Peningkatan Infrastruktur Media Penelitian: Membangun Budaya Riset Bagi Akademisi dan Peneliti

by | Oct 15, 2021 | Birokrasi Melayani | 1 comment

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diundang teman untuk ikut acara diskusi para akademisi tentang membuat jurnal ilmiah hasil penelitian/riset dan memublikasikannya. Sesuai dengan kebijakan pemerintah yang baru, jurnal yang terpublikasikan tersebut harus terindeksasi pada media jurnal yang berakreditasi internasional, Scopus misalnya.

Hal tersebut senada dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen, yang dalam pasal 60 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen antara lain wajib melakukan publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar.

Selanjutnya, dijabarkan secara teknis berdasarkan Peraturan Menteri Ristek Dikti Nomor 20 tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, yang mewajibkan dosen dengan jabatan akademik lektor kepala dan profesor untuk melakukan publikasi ilmiah.

Awalnya saya tak paham tentang jurnal ilmiah. Namun, dari ragam diskusi dan pengalaman, banyak suka duka mereka dalam mengirim jurnal tersebut, terutama para akademisi atau dosen yang diwajibkan sebagai pemenuhan persyaratan, entah untuk kenaikan pangkat atau jabatan untuk menjadi lektor hingga menjadi guru besar.

Dari diskusi tersebut banyak keluhan para dosen karena begitu ketatnya penyeleksian dari reviewer media jurnal tersebut yang bisa memakan waktu lama dan biaya tidak sedikit. Tak jarang sebagian dosen atau peneliti tidak mampu memenuhi batas waktu dalam pengajuan untuk kenaikan pangkat misalnya, karena persyaratan jurnal ilmiah yang terpublikasi tak kunjung terbit.

Publikasi Artikel/Jurnal Ilmiah Hasil Penelitian

Dalam dunia akademisi, setiap lembaga penelitian atau universitas pada umumnya memiliki pedoman membuat artikel karya ilmiah. Hal tersebut merupakan salah satu persyaratan atau bagian dari kurikulum Pendidikan. Kualitas suatu karya ilmiah bergantung dari jenjang pendidikan yang ditempuh.

Saya teringat saat kuliah dulu dijelaskan oleh seorang dosen, jika jenjang pendidikan pada Strata Pertama (S-1) mengungkapkan tentang hasil penelitian atas penerapan suatu teori (What), sedangkan Strata Kedua (S-2) menjelaskan agak mendalam atas hasil penelitian tentang mengapa teori yang diterapkan berbeda dari realitasnya (why).

Adapun untuk jenjang pendidikan pada Strata Tertinggi (S-3) akan berfokus menjelaskan bagaimana suatu teori yang ditemui (atas kebaruan atau inovasi maupun originalitas) dapat diterapkan (How).

Sesuai dengan sistem pendidikan nasional, dalam rangka peningkatan kualitas dan kompetensi diharapkan para mahasiswa terdidik dapat melakukan transfer pengetahuan kepada masyarakat, salah satunya melalui hasil penelitian yang diungkap dalam makalah atau karya ilmiah baik dalam bentuk tesis atau disertasi.

Hasil karya ilmiah tersebut dituangkan dalam bentuk artikel dan dipublikasikan pada media jurnal ilmiah. Terutama untuk jenjang pendidikan pada Strata Tertinggi (S-3) diharapkan akan menghasilkan output dalam bentuk publikasi artikel ilmiah pada jurnal yang terakreditasi, atau buku ajar pendidikan maupun perolehan paten atas penelitian.

Kewajiban publikasi ilmiah tersebut terutama ditujukan kepada guru dan dosen sebagai media pembelajaran dan jalinan komunikasi sebagai transfer pengetahuan sesuai yang tertuang dalam regulasi. Publikasi jurnal ilmiah tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, jurnal akademik ataupun majalah umum baik tingkat nasional maupun internasional.

Gagap Budaya Riset bagi Akademisi dan Peneliti

Bermodalkan ketertarikan dan rasa penasaran dari hasil diskusi tersebut, saya coba browsing tentang jurnal ilmiah dan permasalahannya. Sungguh mengejutkan, beberapa bulan lalu negeri kita pernah dihebohkan terkait dengan pemublikasian Jurnal Ilmiah.

Hal ini terungkap dalam artikel yang ditulis oleh Machacek dan Srholec pada tanggal 7 Februari 2021 dengan judul “Predatory publishing in Scopus: evidence on cross‐country differences”. Dalam artikel tersebut diungkapkan bahwa Indonesia (dalam kurun waktu 2015-2017) telah memublikasikan jurnal ilmiah melalui Jurnal Predator sekitar 16,73% dari jurnal ilmiah yang diterbitkan (Sunu Wibirama, 2021).

Kebijakan pemerintah untuk memublikasikan hasil riset menyebabkan adanya sebagian para akademisi  menghalalkan berbagai cara. Karena biaya penyelenggaraan dan honor narasumber yang cukup mahal, para akademisi cukup membuat prosiding (kumpulan paper akademis) dan karya ilmiahnya dapat otomatis terpublikasikan di media internasional tanpa melalui proses review yang ketat, yaitu dengan melakukan seminar internasional.

