Refleksi Desa dan Aparatnya: Sebuah Perspektif Kebijakan Publik

by | Feb 5, 2023 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

Grafik vektor gratis dari Pixel sel

Memasuki tahun 2023, DPR mendapatkan ‘tamu istimewa” yaitu para kepala desa dan para perangkat desa. Apa kiranya maksud tamu istimewa itu datang ke parlemen?

Menyimak dari berbagai artikel di media online, ternyata kedua pihak ini menyampaikan permasalahan yang berbeda, tetapi jika ditelisik lebih jauh, keduanya bersuara yang senada, yaitu tentang kesejahteraan.

Para kepala desa menginginkan revisi pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. 

Sementara itu, para perangkat desa menyuarakan tiga tuntutan, yaitu:

  1. Kejelasan status kepegawaian (ASN, PNS atau PPPK);
  2. Kesejahteraan, yaitu adanya penghasilan tetap sesuai dengan masa kerja dan  penghasilan tetap ke-13 dan ke-14; dan
  3. Masa jabatan perangkat desa hingga usia 60 tahun.

Aparat desa tentu disiapkan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan desa. Dengan pemerintahan desa yang berkualitas ini, masyarakat desa akan mampu meningkatkan kualitas hidupnya.

Pertanyaan kritisnya adalah apakah seluruh tuntutan aparat desa tersebut layak dipenuhi? Adakah alternatif lain untuk meningkatkan kualitas pemerintahan desa selain yang sudah terungkap pada tuntutan tersebut?

Melihat Secara Kritis Tuntutan Aparat Desa

Apa yang dituntut oleh para aparat desa ini sesungguhnya adalah sesuatu yang absurd. Durasi masa jabatan hingga sembilan tahun itu menyelisihi masa jabatan pejabat di level pemerintahan yang lebih tinggi, seperti di kabupaten/kota, provinsi dan pusat. 

Bukankah dengan perbedaan masa jabatan ini akan muncul potensi terciptanya polarisasi dalam proses pembangunan. Yaitu yang diakibatkan oleh sulitnya membangun sinkronisasi dokumen perencanaan.

Padahal, jika menengok Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 39 (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Masa 6 tahun ini pun sudah lebih panjang daripada jabatan kepala daerah di level atasnya.

Terlebih lagi, pasal 39 (2) menyebutkan bahwa Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Di sisi lain, jabatan kepala desa tidak luput dari kemungkinan pemberhentian, yang dalam UU 6 tahun 2014 dimungkinkan terjadi karena meninggal dunia, permintaan sendiri; atau diberhentikan, atau pasal 39 (2) yakni berakhir masa jabatannya.

Bupati/Walikota juga dapat memberhentikan sementara kepala desa setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun (Pasal 41), setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Pendapat Mereka tentang Revisi

Menurut pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa tidak sesuai dengan konstitusi yang mengatur bahwa masa jabatan seseorang mesti dibatasi.

Seharusnya jabatan kepala desa itu mengikuti konstitusi bahwa masa jabatan 5 tahun, itupun sudah diperpanjang jadi 6 tahun. 

Perpanjangan masa jabatan tersebut berdampak negatif karena dapat membuat Kades menjadi “raja kecil” yang memerintah tanpa pengawasan ketat, selain itu dapat meminggirkan aspirasi warga yang tidak mendukungnya sehingga pembangunan desa tidak dapat berjalan dengan baik.

Hal senada diungkapkan pula oleh pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, bahwa perubahan masa jabatan Kades akan memperlama menjabat dan berdampak dapat menimbulkan sifat koruptif. 

Kades berwenang mengelola dana desa dengan jumlah anggaran yang tidak sedikit, sementara kekuasaan yang terlalu lama berpotensi menimbulkan dampak buruk dalam pengelolaan secara administratif dan akuntabilitas kinerja.

Berbeda pendapat sebagai wakil pemerintah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, merupakan pihak yang mendukung penambahan masa jabatan Kades. 

Alasannya, pemerintah mempertimbangkan kondusivitas hubungan antarwarga di desa pasca Pilkades hingga menjelang Pilkades berikutnya. Oleh karena itu, sebaiknya masa jabatan Kades ditambah menjadi 9 tahun untuk meredam tensi konflik warga akibat perbedaan pilihan dalam Pilkades sebelumnya.

Perbedaan Pendapat Kades Lainnya

Seperti diketahui, dampak Pilkades itu melebihi dampak pilgub (Pemilihan Gubernur) bahkan Pilpres (Pemilihan Presiden). Berbagai upaya persuasi perlu di lakukan dan digerakkan di desa sebagai ikhtiar meredakan dampak Pilkades yang cukup kental, dan untuk itu perlu ditambah masa jabatannya. 

Yang menarik, tidak semua Kades menyetujui ide perpanjangan masa jabatan ini. Seperti halnya Rafik Rahmat Taufik selaku Kades Bayah Timur, Kabupaten Lebak yang juga menjabat sebagai Sekretaris  Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Lebak.

