Menyibak Fenomena Mediokrasi Para Pegawai Birokrasi: Antara Hustle Culture dan Quiet Quitting

by | May 1, 2023 | Birokrasi Berdaya | 4 comments

two men and four women meeting in office

Setelah diskusi di selasar masjid kantor bersama Ikhsan, Mas Goen, dan Bang Aswar, saya jadi semakin penasaran mengenai apa yang menjadi penyebab munculnya fenomena mediokrasi di kalangan pegawai birokrasi. 

Apakah murni karena beban pekerjaan atau memang tren yang sedang berkembang dewasa ini. Sayangnya, kali ini saya tak bisa membahas bersama para shohibul selasar. Overthinking ini harus saya selesaikan di malam Idul Fitri, bersama dengan kopi dan kue nastar. 

Fenomena Budaya Kerja Milenial 

Beberapa tahun belakangan, telah terjadi perubahan yang signifikan terkait dengan fenomena dalam dunia kerja. 

Hal ini didorong oleh perubahan teknologi yang sangat masif pasca pandemi Covid-19, serta adanya perubahan demografi yang saat ini didominasi oleh generasi milenial. 

Kondisi ini turut memengaruhi tren atau budaya kerja yang ada di lingkungan kerja. Sebut saja ada hustle culture dan quiet quitting.

Budaya kerja seperti hustle culture menjadi tren di kalangan anak muda. Secara sederhana, hustle culture dapat dikatakan sebagai suatu kondisi bekerja adalah sebuah gaya hidup (lifestyle). Tidak ada hari tanpa mengerahkan kemampuan terbaik untuk bekerja. Semakin banyak pekerjaan, semakin membuat seseorang semakin tertantang. 

Para penganut hustle culture memahami kata “istirahat” atau “liburan” adalah sebuah kata kerja. Jadi saat istirahat ataupun sedang liburan pun masih digunakan untuk memikirkan pekerjaan.

Orang-orang seperti ini seringkali memotivasi dengan kata-kata “no pain, no gain”. 

Ada juga yang mengatakan “my work is my worth”. Motivasi yang seperti ini mendorong para penganut hustle culture memercayai bahwa dengan bekerja lebih banyak akan mendatangkan kesuksesan. 

Ditambah, akses informasi yang saat ini sudah sangat mudah. Anak-anak muda kini mudah mencari tahu serta mengenali berbagai tokoh muda yang memiliki kekayaan jumbo. 

Tokoh-tokoh muda ini menjadi sebuah inspirasi bagi para kawula muda untuk menjadi kaya. Mengejar cita-cita untuk memiliki financial freedom di usia muda. Caranya, dengan bekerja ekstra.

Belum lagi glorifikasi yang ada di media sosial dan di lingkungan kerja. Setiap hari kita disuguhkan postingan yang memperlihatkan orang sibuk dengan pekerjaannya. 

Saat berada di lingkungan yang hustle culture pun kita merasa bersalah bila pulang on time, tidak ikut lembur, atau sering meninggalkan meja kerja untuk ke toilet. 

Salahkah para penganut hustle culture? Tidak juga. 

Namun, konsekuensi dari semakin banyaknya waktu bekerja adalah semakin berkurangnya waktu untuk istirahat dan waktu untuk kehidupan pribadi. 

Tidak jarang, perilaku hustle culture ini turut menimbulkan efek negatif bagi kesehatan fisik dan mental, seperti kelelahan dan juga burnout.

Quiet Quitting: Antitesis dari Hustle Culture

Di sisi lain, dengan semakin meningkatnya kesadaran terhadap kesehatan mental, muncul konsep kerja yang menjadi antitesis dari hustle culture, yaitu quiet quitting

Melansir dari berbagai sumber, quiet quitting merupakan sebuah istilah yang mengacu pada sikap atau tindakan seseorang atau pegawai untuk memenuhi persyaratan atau ekspektasi minimum dari sebuah tugas atau pekerjaan, dan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga, ataupun dedikasi kepada perusahaan. 

Dengan kata lain, quiet quitting adalah sikap seseorang yang berhenti melakukan sesuatu yang ekstra dalam pekerjaannya. Datang dan pulang sesuai dengan jam kantor, menghindari lembur, serta kegiatan kantor yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. 

Ia hanya melakukan apa yang diperlukan, kemudian melanjutkan kehidupan di luar jam kerja. Tujuannya, untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Mewujudkan work-life balance.

Konon, bagi generasi milenial maupun generasi Z, beban pekerjaan yang menumpuk dapat mengganggu kesehatan. Bertambahnya pendapatan akan terasa percuma bila diikuti oleh menurunnya kesehatan fisik dan mental.

Praktik quiet quitting ini memang memiliki sisi positif yaitu dapat memberi kesempatan bagi pegawai untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dengan kehidupan di luar pekerjaan. 

Selesai jam kerja bisa dimanfaatkan untuk menjalani hobi, mempelajari skill-skill baru, ataupun berkumpul dengan keluarga serta teman. 

Namun demikian, quiet quitting juga memiliki berdampak negatif bagi lingkungan kerja yaitu menghambat ritme kerja tim atau organisasi. 

Bisa jadi akan ada rekan kerja lainnya yang mendapatkan limpahan pekerjaan dari pekerja yang menerapkan quiet quitting. Dan tidak menutup kemungkinan, bila itu terjadi terus menerus, akan terjadi ketegangan di antara anggota tim. 

