Paradoks Kemakmuran dan Ekonomi Pancasila: Sebuah Refleksi Intuitif

by Satya Laksana ◆ Active Writer | Apr 7, 2021 | Politik, Refleksi Birokrasi | 0 comments

Meskipun awalnya tidak berniat menulis secara bersambung, tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel saya sebelumnya (baca: ini). Lahir dari sebuah kebingungan dan berawal dari pertanyaan: “Apakah kemiskinan adalah sebuah masalah? Atau mungkin: Apakah justru kekayaan dan kemakmuran (baik kekayaan pribadi, keluarga, maupun dalam tingkat bangsa dan negara) adalah (sumber) masalah?”

photo of houses near body of water

Paradoks Keberlimpahan

Anda tentu pernah mendengar tentang “kutukan sumber daya alam” bukan? Sebuah istilah dalam ilmu ekonomi pembangunan, yakni paradoks keberlimpahan suatu daerah atau negara yang kaya sumber daya alam tapi cenderung lambat pertumbuhan ekonominya.

Ironinya, selama berabad-abad daerah-daerah kaya itu dijajah oleh bangsa yang miskin (baik moral maupun sumber daya alamnya). Bahkan penjajahan itu mungkin masih berlangsung sampai saat ini dalam bentuk yang berbeda dengan masa kolonialisme dahulu.

Paradoks keberlimpahan ini juga saya jumpai dalam level yang lebih mikro. Di tingkat daerah, komunitas, rumah tangga, dan juga individu dalam berbagai kasus.

Paradoks Kemakmuran dan Kemiskinan

Tugas saya menyusun BAB pendahuluan dan BAB Gambaran Umum Daerah pada dokumen Rencana Penanggulangan Kemiskinan telah selesai. Akan tetapi perenungan saya tentang kemiskinan sepertinya baru dimulai.

Maaf saya ralat sedikit: bukan merenung tentang kemiskinan semata, tapi juga tentang kekayaan atau kemakmuran. Saya berasumsi kemiskinan dan kekayaan itu seperti siang dan malam, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sehingga, memandangnya dapat tertipu bias atau paradoks.

Ada orang yang sepertinya miskin tapi hidupnya bahagia karena merasa kaya dan cukup. Sebaliknya ada orang yang sepertinya kaya tapi selalu gelisah, lapar, rakus sehingga korupsi. Ah, mungkin saya  sedang kebingungan karena terjangkit virus post-positivistik. Memandang sesuatu serba relatif. Anti kemapanan mengenai konsep segala sesuatu yang karenanya mungkin oleh saudara M. Rizal  saya dinilai sedang berusaha mencari pemahaman kritis.

Mungkin anda akan mendapati pikiran dan tulisan saya sangat subjektif, spekulatif, dan absurd. Tapi menurut Einstein, Bapak teori relativitas dalam disiplin ilmu pasti, ia mengatakan: “If at first the idea is not absurd, then there is no hope for it“.

Ekonomi Pancasila

Tulisan ini pun tampaknya segendang sepenarian dengan artikel Aldiles V. Septian (baca: ini) yang mencoba meredifinisi kesejahteraan dengan nilai filosofi pancasila. Secara intuitif saya mencoba merefleksikan ekonomi pancasila dalam sejarah pembangunan Indonesia.

Ekonomi Pancasila saya definisikan sebagai pemahaman dan perilaku manusia Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan nilai-nilai falsafah pancasila yang dianutnya.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi kepingan puzzle yang saling melengkapi dalam melihat gambar besar Indonesia yang kaya. Kaya sumber daya alam, kaya potensi sumberdaya manusia, dan kaya khazanah budaya dan nilai-nilai kehidupan.

Cita-cita Hidup Bersama

Dua anak manusia berjanji setia dalam sebuah ikatan pernikahan, tentu didasari atas cita-cita yang sama mengenai masa depan. Dalam skala yang lebih makro, kumpulan manusia di suatu wilayah memproklamasikan diri untuk membentuk suatu negara tentu didasari oleh cita-cita yang sama dalam bernegara.