Menurut Rafik, dampak perpanjangan akan meningkatkan sasaran hujatan masyarakat kepada Kades di media sosial karena dianggap serakah dan gila kekuasaan. Selain itu, beban sebagai Kades yang diemban selama ini makin berat akibat kurang terkelolanya implementasi kebijakan pemerintah pusat yang harus dilaksanakan di level desa. 

Ambil contoh misalnya penetapan dan penyaluran bantuan sosial yang merupakan kewenangan pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial ternyata membawa masalah di mana kegagalannya menjadi beban Kades yang mendapat penilaian negatif dari masyarakat.

Mengadopsi Kepentingan Politik untuk Pelayanan Publik

Mengamati permasalahan yang terjadi, kita jadi teringat pada sebuah konten Youtube dengan judul “Public Analyst Police: Konsep dan Studi Kebijakan Publik” yang diselenggarakan oleh LAN-RI bekerja sama dengan Tanoto Foundation. 

Narasumbernya Prof. Dr. Eko Prasojo, seorang pakar kebijakan publik kenamaan, menyebutkan bahwa dengan berbagai perubahan terkini di era VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity) memang diperlukan perubahan radikal.

Perlu diusung mind-set dan culture-set baru bagi penyelenggara pemerintah secara multilevel governance agar bisa bersikap fleksibel dan agile dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Beliau juga mengatakan bahwa kebijakan publik tidak hanya berfokus tentang hal berkaitan bagaimana menerapkan pengelolaan atau penyelenggaraan yang baik (administration), tetapi harus dikombinasikan atau mengadopsi kepentingan politik untuk menghasilkan pelayanan publik kepada masyarakat selaku stakeholder utama. 

Dampak yang dihasilkan adalah bagaimana tingkat kepuasan masyarakat dan nantinya akan berpengaruh ketika masyarakat akan memilih kembali (melalui pemilihan entah Pilpres, Pilkada atau Pilkades) pada periode berikutnya.

Refleksi Bersama tentang Kematangan Birokrasi

Dari case ini dapat dipahami bahwa fenomena yang terjadi saat ini merupakan refleksi pergulatan baik dari sisi pemerintah melalui pelaku penyelenggara atau aparat pemerintah dan wakil rakyat untuk mencari dukungan atau simpati kepada masyarakat dengan berbagai aksi.

Sayangnya, kondisi saat ini selalu dikaitkan dengan masa transisi menuju pemilihan umum mendatang. Dengan demikian, apa pun yang dilakukan atau siapa pun yang melakukan jika disertai dengan isu-isu negatif yang memanaskan suasana berdampak menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat.

Prof. Dr. Eko Prasojo juga menjelaskan teori Public Governance tentang model penyelenggaraan pemerintah,  di mana pemerintahan telah berkembang dalam beberapa fase yang terdiri dari: 

a) Government 1.0 (model orientasi birokratik

b) Government 2.0 (orientasi pasar atau New Public Management-NPM)

c) Government 3.0 (Public Value Model – complex role of network and governance), dan 

d) Government 4.0 ( 4th generation administrative model)

Lalu di manakah posisi Indonesia? Dari gejala atau fenomena yang terjadi dapat disimpulkan secara naif bahwa negara kita masih meributkan masalah kepentingan birokrat dibandingkan membahas mengenai konten pelayanannya.

Jangan-jangan, kita masih berada di poin 1.0. Kalah jauh dari negara Singapura,  negara tetangga yang jauh lebih kecil ukurannya namun sudah beranjak pada level Government 4.0.

Membuktikan Kinerja Kepala Desa

Kembali lagi kepada permasalahan soal masa jabatan kepala desa, apakah perlu diperpanjang dengan dalih mengoptimalkan peran sebagai ujung tombak wakil pemerintah dalam memberikan pelayanan masyarakat?

Atau bisa jadi, butuh pembuktian yang makin intens dari para kepala desa soal kinerja mereka. Pasalnya, hingga hari ini masih sering kita dengar berita soal korupsi anggaran desa. Dari situ saja, sudah ada redflag perlunya pembenahan tata kelola dan akuntabilitas pengelolaan desa.

Soal masa jabatan, barangkali, jawaban yang terbaik adalah kembali pada suara hati dan pilihan masyarakat sendiri, yang murni objektif tanpa didasari motivasi apapun selain harapan memperoleh pelayanan publik.

Untuk itu, perlu digali lebih banyak pendapat mereka. Jangan-jangan, panjang atau pendek masa jabatan, atau bahkan ada tidak ada kepala desa, tidak signifikan bedanya.

*Judul dan paragraf-paragraf pembuka tulisan ini merupakan hasil kolaborasi bersama kontributor lainnya, di antaranya Sri Rahayu Tresnawati dan tim editorial Birokrat Menulis

0
0
Subroto ◆ Professional Writer

Subroto ◆ Professional Writer

Author

Kepala Biro Keuangan Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Lebih dikenal dengan panggilan akrab Cak Bro. Hobinya menulis secara otodidak mengenai permasalahan organisasi tentang SDM, audit, pengawasan, dan korupsi. Pernah menerbitkan buku koleksi pribadi "Artikel ringan Cakbro: Sekitar Tata Kelola Organisasi" dan "Bunga Rampai SPIP". E-mail: [email protected] Blogger: Cakbro. Blogspot.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post