SMART SHORCUT JOKOWI: CULPABILITY APIP DAN PARADOKS PENGENDALIAN INTERN

by | Feb 13, 2021 | Birokrasi Efektif-Efisien, Refleksi Birokrasi | 2 comments

Pengembangan inovasi pelayanan publik berbasis teknologi informasi terus dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah di berbagai sektor. Di sisi lain, dalam beberapa kesempatan Presiden Jokowi mengeluhkan kinerja birokrasi pemerintah yang dipandang tidak efisien dan tidak efektif.  

Presiden memandang terlalu banyak aturan yang membelenggu birokrasi dan menyulitkan diri sendiri. Berkaitan dengan ini, Presiden juga mengemukakan harapannya terhadap pelayanan publik yang smart shorcut yaitu pelayanan yang agile, akas, lincah, cepat, dan cekatan.

Tulisan ini berupaya mengemukakan kemungkinan culpability aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam masalah ini. Jebakan manajerialisme, paradoks pengendalian intern, dan miskarakterisasi isu-isu pengendalian intern menjadi “hanya masalah prinsipal – agen – klien”, merupakan beberapa hal yang mungkin perlu lebih diperhatikan oleh APIP.

APIP mungkin perlu lebih sensitif merasakan kebutuhan organisasi dan kemudian beradaptasi, dan merespons dengan cepat dan berkelanjutan terhadap perubahan lingkungan.

Adanya dots yang disconnected

Presiden Jokowi, untuk kesekian kali, mendorong perbaikan manajemen pemerintahan dan kinerja birokrasi. Dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Presiden mengutarakan harapannya untuk: 

“mengubah model pelayanan birokrasi yang selama ini kaku, terjebak pada hal yang bersifat prosedural, bersifat administratif menjadi pelayanan publik yang menekankan pada kecepatan, inovatif, berorientasi pada hasil”.

Di kesempatan lain, yaitu Rapat Terbatas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Presiden Joko Widodo ingin agar penanganan manajemen krisis Covid-19:

… kelihatan, lincah, cepat, troubleshooting, smart shortcut, dan hasilnya betul-betul efektif, sehingga butuh kecepatan.

Presiden memandang  birokrasi pemerintahan saat ini masih sangat ruwet dan berbelit,

“Terlalu banyak aturan yang membelenggu diri sendiri, terlalu banyak prosedur, terlalu banyak tahapan-tahapan prosedur, birokrasi telah terjebak oleh aturan yang menyulitkan, yang dibuatnya sendiri.

Apabila diperas dan disarikan menjadi tiga kata, maka “inefisien” dan “inefektif” menjadi kata yang mewakili kondisi birokrasi dan kata “akas” (agile) mewakili harapan Presiden terhadap birokrasi di Indonesia.

Di sisi lain, sebanyak 3.156 inovasi pelayanan publik telah terekam dalam Sistem Informasi Inovasi Pelayanan Publik (SINOVIK) yang digagas oleh Kementerian PAN/RB. Untuk tahun 2019 terdapat 1.872 inovasi pelayanan publik. Per Juni 2020, Kementerian PNRB telah menghimpun inovasi sebanyak 1.204 inovasi.

Inovasi-inovasi dalam lingkup pelayanan publik tersebut diklaim telah berbentuk berbagai terobosan, ide kreatif orisinal, adaptasi, ataupun modifikasi pada satu sisi. Sementara itu, ungkapan Presiden di sisi lain menunjukkan adanya dots yang disconnected. Dalam hemat saya, APIP mungkin berkontribusi menjadi pihak yang membuat hal tersebut terus terjadi.

Dampak negatif pengendalian yang terlalu ketat  

Sudah menjadi tugas, fungsi, dan peran APIP untuk menyadarkan manajemen tentang dampak dari defisiensi pengendalian intern, baik dalam desain maupun penyelenggaraannya.

Melalui tugas-tugas pengawasannya, APIP menyampaikan temuan hasil audit lengkap dengan atribut kondisi, kriteria, sebab, dan akibatnya. APIP kemudian memberikan rekomendasi untuk melakukan penguatan pengendalian intern. Perubahan kebijakan, dan penambahan prosedur menjadi rekomendasi yang jamak diberikan.

Rekomendasi tersebut mungkin tepat diberikan karena defisiensi pengendalian memang bisa berakibat pada berkurangnya keandalan informasi, ketidakpatuhan pada regulasi, kehilangan aset, inefisiensi penggunaan sumber daya, dan kegagalan mencapai tujuan kegiatan. Dampak lanjutannya adalah timbulnya risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko fraud.

Culpability pertama APIP dalam hal ini adalah kurangnya memerhatikan dampak unexpected dan unintended dari pengendalian yang terlalu ketat. Jenis dan bentuk dampak yang timbul dari pengendalian yang terlalu ketat tidak akan lebih komprehensif dari ungkapan perasaan Presiden soal keruwetan birokrasi.

