Pak Doktor itu Bernama Shahrukh Khan

by | Jul 21, 2020 | Sosok | 0 comments

Sampai saat ini, saya belum bisa menyukai film-film Bollywood. Karena itu, mohon maaf buat para penyukanya. Jadinya, saya tak bisa menyebutkan dan meyakini judul film India secara spesifik sebagai film yang sepenuhnya saya ketahui –untuk, katakanlah, direviu. Dalam pandangan saya, film India itu aneh dan penuh kejanggalan: mulai dari bangun cerita, ekspresi akting, dan bagaimana mereka bertutur.

Dari skenarionya, film India ya begitu-begitu saja. Kontras antara si miskin-kaya, baik hati – jahat, buruk rupa – rupawan, begitu mudah ditemukan. Jembatan dan ramuan konflik dalam alur ceritanya tak akan jauh dari hal-hal utopia. Dalam menjelaskan dan bicara, gaya dan gesture mereka dengan menggerak-gerakkan tangan dan mimik muka yang berlebihan kadang malah bikin mangkel ati saja.  

Yang lebih mengesalkan, dari sekian banyak film India yang selintas saya lihat, tarian selalu menjadi bagian dari film. Mungkin, tarian malah menjadi semacam kewajiban dari sebuah film India.

Rasanya, bintang film India wajib bisa menari, baik aktris maupun aktornya. Untuk segala momen cerita, mereka wajib menari untuk merayakannya. Sedih ya menari, biasa juga menari, apalagi sedang dalam suka cita.

Yang suka bikin bengong –dalam skenario romansa, misalnya, para artis itu berjoget habis-habisan tiada tara. Saking intensnya, semak belukar dan pepohonan kadang menjadi salah satu objek duet tarian mereka, seolah mereka adalah pasangan hidup yang dapat diajak menari sesuka hati.

Sementara itu, pasangan sesungguhnya –yang adalah makhluk hidup juga, tengah menari nun jauh di sana. Kadang saya berpikir dan bertanya secara berlebihan, apa sebenarnya daya tarik flora di India hingga mampu membuat para artis terlihat seakan lupa ingatan memuja mereka dalam tari-tarian.

Menemukan SRK

Pemahaman saya terhadap film India sepenuhnya dicetak televisi di tanah air, sepenuhnya sesuai selera produser dan aba-aba pengiklan. Kondisi seperti ini bisa menjadikan penilaian yang timpang, dan saya sadari itu.

Kesimpulan sementara dan sangat sembrono: para produser dan para pengiklan itu penggemar mimpi di siang bolong dalam drama hitam putih hidup, dan mereka sangat menyukai joget dan tarian untuk mengkhidmati apapun itu.

Waktu berjalan. Penilaian terhadap film India dan aktornya mulai bergeser saat melihat film Slumdog Millionaire dan Hotel Mumbai. Meski bukan produksi Bollywood, film yang dibintangi Dev Patel itu mendorong saya untuk melihat aktor dan perfilman India lebih jauh.

Ada juga film Chennai Express-nya Shakh Rukh Khan yang menarik perhatian saya, setelah banyak disebut pengamat film sebagai film India yang bagus. Secara global, artis mereka juga makin agresif tampil dan mendapat pengakuan. Sebutlah misalnya Priyanka Chopra, yang belakangan banyak terlibat dalam film Hollywood.

Di antara itu, saya lebih mengenal Shah Rukh Khan lewat performa dan afirmasinya dari sudut lain. Sebelumnya, saya memang berpikir dia aktor biasa saja, dalam artian figur publik sebagaimana aktor film India lainnya.

Jika di India, lagi-lagi sesuai prasangka saya, perfilman mereka diwakili dalam gemerlap dan kekekaran badan pada Salman Khan, Hritik Roshan, Amir Khan, Ajay Devgan, dan aktor lainnya. Maka, setidaknya pada Shah Rukh Khan, saya meyakini anggapan menilai mereka hanya dari kekekaran badan dan tarian aduhai itu tidak tepat.

Pada Shakh Rukh Khan (SRK), saya tahu tumbuhnya kabajikan dan kata-kata indah dan kuat yang tetap terjaga, mekar, dan disemai dalam gemerlap dan mimpi siang bolong yang ditawarkan Bollywood. Saya menemukan keyakinan itu dalam pidatonya yang bernas dan kuat di Edinburgh University pada 2015 dan TED Talk pada 2017.

Bisa jadi, masih banyak afirmasi pandangan-pandangannya tentang hidup dan apa yang mesti dicapai di dalamnya dalam bentuk pidato atau semacamnya dari SRK. Namun, pada dua pidato SRK itu saya mencukupkan diri untuk menilainya dari sisi yang lain. Semoga saya tidak berlebihan dalam memberikan penilaian tentang SRK dengan bahan terbatas.  

Hadapi dan Nikmati Hidup

Di Edinburgh University, SRK tidak sedang melakukan promo filmnya. SRK memberikan sambutan sebagai Doctor (Honoris Causa) dalam sebuah kuliah umum di depan civitas academica Universitas Edinburgh. Diberikan penghargaan Doktoral oleh sebuah lembaga pendidikan prestisius,  dengan sendirinya sudah menjelaskan kontribusi SRK dalam bidang keilmuan dan kemanusiaan.

Dalam pidatonya, SRK banyak mengambil hikmah dan kebajikan dari film-film yang dibintanginya. Dengan bahasa Inggris yang fasih  dan mengalir, saya tahu SRK tidak tengah melafalkan apa yang dihafalkannya sebagai teks pidato.

Ia juga tidak sedang membaca ulang script skenario film yang mungkin dengan mudah disampaikan ulang olehnya. SRK juga bukan sedang meng-casting diri sebagai motivator dan jagoan how-to dalam hidup. SRK berkata dengan tulus dan jujur.

