Baru kali pertama ini saya mengunjungi Gorontalo, itupun lantaran sebuah undangan untuk menghadiri suatu kegiatan. Terus terang, kadang saya masih keliru menganggap provinsi ini perpecahan wilayah dari Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar, padahal sebenarnya dari Sulawesi Utara.
Maklum, usia tak bisa membohongi daya ingat, rupanya tertukar dalam memori saya, antara Gorontalo dan Toraja. Padahal, keduanya berbeda jauh jaraknya, hampir 1200 kilometer. Selain itu, Gorontalo adalah nama Provinsi sekaligus kota, sedangkan Tana Toraja adalah sebuah kabupaten.
Gorontalo, Kota Serambi Medinah
Untuk menghilangkan rasa penasaran, saya coba searching sejenak tentang Kota Gorontalo dan membaca sejarah keberadaannya melalui Wikipedia. Sebagai sebuah wilayah pemekaran, secara geografis provinsi ini berdampingan dengan induknya, Provinsi Sulawesi Utara dengan Manado sebagai ibukotanya.
Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang mungkin menjadi alasan disahkannya pemekaran wilayah tersebut. Dalam tulisan ini, Gorontalo yang dimaksudkan selanjutnya adalah spesifik tentang kota, bukan provinsinya.
Gorontalo, menurut bahasa mereka, adalah Huontalo yang berarti ibukota. Sebagai wilayah terpadat layaknya ibukota provinsi, Gorontalo berada di teluk Tomini. Berdasarkan catatan sejarah, Gorontalo merupakan pusat ekonomi, jasa dan perdagangan, pendidikan serta pusat penyebaran agama Islam di wilayah timur nusantara.
Sopir taksi yang mengantar saya ke hotel juga sempat bercerita bahwa cara membedakan warga Gorontalo dan Manado itu mudah saja, sesuai warna kulit (mohon maaf tidak bermaksud untuk merendahkan ras atau warna kulit).
Sederhananya, jika berwarna kulit putih berarti penduduk Manado dan sebaliknya. Selain itu, berdasar dominasi agama yang dianut, warga Gorontalo sebagian besar memeluk agama Islam dan sebaliknya.
Selanjutnya, berdasar catatan sejarah Gorontalo merupakan salah satu kota tertua. Kesultanan Gorontalo berdiri tanggal 18 Maret 1728, dan tanggal tersebut selalu diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kota Gorontalo.
Dengan dominasi masyarakat muslim dan banyaknya pusat pendidikan Islam atau pesantren, Kota Gorontalo dikenal dengan Kota Serambi Medinah dengan motto: “Adati hula-hula’a to Sara’a, Sara’a hula-hula’a to Kuru’ani” yang artinya: Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah atau Al-Qur’an.
Selain itu, dalam dunia pendidikan, terdapat Universitas Gorontalo (UG) dan Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang merupakan perubahan dari IKIP Gorontalo, serta banyak Sekolah Tinggi maupun Universitas Swasta lainnya.
Yang menarik, saya banyak melihat warga papua yang bermukim di sana. Menurut pak sopir taksi, memang banyak penduduk kawasan timur termasuk Papua yang bersekolah di sana dan sebagian lagi menjadi pekerja perusahaan penangkap ikan tuna yang akan diekspor.
Lumbung Padi Wilayah Timur dan Pengekspor Ikan Tuna
Wilayah Gorontalo terkenal sebagai daerah agraris dengan produksi utama adalah padi dan jagung. Tampaknya, program transmigrasi pada zaman orde baru berhasil memindahkan banyak penduduk Jawa untuk bermukim di sana.
Kini, Gorontalo pun menjadi merupakan kota swasembada pangan dan dianggap sebagai wilayah lumbung pangan untuk kawasan timur.
Selain itu, Gorontalo juga terkenal sebagai daerah pengekspor ikan tuna. Hal ini mungkin karena sebagian penduduknya berasal dari Makassar yang dikenal sebagai pelaut ulung. Bahkan, di sana ada kampung Bajo, suku yang terkenal hidup di atas perahu.
Kajian Etnografi Berbasis Kuliner di Gorontalo
Sebagaimana catatan dalam pembuka, kekeliruan saya justru tak terbantah saat sarapan pagi di hotel. Kuliner yang dimaksud adalah binte biluhuta dan ilabulo. Menu lauk khas Gorontalo tersebut dijadikan sebagai pendamping nasi kuning.
Binte biluhuta adalah semacam kuah berisi pipilan jagung rebus dan sayuran, serta suwiran ikan tuna (ada pula dengan potongan daging sapi).
Ilabulo adalah semacam tepung gelatin sagu (di Papua dikenal dengan papeda) ditambah potongan telur rebus yang dibungkus daun pisang. Sedangkan nasi kuning khas Gorontalo biasanya ditemani bihun dan suwiran ikan tuna.
Dari sini saya semakin yakin dari aspek kuliner/budaya, bahwa Gorontalo merupakan pecahan dari wilayah Sulawesi Utara karena adanya kesamaan dengan bubur tinutuan, sebuah kuliner khas Manado. Ada dominasi jagung, meskipun berbeda racikan sesuai dengan asal daerah.
Hal berikutnya kuah binte biluhuta yang mengingatkan saya pada kuliner khas Makassar. Terdapat dominasi daging sapi dan aroma rempahnya.
Sedangkan tentang menu khas ilabulo, adanya sagu mengingatkan saya pada bubur sagu atau papeda milik orang Papua. Adapun suwiran ikan tuna menunjukkan adanya kontribusi penduduk Makassar sebagai nelayan penghasil ikan tuna di Gorontalo.
Khasanah Kuliner: Akulturasi dan Asimilasi
Walaupun tidak melakukan riset secara mendalam, tapi dalam pengamatan saya kuliner khas suatu daerah bisa menjadi bahan kajian etnografi tentang sejarah dan muasal daerah, serta adanya akulturasi dan asimilasi budaya yang terjadi.
Terinspirasi dari penjelajahan singkat saya lewat sajian itu, sebagai penutup tulisan ini, saya menyarankan kepada hotel-hotel setempat untuk menampilkan menu khas setiap daerah. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada penghuni hotel tentang budaya masyarakat di sana.
Seperti hotel Aston di Gorontalo di mana daya menginap, cukup cerdas menyajikan sajian kuliner khas daerah setempat dan mencantumkan nama kuliner tersebut.
Ada baiknya juga menuliskan narasi sebagai informasi jenis kuliner tersebut. Di era terkini sudah basi sekali (ketinggalan zaman) jika hanya menyajikan menu internasional saja. Selain itu, kreativitas macam ini akan meningkatkan branding hotel yang terkesan dengan kuliner tersebut sehingga tertarik untuk kembali lagi.
Tidak hanya bagi hotel, pelaku perekonomian lokal juga akan mendapat getah baiknya, ketika wisata kuliner menjadi motivasi para pengunjung untuk kembali. Salam dari Gorontalo, Kota Serambi Medinah.
0 Comments