Tentang Kesejahteraan – Bagian I: Sebuah Ikhtiar Reflektif tentang Pancasila

by | Mar 29, 2021 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

person holding round glass ball

Prolog 

Sebagaimana dipahami, Pancasila adalah perasan nilai-nilai yang sebenarnya sudah mengakar di masyarakat Indonesia, yang kemudian dikonsepsikan menjadi sebuah ideologi. Sebagai nilai, ia sudah ada bahkan sebelum negara ini dideklarasikan. Dengan menjadi ideologi, nilai-nilai ini diharapkan dapat terlembaga dan mewarnai setiap rumusan norma hukum negara. 

Dengannya nilai-nilai luhur bangsa dapat terlestarikan, sehingga kita tidak kehilangan ciri khas kedirian. Dengan panduan ini juga kita menjadi tahu kemana kita harus melangkah, sehingga dialektika pemikirannya menjadi lebih efektif. 

Pancasila menjadi kriteria yang digunakan masyarakat kita untuk menimbang dalam interaksinya dengan realitas. Jika dianalogikan seekor burung, Pancasila adalah menjadi cerminan diri mengenai bentuk sayap, paruh, dan anatomi tubuh yang lain. 

Jika paruh dan sayap kita serupa elang, maka kita dapat menentukan makanan dan cara terbang kita adalah serupa elang. Mungkin kita bisa mengikuti makanan kenari misalnya, tetapi proses adaptasinya akan berlangsung lama (bahkan bisa jadi perlu evolusi) dan proses itu tentu saja tidak efektif. 

Di saat negara lain sudah tinggal landas, kita mungkin masih belum kemana-mana dan belum selesai dengan diri kita sendiri karena sibuk dengan cara berdamai kita dengan realitas. Tak terkecuali di bidang ekonomi.

Realitas kapitalisme

Realitas ekonomi dunia kita saat ini bercorak kapitalis, yaitu pelaku ekonomi berhasrat untuk menimbun modal (kapital) sebanyak-banyaknya. Asumsi dasarnya adalah kita tidak bisa hidup hanya untuk masa sekarang, sehingga harus memikirkan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. 

Kunci pengaman ketidakpastian ini adalah kapital. Di saat kita memiliki kapital, kita memiliki keleluasaan dan pilihan untuk melakukan sesuatu. Semakin besar kapital yang kita miliki, maka pilihan kita akan semakin beragam. Sebaliknya, tanpa kapital, kita tidak bisa apa-apa. 

Kita membutuhkan kapital untuk makan, yang berarti semakin banyak kapital kita timbun, potensi kita kelaparan di masa depan akan semakin kecil. Dalam persepsi dan kesadaran manusia saat ini, pengaruh kapital sebagai alat mempertahankan hidup sudah sedemikian kuatnya, sehingga ketika kita membahas sesuatu tentang manusia dan interaksinya, hampir tidak bisa dilepaskan dari kepemilikan kapital. 

Untuk bisa menikmati pengajaran yang berkualitas, masyarakat memerlukan kapital karena biasanya semakin berkualitas institusi pendidikan, membutuhkan kontribusi kapital lebih besar dari peserta didik. Atau jika pengajaran ini disediakan oleh negara, negara memerlukan mengambil sebagian dari kapital (atau potensinya) milik si kaya dalam bentuk pajak.

Ketertarikan manusia pada masa depan ini tidak muncul secara tiba-tiba. Pandangan ini adalah konsekuensi dari abad modern yang bisa kita lacak sejak renaissance. Keinginan untuk memerdekakan manusia (humanisme) menumbuhkan semangat kemajuan yang diwujudkan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. 

Manusia kemudian bersifat eksploratif dan berambisi menaklukkan alam untuk menopang hasrat kemajuannya. Konsekuensinya, model ini menghasilkan semangat kepemilikan benda materi, yaitu hal-hal yang bisa didekati dengan panca indera, yang dalam hal ini adalah kapital. 

Kapital ini dikonkretisasi melalui materi-materi yang dapat diukur secara moneter, yang bisa menjamin eksistensi manusia modern di masa depan. Namun demikian, semangat ini tampaknya tidak dimitigasi secara proporsional di awal kemunculannya, sehingga menjadi tidak terkontrol. 

Niatan menimbun kapital ini menjadi ahistoris, karena di awal diniatkan sebagai sarana membebaskan tetapi kemudian berubah menjadi sarana penindasan. Manusia kemudian disibukkan dalam hubungan tindas-menindas ini sehingga fokus pikirannya tereduksi ke alam materi. 

