Pandawara, Sampah, dan Sosial Media

by | Feb 26, 2024 | Birokrasi Bersih, Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Sumber: IG @pandawaragroup

Beberapa waktu yang lalu, fenomena Pandawara begitu menggema di seantero jagad media, yaitu Tiktok, twitter (X), YouTube, IG dan media massa. Pandawara, para pejuang lingkungan yang terdiri dari para anak muda dengan visi dan misi yang sama. 

Satu saja tujuan mereka membersihkan sampah dan memberikan edukasi tentang kepedulian dan perhatian terhadap isu lingkungan. Saya jauh dari yang namanya pejuang lingkungan seperti para pandawara ini. Nama mereka pun saya tahu ketika sering masuk FYP dan viral di app yang sering saya buka.

Sebuah Tamparan yang Sederhana

Apa yang mereka lakukan sebenarnya cukup sederhana: menggunakan alat seadanya yang biasa sering kita pakai kalau kita membersihkan sampah di pekarangan rumah kita. Sarung tangan, plastik sampah, sepatu boots, dan rompi pelindung yang bisa didapatkan di toko online ataupun toko DIY (do it yourself) lainnya. 

Mereka biasanya mulai dengan memberitahukan di mana mereka akan melaksanakan giat di sosmed mereka, kemudian membuat suatu video pendek tentang keadaan tempat tersebut.

Pada hari H, mereka membersihkan sampah di lingkungan sekitar mereka. Sampah-sampah yang cukup banyak, yang biasanya dibuang sembarangan oleh orang-orang di lingkungan situ juga, dibersihkan, diangkut ke truk sampah.

Truk itu nanti membawa sampah ke tempat pembuangan sampah (TPS) terdekat di wilayah tersebut. Berdasarkan pengakuan mereka, semua ini menggunakan biaya sendiri untuk membayar truk sampah tersebut.

Melihat aksi Pandawara,
memberi kesan bahwa masyarakat tidak bertanggung jawab
dan tidak peduli pada kebersihan lingkungan. Padahal kita semua tahu,
sejak SD kita sudah diajari bahwa sampah adalah sumber
dari segala penyakit dan bencana. 

Kita pasti sering mendengar, bahwa sampah menyebabkan banjir. Kalau kita ketik di Google “sampah menyebabkan.. dst.” dan kita biarkan Google menelusurinya yang muncul adalah bencana alam, pemanasan global, polusi dan lain sebagainya. 

Kita tahu dan sadar bahwa sampah itu menyebabkan banyak kemudaratan. Tapi kenapa perilaku dan sikap kita terhadap  sampah menjadi seperti yang diperlihatkan Pandawara di setiap video mereka? Itu menjadi pertanyaan bagi kita semua. 

Sudah Menjadi Budaya, Melanggar Aturan tentang Kebersihan

Pandawara juga pernah memperlihatkan sebuah video di mana sampah yang sudah dikumpulkan oleh sebuah pick up, kemudian dibuang ke sungai.

Di tengah kota, di tengah pemukiman, di tengah orang banyak, dengan seenaknya pelaku di video tersebut membuang sampah. Tidak ada yang menghentikan, tidak ada yang menegur, tidak ada yang menegakkan aturan. 

Kita semua pasti pernah melihat larangan membuang sampah yang sering ada di setiap spanduk dan billboard milik pemerintah. Di situ dicantumkan tentang aturan mulai dari perkab, perwali, dan perda yang menjelaskan bahwa setiap pelanggar yang membuang sampah sembarangan akan didenda dengan nilai yang cukup siginifikan.

Bahkan maybe ada beberapa tindakan disiplin dari penegak aturan. Tapi sepertinya masyarakat tidak jera, bahkan cenderung menantang dan melawan balik. 

Pernah juga saya melihat suatu berita, ada para pembuang sampah yang ditangkap meskipun tengah membuang sampah pada tempatnya. Yang menjadi permasalahan adalah, banyak yang tidak mengetahui atau tidak peduli untuk membaca sebentar, bahwa membuang sampah itu tidak boleh setiap saat.

Ada jam-jam tertentu dan tidak boleh di luar jam itu.  Bukannya tidak boleh tapi ada aturannya. Bukan membuang sampahnya yang salah, namun timing-nya yang kurang tepat.

Penolakan terhadap Pandawara: Bukti Ruwetnya Birokrasi

Di Indonesia, sepertinya tidak setiap pekerjaan yang baik, dengan tujuan baik, selalu diterima dengan baik, dan berakhir baik pula. Belum tentu. Dunia ini tidak bekerja seperti itu ternyata.