Hal tersebut kemudian memunculkan beragam Event Organizer (EO) konferensi dan seminar internasional yang menawarkan kepada pihak perguruan tinggi atau lembaga penelitian dengan menjanjikan bahwa publikasi prosidingnya akan diindeks oleh Scopus.

Mendengar janji tersebut, tentu saja para akademisi tertarik untuk ikut sebagai peserta dengan membayar biaya cukup mahal. Dengan demikian hasil riset mereka lolos tanpa penyeleksian secara ketat.

Sunu Wibirama (2021) menyebutkan bahwa, fenomena gegar budaya riset terjadi karena mental para akademisi kita bermental ogah ribet (shortcut mentality). Hal ini terjadi karena berbagai permasalahan:

  • Pertama, adanya acuan capaian kinerja diukur dengan angka secara kuantitatif tanpa memperhatikan prestasi seseorang secara kualitatif, misal dari sudut pandang kejujuran, integritas dan obyektivitas atas hasil karya ilmiahnya.
  • Kedua, kegagapan budaya riset pada para peneliti dan akademisi karena adanya rangking sebagai tolok ukur kinerja untuk sebuah Lembaga Pendidikan.
  • Ketiga, kurangnya perhatian pemerintah untuk mendukung sarana dan prasarana atas fasilitas riset bagi para akademisi.
  • Selain itu, banyak universitas dan lembaga penelitian di Indonesia belum memiliki basis ilmuwan yang kuat untuk menutup “gagap budaya riset”.

Kelemahan kompetensi SDM lantaran sebagian besar ilmuwan yang berkarir di luar negeri memilih untuk tidak kembali ke Indonesia karena kurangnya dukungan fasilitas penelitian dan kebijakan yang memudahkan peneliti untuk berinovasi dibandingkan negara dimana mereka tinggal.

Lemahnya kualitas kompetensi SDM dan prasarana riset penelitian tersebut berdampak pada lemahnya perkembangan dunia riset dan rendahnya kualitas artikel ilmiah yang dipublikasikan kepada masyarakat.

Seleksi Ketat dalam Jurnal internasional

Jurnal internasional tidak sekedar jurnal ilmiah yang ditulis dalam bahasa asing (umumnya Bahasa Inggris), tetapi juga mengungkapkan hasil penelitian tentang hal yang baru dan bersifat ilmiah, serta dapat dipertanggungjawabkan. Karena bersifat mendunia, dalam penerimaan artikel dilakukan seleksi yang sangat ketat baik terkait isi atau konten artikel atau metodologi riset dan kebaruannya.

Jurnal internasional dapat dikatakan suatu media yang memiliki ranking atau akreditasi tertinggi dari media jurnal ilmiah lainnya. Tingkatan tersebut dapat terlihat dari keketatan dalam penyeleksian hingga penerbitan artikel pada media tersebut, karena pada media jurnal internasional memiliki tim editor dan reviewer yang berkualifikasi internasional.

Menurut Dian Fiantis, Profesor of Soil Science, Universitas Andalas, salah satu penelaah sejawat untuk menilai kelayakan proposal penelitian untuk mendapatkan pendanaan atau tidak dari Kemenristek Dikti memberikan penjelasan mengenai hal terkait penelitian dan proses penerbitan dalam Jurnal ilmiah.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah perlunya kita mengkaji kembali penyusunan proposal penelitian, karena dalam proposal tersebut sering terkandung kelemahan. Di antaranya ide penelitian yang ditawarkan kurang kreatif dan aktual, bahkan sering terjadi duplikasi dari penelitan sebelumnya.

Salah satu faktor penyebabnya adalah keterbatasan para akademisi atau peneliti dalam mengakses berbagai artikel/jurnal ilmiah yang terpublikasi pada media jurnal internasional.

Semestinya seorang calon peneliti banyak membaca jurnal-jurnal tersebut, sehingga dapat menjadi bahan perbandingan atas rencana penelitian yang dibuatnya bahkan akan memperoleh gagasan penelitian yang baru.

Dalam hal ini, pemerintah melalui Kemenristek Dikti (Kemendikbud) telah berlangganan pada media jurnal internasional dan telah membuka jaringan akses gratis bagi para akademisi.

Permasalahan berikutnya adalah kendala bahasa. Pada umumnya artikel yang akan dimuat pada media internasional berbahasa inggris, sehingga bagi dosen atau akademisi kurang dibekali pendidikan Bahasa Inggris akan mengalami kesulitan.

Dalam hal ini, setiap universitas melalui lembaga pendidikan bahasa asing, memberikan bimbingan terutama khusus mengenai penulisan artikel berbahasa asing. Selain itu pula, di berbagai laman media tersedia aplikasi untuk pengujian artikel berbahasa asing agar dapat dikoreksi entah dari sudut tata bahasa atau grammar dan lainnya.

