Menjelang akhir bulan suci Ramadahan 1442 H ada baiknya kita bermuhasabah atau melakukan perenungan diri selaku hamba Allah yang menjadi khalifah di muka bumi ini. Terutama untuk melakukan introspeksi diri apakah perilaku, semangat hidup, serta jalan hidup yang kita lalui sudah mengikuti tuntunan dalam kitab suci Al-qur’an yang diejawantahkan melalui sikap perilaku teladan Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah Muhammad SAW diturunkan ke bumi untuk dijadikan panutan sebagai manusia yang berakhlak mulia karena memiliki sikap empati, simpati, dan kepedulian terhadap sesama, sesuai dengan Hadits Nabi: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR Muslim).
Rasulullah, teladan umat dan pemimpin berakhlak mulia
Rasulullah SAW dihadirkan oleh Allah ke muka bumi ini sebagai figur yang memiliki empati, simpati, dan kepedulian yang sangat kuat. Beliau tidak bisa bersikap acuh tak acuh ketika melihat dan menghadapi situasi ketidakadilan dan kesengsaraan yang dirasakan oleh umatnya yang beriman.
Beliau juga insan yang berintegritas karena dalam bertindak dan berperilaku selalu konsisten antara ucapan dan tindakan. Ketika Nabi Muhammad SAW mengajak dan menyeru kepada umatnya untuk beribadah, beliau selalu memulai dengan memberi contoh terlebih dahulu. Dalam hal sholat misalnya, beliau menegaskan:
“Shallu kama raaitumuni ushalli”, artinya “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.
Dalam keseharian, beliau adalah sosok yang sangat menghormati tamu, tetangga, dan tentu saja keluarganya. Tutur katanya bagus, sopan, lembut dan amanah, dan memosisikan orang lain sebagai sosok yang harus dihormati. Dalam bertutur kata, beliau menegaskan:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau lebih baik diam (kalau tidak biasa berkata baik)”. Demikian juga, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangganya”.
Dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berpemerintahan beliau senantiasa teguh dalam menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Dalam berdagang dan meletakkan kehidupan ekonomi beliau mengharamkan cara-cara ribawi yang mana para kapitalis mengeksploitasi kepada para mereka yang kurang mampu. Beliau adalah pemimpin agama, negara, dan pemerintahan sekaligus.
Dalam kehidupan politik, beliau meletakkan prinsip dasar komunikasi politik, sebagaimana Firman Allah: “Maka dengan kasih sayang Allah kamu bersikap lembut kepada mereka, dan apabila kamu bersikap kasar lagi keras hati, maka sungguh mereka akan lari dari sekelilingmu,
Maka maafkanlah mereka, dan mohonkan ampunan mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan, maka apabila kamu berniat mengerjakan sesuatu maka berpasrah dirilah kepada Allah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal” (QS. Ali ‘Imran: 129).
Kepemimpinan profetik berdasarkan pola kepemimpinan nabi
Apakah kepemimpinan profetik? Ada baiknya kita mengupas pengertian kepemimpinan profetik dari berbagai literatur. Dalam hal ini penulis akan mencoba mengupas dari hasil penelitian Elitya Rosita Dewi et al, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul “Konsep Kepemimpinan Profetik”.
1. Definisi Kepemimpinan
Menurut Robbins (2011:410) “Leadership is the ability to influence a group toward the achievement of a vision or set of goals”. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang memengaruhi kelompoknya untuk mencapai tujuan institusi.
Sedangkan McShane (2008:402) berpendapat, “Leaders apply various forms of influence to ensure that followers have the motivation and role clarity to achieve specified goals”. Bawahan akan termotivasi ketika pimpinan mampu memengaruhi dan memberikan arahan dalam mencapai tujuan organisasi di mana mereka sebagai anggotanya.
Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan memengaruhi seseorang atau sekelompok orang untuk bertindak. Menurut Newstorm (2007:159), “Leadership is the process of influencing and supporting others to work enthusiastically toward achieving objectives”. Kepemimpinan adalah proses memengaruhi dan mendukung bawahan untuk bekerja giat mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan kepemimpinan adalah tindakan seseorang dalam memengaruhi dan mengarahkan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi melalui indikator: (1) adanya bimbingan (2) adanya suruhan (3) adanya arahan (4) adanya dorongan (5) adanya pengambilan keputusan yang melibatkan bawahan.
2. Definisi Profetik
Menurut Fadhli (2018: 121) kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet yang berarti nabi atau ramalan. Karena penggunaannya sebagai kata sifat maka kata prophet tersebut diubah menjadi prophetic supaya menjadi kata benda. Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi profetik yang berarti kenabian.
Istilah profetik di Indonesia sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Kontowijoyo melalui gagasannya mengenai pentingnya ilmu sosial transformatif, yang disebut juga ilmu sosial profetik. Ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa.
Ilmu sosial profetik mengusulkan perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu (dalam hal ini etik Islam), yang melakukan reorientasi terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap made of tought dan made of inquiry bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan rasio dan empiris semata, tetapi juga dari wahyu (Rifaudin, 2017: 50-51).
Maka berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa profetik itu merujuk pada suatu sifat kenabian. Berdasarkan penjabaran ini, maka menurut Widayat (2014: 27), kepemimpinan profetik adalah kemampuan mengendalikan diri dan memengaruhi orang lain dengan tulus untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana dilakukan oleh para nabi.
Kepemimpinan profetik didasarkan pada empat macam sifat yakni, sidiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat El Syam:
“Prophetic leadership is a model of leadership played by a choice of God (Prophet), to help mankind from the path of darkness (ulumāt), which means: ignorance, humiliation, backwardness, arbitrariness, monopoly, oligopoly, anarchy, instability, materalism, religious blasphemy, and others, toward the path of light (nūr), which means truth and science, for the development of human life”.
Dengan demikian kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan yang diperankan oleh seseorang pilihan Tuhan (Nabi), untuk membantu umat manusia dari jalan kegelapan (ulumat), yang berarti ketidaktahuan, penghinaan, keterbelakangan, kesewenang-wenangan, monopoli, oligopoli, anarki, ketidakstabilan, materialism, penistaan agama, dan lain-lain, terhadap jalan cahaya (nur), yang berarti kebenaran dan sains, untuk pengembangan kehidupan manusia.
3. Penerapan kepemimpinan profetik dalam organisasi
Kepemimpinan profetik merupakan konsep kepemimpinan yang disusun atas dasar sudut pandang agama, dalam hal ini Islam, untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Inti dari kepemimpinan profetik ialah seorang pemimpin yang harus mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh para Rasul dan Nabi, yaitu: siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.
Berdasarkan teori kepemimpinan, implementasi kepemimpinan profetik pada zaman Nabi Muhammad dapat digolongkan sebagai kepemimpinan yang bersifat situasional. Dikatakan demikian karena Nabi Muhammad menerapkan kombinasi tipe kepemimpinan berdasarkan situasi yang sedang dihadapi.
Terdapat tiga tipe kepemimpinan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu kepemimpinan otoriter, kepemimpinan laissez faire, dan kepemimpinan demokratis. Ketiga tipe kepemimpinan tersebut diterapkan berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi Nabi Muhammad sebagai berikut.
Kepemimpinan otoriter
Tipe kepemimpinan otoriter menggambarkan pemimpin yang mendikte, membuat keputusan sepihak dan membatasi partisipasi bawahan. Perwujudan kepemimpinan otoriter Nabi Muhammad terlihat dalam sikap tegas beliau saat menanggapi orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntunan Allah.
Demikian halnya, dalam melaksanakan aturan yang telah diperintahkan dan diwahyukan oleh Allah SWT ada beberapa ibadah yang tidak dapat ditawar-tawar seperti shalat, zakat, dan haji.
