Desa, atau apapun sebutan lainnya di berbagai daerah nusantara, telah hadir jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Negara menghormati keberadaan tersebut dan memberikan jaminan keberlangsungan Pemerintahan Desa dalam kerangka dan koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat (2) disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia, telah ditetapkan beberapa Undang-undang (UU) tentang Desa, yaitu:
- UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah,
- UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
- UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
- UU Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia,
- UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
- UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
- UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
- UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
- terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun desa maka dibentuklah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes), walaupun dalam kenyataannya sebagian regulasi tentang desa justru lebih banyak diatur oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Permasalahan Kontemporer dan Empiris UU Desa
Tanpa terasa UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa akan berumur 10 tahun, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2014 nanti. Dalam usia 10 tahun tentunya sudah cukup banyak hal yang perlu disempurnakan baik dari segi regulasi, struktur organisasi, rekrutmen SDM dan tata kelola kenegaraan desa.
Ada beberapa persoalan kontemporer dan empiris yang menjadi persoalan dalam tataran mikro namun harus diselesaikan secara makro dalam UU 6 tahun 2014 tentang Desa yang kabarnya sedang dalam proses revisi di DPR RI.
Persoalan-persoalan tersebut antara lain:
I. Reformulasi Rekrutmen Kepala Desa
1) e-Voting Pilkades
Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak secara bergelombang maksimal 3 kali dalam periodesasi Kepala Daerah. Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa ini cukup menguras tenaga semua pihak baik Pemerintahan Desa, Pemerintahan Daerah maupun pihak otoritas keamanan.
Secara anggaran juga sangat menguras anggaran APBD Pemerintah Daerah maupun APBDes Pemerintah Desa. Belum lagi tahapan waktu yang hampir memakan setengah dari masa pelaksanaan anggaran alias kurang lebih 6 bulan tentu akan sangat mengganggu pelaksanaan pembangunan Desa.
Kondisi ini harus diubah dalam kerangka berpikir efisiensi baik efisiensi anggaran, efisiensi waktu, efisiensi pembangunan dan efisiensi pengamanan. Harus dilakukan digitalisasi pelaksanaan pemilihan Kepala Desa dari metode konvensional menjadi metode digital alias e-voting.
Dari segi teknologi tidak terlalu sulit. Kemendes dan Kemendagri bisa bekerjasama dengan salah satu perguruan tinggi yang memiliki Fakultas IT untuk mendesain aplikasi e-voting tersebut.
Sebagai pilot project aplikasi ini dapat diujicobakan pada salah satu desa dengan tingkat kesiapan data kependudukan paling lengkap. Namun hal ini baru bisa diujicobakan setelah pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak.
Untuk persiapan anggaran aplikasi e-voting pemilihan Kepala Desa sudah bisa dipikirkan mulai dari sekarang. Ilmu dan teknologi harus diterapkan ke masyarakat, jangan hanya terkungkung di balik tembok dan menara kampus.
2) Uji Kompetensi
Harus diakui bahwa jabatan Kepala Desa adalah jabatan politis tingkat desa. Tidak diperlukan kompetensi akademik yang terlalu tinggi untuk menduduki jabatan tersebut.
Namun di sisi lain, regulasi dan tata kelola Pemerintahan Desa semakin lama semakin rumit untuk dimengerti oleh kalangan masyarakat berpendidikan rendah.
Karenanya, perlu dipikirkan untuk meningkatkan kualitas SDM Kepala Desa tanpa harus membuat kriteria yang diskriminatif terhadap persyaratan menjadi calon Kepala Desa.
Metode Uji Kompetensi bisa menjadi metode alternatif untuk menjaring bakal calon Kepala Desa terbaik. Uji kompetensi cukup dilaksanakan selama setengah jam dengan jumlah soal 30 soal bersifat pilihan ganda dan bersifat open book dengan materi Peraturan Pemerintahan Desa.
Uji kompetensi menghasilkan 5 calon terbaik untuk bertarung di pemilihan Kepala Desa. Uji kompetensi ini bisa meminimalisir keampuhan politik uang.