Terakhir, Profesor Dian Fiantis menjelaskan tentang lamanya proses penerbitan hasil penelitian untuk dipublikasikan ke dalam jurnal. Memang terkait proses tersebut bisa memakan waktu cukup lama dan memerlukan kesabaran bagi para akademisi.

Kadang ada peneliti yang merasa bahwa hasil penelitiannya merupakan hal yang baru dan sempurna, namun pihak editor artikel menyatakan sebaliknya sehingga perlu mengalami perbaikan atau pemantapan kembali.

Beruntung bila penulis memperoleh editor yang mau menjelaskan sehingga si peneliti dapat segera melakukan perbaikan. Pada umumnya, naskah ilmiah yang terbit pada jurnal bereputasi internasional memerlukan tahapan sekitar satu hingga dua tahun.

Penutup: Rekomendasi Perbaikan

Mendasari permasalahan yang penulis sebutkan pada kata pembuka bisa jadi refleksi bagi dunia akademis karena sebenarnya kesulitan yang dihadapi dalam memublikasikan artikel ilmiah pada jurnal internasional tidaklah begitu sulit jika kita memahami prosesnya.

Namun demikian, pemrosesan suatu artikel ilmiah di sebuah jurnal internasional memerlukan waktu proses yang cukup lama demi menjaga mutu atau kualitas artikel yang terpublikasikan. Hal inilah penyebab mengapa sebagian akademisi kita mencoba mencari jalan pintas memilih media yang tidak begitu ketat dalam penyeleksiannya.

Tentu saja dengan kualitas atau mutu media jurnal yang rendah (atau tidak jelas) akreditasinya dan dikenal dengan jurnal predator sebagai pemenuhan syarat adminsitrasi belaka. Padahal, pemerintah melalui Kemenristek Dikti (Kemendikbud) menerapkan kebijakan baru dalam rangka peningkatan kualitas atau mutu jurnal ilmiah yang dihasilkan oleh para akademisi.

Namun demikian, fenomena yang terjadi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah harus berupaya untuk memperbaiki permasalahan yang terjadi. Kebijakan pemerintah mengacu standar Scopus apabila tidak disertai dengan penguatan komunitas akademik justru akan menciptakan stagnasi dan kecurangan makin menjadi-jadi.

Perlu kebijakan akses secara gratis untuk memperoleh jurnal-jurnal internasional bagi setiap universitas dan lembaga penelitian dalam rangka penguatan literasi dan kompetensi para mahasiswa sebagai bahan penelitian atau riset akademik.

Berikutnya, perlu pendanaan riset penelitian yang memadai, tidak hanya bagi peneliti terbaik yang terseleksi namun dapat disesuaikan dengan kebutuhan bagi peneliti atau mahasiswa lainnya. Dengan demikian, alokasi sebesar 20% dari APBN perlu ditinjau ulang.

Apakah program perbaikan sarana dan prasarana bagi penelitian, termasuk kelembagaan bahasa asing sebagai penguatan bagi akademisi atau peneliti telah diakomodasi? Penguatan media jurnal ilmiah di tingkat nasional pun perlu mendapat perhatian.

Perlu diberikan bantuan agar mereka dapat menggandeng reviewer atau editor bereputasi internasional, dan adanya penyeleksian atas artikel ilmiah yang diajukan supaya memperbaiki kualitas jurnal ilmiah. Demikian halnya dengan penerbit buku-buku ilmiah perlu mendapat kontribusi yang sama melalui editor yang handal yang bereputasi internasional.

Referensi:

Sunu Wibirama, “Balapan Scopus, Jurnal Predator dan Gagap Budaya Riset”, ajpkm.org. 11/02/21.
Dian Fiantis dan Budiman Minasny, Äpa Kendala Peneliti Indonesia Menulis di Jurnal Internasional?”, theconversation.com, 10/1/19.
Edi Subkhan, “Scopus dan Problem Kultur Akademik Kita”, detiknews.com., 21/3/19, diunggah tanggal 29/09/21.

0
0
Subroto ◆ Professional Writer

Subroto ◆ Professional Writer

Author

Kepala Biro Keuangan Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Lebih dikenal dengan panggilan akrab Cak Bro. Hobinya menulis secara otodidak mengenai permasalahan organisasi tentang SDM, audit, pengawasan, dan korupsi. Pernah menerbitkan buku koleksi pribadi "Artikel ringan Cakbro: Sekitar Tata Kelola Organisasi" dan "Bunga Rampai SPIP". E-mail: [email protected] Blogger: Cakbro. Blogspot.com

1 Comment

  1. Avatar

    Diawal membacanya membuat terusik dengan keresahan yang dihadirkan penulis. Dipertengahan jadi cemas dan diakhirnya agak sedikit lega dgn alternatif perubahan yang ditawarkan. Tapi selepas itu semua memunculkan tanya besar, kapan bisa terwujud. hehehe.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post