Ada kasus yang sempat viral melibatkan Pandawara. Ada sebuah desa tempat mereka secara sukarela dan volunteering, pro bono, membersihkan pantai yang penuh sampah di area tersebut. 

Bukannya senang atau merasa terbantu, aparat di desa itu menolak wilayahnya untuk dibersihkan, bahkan mempermasalahkan keberadaan Pandawara di sana.

Sudah dibersihkan secara gratis malah marah-marah dengan alasan tidak berkoordinasi dan tidak terima dicap sebagai pantai terkotor. Padahal, semuanya sudah jelas di depan mata. Pantai itu kotor.

Yang mempermasalahkan malah merasa
bahwa pantai terkotor nomor sekian itu tidak berdasar,
dan tidak cocok “dianugerahkan” kepada mereka.
Dari hal ini kita belajar, bahwa berkoordinasi dengan pemerintah itu
memakan waktu, tidak bisa dilakukan dengan cepat.
Birokrasinya cukup ruwet. 

Kemudian, hal seperti ini sepertinya enggan dilakukan oleh pemerintah desa dengan alasan klasik, tidak ada dana dan/atau tidak ada anggaran. Tidak ada hal di atas, ya tidak ada pekerjaan. Bagi aparat kebanyakan, yang namanya pengabdian itu harus ada “reward”-nya.

Mana mau mereka membersihkan sampah kalau tidak ada anggarannya.  Mereka menganggap apa yang dilakukan Pandawara juga memperlihatkan ketidakmampuan mereka dalam mengelola dan memperhatikan desa mereka. Pandawara dianggap bikin malu pemerintah. 

Isu Lingkungan di berbagai Area

Tahun 2024 merupakan tahun pemilihan umum. Berbagai isu banyak menjadi bahan gorengan. Isu lingkungan terutamanya. Entah bagaimana dengan pemilih dan calon pemimpin di Indonesia, tapi di luar sana persoalan lingkungan menjadi penentu signifikan.

Memang ada berbagai aksi protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak pro-lingkungan di Eropa. Misalnya dengan mengirim sampah ke parlemen, menghancurkan lukisan dan barang antik ribuan tahun, atau gerakan stop oil dengan cara duduk di tengah jalan raya.

Di jalur politik, ada sebuah partai kecil dengan anggota tidak seberapa yang fokus dan sangat sengit memperjuangkan isu lingkungan. Para politisi partai ini melobi para petinggi parlemen untuk meloloskan berbagai perundangan yang melindungi alam dan lingkungan di sekitar mereka, walaupun tidak bisa dipungkiri, ada isu miring tentang partai mereka.

 Ada undang-undang di suatu negara yang memuat alinea bahwa alam dan sekitarnya harus dianggap seperti makhluk hidup. Mereka beranggapan kalau gunung, hutan, dan laut memiliki nama dan dianggap memiliki identitas. 

Viral yang Antimainstream

Kembali ke Indonesia dan Pandawara. Sebagai pengamat, saya cukup salut dengan anak-anak muda ini. Ide mereka begitu cemerlang dan memperlihatkan kepedulian di tengah dunia yang serba viral dengan hal-hal tidak penting.

Viralnya Pandawara menjadi oase di tengah fenomena kecanduan netizen terhadap hal-hal tidak penting.  Pandawara membelokkan sudut pandang bahwa viral dengan hal negatif pasti akan mengangkat pamor. 

Begitupun panjat sosial (pansos) dengan hal-hal tidak baik seperti perselingkuhan, joget Tiktok thirst trap dan gaslighting. Melalui Pandawara kita tersadar bahwa aksi positif harusnya lebih diutamakan karena memberikan dampak baik jangka panjang.

Cukup menenangkan juga melihat banyak juga masyarakat yang ternyata peduli dengan isu lingkungan, walaupun tidak semuanya. Konten Pandawara cukup memperlihatkan pada kita bahwa banyak warga yang peduli dan sadar akan lingkungan. 

Pandawara berhasil mengajak masyarakat untuk membersihkan sampah di lingkungan mereka dengan sukarela. Hanya bermodal kantong plastik dan sarung tangan. Bahkan lebih keren lagi, mereka ternyata juga mampu menyebarkan konten positif ini melalui sosial media dengan tujuan menciptakan Pandawara lain di seluruh Indonesia.

Kalau di daerah kami, Kalimantan Tengah, belum ada permasalahan sampah yang massif. Mungkin karena masyarakatnya belum terlalu banyak seperti di Pulau Jawa. Agak jarang di sini melihat gunungan sampah seperti yang ada di konten Pandawara atau melihat TPS bantar gebang melalui google maps/foto yang bagaikan gunung sampah yang tinggi menjulang.