Pegawai merasa mengenakan straight jacket, terbuangnya sumber daya untuk pengendalian yang tak perlu, dan proses yang terlalu rumit dan pada akhirnya menurunkan kepuasan pengguna layanan  publik.

Jebakan manajerialisme

Instansi pemerintah mendesain dan menyelenggarakan pengendalian intern untuk melindungi diri dari berbagai risiko. PP Nomor 60 Tahun 2008 mungkin menjadi acuan utama bagi sebagian instansi pemerintah dalam mengembangkan rerangka pengendalian intern ini.

Sementara itu, beberapa instansi lainnya telah berupaya mengembangkan Enterprise Risk Management (ERM), rerangka yang ditawarkan oleh International Organization for Standardization (ISO), atau rerangka lain yang dikembangkan oleh lembaga internasional.

Apapun rerangka pengendalian intern yang diacu, tanpa manajemen risiko yang memadai, dapat diduga akan terwujud apa yang disebut sebagai paradoks pengendalian intern akibat dari organisasi yang terjebak dalam manajerialisme.

Hal ini menjadi culpability kedua bagi APIP. Manajerialisme adalah kepercayaan pada nilai-nilai yang diusung, serta konsep dan metode yang digunakan oleh para profesional. Efisien.

Manajerialisme berpandangan bahwa penyimpangan dapat dicegah dengan mendesain dan menyelenggarakan sistem dan prosedur yang tepat, serta menerapkan berbagai teknik manajerial. Pendekatan ini mempunyai keterbatasan yaitu memandang organisasi dalam situasi yang ideal, terstandarisasi, dan tidak memperhatikan sifat interaktif antara manusia dan sistem. (Klikauer 2013)

Kegagalan manajerialisme tergambar dari perilaku (i) pegawai yang akan mengalkulasi risiko melakukan penyimpangan dan (ii) pegawai yang akan selalu menemukan cara untuk memanfaatkan kelemahan peraturan.

Jika terjadi penyimpangan, tindak lanjutnya hampir dapat dipastikan adalah penambahan peraturan dan prosedur. Hal ini disebabkan penyimpangan dipandang sebagai masalah prinsipal – agen – klien semata. Ini menjadi culpability APIP yang ketiga.

Adapun ketidakmampuan prinsipal mengetahui tingkat kejujuran agen dikompensasi dengan sistem pemantauan. Ironisnya, perilaku agen tidak akan sempurna teramati tanpa sistem pemantauan berbiaya tinggi.

Strategi penanganan penyimpangan kemudian hanya berkutat di sekitar upaya meningkatkan risiko deteksi dan risiko hukuman, dengan cara menambah regulasi. Organisasi akan terbebani dengan lapisan demi lapisan peraturan, prosedur, pedoman, dan petunjuk. Sistem kepatuhan semakin kaku dan ketat membentuk jaringan regulasi yang semakin membebani.

Dalam proses penegakan peraturan terjadi pertarungan yang sia-sia antara ‘penyusunan aturan’ dan ‘upaya memanfaatkan kelemahannya’. Suatu peraturan akan dibalas oleh pegawai dengan mengubah modus. Modus tersebut kemudian dicoba dicegah oleh organisasi dengan peraturan baru yang lebih rinci dan lebih rumit.

Pegawai membalasnya dengan modus yang lebih canggih juga. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jumlah dan peningkatan kompleksitas peraturan, yang pada suatu saat akan mencekik kegiatan operasional organisasi. . (Klikauer 2013) (Cusker 2006)

Kepatuhan untuk menyembunyikan perilaku koruptif

Karakteristik sistem manajerialis yang eksesif ini dapat berakibat pada timbulnya kultur ‘jika tidak diatur berarti diperbolehkan’. Ketika perilaku yang tidak diperbolehkan dideskripsikan dan didaftar secara rinci dan komprehensif maka pegawai akan mempunyai sikap bahwa ‘apa yang tidak terdapat dalam daftar tersebut berarti diperbolehkan’.

Sikap ini menjadikan pegawai berupaya ‘mencuci’ perilaku koruptif untuk menunjukkan suatu peraturan sekedar telah dipatuhi. Kultur ini hanya menjadikan pegawai berupaya lebih keras untuk dapat melakukan penyimpangan. Cara-cara manajerialisme menjadikan pegawai semakin ahli dalam metodologi melakukan penyimpangan.

Sejalan dengan itu, fraud dan korupsi dalam rangka menghindar dari upaya deteksi juga semakin canggih. Berkebalikan dari maksud dan tujuan awalnya, cara-cara manajerialistik dapat mengakibatkan terjadinya profesionalisasi atau semakin canggihnya modus penyimpangan, sehingga semakin sulit dideteksi dan dikendalikan. Alih-alih mencegah, pendekatan ini cenderung mengubah sifat dan memindahkan lokasi kejadian korupsi.

