Menyoal Pendidikan Agama Tanpa Pembahasan Perubahan Iklim

by | May 19, 2024 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Saat ini, tidak banyak yang bisa diharapkan dari regulasi yang diterbitkan pemerintah, jika konteksnya adalah perbincangan tentang pendidikan agama dalam kaitannya dengan perubahan iklim. 

Regulasi terkini yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek terkait Capaian Pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka sama sekali tidak menyebut perubahan iklim di dalamnya. 

Dengan tidak menjadikan perubahan iklim sebagai topik bahasan, sejatinya Capaian Pembelajaran Pendidikan Agama mereduksi perubahan iklim semata sebagai persoalan teknis yang tidak menjadikan perihal etis dan moral sebagai pertimbangan. 

Mengalami satu kali perubahan, regulasi Capaian Pembelajaran Pendidikan Agama sesungguhnya memiliki kesempatan untuk melakukan revisi dengan memasukkan perubahan iklim sebagai topik bahasan. Nyatanya, kesempatan ini dilewatkan.  

Berdasar fakta ini, sesuai regulasi yang ada, hampir tidak ada peluang bagi guru dan siswa untuk membahas perubahan iklim dari perspektif etis dan moral. 

Dalam Kurikulum Merdeka, perkara perubahan iklim dengan segala dampak yang ditimbulkan tampaknya tidak memerlukan pertimbangan keduanya, semata karena perubahan iklim tidak disebut dalam ranah pendidikan agama.  

Dengan kondisi demikian, para siswa berkemungkinan tidak mendapatkan pengetahuan tentang perubahan iklim yang disertai dengan diskusi tentang etika dan moral di dalamnya. 

Mereka dimungkinkan tahu perubahan iklim secara teknis, karena perihal ini disebut di berbagai mata pelajaran umum. Namun demikian, mereka tidak mendapatkannya saat pembahasan tentang pendidikan agama dilangsungkan di kelas-kelas. 

Padahal, pendidikan agama sejatinya menjadikan siswa mampu memiliki pertimbangan tentang baik-buruk, pantas tidak pantas, dan semua yang berkaitan dengan pertimbangan peri kehidupan dan kemanusiaan. 

Di sisi lain, pertimbangan etis dan moral dalam perubahan iklim niscaya menjadi sebuah keharusan karena agama pada dasarnya menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan dengan intens. 

Pesan agama dan peran pentingnya

Perintah untuk menjaga dan merawat bumi serta melindungi hewan jelas ditegaskan Islam, sebagaimana terdapat pada Surat Al A’raf ayat 56 yang artinya: 

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepadanya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Hal demikian sebagaimana pentingnya cinta dan kasih dalam merawat ciptaan-Nya dalam iman Kristiani (Pullela, 2007) yang sejalan dengan pesan Sang Buddha tentang pedoman etika lingkungan hidup dan prinsip kesederhanaan (Millais, 2006).  

Begitu juga dalam agama Hindu, umatnya diperintahkan untuk “menjaga keseimbangan alam” seperti tercermin dalam Manu Smriti, ayat 5:51 yang artinya: 

“Tidak boleh berkorban dengan menyakiti bumi, dan juga tidak boleh mengabaikannya sendiri. Memuja seribu dewa tidak dapat menggantikan pemujaan terhadap bumi.” 

Masih banyak lagi ajaran dari kitab suci agama-agama lainnya yang mengajarkan pentingnya menjaga alam dengan arif dan bijaksana. Pendidikan agama dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim. 

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, dengan mengangkat sebuah studi dari University of California, Berkeley pada tahun 2022,  menunjukkan bahwa program pendidikan agama yang terintegrasi dengan perubahan iklim dapat efektif meningkatkan kesadaran siswa dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan nyata. 

Studi tersebut melibatkan 100 peserta yang mengikuti program pendidikan agama dan perubahan iklim selama 12 minggu. Hasil studi menunjukkan bahwa peserta program tersebut mengalami peningkatan kesadaran akan urgensi perubahan iklim sebesar 25% dan peningkatan niat untuk mengambil tindakan nyata sebesar 15%.

Pendidikan agama, semua agama,  sesungguhnya bukan hanya tentang konsep relasi ketuhanan dan manusia. Lebih dari itu, pendidikan agama sesungguhnya memberi penyadaran yang utuh tentang hubungan manusia dengan alam. 

Keterkaitan seperti ini mampu mendorong siswa untuk membangun dalam dirinya perangkat pertimbangan etis dan moralitas dalam berinteraksi dengan alam. Idealnya, siswa sedari dini dibiasakan untuk memahami perubahan iklim dari perspektif pendidikan agama. 

Dengan itu, siswa diberi bekal yang memadai untuk tidak ugal-ugalan dalam memperlakukan alam dan lingkungan. Pendidikan agama menjadikan siswa berinteraksi dengan alam dan lingkungan dalam semangat mengasihi. 

Tantangan dan langkah nyata

Kesadaran akan pentingnya perubahan iklim dengan topangan nilai-nilai dalam pendidikan agama dapat membekali siswa untuk kelak menyongsong masa depan dengan tanggung jawab lingkungan yang harus dipikul. 