Para pendiri bangsa Indonesia telah menyepakati bahwa dasar negara adalah Pancasila. Falsafah hidup bangsa Indonesia yang hidup tersebar di ribuan pulau dan beragam suku bangsa dan bahasa itu terikat oleh lima sila kehidupan.

Secara intuitif dapat saya katakan bahwa sila pertama adalah dasar atau landasan hidup bernegara. Sila kedua dan ketiga adalah prinsip hidup bernegara. Sila keempat adalah metode atau cara hidup bernegara. Dan tujuan akhir atau muara dari cita-cita hidup berbangsa dan bernegara adalah sila kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kemakmuran atau Keadilan?

Tujuan hidup kita bernegara adalah keadilan sosial, bukan kemakmuran sosial. Walaupun kata makmur disebutkan  juga dalam pembukaan undang-undang dasar, tapi tetap didahului oleh kata adil.

Mungkin para pendiri bangsa kita sudah menyadari bahwa Indonesia sudah makmur dari sononya. Tidak perlu bercita-cita makmur. Yang menjadi cita-cita adalah keadilan dalam bernegara. Atau bisa jadi, memang pendiri bangsa kita sudah memahami bahwa kemakmuran dan kemiskinan itu dua sisi mata uang yang perlu dipandang secara adil agar tidak tertipu dengan paradoks.

Merdeka Menentukan Jalan Hidup

Indonesia memang sudah menyatakan merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945. Tapi sudahkah Indonesia merdeka dari penjajahan seutuhnya? Sudahkah kita mandiri menentukan nasib bangsa kita sendiri, ataukah kita masih didikte bangsa lain?

Sudahkah kita independen dalam mengidentifikasi apa yang ingin kita bangun di rumah kita? Ataukah kita sering terpengaruh dengan cita-cita atau orientasi asing? Ataukah kita mudah terpengaruh oleh bujukan tetangga untuk memiliki infrasrruktur rumah yang didesain dan di bangun oleh tetangga? Ataukah tanpa kita sadari atas bujukan tetangga terkadang perabotan bekas tetangga pun kita pakai di rumah kita tanpa perlu merasa malu?

Kita izinkan anak tetangga mengelola kebun halaman rumah kita supaya bisa bagi hasil; sementara kita kurang sabar melatih anak-anak kita sendiri untuk mengelola kebun pekarangan rumah sendiri?

Saya pernah membaca bahwa Bung Karno berprinsip: “Biarlah kekayaan alam Indonesia tidur dipelukan bumi pertiwi. Sampai insinyur-insinyur kita mampu sendiri membangunkannya untuk kemakmuran anak cucu Indonesia”.

Budaya agraris nusantara memang mengajarkan kita tunduk dan bersabar pada waktu. Ada pranata mangsa. Alon-alon waton kelakon prinsip orang Jawa. Nete taraje, nincak hambalan; kata orang Sunda yang mengajarkan tertib dan sabar dalam menaiki tangga menuju puncak.

Paradoks Orde Lama

Di masa awal kemerdekaan kita sepertinya dipaksa untuk untuk memilih berpihak kepada salah satu blok dari dua adikuasa dunia. Pemimpin kita mampu menunjukkan kemandiriannya. Bahkan mempelopori sesama negara bekas jajahan untuk mandiri. Memilih non-blok dan menjalankan politik luar negeri bebas aktif.

Secara elegan dan percaya diri pemimpin kita bersilaturahmi dengan Presiden JF Kennedy, pemimpin blok Barat. Setelah itu mengundang Pemimpin blok timut, presiden Korea Utara Kim Il Sung ke Jakarta. Tapi nampaknya tidak mudah bersikap netral. Pemimpin kita dituduh lebih condong ke blok timur.  Dan kita tidak dapat sepenuhnya bebas dari campur tangan asing.

