Refleksi Pilkada 2020: Harapan Pilkada Modern Berbasis IT

by Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer | Dec 15, 2020 | Birokrasi Bersih, Refleksi Birokrasi | 0 comments

Hari Rabu tanggal 9 Desember 2020 telah dilaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah: 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Tidak terdengar adanya keributan, semuanya berjalan dengan aman. Masyarakat sudah semakin tertib dan saling menghormati pilihan masing-masing tanpa ada indikasi provokatif terhadap gangguan keamanan. Namun demikian, masih ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui sebelum kegiatan Pilkada dianggap selesai –yaitu perhitungan suara, rekapitulasi suara, penetapan hasil pilkada, penetapan pasangan calon terpilih, sengketa pilkada, dan putusan sengketa pilkada.

Di balik tidak adanya keributan tersebut, bukan berarti penyelenggaraan Pilkada telah sempurna. Banyak hal yang harus menjadi catatan penting sebagai evaluasi dan bahan perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada selanjutnya. Saya sendiri menyoroti 3 aspek besar yaitu biaya, modernisasi, dan netralitas birokrasi.

Faktor Biaya

Faktor biaya masih menjadi benang kusut dan noda hitam pilkada. Calon kepala daerah harus membiayai mulai dari biaya dukungan partai politik sampai pada biaya sengketa pilkada ke mahkamah konstitusi (MK). Di samping itu, biaya bukan hanya dihitung atas beban biaya oleh calon kepala daerah saja, tapi juga biaya oleh penyelenggara (KPUD dan Bawaslu), logistik (pencetakan, distribusi dan pengumpulan kembali) serta pemilih yang kehilangan waktu beberapa jam guna mengantri di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan meninggalkan usahanya.  

Calon kepala daerah harus menanggung biaya untuk mendapatkan dukungan partai politik mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pengurus pusat partai. Hanya ada sedikit partai yang memberikan kewenangan penuh kepada pengurus daerah setempat untuk menetapkan calon partainya.

Setelah itu calon kepala daerah masih harus membentuk tim sukses dan relawan pendukung sampai ke tingkat desa yang jumlahnya bisa mencapai ribuan orang. Ia harus mendirikan posko pemenangan di banyak tempat. Tentu saja aktivitas ini membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit.

Kurangnya ketokohan dari calon kepala daerah dan minimnya akses informasi serta kesadaran politik rakyat serta kondisi ekonomi membuat politik uang menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan, baik oleh calon kepala daerah maupun pemilih. Politik uang adalah sesuatu yang sangat dibenci sekaligus dirindukan. Tidak mengherankan jika politik uang merupakan komponen biaya paling besar yang harus dikeluarkan.

Ada banyak jaringan yang dibutuhkan untuk pendistribusian politik uang. Dalam setiap jaringan bisa melibatkan ratusan sampai ribuan orang juga. Anehnya politik uang ini tanpa garansi. Bisa saja pemilih memperoleh uang tidak dari satu calon saja tapi dari beberapa calon kontestan pilkada. Juga tidak ada jaminan jaringan distribusi tidak mengalami penyimpangan.

Pada waktu pelaksanaan pemilihan para calon kepala daerah kembali dihadapkan pada beban biaya honorarium saksi di semua TPS, saksi tingkat kecamatan dan seterusnya. Honorarium ini belum mengakomodir biaya makan dan akomodasi lainnya. Risiko yang melekat jika terdapat kurangnya honorarium dan akomodasi tersebut ialah berkurangnya kesetiaan sang saksi.

Dengan berbagai asumsi di atas diperkirakan calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya puluhan sampai ratusan milyar untuk pilkada bupati/walikota dan bisa trilyunan untuk pemilihan gubernur. Tidak ada data yang pasti tentang biya politik pilkada ini. Juga tidak menutup kemungkinan ada juga calon kepala daerah yang bisa menghemat biayanya hanya pada kisaran puluhan juta dan bisa memenangkan pilkada. Namun, kejadian ini sangatlah kecil probabilitasnya.

KPUD dan Bawaslu serta logistik Pilkada juga merupakan beban biaya tersendiri. Diperkirakan biaya ini menghabiskan sekitar 20 trilyun untuk pilkada 2020. Bila diasumsikan biaya masing-masing kontestan pilkada bupati/walikota sebesar 25 M percalon dan asumsi setiap provinsi ada 3 calon maka diasumsikan menghabiskan biaya 20,25 trilyun.

Sehingga, total biaya keseluruhan baik di pihak penyelenggaran, pengawasan dan kontestan pilkada bisa mencapai 45 trilyun. Angka ini hanya asumsi saja namun asumsi ini sudah memberi gambaran betapa mahalnya biaya politik pilkada dengan model pelaksanaan konvnsional seperti sekarang ini.

Modernisasi Pilkada

Dengan uraian singkat tentang mahalnya biaya pilkada di atas maka perlu kiranya kita memikirkan alternatif pilkada yang lebih efisien pembiayaannya dan ini bisa kita realisasikan dengan melaksanakan pilkada modern berbasis IT (information technology). Beberapa tahapan pilkada 2020 sudah menerapkannya dan ini perlu kita perkuat lagi.

Penggunaan teknologi informasi telah sangat familiar bagi masyarakat Indonesia, baik untuk akses berita, aktifitas sosial, bisnis, hiburan, dan operasional organisasi. Hampir semua kelompok umur di berbagai wilayah juga sudah akrab dengan media sosial online dan terjangkau fasilitas IT. Oleh karenanya, semua tahapan pilkada bisa dilaksanakan secara daring mulai dari rekrutmen calon kepala daerah oleh partai politik di semua tingkatan, rekrutmen tim sukses dan relawan, kampanye, pemilihan, perhitungan, rekapitulasi suara dan sengketa pilkada.

