Bulan Ramadhan menjadi bulan yang dinanti-nantikan. Tidak sedikit umat muslim yang berdoa, mengharap dapat bertemu kembali dengan bulan Ramadhan tahun berikutnya. Padahal, bulan Ramadhan yang saat ini sedang dijalani, belum berakhir. Memang, semerindukan itu bulan Ramadhan.
Menjelang berakhirnya bulan suci umat muslim ini, saya mencoba melakukan penelitian kecil-kecilan tentang apa yang menjadi alasan orang merindukan bulan Ramadhan, khususnya di lingkungan birokrat.
Saya mengamati dan bertanya kepada beberapa teman. Hasilnya, saya menemukan setidaknya ada 3 golongan orang yang merindukan Ramadhan.
- Golongan pertama, yaitu pegawai yang merindukan Ramadhan karena Ia rindu beribadah di bulan Ramadhan. Dengan berbagai keistimewaannya, bulan Ramadhan bisa dibilang sebagai bulan obral pahala. Amalan kecil akan dibalas dengan pahala yang berlipat-lipat.
- Golongan kedua, yaitu pegawai yang kangen Ramadhan karena bisa pulang lebih cepat. Jam 3 sore. Di hari lain, minimal jam 4 sore baru bisa pulang kantor. Belum lagi kalau disuruh lembur. Bisa pulang setelah matahari terbenam.
- Masih ada satu golongan lagi. Ini yang unik. Saya sering memperhatikan kawan saya ini, karena dia aktif browsing dan share informasi mengenai berita tentang tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13. Saya bertanya, “Apa yang kamu rindukan dari Ramadhan?”. Kawan saya tersebut menjawab, “Saya rindu Ramadhan, karena hanya di bulan Ramadhan ada THR.”
Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi kecintaan terhadap bulan Ramadhan. Ada yang cinta Ramadhan karena nyaman dengan vibes kenikmatan beribadah, ada yang rindu karena bisa pulang kantor lebih cepat, dan ada yang rindu Ramadhan karena ada THR. Se-bucin itu kita dengan bulan Ramadhan.
Meskipun begitu, bagi saya, mungkin hanya di bulan Ramadhan aktivitas pekerjaan (work), kehidupan di luar kantor (social life), serta kehidupan akhirat (after–life) dijalani dengan seimbang.
Work Life: Tetap Memenuhi Jam Kerja
Di bulan Ramadhan, jam kerja PNS diatur minimal selama 32 ½ jam per minggu. Memang, jumlah ini lebih sedikit dari jumlah jam kerja mingguan di sebelas bulan lainnya. Namun demikian, aktivitas pekerjaan berjalan seperti pada bulan-bulan sebelumnya.
Pembina Apel pagi atau para penceramah kultum di masjid-masjid kantor seringkali menyebut, puasa tidak menjadi alasan untuk mengendurkan produktivitas bekerja. Bila tidurnya orang berpuasa dianggap sebagai ibadah, apalagi aktivitas bekerja orang yang berpuasa. Akan diberikan ganjaran pahala yang berlipat ganda.
Memang tidak dimungkiri, ada banyak tantangan
yang dihadapi dalam bekerja saat sedang menjalankan ibadah puasa. Pertama, jadi sering mengantuk. Aktivitas ibadah yang banyak dilakukan di malam hari, seperti sholat tarawih, sholat malam, serta makan sahur membuat waktu tidur menjadi berkurang.
Kedua, konsentrasi menurun. Turunnya konsentrasi ini bisa jadi karena tak ada asupan makanan yang masuk. Maklum, mungkin selama ini kita lebih sering berada pada situasi di mana logika ‘ngga’ jalan tanpa adanya logistik.
Ketiga, menjadi lebih sensitif. Seperti nyamuk, kalau sedang lapar, biasa jadi lebih galak dan agresif.
Ini yang menjadi tantangan saat bekerja dalam keadaan berpuasa. Kita perlu pintar-pintar mengatur pola tidur, asupan makanan saat sahur, serta mengatur pola kerja agar tetap produktif. Pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi tinggi, baiknya dilakukan di pagi hari.
Social Life: Menciptakan Lingkungan Kerja Surgawi
Istilah work-life balance menjadi populer di kalangan para pekerja sejak beberapa tahun belakangan. Tuntutan pekerjaan yang semakin berat serta kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, menjadikan konsep ini semakin banyak diterapkan di berbagai tempat kerja. Baik di swasta maupun di lingkungan kerja pemerintah.
Namun, bagaimana bulan Ramadhan ini dapat menghadirkan keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dengan kehidupan diluar pekerjaan?