Ditengarai adanya keterlibatan operasi intelejen negara adikuasa pemenang perang dingin blok dunia, suksesi kepemimpinan Indonesia terjadi ditandai dengan pertumpahan darah pahlawan revolusi.

Paradoks Orde Baru

Kita memasuki orde baru. Manusia Indonesia berubah menjadi manusia baru. Kita berubah dari manusia sabar menjadi manusia yang progresif dan agresif. Kekayaan alam emas kita di Papua oleh orde baru diizinkan untuk dieksploitasi asing. Begitupula kekayaan hutan, tambang, dan laut kita eksploitasi bahkan tanpa diolah terlebih dulu. Langsung dijual demi cepat mencapai kemakmuran.

Di masa Orde Baru sepertinya kita terpengaruh budaya asing yang tergesa-gesa. Mereka yang hidup dalam iklim yang kurang bersahabat, dalam setahun cuma memungkinkan satu atau dua kali tanam, dan punya kebiasaan menumpuk makanan untuk digunakan pada musim dingin, sehingga mereka memiliki prinsip waktu adalah uang.

Kita dididik oleh mereka sehingga kehilangan orientasi. Tergesa-gesa ingin makmur. Kita kehilangan sifat tepo seliro. Berubah sifat menjadi kompetitif dan mendidik anak-anak kita untuk berdaya saing tinggi. Kalau bisa kita lebih makmur dari tetangga.

Dalam tiga dasawarsa sepertinya kemakmuran dapat sedikit dirasakan. Pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 6 persen per tahun membuat dunia berdecak kagum. Kita dianggap sudah menjelma menjadi salah satu macan asia. Setelah organisai asing memberikan piagam penghargaan bahwa kita sudah mampu berswasembada beras, kita tergesa-gesa ingin tinggal landas dengan membangun pabrik pesawat terbang.

Kemakmuran bisa sedikit diraih. Namun sayang, keadilan terlupakan. Pembangunan dirasakan timpang hanya terpusat di pulau Jawa saja. Kemakmuran ternyata hanya dinikmati segelintir orang di pusaran kekuasaan mengusik rasa keadilan sosial rakyat.

Krisis ekonomi tahun 1997 menyadarkan kita bahwa pembangunan negara ternyata keropos digerogoti penyakit kronis menahun: Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). KKN merupakan penyakit obsesif meraih kemakmuran diri atau kelompok dengan melanggar hukum dan melecprinsip keadilan sosial.

KKN adalah sebuah paradoks: dilakukan oleh orang (yang sepertinya sudah) kaya tapi tidak merasa cukup (miskin) dengan kekayaannya. Dampak KKN juga adalah paradoks yang lain. Di satu sisi menciptakan kemakmuran segelintir orang dalam jangka pendek. Di sisi lain menciptakan pemiskinan (impoverishment) orang banyak dalam jangka panjang.

Rakyat tersadar dan menuntut reformasi. Tidak hanya mereformasi sistem tata negara dan sistem suksesi kekuasaan tapi juga membentuk lembaga superbodi yang diharapkan dapat membasmi penyakit KKN.

Paradoks Orde Reformasi

Reformasi negara ternyata menambah hiruk pikuk demokrasi. Kekuasaan yang semula tersentralisasi dimodivikasi dengan prinsip otonomi daerah. Dampak negatifnya KKN pun terdesentralisasi.

KKN dan penyalahgunaan wewenang juga ikut merata di setiap daerah. Kepala dan wakil rakyat daerah pun terpapar penyakit rakus yang konon disebut sebagai dosa pertama manusia yang menyebabkan manusia terusir dari surga ini.