Masa depan tersebut, hingga saat ini, masih memakai dilema economic growth yang cenderung menutup mata akan penambahan jumlah emisi karbon. Kerangka berpikir ekonomi saat ini didominasi oleh perspektif antroposentris dan pertumbuhan ekonomi untuk mengikat keseluruhan tujuan pembangunan. 

Antroposentrisme meletakkan manusia sebagai pusat dan alam sebagai objeknya. Cara kerja ide ini adalah menjadikan manusia sebagai tuan bagi alam, baik secara biologis, mental, maupun moral. 

Alam hanya dianggap penting sejauh ia memberi manfaat bagi kepentingan manusia. Eksploitasi habis-habisan terhadap alam dan lingkungan merupakan salah satu contohnya.               

Penopang model ekonomi hari ini adalah industri penyumbang emisi karbon. Rumus dasarnya dapat dilihat dari gambaran sederhana, yakni makin meningkat statistik pertumbuhan ekonomi, maka makin meningkat pula jumlah emisi karbon yang diproduksi (Walhi, 2021). 

Inilah salah satu kontradiksi dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang melahirkan perlunya pemahaman terhadap keadilan ekologis (ecological justice).  Keadilan seperti ini tidak cukup disuarakan oleh definisi teknis sebagaimana terdapat pada pelajaran umum. 

Karenanya, pendidikan agama, dalam kaitannya dengan perubahan iklim, mengemban tugas penting disebabkan beberapa hal. Pertama, pendidikan agama harus membuka diri terhadap dinamika perkembangan perubahan iklim. Topik yang dikembangkan dalam pendidikan agama harus memiliki relevansi dengan kondisi mutakhir. 

Bersiap untuk Indonesia

Gelombang panas (heatwaves) yang melanda negara-negara tetangga saat ini (India, Thailand, Bangladesh, Filipina, dan Myanmar) tidak bisa dilepaskan dari dampak pemanasan global dan perubahan iklim, bukan hanya sebagai dampak dari fenomena El Nino. 

Bukan mustahil, kondisi serupa akan melanda kawasan Indonesia. Dalam kasus ini, pendidikan agama dapat saja menjadikan fenomena di beberapa negara tersebut sebagai informasi tambahan dan contoh nyata dampak perubahan iklim.          

Kedua, pendidikan agama harus tetap menyuarakan perubahan iklim sebagai topik bahasan. Topik perubahan iklim sebagai sebuah urgensi kerap disuarakan berbagai tokoh. Sebagai contoh, Imam Besar Al Azhar dan Paus Fransiskus kerap menyuarakan pentingnya kesadaran tentang perubahan iklim dalam berbagai kesempatan. 

Berbagai elemen dan konsensus juga secara terang menjadikan perubahan iklim sebagai perhatian utama, semisal panel ilmuwan lingkungan, pakar perubahan iklim dan tokoh agama Islam seluruh dunia yang menyelenggarakan simposium yang melahirkan Islamic Declaration on Global Climate Change (IDGCC) pada tahun 2015. 

Salah satu afirmasi penting dalam deklarasi ini adalah perlunya peran pendidikan dalam turut mengatasi perubahan iklim, di samping ketaatan terhadap regulasi perubahan iklim.         

Menyusul regulasi tentang Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka, Permendikbudristek Nomor 12 tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Menengah telah diterbitkan. 

Pemerintah menetapkan Kurikulum Merdeka secara nasional guna memberikan kepastian arah kebijakan pendidikan. Sekitar 300 ribu satuan pendidikan telah menerapkan kurikulum merdeka. 

Data Asesmen Nasional dan Rapor Nasional membangun klaim bahwa satuan pendidikan penyelenggara Kurikulum Merdeka mengalami peningkatan literasi, numerasi, inklusivitas, dan kualitas pembelajaran. 

Namun demikian, kondisi capaian pembelajaran pendidikan agama dalam kaitannya dengan perubahan iklim sudah terlanjur diundangkan dan tidak mengalami revisi tentangnya.    

Tantangan bagi para guru agama

Oleh karenanya, para guru, khususnya guru agama, perlu memberi ruang eksplorasi untuk menjadikan perubahan iklim sebagai bahasan. Para siswa perlu dikenalkan perubahan iklim sesuai dengan perkembangan dan fase mereka. 

Guru agama bisa menjadikan buku-buku pengayaan sebagai rujukan. Ini adalah langkah untuk adaptasi terhadap kurikulum merdeka yang mengedepankan literasi yang relevan dengan perkembangan zaman, termasuk literasi digital, literasi kesehatan, dan literasi perubahan iklim sebagaimana yang disuarakan oleh Kemendikbudristek. 

Para guru pendidikan agama harus berani melintas batas, melampaui batas administratif capaian pembelajaran yang digariskan untuk menyuarakan perubahan iklim di batas praktik baik (best practices) dengan mengangkat beragam fakta dan contoh yang ada. 

Tidak akan ada perihal perubahan iklim jika merujuk capaian pembelajaran, namun guru dapat tetap mengangkatnya sebagai topik sebagai urgensi. Pendidikan agama dapat menyuarakan pesan-pesan agama untuk menjaga dan merawat alam dan lingkungan serta bersikap seimbang (moderat) yang mengedepankan keadilan ekologis kepadanya. 

0
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post