Wajar sebenarnya, karena asal mula hubungan eksploitatif tersebut adalah karena hasrat akan kapital. Namun demikian, reduksi ini membuat manusia menjadi terasing, karena manusia pada dasarnya tidak hanya kompatibel pada hal-hal yang bersifat materi tetapi juga pada sesuatu nonmateri seperti spiritualitas. 

Dialektika dalam Pancasila

Di balik kemajuan modernisme Barat, ternyata tersimpan lubang eksistensial serius. Kapitalisme bisa dibilang salah satu dampak terhebat modernisme Barat yang pengaruh kuatnya kita rasakan sampai saat ini, yang ternyata juga membuat kita kering spiritualitas.

Dengan melihat rumusannya, tampaknya Pancasila berusaha untuk menjadi solusi atas kekeringan tersebut, sekaligus diwujudkan dalam kehidupan sosial-politik untuk menjadi suatu negara kesejahteraan. Nuansa sosialisme cukup kuat di sini, sehingga rumusan kesejahteraan yang diidealkan adalah kesejahteraan sosial, yang kue besar ekonominya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. 

Tidak bisa dipungkiri jika dalam Pancasila terdapat pengaruh materialisme, dalam bentuk penghargaannya kepada kerja dan kemakmuran yang diukur melalui kepemilikan. Namun demikian, Pancasila berusaha untuk mendialektikakannya dengan semangat spiritualitas yang telah mengakar dalam kehidupan kita. 

Dengan kata lain, jika modernitas identik dengan materi, sedangkan spiritualitas adalah ciri kepribadian kita, maka menjadi manusia Pancasila dalam konteks ekonomi adalah manusia yang sejahtera tetapi tetap berjiwa spiritual, yang berusaha diwujudkan melalui peran negara (mengkonsepsikan Pancasila sebagai sebuah ideologi). 

Manusia Indonesia adalah tujuan, dan negara adalah alatnya, sedangkan wujud kesejahteraan yang ingin diwujudkan adalah yang berkeadilan sosial (merata). Atas dasar premis tersebut, secara operasional terdapat beberapa hal yang dapat menjadi perhatian. Pertama adalah mengenai eksploitasi alam.

Alam dan pemaknaan realitas

Alam sebagai ruang hidup memiliki dimensi penting dalam kategorisasi pemaknaan realitas. Dalam pemaknaan spiritual, alam adalah sesuatu yang unik sekaligus memiliki eksistensi lebih dari sekedar yang terlihat. Masyarakat nusantara secara turun-temurun percaya akan hal tersebut, yang dibuktikan dengan ritual-ritual yang menempatkan tinggi peran alam. 

Manusia, di sisi lain, adalah bagian dari alam, sehingga kehidupan antar manusia ditempatkan sebagai bagian dari upaya harmonisasi dengan alam sekitar. Itulah mengapa, kelestarian alam menempati poin penting, karena kerusakan alam berarti kerusakan diri manusia itu sendiri. 

Secara materi hal ini sebenarnya juga dapat dijelaskan bahwa manusia, yang bergantung hidup pada alam, berkepentingan agar alam tetap lestari agar kelangsungan hidupnya tetap terjaga. Adapun kehidupan modern, yang sedari konsepsinya bersifat eksploratif dan berusaha untuk menaklukkan alam, kemudian justru bernuansa eksploitatif. 

Oleh karenanya, modernitas yang berkait-kelindan dengan materialisme, cenderung bersifat kuratif mengenai kelestarian, sebagaimana penaklukan adalah fitrah mereka. Sedangkan spiritualitas nusantara, sifat kelestariannya adalah preventif. Pemanfaatan alam untuk kemakmuran hendaknya memperhatikan sifat preventif ini. 

Dalam praktiknya, aktivitas manusia, termasuk aktivitas ekonominya, dilakukan dengan tetap menjaga harmonisasi dan kapasitas alam. Jika kegiatan penambangan membuat kapasitas atau kemampuan alam berkurang dalam mencegah banjir, maka kegiatan tersebut harusnya tidak diizinkan, atau mengkompensasikan dengan kegiatan pelestarian lain di awal sehingga kapasitas alam tetap terjaga. 

Jika dirunut, pemanfaatan dan eksploitasi alam pada dasarnya bertujuan untuk pemupukan kekayaan. Kita mengeruk alam secara masif, menjadikannya komoditas untuk dijual, yang kemudian hasilnya digunakan untuk memupuk modal (alat tukar) secara terus-menerus. 

Hasrat ini didasarkan pada “ketakutan” kita akan masa depan, sehingga kita memerlukan untuk menimbun alat tukar sebanyak-banyaknya agar kita memiliki lebih banyak pilihan. Tujuan utamanya adalah mempertahankan hidup (menghindari kesengsaraan) sembari jika memungkinkan merasakan kenikmatan. 