Di masa reformasi KKN diperluas definisinya dalam undang-undang sehingga bukan hanya sekadar bila terbukti memperkaya diri dan golongan dengan melanggar hukum, tapi juga bila terbukti ikut serta atau melakukan kelalalian sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara atau semata melakukan mal-administrasi keuangan negara. Sehingga, pemimpin pertama di zaman reformasi pun dipaksa mundur dengan tuduhan KKN. Mekanisme suksesi pun di-update versi demokrasi yang lebih advanced: pemilihan langsung oleh rakyat.

Pemilihan langsung berhasil menghasilkan stabilitas politik, ditandai dengan terpilihnya dua pemimpin dalam dua periode berturut-turut. Namun demikian, penyakit KKN tidak kunjung sembuh. Tumpang tindih kewenangan antara lembaga superbodi yang bersifat ad hoc dengan lembaga organik yang  permanen malah menambah karut marut penyelenggaraan negara.

Drama dua babak Cicak VS Buaya menjadi preseden buruk akibat paradigma: hukum adalah panglima. Hukum dan lembaga hukum menjadi alat untuk bersaing dan menyerang  lawan politik.

Di masa reformasi tidak ada lembaga yang dapat dipercaya rakyat, termasuk lembaga penegak hukum apalagi partai politik. Hampir semua lembaga penegak hukum memiliki oknum yang terjerat dengan masalah hukum. Bahkan, hampir semua (oknum) partai politik pernah terjerat hukum.

Partai politik yang pada awalnya bercitra idealis dalam memperjuangkan Keadilan, kemudian terjerat juga dengan pasal KKN, persis setelah menambahkan (dan juga memperjuangkan) simbol Kesejahteraan.

Paradoks Masa Kini

Alam bawah sadar rakyat indonesia tampaknya kemudian muncul kembali ke permukaan. Demokrasi menjadi jalan munculnya kehendak rakyat tersebut. Budaya agraris lebih menghargai hidup yang sederhana, bersahaja, merakyat, dan kerja keras, daripada kegagahan dan kemewahan. Sehingga calon pemimpin yang memiliki citra diri demikian, walaupun tidak memiliki “trah” ningrat, dapat terpilih menjadi presiden selama dua periode.

Harapan besar pun sempat muncul. Upaya pemerataan pembangunan menjadi visi dari semangat kerja, kerja, dan kerja. Pembangunan infrastruktur di di daerah terpencil, tertinggal, terluar diutamakan.

Namun, kemudian berbagai paradoks pun tetap terjadi. Tidak bisa dibedakan antara kesederhanaan dengan ketidakpercayadirian dengan secara terbuka mengundang investor asing membangun dalam negeri. Tidak bisa dibedakan antara kerja keras dengan kerja tergesa-gesa.

Semboyan cinta produk dalam negeri dan benci produk asing, tapi membuat kesepakatan (MoU) impor beras dengan negara tetangga. Prioritas pembangunan pun terbalik, di mana periode pertama pembangunan infrastruktur baru kemudian pada periode kedua prioritas pembangunan sumber daya manusia. Padahal, lagu kebangsaan Indonesia lebih mendahulukan bangunlah jiwanya baru kemudian bangunlah badannya.

Epilog

Kejadian pandemi yang melanda dunia membuat setiap negara menata ulang sistem negaranya masing-masing. Kesempatan ini, menurut saya, perlu dimanfaatkan untuk menata ulang paradigma kehidupan bernegara kita supaya kembali kepada khittah atau dasar negara, yaitu Pancasila. Sehingga, semboyan “Aku Pancasila” tidak hanya menjadi slogan. Lain di mulut lain di perbuatan.

4
0
Satya Laksana ◆ Active Writer

Fungsional Perencana Muda di Pemerintah Daerah. Berlatar pendidikan Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Publik.

Satya Laksana ◆ Active Writer

Satya Laksana ◆ Active Writer

Author

Fungsional Perencana Muda di Pemerintah Daerah. Berlatar pendidikan Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Publik.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post