Mengapa minat kalangan terdidik masih rendah untuk menjadi Kepala di Desa masing-masing, salah satunya karena masih saktinya politik uang dalam memenangkan pemilihan Kepala Desa. Dengan adanya Uji Kompetensi maka akan memberikan harapan kepada kalangan terdidik di desa untuk optimis bisa memenangkan kompetisi pemilihan Kepala Desa.
3) Diklat Awal Jabatan
Pasca pemilihan dan sebelum dilaksanakan pelantikan, selayaknya Kepala Desa terpilih menjalani pendidikan dan pelatihan awal masa jabatan selama 1 minggu secara terisolasi. Tujuannya agar Kepala Desa terpilih memeroleh wawasan dan keterampilan tentang kepemimpinan dan manajemen Pemerintahan Desa.
II. Reformulasi Struktur Organisasi
1) Sekretariat Desa
Sebagai sebuah pemerintahan maka sudah seharusnya Pemerintah Desa memiliki staf permanen.
Apabila dipandang PNS masih sulit untuk direalisasikan, paling tidak Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan masa ikatan kerja yang sama dengan periodesasi Kepala Desa bisa direalisasikan.
Ketiadaan staf permanen ini sangat terasa pada Sekretariat Desa yang mengurusi anggaran, aset, dan pertanggungjawaban/audit.
Apabila dimungkinkan maka Kepala Daerah harus membantu Kepala Desa dengan menugaskan PNS di lingkungannya untuk menjadi Sekretaris Desa.
Hal ini supaya penatausahaan Pemerintahan Desa bisa ditangani dengan baik dan tidak menjadi bulan-bulanan kelompok masyarakat dengan membuat pengaduan kepada Aparat Penegak Hukum tentang dugaan penyimpangan keuangan dan pembangunan desa.
2) Selektivitas Perangkat Desa
Dari regulasi tentang keuangan desa, pembangunan desa, aset desa dan pengawasan desa sangat terasa betapa diperlukannya kualitas Perangkat Desa yang dibutuhkan setara kemampuannya dengan PNS.
Oleh karena itu, walaupun pengaturan kewajiban seleksi Perangkat Desa sudah dibuat namun masih bersifat terlalu umum sehingga masih bisa ditembus oleh godaan penyalahgunaan wewenang oleh Kepala.
Walaupun bersifat seleksi terbuka namun kenyataannya baik keluarga maupun pertemanan masih mendominasi jabatan Perangkat Desa.
Regulasi Seleksi Perangkat Desa harus lebih diatur sedemikian teknis bahkan sampai kepada materi dan cara ujian kompetensinya harus diatur sedemikian teknis sehingga Kepala Desa maupun pihak-pihak tertentu tidak bisa mengintervensi seleksi.
3) Perangkat Desa Teknis
Jabatan Perangkat Desa perlu diperbanyak dengan melakukan inventarisasi potensi daerah yang dimiliki. Apabila Desa tersebut memiliki potensi besar di bidang pertanian maka wajib dibentuk jabatan Kepala Seksi Pertanian.
Demikian juga potensi desa lainnya sehingga memungkinkan dibentuk jabatan Kepala Seksi Peternakan, Kepala Seksi Kelautan, Kepala Seksi Perikanan, Kepala Seksi Pariwisata, dan lain sebagainya.
4) Pendamping Desa Jadi Staf Ahli Kepala Desa
Posisi Pendamping Desa sangat strategis dalam membantu Kepala Desa. Namun, masih ditemukan satu orang Pendamping Desa harus menangani beberapa Desa sehingga tidak memiliki waktu yang penuh dalam mendampingi Kepala Desa.
Perlu dipikirkan untuk menambah jumlah Pendamping Desa menjadi satu Pendamping Desa untuk 1 Desa, serta dimerger dalam Pemerintahan Desa menjadi Staf Ahli Kepala Desa.
Dengan menjadi Staf Ahli Kepala Desa maka Pendamping Desa tersebut menjadi wajib berkantor di Kantor Desa setiap hari mendampingi Kepala Desa dalam menjalankan Pemerintahan Desa.