Di sisi lain, ketika kelestarian alam terjaga, kita sebenarnya tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu, karena alam terbukti mampu memberikan penghidupan pada umat manusia. Daripada kita mengeruk alam, mengkonversikannya menjadi modal, mengembalikan kembali kepada alam setelah sadar adanya eksternalitas negatif yang ditimbulkan, lebih baik kita membiarkan pemupukan tersebut terjadi di alam, tanpa mengkonversikannya. Kita hanya perlu mengambil secara bijak segala sesuatunya.

Eksploitasi alam, manusia, dan energi

Selain pengambilan secara langsung tersebut, eksploitasi alam juga terkait dengan pengambilan tidak langsung, misalnya karena keterikatan-keterikatan tertentu. Komoditas alam adalah komoditas yang relatif mudah diperoleh. 

Misalnya, daripada berlelah-lelah menyelenggarakan berbagai riset dan kegiatan manufaktur, lebih mudah dan hasilnya lebih cepat diperoleh jika mengambil dari alam untuk kepentingan manusianya. Sifat lebih mudah ini terkadang melenakan. Misalnya dalam kondisi entitas yang berhutang. 

Untuk menunaikan kewajiban pengembalian, debitur harus melakukan berbagai kerja produktif. Jika ia tidak produktif sedangkan ia memiliki kekayaan alam, bukan tidak mungkin ia akan mengeksploitasinya agar dapat membayar hutangnya. 

Contoh keterikatan lain adalah penjajahan dalam berbagai bentuknya. Mode yang ada dalam penjajahan adalah pihak terjajah biasanya mengikuti apa saja yang dimaui oleh penjajahnya, termasuk ketika penjajahnya menghendaki eksploitasi alam untuk kepentingannya. 

Keterikatan-keterikatan inilah yang harus kita waspadai. Termasuk dalam lingkup alam ini adalah manusia. Oleh karenanya, eksploitasi sesama manusia juga tidak dibenarkan. Sampai di sini kita sekaligus memiliki alasan mengapa kita harus menolak sekularisme, yang menganggap materi tidak memiliki dimensi spiritual. 

Alam memiliki dimensi spiritual, sehingga merusak alam berarti ada hal yang tidak pantas dilakukan secara kepercayaan. Kesinambungan kehidupan kita, oleh karenanya diwujudkan melalui kelestarian alam.

Pasal dilematis dalam eksploitasi alam adalah mengenai energi. Sumber energi ini penting untuk kegiatan perekonomian. Energi bisa dianggap sebagai sebab pertama dalam kegiatan produksi, karena mesin-mesin membutuhkan bahan bakar untuk beroperasi. 

Dengan logika kesinambungan produksi, bukan tidak mungkin kita akan mengalami ketergantungan pada sumber produksi tertentu, sehingga kegiatan eksploitasi seolah-olah tidak bisa dihentikan. Lebih parah jika eksploitasi ini terkait dengan kegiatan pemburu rente, yang menyebabkan alam rusak tetapi tidak signifikan berkontribusi pada kemakmuran masyarakat banyak. 

Eksploitasi sumber energi ini seharusnya bersifat sementara sembari kita harus mengompensasikannya dengan pengembangan sumber daya manusia. Kita manusia Indonesia seyogyanya dapat melakukan diversifikasi energi sehingga pada akhirnya tidak ada lagi ketergantungan pada sumber-sumber energi yang merusak keseimbangan (kapasitas) alam. Dalam hal ini, tujuan kemakmuran tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ilmu pengetahuan.

(bersambung ke Bagian II)

0
0
Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Author

“Penulis adalah ASN yang bermukim di Depok dan berkantor di Jakarta. Terbuka untuk diskusi dan dapat dihubungi di [email protected]

1 Comment

  1. Avatar

    Mantap…. ini sebenarnya tulisan level pemikir. Di ujung seri tulisan ini ada baiknya jika mampu menghasilkan rekomendasi tindakan-tindakan konkrit bagi beberapa pemangku kepentingan utama akan inisiasi terdekat dan tercepat yang mungkin mendatangkan manfaat (walau kecil sekalipun), dengan cara mendayagunakan sumber daya yang terbatas yang dimilikinya masing-masing saat ini.

    Dengan cara ini, ide akan berpeluang menjadi karya kreatif, berlanmjut ke karya invensi hingga karya inovasi.

    Jangan lelah berkontribusi bagi bangsa ini. Right or wrong is my country!

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post