Dampak lainnya adalah pegawai akan semakin merasa sulit mengerjakan tugasnya di tengah jaringan regulasi yang harus dipatuhi sehingga  penyimpangan dan kekeliruan akan semakin sering terjadi. Pegawai juga akan semakin “kreatif” mencari jalan mengabaikan pengendalian intern yang dipandang tidak lagi efisien (Deloitte, 2017). Dampak lanjutannya adalah timbulnya biaya yang tersembunyi akibat dari relasi organisasi dan pegawai yang tidak lagi beralas pada rasa saling percaya.

Terbentuknya jaringan regulasi yang rumit, kompleks, dan mahal mungkin dapat meningkatkan risiko deteksi dan mencegah pegawai melakukan penyimpangan. Namun, hal ini mengandung dampak negatif terhadap motivasi intrinsik untuk menegakkan integritas. 

Pertimbangan risiko deteksi dalam proses pengambilan keputusan etis dapat mengubah permasalahan etis, misalnya dalam situasi korupsi, tidak lebih dari sekedar pertimbangan biaya – manfaat. Hal ini mengalihkan perhatian dari implikasi moral yang seharusnya menjadi pertimbangan utama.

Pengendalian yang terlalu ketat juga mungkin mengurangi tingkat usaha yang hendak dikeluarkan oleh pegawai. Pegawai dengan sengaja mengurangi tingkat kerja kerasnya  dan merasa hanya perlu berkinerja seminimal mungkin untuk sekedar lolos dari batas-batas pengendalian.  (OECD 2018)

Penutup: Mendapatkan smart-nya dan shortcut-nya

Untuk dapat mendorong terwujudnya pelayanan publik yang akas, tangkas, gesit dan cekatan, APIP perlu menjadi akas terlebih dahulu. Peningkatan kapabilitas organisasional, kecepatan dan efisiensi adaptasi, respons terhadap perubahan, dan rekonfigurasi sumber daya menjadi hal yang tidak terhindarkan (Deksnys 2018).

Salah satu kata kunci yang disampaikan Presiden Jokowi adalah smart shortcut. Untuk dapat smart-nya organisasi membutuhkan riset, sedangkan untuk mendapat shortcut-nya organisasi membutuhkan teknologi informasi.

Untuk mendapat smart-nya, APIP perlu melakukan riset untuk mengeksplorasi pendekatan keperilakuan (behavioural) dalam mengembangkan metodologi pengawasan dan pembinaan pengendalian intern. Pendekatan tersebut memungkinan APIP berperan dalam upaya mengubah model mental dan norma sosial (Stahl, Kassa and Baez-Camargo 2017).

Untuk mendapat shortcut-nya, seiring dengan upaya organisasi mengembangkan desain pengendalian intern dengan memanfaatkan teknologi informasi, APIP perlu mengintegrasikan rerangka pengendalian yang digunakan saat ini dengan konsep-konsep yang terkandung dalam IT Governance.

Rerangka SPIP,  ERM, dan ISO  yang sedang diadaptasi dan diadopsi perlu segera dilengkapi  antara lain dengan rerangka (i) Control Objectives for Information and Related Technology (COBIT) yang dikembangkan oleh Information Systems Audit and Control Foundation (ISACF); (ii) The Federal Information System Controls Audit Manual (FISCAM) yang dikembangkan oleh the United States General Accounting Office (GAO), dan (iii) Systems Auditability and Control (SAC) yang dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditors Research Foundation, untuk menjadi landasan pengembangan metodologi pengawasan dan pembinaan pengendalian intern.

Implementasi pendekatan keperilakuan dan IT governance dalam tugas-tugas APIP melakukan pengawasan dan pembinaan pengendalian intern diharapkan dapat menjadi sarana keluar dari jebakan manajerialisme dan memutus lingkaran paradoks pengendalian intern. Dengan demikian APIP dapat memberikan nilai kepada pimpinan organisasi secara lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.

5
0
Ide Juang Human Tito ◆ Active Writer

Ide Juang Human Tito ◆ Active Writer

Author

PNS pemerhati kebijakan publik, reformasi birokrasi, dan pencegahan fraud

2 Comments

  1. Subroto

    Terima kasih bung ide, sesuai namanya, telah mencerahkan akan permasalahan yang terjadi. Rasanya tidak juga menjadi beban APIP yang dipaksa menjadi akas, sementara kualitas dan kompetensi terbatas. Perlu juga mendorong komitmen pimpinan dan manajernya untuk memperbaiki dan up-dating sistem yang dijalankan. Perseteruan antara aturan sebagai kendali dan pencari kelemahan aturan (loop hole) laksana polisi dan maling akan terus berkejaran. Entah sampai kapan bisa mencapai titik equilibriumnya.

    Reply
  2. Trian Ferianto

    Ulasan yang komprehensif berikut dengan solusi yang ditawarkan. Problemnya adalah sinergi antar entitas/instansi yang berhubungan seringkali menjadi hambatan mengeksekusi solusi yang sudah di depan mata.

    Semoga upaya-upaya baik dapat menemukan jalannya…

    Terima kasih, Pak Ide telah berbagi ide dan gagasan.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post