Bencana lama yang terjadi di sini pun bukan karena sampah, tetapi deforestasi. Kebakaran hutan dan lahan, yang biasanya menyebabkan banjir bandang. 

Ironi tentang Bencana Alam di Indonesia

Ada yang lucu sempat viral beberapa waktu lalu, di mana bencana banjir yang melanda suatu desa di pulau Sumatera akibat deforestasi hutan untuk perkebunan. Area banjir malah menjadi tempat wisata dadakan. 

Banyak masyarakat yang menggunakan area banjir untuk berenang dan berjualan. Semuanya tertawa seakan-akan bencana itu sudah biasa, dan memang terjadi karena kehendak Tuhan dan bukan ulah manusia. 

Sepertinya, masyarakat Indonesia memang sangat tangguh dan siaga bencana.
Kita terbiasa dengan bencana bahkan melihatnya
sebagai anugerah, bukan malapetaka. 
Buktinya, mereka semua santai-santai saja ketika banjir bandang melanda desa mereka.

Bencana dianggap hal lumrah, dan dinikmati saja. Karena itu, isu lingkungan tidaklah dianggap sepenting itu. Tidak populer, tidak menjadi pertimbangan.

Media Online menjadi Pilihan Terbaik

Kenapa saya bilang isu lingkungan tidak popular, karena para aktivis lingkungan sering tidak terdengar suaranya di media mainstream. Suara mereka sepertinya sengaja dibungkam dan hanya bisa melalui media online

Padahal, sosial media memberikan efek yang luar biasa. Konten positif Pandawara berpengaruh besar dalam memperlihatkan bahwa isu lingkungan sangat penting dan harus menjadi perhatian di tahun 2024. 

Di daerah kami contohnya, ada yang namanya TPS 3R. TPS3R bertujuan untuk mengelola sampah rumah tangga dengan mengimplementasikan prinsip 3R yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (memanfaatkan kembali), dan Recycle (mendaur ulang). 

TPS3R dikelola masyarakat dan dinas terkait dan hasilnya juga kembali ke masyarakat. Kemudian ada gerakan bank sampah. Gerakan Bank Sampah adalah gerakan mengajak masyarakat untuk memilah sampah,  kemudian sampah terpilah ditabung di bank sampah. Sampah ini lalu dikonversi menjadi “Rupiah”.

Apa yang dilakukan Pandawara sebenarnya juga kritik halus yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah. Sampai saat ini legislator yang memang peduli lingkungan, pimpinan di pusat dan daerah yang memang peduli lingkungan belum terdengar suaranya. Mungkin karena isunya tidak popular di Indonesia. 

Padahal seperti yang saya utarakan tadi, tokoh politik yang peduli dengan lingkungan akan selalu menjadi pusat perhatian. Walaupun tidak terpilih, tapi mereka akan punya loyalist yang setia dan selalu mendukung mereka. Itu yang menjadi senjata mereka untuk terpilih kembali dalam pemilihan di negara mereka.

Perlu Diviralkan, bukan Dilupakan

Gerakan peduli lingkungan seperti yang dilakukan Pandawara memang perlu diviralkan agar inovasi seperti di atas bisa lahir dan menggerakkan masyarakat serta pemerintah.

Pandawara yang hanya berlima orang itu bisa membuat gerakan pioneer yang menggebrak kesadaran dan perubahan paradigma. Sama seperti kata Bung Karno “berikan aku sekian pemuda makan akan kuguncang dunia.” 

Kalau masyarakatnya satu visi dan misi dalam kesadaran kolektif
akan isu–isu lingkungan, niscaya permasalahan lingkungan akan terselesaikan. 
Perlu diubah cara konvensional tentang pengelolaan sampah.
Sampah tidak lagi dianggap sebagai suatu gangguan, dan bukan hanya akan menjadi momok,
tapi juga ada manfaat ekonominya. 

Apa yang Pandawara sudah lakukan begitu menggugah kita semua, bahwa kita bisa menyelamatkan bumi kita dengan sederhana. Memang dampaknya tidak serta merta kita rasakan, namun akan sangat berguna, bukan hanya bagi kita sekarang tapi generasi kedepannya.

Biarlah, kita lihat saja seperti apa nanti efek Pandawara ini. apakah akan terus memberikan perubahan, atau hanya sementara saja. Viral kemudian dilupakan. 

Karena kita tahu masyarakat kita termasuk saya, sering lupa.

Lamandau, 2024.

2
0
David Kusuma ♥ Associate Writer

David Kusuma ♥ Associate Writer

Author

Pecinta anak dan istri. Istri satu anak dua. Ig @davidmahiang87

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post