada 28 Oktober 1949.

Pada hari itulah lagu “Indonesia Raya” kali pertama dikumandangkan. Kemudian, pada 1950-an proses kreasi perisitiwa tersebut dianggap sebagai momen Sumpah Pemuda dan mulai menjadi perayaan nasional.

Ide perayaan tersebut diusung oleh Presiden Sukarno sebagai pembentukan identitas (kebangsaan) Indonesia sesuai dengan tema sentral perjuangan Soekarno yakni “Persatuan Nasional”.

Hal ini penting karena pada saat itu banyak terjadi tantangan internal di negeri kita yakni berupa pemberontakan di daerah. Oleh karena itu, pada 1956 Presiden Soekarno mengeluarkan jargon-jargon: “Mereka yang mengkhianati Republik, berarti juga mengkhianati Sumpah Pemuda 1928!”

Menurut Ahli Sejarah, Asvi Warman Adam (2012, hlm. 241-242), demi mencapai visi menciptakan “Persatuan Nasional” sekaligus menjawab tantangan, Presiden Soekarno juga menggunakan peringatan sejarah untuk menggali dan mengenalkan kembali spirit kebangsaan.

Hari Sumpah Pemuda kemudian diperingati secara meriah sebagai hari nasional pada tahun 1957. Memang kondisi dalam negeri pada saat itu tengah bergejolak dan Soekarno membutuhkan sesuatu “media dan semangat” untuk kembali menghimpun persatuan bangsa.

Momentum Sumpah Pemuda di Era Millenial

Dari uraian penjelasan di atas, penulis mencoba menangkap makna yang sama atas dua peristiwa tersebut. Yang pertama yakni penyampaian pesan pemerintah kepada generasi muda untuk selalu melakukan refleksi atau perenungan diri dengan membaca sejarah peringatan Hari Sumpah Pemuda.

Yang kedua ialah peringatan yang dilakukan pada saat ini bahwa kita memerlukan suatu momentum sebagai media untuk mewujudkan visi maupun menjawab tantangan dan permasalahan bangsa.

Di titik tersebut, suatu peristiwa sejarah memiliki dampak besar, dan tidak seharusnya hanya sekadar jargon belaka. Tidak hanya diperingati lewat upacara dengan pidato pemimpin selama beberapa menit.

Namun, momentum ini seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai gelombang untuk membawa para pemuda di republik ini untuk masuk ke dalam arus semangat. Dengan demikian, nilai-nilai dan semangat yang bisa diwariskan dari peristiwa itu dapat terinternalisasikan kepada masyarakat khususnya para pemuda.

Peran generasi milenial turut mewarnai negeri ini, tidak hanya dalam hal perbaikan ekonomi Indonesia akibat wabah pandemi Covid-19, tetapi juga narasi sosio-kultural dan politik. Akan tetapi, sepertinya tidak semua anak muda mempunyai mental ‘mengubah dunia’ seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.

Benarkah Kita (Sudah) Menguasai Teknologi?

Sebenarnya, sudah ada yang tergerak untuk berjejaring sosial dan memperkuat kolaborasi serta menambal-sulam kesadaran melalui kegiatan kerelawanan sosial. Namun, masih banyak milenial yang belum melek teknologi.

Masih rendah pula optimasi penggunaan media sosial secara baik, sehingga mudah dimanipulasi oleh sentimen-sentimen SARA, hoax, dan ujaran kebencian. Penyebab utamanya adalah bangsa kita masih rendah minat baca, tetapi tinggi gairah dalam bersosial-media.

Selain menjadi gampang menyebarkan dan terjebak dalam pusaran jual-beli hoax dan ujaran kebencian, situasi ini juga memungkinkan potensi besar untuk kita berdebat dan bertengkar pada hal-hal yang tidak prinsipil, yang membuat kita jalan di tempat, atau bahkan mundur.

Ada energi berlebih, gejolak darah-muda, yang perlu dikelola, ditampung, dan disalurkan kepada pos-pos produktif. Di sisi lain, perkembangan teknologi terkini telah sampai pada tahap disruptif dan arus informasi menjadi supercepat.

Demikian halnya dengan tatanan sosio-kultural, politik, dan bahkan bisnis (yang konvensional) dikontestasi. Kita perlu bertanya apakah artificial intelligence telah digunakan optimal secara masif.

Mengimbangi percepatan dan perubahan ini saja sudah cukup bikin kewalahan. Jangan-jangan, benar yang disampaikan Presiden bahwa kita belum menguasai teknologi dan informasi melainkan justru dikuasainya.

Penutup: Jangan Mengkhianati Sumpah Pemuda!

Dalam kondisi kekinian, sebaiknya pemerintah menggunakan momentum Sumpah Pemuda sebagai media untuk menghimpun kesadaran masyarakat, bahwa mendahulukan persatuan dan kepentingan nasional sangatlah penting.

Bagi generasi muda, apapun posisinya, titik peristiwa ini harus bisa menjadi momentum memaknai (kembali) apa yang diamanahkan oleh Proklamator Kemerdekaan, Bung Karno: “Mereka yang mengkhianati Republik, berarti juga mengkhianati Sumpah Pemuda 1928!”

Amanah dari Bung Karno seharusnya menjadi pedoman Revolusi Mental bagi generasi milenial. Sudah saatnya kita menumbuhkan kesadaran dan komitmen untuk menjalankan tanggung jawab moral/sosial supaya pendidikan tak melulu ditujukan untuk sekadar meningkatkan taraf kemakmuran bagi kepentingan pribadi atau kelompok.

Pemuda milenial, jangan sekali-kali mengkhianati Sumpah Pemuda. Kepentingan dan persatuan bangsa adalah utama. Jangan rusak negara ini oleh perbedaan-perbedaan dan kepentingan sempit semata.

Sebab, tanpa ada pemaknaan terhadap semangat dan nilai-nilai tersebut, bukan tak mungkin kita hanya akan menjadi bagian dari sampah pemuda.

Sumber Referensi:

  • Ridwan Nanda Milyana, “(Sumpah) Pemuda Masa Kini”, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro, 2016.
  • Hermansyah, “Hari Sumpah Pemuda Ke-93 Tahun 2021 Momentum Perekat Persatuan Bangsa”, www.harianterbit.com, 28 Oktober 2021.
  • Hermansyah, “Momen Hari Sumpah Pemuda Ke-93 Presiden Sebut Saatnya Pemuda Menjadi Pemimpin Menangkan Kompetisi”, www.harianterbit.com, 28 Oktober 2021.

Subroto ◆ Professional Writer

Subroto ◆ Professional Writer

Author

Kepala Biro Keuangan Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Lebih dikenal dengan panggilan akrab Cak Bro. Hobinya menulis secara otodidak mengenai permasalahan organisasi tentang SDM, audit, pengawasan, dan korupsi. Pernah menerbitkan buku koleksi pribadi "Artikel ringan Cakbro: Sekitar Tata Kelola Organisasi" dan "Bunga Rampai SPIP". E-mail: [email protected] Blogger: Cakbro. Blogspot.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post