Kepemimpinan Laissez Faire
Tipe kepemimpinan laissez faire (pembiaran) menggambarkan pemimpin yang memberikan kesempatan pada kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan sendiri dengan cara apa pun yang menurut mereka pantas. Ini juga diterapkan Rasulullah SAW.
Beliau tidak memaksa seseorang dengan kekerasan. Ketika berdakwah, setiap orang diberi kebebasan dalam memilih agama yang dipeluknya. Beliau hanya diperintahkan Allah untuk memberi seruan dan peringatan kerugian bagi yang sombong dan angkuh menolak, serta seruan keberuntungan bagi yang mendengar seruannya.
Apabila ada yang menolak beriman kepadanya, beliau tidak memaksa namun tetap memberi peringatan kepada mereka. Melalui tipe kepemimpinan laissez faire yang diterapkan, Nabi Muhammad berusaha untuk menumbuhkan tanggung jawab dari pribadi masing-masing.
Kepemimpinan Demokratis
Tipe kepemimpinan demokratis menggambarkan pemimpin yang melibatkan bawahan dalam membuat suatu keputusan, mendelegasikan wewenang, dan menggunakan umpan balik untuk melatih bawahan. Kepemimpinan Rasulullah yang bersifat demokratis terlihat pada kecendrungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama jika menghadapi masalah yang belum ada wahyunya dari Allah SWT.
Kesediaan beliau sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya. Musyawarah diijadikan sebagai sarana tukar menukar pikiran dan di dalamnya masing-masing orang dapat mengemukakan pendapatnya serta menyimak pendapat orang lain.
Penutup
Demikian uraian mengenai pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang mungkin dapat dijadikan suri teladan bagi pemimpin untuk melaksanakan tugas dan peran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pelajaran ini relevan bagi para pemimpin dalam birokrasi, karena sebagaimana kita tahu mayoritas kita beragama islam.
Berdasarkan Pancasila, Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan warga negaranya. Begitupun dengan para pemimpin. Sudah semestinya nilai-nilai ajaran agama diterapkan dalam birokrasi dan aktivitas apapun di masyarakat, supaya tidak lagi ada ungkapan, “Alim ketika sedang beribadah saja tetapi lupa agama ketika bekerja”.
Sikap dan perilaku pemimpin hendaknya mencerminkan intergritas sebagaimana teladan untuk shiddiq (integritas dalam satu kata dan perbuatan dalam bersikap), amanah (dapat dipercaya), tabligh (selalu jujur dan tegas bertindak menyampaikan sesuatu kebenaran atau tidak bersikap plin-plan atau pandang dulu) dan fathonah (bersikap professional dengan kecerdasan emosional).
Dalam hal kondisi tertentu, pemimpin bersikap tegas atau bersikap zero tolerance untuk menegakkan kedisiplinan dan aturan. Selanjutnya, pemimpin juga secara sabar memberikan penjelasan kepada bawahan atas tugas yang diemban dan bersedia mendengar dalam suatu diskusi untuk memberikan kebebasan berpendapat untuk mencari solusi yang terbaik dalam pemecahan masalah.
Sikap demokratis yang diterapkan tidak hanya berdasarkan voting atas suara terbanyak dalam pegambilan keputusan, tetapi memperhatikan pula kepentingan minoritas (termasuk emansipatif secara gender). Sehingga, keputusan yang diambil dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai perspektif serta risiko yang terkecil atas dampak yang terjadi.
Kepala Biro Keuangan Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Lebih dikenal dengan panggilan akrab Cak Bro. Hobinya menulis secara otodidak mengenai permasalahan organisasi tentang SDM, audit, pengawasan, dan korupsi. Pernah menerbitkan buku koleksi pribadi "Artikel ringan Cakbro: Sekitar Tata Kelola Organisasi" dan "Bunga Rampai SPIP".
E-mail: [email protected] Blogger: Cakbro. Blogspot.com
sangat membuka bekal dalam menjalankan roda organisasi cak Bro