Sadarkah kita, bahwa di bulan Ramadhan ini, saat jam pulang kantor, Jakarta justru lebih macet dibanding saat bulan lainnya. Ini karena banyak orang pulang kantor dalam waktu yang bersamaan. Mungkin hal ini juga terjadi di kota-kota besar lainnya.
Di bulan Ramadhan ini, ada banyak alasan yang membuat kita untuk bisa pulang ‘teng-go’. Mempersiapkan hidangan berbuka untuk keluarga, misalnya. Menghadiri acara bukber dengan teman. Atau ingin melaksanakan sholat tarawih berjamaah di masjid.
Di bulan Ramadhan pula, kita pun memiliki waktu di luar aktivitas kantor. Kita jadi lebih sering berkumpul dengan keluarga, teman, sahabat, dan juga para kerabat. Aktivitas semacam ini dapat dijadikan sebuah sarana untuk melepaskan stres karena beban pekerjaan.
Selain itu, puasa juga mengajarkan kita untuk terus berbuat baik. Menjaga hawa nafsu juga menjaga lisan. Implikasinya, membuat kita untuk menjaga hubungan yang baik dengan rekan kerja, pimpinan atau bawahan kita.
Pimpinan menegur bawahan dengan cara yang baik. Bawahan pun tidak menggunjingkan atasan. Sesama rekan kerja, saling berkirim hampers. Sungguh, suatu lingkungan kantor surgawi yang jadi impian semua pegawai.
After-Life: Memaknai Hidup untuk Kehidupan Mendatang
Dan di bulan Ramadhan juga kita jadi getol melakukan ibadah, dibanding bulan sebelumnya. Selain menjalankan ibadah puasa, Ramadhan mendorong kita untuk melakukan ibadah-ibadah lainnya. Membaca Al-Quran, lebih banyak sedekah, sholat malam, i’tikaf, tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya.
Kita jadi meluangkan waktu untuk memperbanyak melaksanakan ibadah. Padahal, di bulan-bulan sebelumnya, tidak banyak waktu yang kita luangkan untuk beribadah.
Ramadhan menjadi momentum yang menyadarkan kita bahwa sebagai seorang hamba, segala aktivitas yang kita jalani bukan hanya diorientasikan untuk kesenangan hidup di dunia. Tetapi ada kehidupan yang lebih abadi setelah kematian.
Mencapai reward (surga), menghindari punishment (neraka), serta kecintaan yang lebih dalam lagi kepada Sang Pencipta.
Epilog: Dilatih oleh Ramadhan
Tidak heran bahwa bulan Ramadhan disebut sebagai bulan tarbiyah (pendidikan). Bulan latihan untuk melewati 11 bulan berikutnya. Ada banyak pelajaran yang dapat menjadi refleksi diri selama satu bulan ini.
Pelatihan yang kita jalani di bulan Ramadhan ini,
seolah selaras juga dengan metode 70:20:10 yang lazim menjadi acuan
dalam pengembangan/kompetensi SDM.
Pembelajaran yang 70% melalui experiential learning, 20% social learning,
dan 10% formal learning.
Puasa memberikan pelajaran kepada kita melalui experiential learning. Dengan pengalaman menjalankan puasa, kita mendapati berbagai pelajaran yang sangat berharga. Kita dilatih tentang kesabaran, kejujuran, empati terhadap sesama, sampai dengan manajemen waktu.
Andai pembelajaran ini juga terbawa sampai kepada 11 bulan berikutnya. ASN menjadi lebih jago dalam mengelola waktu dan membuat prioritas. Selain sebagai pekerja, ASN juga memerlukan waktu untuk membangun kehidupan sosial mereka.
Juga sebagai seorang umat beragama yang meyakini akan adanya kehidupan yang abadi setelah kematian, integritas serta kesalehan sosial juga menjadi refleksi penting yang bisa kita bawa pasca Ramadhan.
Saya membayangkan apabila kejujuran, kesabaran, dan empati sudah tertanam dalam diri pegawai, mungkin Kementerian PANRB tidak perlu repot lagi untuk menyelenggarakan kompetisi Zona Integritas, WBK, atau WBBM.
Namun demikian, balance dalam bahasa Inggris bukan hanya memiliki arti seimbang atau keseimbangan. Akan tetapi, balance juga berarti saldo. Ramadhan menjadi momentum untuk mengumpulkan saldo rekening, saldo kebahagiaan, serta saldo tabungan akhirat menjadi lebih gendut.
Semoga kita dapat memetik manfaat sebaik-baiknya dan menjadi pribadi yang lebih “bergizi”, setelah menjalani ibadah Ramadhan tahun ini!
ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya.
Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.
0 Comments