5) Unit Pengawasan Internal Bersertifikat
Salah satu kelemahan dari struktur Pemerintahan Desa adalah tidak adanya Unit Pengawasan Internal.
Hal ini harus menjadi perhatian Kemendes dan Kemendagri karena fungsi pengawasan yang diserahkan kepada Inspektorat Pemerintah Daerah sangat kurang maksimal terutama sebab jauhnya rentang kendali di antara keduanya membuat pengawasan melekat sangat sulit dilaksanakan.
Kemendes dan Kemendagri perlu membentuk struktur dan staf Internal Audit pada seluruh Pemerintah Desa dengan melakukan rekrutmen dan pelatihan dengan kriteria yang ketat bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Untuk menjaga independensinya maka gaji beserta tunjangan internal audit Desa jangan berasal dari APBDes namun langsung dari Kementerian Desa.
III. Reformulasi Periodisasi Jabatan
Periodisasi Jabatan merupakan hal krusial. Periodesasi jabatan dengan masa 6 tahun masa jabatan untuk 3 kali periodesasi dirasakan terlalu lama dan sangat memungkinkan terjadinya pejabat yang otoriter dan diktator.
Periodesasi jabatan Kepala Desa cukup 2 kali periode dan serentak dengan pengangkatan dan pemberhentian Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa.
Kelemahan pada regulasi tentang Perangkat Desa membuat semua Perangkat Desa merasa tidak bisa digantikan walaupun Kepala Desa telah berganti.
Periodesasi serentak pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa hanya 2 kali periode sangat diperlukan agar proses regenerasi dan kaderisasi di Pemerintahan Desa berjalan dengan baik.
IV. Reformulasi Trias Politika
Pemerintahan Desa sudah memiliki fungsi dan struktur eksekutif dan legislatif. Namun, fungsi yudikatif belum ada secara struktur dan masih dijalankan oleh Kejaksaan Negeri dan Kepolisian Resort tingkat kabupaten.
Kepolisian sudah memiliki struktur Kepolisian Sektor di tingkat kecamatan namun secara fungsi belum ada kewenangan yudikatif.
Demikian juga Kejaksaan Negeri sudah memiliki struktur Cabang Kejaksaan Negeri yang membawahi beberapa kecamatan namun dirasa masih kurang untuk menjalankan fungsi yudikatif sehingga perlu dipikirkan untuk memperbanyak struktur Kacabjari di daerah.
Di samping itu fungsi yudikatif juga untuk menjalankan fungsi pencegahan dan pendampingan. Tidak adanya struktur yudikatif yang bersentuhan langsung dengan Pemerintahan Desa membuat mereka terlalu bebas dan menganggap diri mereka kebal hukum.
V. Reformulasi Penggajian
Rendahnya gaji dan tunjangan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Perangkat Desa menjadi faktor utama tingginya keinginan untuk melakukan penyalahgunaan anggaran desa.
Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk melakukan penyetaraan gaji dan tunjangan Pemerintahan Desa menjadi setara dengan jabatan setingkat Eselon IV.
Kepala Desa dan Ketua BPD disetarakan dengan gaji/tunjangan Eselon IV/A sedangkan Perangkat Desa dan Anggota BPD disetarakan dengan gaji/tunjangan Eselon IV/B.
Sumber penggajian tentunya harus ditanggung oleh Pemerintah Pusat dalam berbentuk Dana Perbantuan dari Kementerian Desa, sehingga tidak membebani APBD Pemerintah Daerah karena Pemerintah Daerah juga memiliki banyak kebutuhan anggaran untuk pembangunan daerah.
Demikian beberapa persoalan empiris kontemporer yang perlu diselesaikan secara regulatif dan sistematik sehingga tujuan bernegara dengan membentuk Pemerintahan Desa bisa memberi manfaat kepada rakyat banyak. Bukan justru malah menjadi masalah baru atau terkesan menjadi pemindahan korupsi ke Pemerintah Desa.
Desa Kuat Rakyat Sejahtera!
Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. Saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Inspektur Daerah Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018, dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com.
0 Comments