Menjelang momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024, ada hal unik yang akan kita temui, terutama di media sosial. Apa itu? Ya, betul. Panjat sosial atau pansos. Tindakan seseorang yang secara berlebihan memamerkan diri atau pencapaian mereka di media sosial.
Pada era digital yang semakin maju ini, fenomena pansos atau pamer di sosial media telah menjadi hal yang umum terjadi. Pansos merupakan salah satu tindakan seseorang dengan sengaja memamerkan kehidupannya di media sosial dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain.
Fenomena ini mulai merambah ke dalam aktivitas politik. Dalam konteks pilkada, banyak calon pemimpin yang menggunakan media sosial sebagai alat untuk memperoleh dukungan dan popularitas.
Para tokoh yang akan maju ke Pilkada, umumnya akan menjadi lebih rajin membuat konten serta berseliweran di timeline medsos kita. Aktivitas ini dilakukan demi untuk menaikkan popularitas ataupun elektabilitas.
Namun, apakah pansos dalam konteks pilkada ini benar-benar efektif? Apakah masyarakat akan memilih pemimpin berdasarkan seberapa sering mereka muncul di media sosial? Ataukah ada faktor lain yang lebih penting dalam menentukan pilihan pemimpin?
Muncul karena Ada Maunya
Adalah sebuah gaya politik dan perpolitikan yang tidak etis, tidak lain tidak bukan yaitu pansos. Masih hangat dalam benak kita, dalam rangka pilpres 14 februari lalu, terlihat dengan jelas seperti apa trik dan cara kontestan pemilu untuk berpolitik lewat media sosial.
Sebagian dari mereka tiba-tiba muncul dan aktif di medsos dengan merakyat, bagi-bagi beras, peduli dengan ketimpangan ekonomi, menyapa saat jumpa di jalan dan di mana saja. Setelah selesai pemilu, mereka menghilang begitu saja tanpa pamit di media sosial.
Dengan itu, kita dapat memahami dengan serius bahwa sebagian dari kontestan pemilu itu muncul hanya pada saat ada maunya, atau sebaliknya mereka menghilang ketika keinginan tidak tercapai.
Dari rangkaian aktivitas mereka yang merakyat, bagi-bagi beras dan sebagainya sebelum pemilu tiba, saya memiliki paradigma yang berbeda. Hal itu terjadi ketika ada sebagian dari calon kontestan yang melakukan kebaikan sambil mereka videokan dan meminta penerima kebaikan itu untuk mengucapkan terimakasih.
Menurut hemat saya, memberi sesuatu kepada orang lain lebih indah jika tidak diketahui oleh orang banyak dan publik, begitu juga ucapan kata terimakasih. Jika ada orang yang hendak memberi sesuatu dan meminta penerima untuk berterima kasih sambil divideokan dan diunggah ke media sosial, itu artinya pansos.
Integritas vs Pencitraan lewat Pansos
Sebagai calon pemimpin, harus memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi. Pansos dapat memberikan kesan bahwa calon pemimpin hanya peduli dengan citra mereka di media sosial. Padahal, calon pemimpin yang baik harus fokus pada kepentingan masyarakat dan mampu menerima aspirasi masyarakat.
Dengan pansos yang terus menerus, calon pemimpin dapat kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan dianggap tidak serius dalam menjalankan tugasnya jika kelak jadi pemimpin. Itulah yang kita khawatirkan terjadi menjelang pilkada serentak nanti.
Pansos dalam konteks pilkada sebenarnya memiliki beberapa kelemahan. Pertama, pansos cenderung hanya menampilkan sisi positif dari seorang calon pemimpin.
Mereka hanya memamerkan pencapaian mereka tanpa memberikan informasi yang jelas tentang visi, misi dan rencana mereka untuk memimpin. Hal ini dapat menyesatkan masyarakat dalam memilih pemimpin yang dikehendaki secara keseluruhan.
Kedua, pansos juga dapat menciptakan kesan semata tentang popularitas seorang calon pemimpin. Sebagian calon yang menggunakan strategi membeli followers dan likes di media sosial untuk menciptakan kesan bahwa mereka sangat populer dan didukung oleh banyak orang.
Namun, popularitas di media sosial tidak selalu mencerminkan popularitas di dunia nyata. Masyarakat harus lebih kritis dalam menilai popularitas seorang calon pemimpin. Lebih penting lagi dalam memilih pemimpin, masyarakat harus melihat lebih dari sekadar popularitas atau kehadiran di media sosial.
Bukan Popularitas, Tapi Rekam Jejak dan Kompetensi
Dalam konteks pilkada, pansos mungkin menjadi tren yang sedang berkembang. Namun, masyarakat harus tetap berpikir kritis dan tidak terjebak dalam fenomena ini. Kita harus melihat lebih dari sekadar pameran di media sosial dan memilih pemimpin yang benar-benar mampu memimpin dengan baik.
Mereka harus melihat rekam jejak, pengalaman dan kompetensi seorang calon pemimpin. Masyarakat harus memilih pemimpin yang memiliki visi yang jelas, integritas yang tinggi, dan kemampuan untuk memimpin dengan bijaksana.
Dalam menghadapi pilkada 2024, masyarakat harus mengingat bahwa pemilihan pemimpin adalah tanggung jawab bersama. Kita harus memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kompetensi, bukan hanya berdasarkan popularitas di media sosial.
Dengan memilih pemimpin yang tepat, masyarakat dapat memastikan masa depan yang lebih baik untuk daerah kita masing-masing.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dengan teliti setiap calon kontestan pilkada yang melakukan kebaikan dan diperlihatkan ke publik. Tidak semua yang baik menurut kita baik di mata orang lain.
Kita harus mampu memilih dan memilah setiap kebaikan yang kita terima karena pilkada sudah ada di depan mata.
Seorang mahasiswa S2 Ilmu Pemerintahan dengan minat khusus dalam politik sosial dan budaya. Berkomitmen untuk mengintegrasikan konsep-konsep teoritis dengan realitas praktis dalam analisis kebijakan yang relevan dan berkelanjutan bagi perkembangan masyarakat.
0 Comments