Selain itu, perilaku quiet quitting bisa saja berpotensi terhadap peluang karir bagi pegawai, karena pimpinan atau atasan tidak melihat adanya suatu kinerja yang luar biasa dari sang pegawai. 

PNS Indonesia: Hustle Culture atau Quiet Quitting?

Bagaimana dengan di instansi pemerintah? Per Desember 2022, BKN merilis bahwa komposisi ASN berdasarkan generasinya, ASN di Indonesia terdiri atas 48% generasi Y dan 5% generasi Z. 

Lalu, apakah dominan yang menganut hustle culture atau banyak yang masuk sebagai anggota tim quiet quitting?    

Sependek pengetahuan dan pengamatan saya, ketimpangan beban pekerjaan turut mempengaruhi sikap seseorang ASN untuk memilih menjadi medioker. Beban pekerjaan yang semakin banyak serta penghargaan yang tidak sesuai, turut mempengaruhi motivasi dan engagement para PNS terhadap tempatnya bekerja. 

Para pegawai tidak lagi terlalu berekspektasi yang tinggi, sehingga memunculkan sikap bekerja seperlunya saja. Bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan. Masuk dan pulang kerja tepat waktu, serta tidak mengambil peran atau inisiatif di luar jam kerja.

Orientasi pegawai saat ini juga tidak lagi tertuju untuk mengejar karir sebagai struktural. Pasca kebijakan Penyetaraan Jabatan dari Jabatan Administrasi ke Jabatan Fungsional, banyak pegawai yang menyadari bahwa peningkatan karir juga bisa ditempuh melalui jalur fungsional. 

Dari Fungsional jenjang Ahli Pertama, kemudian ke jenjang Ahli Muda, lalu ke jenjang Ahli Madya, sampai ke jenjang Ahli Utama.

Dampaknya, muncul sikap JF yang hanya asyik mengejar angka kreditnya sendiri, tanpa ingin terlibat dalam pekerjaan kantor yang tidak berkaitan dengan kenaikan angka kredit.   

Namun demikian, tidak semua PNS bekerja santai dan merasa cuek terhadap pekerjaannya. 

Beban Lebih Berat vs Gabut

Dalam Rakornas Kepegawaian tahun 2022 lalu, Kepala BKN menyatakan bahwa berdasarkan dari hasil survey, pada saat WFH di masa pandemi, sebanyak 30% PNS merasa pekerjaan mereka terasa lebih berat (daripada sebelumnya). 

Di sisi lain, juga ada 30% PNS tidak melakukan apa-apa pada saat WFH, alias gabut

Masih banyak kita jumpai PNS yang flexing pekerjaan di media sosial. Datang ke kantor jam 6 pagi, diposting. Pulang kantor jam 10 malam, diposting. Rapat dengan kementerian atau lembaga lain, diposting. 

Maraton rapat dengan pejabat eselon 1 dan 2, diposting. Ikut pelatihan, diposting. Sarapan di hotel saat RLK, diposting. Foto awan dari dalam pesawat saat perjalanan dinas, diposting. Sedang olahraga, diposting. Sedang presentasi, diposting.

Berbagai postingan tersebut, bisa saja dilakukan sebagai upaya validasi bahwa PNS juga punya hustle culture. Lebih dalam lagi, yaitu bertujuan untuk mencoba meruntuhkan stigma bahwa ASN adalah pekerjaan yang santai dan monoton. 

Epilog: Antara Hak dan Kewajiban ASN

PNS bukan hanya pegawai yang bekerja di kantor kelurahan. Buka jam 8 pagi, tutup jam 4 sore. Banyak PNS yang bekerja di balik layar, artinya tidak bekerja di bidang yang memberikan pelayanan secara langsung kepada masyarakat. 

Di antara ini, banyak juga PNS yang pulang dengan membawa pekerjaannya. Ada juga yang bekerja sampai lupa makan siang. Padahal, tujuan dari bekerja salah satunya adalah untuk mencari makan. Tetapi karena kesibukan, yang terjadi adalah waktu kerja mengganggu waktu makan. 

Sistem kerja seperti work from home yang terjadi selama masa pandemi turut berdampak pada tidak adanya pembatasan antara jam kerja serta waktu di luar jam kerja. Alhasil, pasca pandemi work from home berubah menjadi work from anywhere and anytime.   

Memilih profesi sebagai PNS, tidaklah berbeda dengan para pegawai di sektor lainnya. Memiliki hak pendapatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, memiliki hak cuti, dan memiliki jam kerja. 

Namun, memilih untuk tidak berkinerja, hanyalah sebuah blunder yang bisa menjadi catatan dalam perjalanan karir. 

Di tengah tuntutan pejabat politik, atasan serta masyarakat, memang sudah sebaiknya PNS mengerahkan kinerja terbaiknya. Sebab, tuntutan akan kinerja PNS untuk pelayanan publik tidak pernah berkurang.

6
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

4 Comments

  1. Avatar

    Masyaallah tulisannya renyah dan berisi.. berkah selalu mas Oki dan terus menulis👍

    Reply
    • Avatar

      Alhamdulillah.. Terima kasih ibu ayu.. semoga sehat selalu, bu.

      Reply
  2. Avatar

    Mantap sekali ulasannya.. nuhun

    Reply
    • Avatar

      Alhamdulillah. Terima kasih sudah berkenan membaca…

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post