Perlu diakui akan ada beberapa kendala yang timbul seperti data kependudukan/e-KTP yang belum maksimal sebagai data tunggal kependudukan. Masalah ini bisa segera diselesaikan sejak pada struktur birokrasi terendah seperti kepala desa, perangkat desa, kepala wilayah (RT, RW, kepala lingkungan, kepala dusun dll) untuk mendata ulang penduduk yang belum masuk dalam data kependudukan elektronik sekaligus mengurus e-KTP-nya.

Masalah lain berupa masih adanya daerah yang belum dijangkau akses harus segera dituntaskan dengan perluasan jaringan internet atau dengan membangun jaringan internet sementara berbasis satelit. Bagi pemilih yang tidak memiliki fasilitas bisa diselesaikan dengan membentuk TPS online yang fasilitasnya disediakan atau memakai fasilitas milik keluarga, teman, atau tetangga terdekat.

Mengingat alternatif pilkada modern berbasis IT ini akan membutuhkan SDM yang harus menguasai IT dan lepas dari kepentingan dan intervensi politik, maka penyelenggara KPUD dan Bawaslu harus didukung oleh gabungan perguruan tinggi nasional yang memiliki integritas tinggi sebagai pengelola IT. Gabungan institusi ini bertanggung jawab atas keamanan IT dari semua upaya dan serangan untuk mengacaukan data.

Dengan keterlibatan perguruan tinggi nasonal ini untuk meningkatkan kepercayaan publik akan pengelolaan data suara yang handal dan lepas dari intervensi kepentingan politik dan penyalahgunaan data. Untuk menambah kepercayaan publik maka hasil pilkada modern berbasis IT ini harus diaudit oleh masing-masing tim IT calon kepala derah dan tim independen yang peduli pada kesuksesan pilkada modern berbasis IT.

Bagaimanapun, pilkada modern berbasis IT ini belum bisa menjawab tentang tingginya biaya politik uang. Harus ada strategi lain yang ditempuh, misalnya regulasi tentang pembatasan transaksi uang tunai perbankan, pembatasan jumlah tim kampanye dan relawan, serta operasi intelijen terhadap upaya politik uang dalam bentuk pencegahan. Terhadap calon kepala daerah yang tetap berupaya memaksakan politik uang diterapkan sanksi yang tegas. Pemberlakuan jam malam juga bisa jadi alternatif mencegah politik uang.

Pilkada modern berbasis IT ini juga belum bisa menjawab tentang tingginya biaya untuk mendapatkan dukungan politik partai pendukung. Harus ada strategi sistemik yang harus ditempuh seperti regulasi tentang otonomi partai di semua tingkatan untuk menetapkan calon kepala daerah yang didukung tanpa perlu campur tangan struktur partai yang lebih tinggi.

Juga dengan memperbanyak jumlah calon independen, jangan hanya 1 calon independen. Bila perlu membuat regulasi minimal 3 calon independen. Semakan banyak calon kepala daerah yang mengikuti kontestasi pilkada akan memberikan pilihan yang lebih banyak pada rakyat.

Netralitas Birokrasi

Pilkada modern berbasis IT ini juga belum bisa menjawab netralitas birokrasi sampai ke tingkat desa. Birokrasi sangat rentan terhadap intervensi calon petahana atau intervensi kepala daerah kepada calon tertentu. Oleh karena itu, regulasi tentang cuti kepala daerah jangan hanya diberlakukan terhadap kepala daerah yang ikut dalam pilkada. Namun, cuti ini harus diberlakukan kepada semua kepala daerah yang daerahnya melaksanakan pilkada.

Waktu cuti diperpanjang bukan hanya pada saat kampanye tapi meliputi seluruh tahapan pilkada mulai dari penatapan calon kepala daerah sampai pada penetapan pemenang pilkada –termasuk penetapan hasil sengketa pilkada. Netralitas birokrasi ini penting agar terjadi persaingan yang seimbang antar kontestan pilkada dan menjaga agar struktur dan anggaran birokrasi sampai ke tingkat desa tidak dipergunakan untuk kepentingan calon kepala daerah.

Epilog

Uraian singkat di atas bisa menjadi dasar pemikiran untuk melaksanakan pilkada modern berbasis IT yang lebih efisien biaya, memberikan tingkat kepercayaan yang tinggi, menerapkan netralitas birokrasi, dan yang paling penting adalah membuka peluang selebar-lebarnya kepada calon kepala daerah yang berkualitas tetapi minim pendanaan untuk ikut serta berpartisipasi. Pilkada kita sudah semestinya menghasilkan pemenang yang lebih berkualitas.

Tujuan mulia pilkada untk meningkatkan kesejahteraan rakyat hanya bisa dicapai apabila pemenang pilkada memiliki kualitas SDM yang tinggi dan menghabiskan biaya rendah, alih-alih menjadi sarana untuk pemborosan uang pribadi atau bahkan uang negara. Dengan demikian, pilkada sebagai instrumen demokrasi menuju Indonesia yang kita cita-citakan akan berhasil dengan baik.

Pilkada sehat, negara kuat.
Salam reformasi!

0
0
Avatar

Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. ASN staf pada Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018 dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com

Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Author

Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. ASN staf pada Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018 dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post