Pidatonya, entah di Edinburgh maupun TED Talk di Kanada, adalah amalgamasi spektrum hidup yang berasal dari kedalaman nilai spiritual India dan konteks selebritas Bollywood, dengan tema utama tentang pelajaran hidup dan apa yang kita perjuangkan di dalamnya.

SRK mengemas pidatonya dengan campuran atas hikmah yang dipetiknya –di antaranya dari film “Deewana”, “Dil Se”, “Kal Ho Na Ho”,  “Kuch Kuch Ho Ta Hai”, serta film-film lainnya bersama nilai etis dan spiritualitas India. 

Perjalanan hidup adalah sebuah upaya yang sangat panjang jika mengenai jarak tempuh, berupa taman keindahan saat menikmati pesonanya, dan semangat untuk terus tegak ketika jatuh. Orang kadang lebih sering menemui hal-hal yang di luar keinginan dan kehendak diri dalam menjalani perjalanan itu.

Di sinilah pilihan untuk menyesali perjalanan tersebut, kadang dipilih orang dengan tidak memberi penghargaan yang selayaknya terhadap apa yang sudah ditempuh. Padahal, “Hidup penuh dengan keajaiban”, kata SRK. 

“Apa yang menjadi keajaiban itu adalah hal-hal kecil hingga besar yang tidak pernah kita sadari sebagai karunia, dan selalu lupa untuk kita hormati”, tuturnya.

“Jika sedang jatuh, orang laksana masuk dalam kotak gelap”, imbuh SRK. “Namun demikian, jangan pernah menyerahkan hidup untuk diam dalam kotak itu. Jangan biarkan kotak tersebut membatasi (semangat hidup)”, paparnya. Dalam gelap itu, rasa takut pasti datang menyertai.

“Takut gagal, takut sendiri, takut tidak sukses, ada di antaranya. Untuk semua itu, tak ada nilai lain yang dibutuhkan kecuali keberanian. Keberanian untuk keluar dari kotak gelap itu memastikan segala sesuatunya akan baik-baik saja. Namun, jika rasa takut yang menjadi pilihan, maka yang kita bayangkan salah akan menjadi salah”, pungkas SRK.

SRK: Nilai Terdalam Kemanusiaan

Lewat orasinya, Shakh Rukh Khan, seorang aktor, muslim, penyanyi, dan penari Hindi ternama itu seperti ingin mengatakan bahwa nilai terdalam dari kemanusiaan dan berbagai perjuangan di dalamnya adalah berani dan terus berusaha.

Kalaupun ada kegagalan di dalamnya, nilai utamanya adalah usaha dan berani yang tumbuh. Hidup, dalam spektrum  itu, hanya mengenai membela usaha dan berani berjuang, karena gagal dan sukses bukan kita penentunya dan tidak usah risau dengan ukuran-ukuran manusiawinya.

Dalam konteks lain, saya melihat orasi SRK pada titik ini adalah semacam mind games. SRK sadar siapa yang ada di depannya saat dia berpidato saat itu, juga banyak orang yang akan mendengar atau melihat setelahnya dalam bentuk rekaman.

Orang-orang itu bukan tidak tahu atau baru mendengar hal yang disampaikan oleh SRK. Ia hanya masuk dari sisi lain: menggedor bawah sadar orang dengan sebuah pidato yang keren dan penuh kepercayaan diri.

Saya meyakini, kemampuan SRK tidak datang dengan tiba-tiba atau muncul dengan sendirinya. Sebagai laku personal dalam memandang kehidupan, sukses-gagal dalam menjalaninya, dan ketenaran yang direngkuhnya, ia hadir dan berinteraksi dengan sekitarnya.

Epilog: Menyimpulkan dan Mempertanyakan

Konteks sosial seperti ini sejalan dengan makalah menarik berjudul Religion-Based Decision Making in Indian Multinationals: A Multi-faith Study of Ethical Virtues and Mindsets (2017) yang ditulis oleh Christopher Chan dan Subramaniam Ananthram –yang menyebutkan bahwa nilai-nilai etis yang berasal dari ajaran spiritual India mempengaruhi secara mendalam pada diri para eksekutif korporasi dan perusahaan terkemuka India.  

Pengaruh nilai spiritual India disebutkan mendorong para eksekutif dan korporasi terkemuka India untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, empati, keadilan, keterbukaan, kesadaran diri, transendensi, kebajikan, dan nilai mendasar lainnya. Afirmasi dan penilaian Chan dan Ananthram mungkin melangit dan penuh bunga.

Akan tetapi, sudut kritis akhirnya terpancing dalam sebentuk pertanyaan semacam:

Jika nilai-nilai etis dan kebajikan
telah terinternalisasi sedemikian jauh dalam konstruksi sosial masyakat India, bahkan dan terutama dalam
jajaran eksekutif dan perusahaan terkemuka India, mengapa isu sosial – politik – agama yang berbau ketimpangan
dan penindasan terhadap
minoritas muslim masih marak terjadi
hingga hari ini di negeri
itu?

Jika penghargaan terhadap kemanusiaan
adalah sesuatu yang asali dan fundamental di India, serta
apresiasi dan laku publik juga tinggi di sana,
mengapa tindakan pemerkosaan dan
pelecehan seksual terhadap perempuan
demikian tinggi
di India?

Ah, sebentar ya. Untuk sementara, saya ingin menyimpan dulu pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Jika memungkinkan, semoga nantinya ada kesempatan menulis tema terkait. Saat ini, saya hanya ingin menikmati kepedean SRK dan bagaimana nilai dan kebajikan India mengalir deras dari orasi-orasinya.

Namun, maaf, tidak untuk tariannya.

5
1
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post