Maraknya praktik korupsi di daerah memang membuat gusar masyarakat. Berbagai solusi untuk mencegahnya pun sudah banyak dilakukan. Penguatan upaya hukum juga sepertinya terus digerakkan.
Namun demikian, tidak ada salahnya dan mungkin patut dicoba adanya upaya pencegahan korupsi melalui mekanisme insentif dan disinsentif terkait dengan pengucuran dana.
Saya mencoba menawarkan alternatif pencegahan tindakan penyelewengan anggaran belanja daerah melalui reformulasi kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID).
DAK dan DID sebagai Salah Satu Sumber Pendanaan
Dalam perspektif transfer dana pemerintah pusat ke daerah, DAK dan DID merupakan dua kebijakan yang perhitungannya memerlukan partisipasi serta komitmen aktif dari pemerintah daerah.
Berbeda dengan formula Dana Alokasi Umum (DAU) yang perhitungannya cenderung mempertimbangkan aspek pasif dan statis, DAK dan DID mempertimbangkan lebih banyak variabel, dan besarnya pun sangat bervariasi dari periode satu dengan periode lainnya.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dana APBN kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintah daerah sesuai prioritas pembangunan nasional.
Kegiatan yang dicakup oleh dana DAK meliputi bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang infrastruktur jalan, bidang infrastruktur irigasi, bidang infrastruktur air minum, bidang infrastruktur sanitasi, bidang prasarana pemerintahan desa, dan bidang sarana kawasan perbatasan.
Sedangkan DID merupakan inisiatif pemerintah, sejak APBN tahun anggaran 2011, untuk menciptakan skema pendanaan berbasis insentif dalam rangka meningkatkan komitmen pemerintah daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat.
Pada awalnya, alokasi anggaran DID di APBN tahun anggaran 2011 sebesar Rp1,38 triliun. Kini, pada APBN tahun anggaran 2018 telah mencapai Rp8,5 triliun.
Penyaluran DID mendasarkan pada kriteria utama dan kriteria kinerja. Kriteria utama terkait dengan opini BPK dalam kegiatan audit keuangan serta ketepatan waktu penetapan Perda APBD (yang seharusnya juga meliputi penetapan rincian penjabaran APBD tepat waktu). Sedangkan kriteria kinerja meliputi kesehatan fiskal, pelayanan publik dasar, dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
MOU Pemberantasan Korupsi
Di sisi lain, beberapa pemerintah daerah yang meliputi enam provinsi yaitu Aceh, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Banten beserta seluruh kabupaten/kota di dalamnya telah menandatangani komitmen bersama pencegahan korupsi terintegrasi dengan Satgas Terpadu KPK.
Fokus utamanya adalah penerapan e-government, Tunjangan Perbaikan Penghasilan PNS (TPP PNS), dan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Mandiri.
Mengingat Memorandum of Understanding (MOU), atau juga biasa disebut dengan perjanjian komitmen kerjasama baru berjalan pada tahun pertama, maka masih diperlukan banyak masukan baik dari tataran konsep maupun teknik untuk meningkatkan keseriusan kepala daerah dalam menindaklanjuti MOU.
Untuk itu, menurut saya, refocusing kebijakan pemberian DAK dan DID yang berorientasi pada penerapan tata kelola keuangan dapat menjadi instrumen pencegahan korupsi.
Instrumen Dana Alokasi Khusus
Instrumen pertama yang bisa dijadikan sebagai stimulan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan beberapa penekanan.
Pertama, banyak pemerintah daerah berusaha dengan segala daya upaya untuk meningkatkan alokasi dana DAK. Begitu juga banyak pemerintah daerah yang cukup bersedih apabila terjadi pemotongan dana DAK.
Dengan demikian, kucuran dana ini dapat saja disertai dengan adanya disinsentif kepada pemerintah daerah yang tidak serius melaksanakan isi MOU.
Disinsentif dapat berupa pemotongan alokasi DAK, misalnya sebesar 10%, jika penilaian dari KPK terkait pelaksanaan MOU menghasilkan nilai di bawah standar.
Sedangkan bagi pemerintah daerah yang memiliki prestasi dalam menerapkan isi MOU akan memperoleh insentif berupa tambahan dana DAK, misalnya sebesar 10%.
Kedua, MOU yang saat ini baru diterapkan di enam provinsi, diharapkan pada tahun anggaran 2019 MOU tersebut telah dapat diterapkan di seluruh pemerintah daerah se-Indonesia dengan menyertakan klausul mekanisme insentif dan disinsentif.
Adapun dalam hal pelaksanaan MOU dapat dibuat tahapan penerapannya. Tahapan tersebut bisa dimulai dengan menerapkan e-planning, TPP, dan ULP Mandiri untuk berbagai kegiatan yang didanai DAK di tahun pertama.
Pada tahun kedua, pemerintah daerah menerapkan e-budgeting terintegrasi dengan sistem rencana umum pengadaan (SIRUP) dan layanan pengadaan secara elektronik (LPSE).
Instrumen Dana Insentif Daerah
Instrumen kedua yang bisa dijadikan stimulan adalah Dana Insentif Daerah (DID). Banyak pemerintah pusat dan daerah yang berusaha untuk memperoleh DID ini, terutama dikaitkan dengan kriteria opini BPK berupa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Menurut saya, perlu diciptakan kriteria tambahan, yaitu berupa kriteria pencegahan korupsi terintegrasi. Kriteria ini dapat berupa pengukuran implementasi MOU antara pemerintah daerah dengan Satgas terpadu KPK.
Adapun penilaiannya adalah dengan cara mengevaluasi penerapan MOU Pemda dengan KPK. Jika MOU berjalan efektif, maka akan memperoleh DID dengan besaran tertentu.
Misalnya pencapaian di tahun pertama memperoleh dana DID Rp10 milyar. Apabila bisa mempertahankan efektifitas pada tahun kedua akan memperoleh dana DID yang meningkat yaitu Rp20 milyar. Demikian terus bertambah Rp10 milyar per tahun sampai dengan konstan Rp50 milyar pada tahun kelima dan seterusnya.
Epilog
Sumber dana berupa DAK dan DID, menurut saya dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam upaya pencegahan korupsi yang terintegrasi.
Memformulasikan kembali rumusan kriteria pemberian DAK dan DID dapat menjadi sebuah jalan alternatif dalam mencegah praktik penyimpangan pelaksanaan anggaran.
Diharapkan, dengan stimulus tersebut pelaksanaan anggaran kian sehat dan penyimpangan makin menghilang.
Salam reformasi!
Ilustrasi Gambar : pixabay.com
0 Comments