Menohok: Kita Butuh Makanan, Bukan Rokok!

by | Jun 6, 2023 | Birokrasi Berdaya, Birokrasi Efektif-Efisien | 1 comment

Kita butuh makanan, bukan rokok merupakan tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) Tahun 2023 yang jatuh pada tanggal 31 Mei. 

Tema ini begitu tajam dan mengena. Bagi siapa? Tentunya bagi perokok. Bagaimana tidak, seorang perokok yang telah kecanduan nikotin akan sangat susah melepaskan diri dari rokok. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, untuk kesehatan keluargapun, seringkali perokok aktif abai. 

Mereka dengan gagahnya merokok di dalam rumah, kapanpun, bahkan dalam kondisi rumah tertutup rapat pada malam hari.

Padahal, asap rokoknya akan terus berada di dalam ruangan dan diisap oleh semua orang yang berada di dalam rumah tersebut, sehingga semua orang yang berada di dalam rumah tersebut menjadi perokok pasif dan akan mempunyai risiko yang sama dengan perokok aktif. 

Bahkan, terkadang ada slogan para perokok, lebih baik kehilangan istri daripada disuruh berhenti merokok. Suatu pemikiran konyol bagi orang yang tidak merokok, tetapi pilihan utama bagi perokok dikarenakan telah ketergantungan zat nikotin yang ada di rokok.

Berhitung Belanja Makanan vs Rokok

Laporan Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020 menyebutkan bahwa belanja rokok merupakan belanja nomor dua setelah beras/makanan pokok, berada di atas belanja telur, daging ayam dan mie instan atau sebanyak 12,2% dari total belanja rumah tangga di perkotaan dan 11,6% dari total belanja rumah tangga di pedesaan. 

Pernahkah kita menghitung, berapa pengeluaran untuk rokok dalam sehari? Sepekan? Sebulan? Setahun? Jika uang yang digunakan untuk belanja rokok tersebut dibelanjakan untuk membeli makanan, dapat apa?

Misalkan seorang perokok menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari dengan harga Rp. 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah), maka dalam sepekan pengeluarannya untuk rokok sebesar Rp. 140.000,00 (seratus empat puluh ribu rupiah).

Dalam sebulan (30 hari) pengeluaran untuk rokoknya sebesar Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan dalam setahun pengeluaran untuk rokok sebesar Rp. 7.200.000,00 (tujuh juta dua ratus ribu rupiah). 

Pengeluaran sebesar itu, tentunya dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarga, perbaikan sanitasi rumah tangga, dan membayar biaya pendidikan anak.

Berdasarkan paparan Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu, pengeluaran rokok pada keluarga miskin sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dalam sebulan atau sekitar Rp. 8.500,00 (delapan ribu lima ratus rupiah) dalam sehari. 

Lantas, dengan pengeluaran sebesar itu untuk rokok, dapat apa? Jika harga telur perbiji Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah), maka bisa dapat 3 (tiga) biji telur sehari, bisa untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang merupakan generasi penerus orang tuanya agar menjadi lebih pintar dan terhindar dari stunting, karena terpenuhi kebutuhan gizinya. 

Apatah lagi jika pengeluaran untuk rokok mencapai Rp. 20.000,00 perhari, maka keperluan rumah tangga yang dapat dipenuhi dengan mengalihkan belanja rokok akan lebih banyak lagi. Mungkin untuk membeli susu, telur, ikan atau jika dikumpulkan dalam beberapa hari, maka bisa saja membeli ayam atau daging sapi/kambing.

Konsumsi Rokok Berdasarkan Hasil Riset

Siaran Pers Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada ylki.or.id dengan judul ”Indonesia Darurat Konsumsi Rokok” menyebutkan bahwa pada peringatan HTTS tanggal 31 Mei 2022, Kementerian Kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia meluncurkan hasil riset yang bertajuk Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, yang merupakan survei untuk memotret perilaku dan perkembangan konsumsi rokok di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 

Hasil GATS tersebut sangatlah mengkhawatirkan, karena konsumsi rokok di Indonesia dalam kondisi yang emergency atau darurat. Laporan tersebut menyebutkan bahwa jumlah perokok selama 10 tahun terakhir (2011-2021) meningkat 8,8 juta perokok dewasa.

Artinya, saat ini terdapat 69,1 juta dari semula 60,3 juta perokok. Jika penduduk dewasa di Indonesia berjumlah 280 juta jiwa, maka hampir 25 persen masyarakatnya merupakan perokok. 

Hal ini sejalan dengan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2018 yang menyebutkan bahwa perokok di perkotaan sebanyak 23% merokok setiap hari dan 4,6% merokok kadang-kadang; sementara di pedesaan sebanyak 25,8% merokok setiap hari dan 4,5% merokok kadang-kadang

Pada sisi lain terjadi lompatan iklan dan promosi rokok di media online atau internet. Pada tahun 2011 iklan rokok di internet hanya 1,9 persen saja, namun pada tahun 2021 iklan rokok di internet menjadi 21,4 persen. 

Fenomena tingginya jumlah perokok, diikuti dengan melambungnya kesakitan dan kematian terkait penyakit tidak menular. 

Hasil Riskesdas 2018 membuktikan bahwa terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular dibandingkan hasil Riskesdas 2013, yaitu prevalensi penyakit kanker dari 1,4% menjadi 1,8%, stroke dari 7% menjadi 10,9%, ginjal kronis dari 2% menjadi 3,8% dan diabetes melitus dari 6,9% menjadi 8,5%. 

Peningkatan prevalensi penyakit tidak menular tersebut dipicu oleh pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak sehat, di mana konsumsi rokok menjadi pemicu utamanya. 

Kondisi tersebut, dilihat dari sisi bonus demografi yang diharapkan memberikan dampak positif bagi perkembangan dan kemajuan Bangsa Indonesia, namun jika melihat fenomena yang terjadi, maka generasi yang sakif-sakitan, dan tidak produktiflah yang akan hadir.

Upaya Solutif dan Inovatif

Memperhatikan fakta dan data yang ada di masyarakat dan hasil penelitian atau riset terkait dengan usia mulai merokok, belanja rokok (baik rokok konvensional maupun rokok elektrik), tentunya tidak berlebihan jika seluruh komponen masyarakat dan pemerintah mengambil langkah strategis dan upaya solutif sebagai antisipasi terjadinya pandemi rokok. 

Jika terjadi kondisi tersebut, maka sangat boleh jadi, generasi penerus Indonesia di masa depan adalah generasi yang kecanduan nikotin, sakit-sakitan dan tidak produktif. 

Upaya di tingkat pemerintahan, dari pemerintah pusat hingga daerah adalah dengan meningkatkan cukai hasil tembakau sebanyak 2-3 kali lipat dilihat dari peningkatan persentase perokok, mengingat nantinya hasil cukai tersebut akan dipergunakan untuk banyak hal yaitu: 

  • upaya peningkatan kesehatan (promotif), 
  • pencegahan penyakit (preventif), 
  • pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) terkait dampak rokok bagi kesehatan, 
  • penyediaan tempat khusus merokok di area perkantoran dan tempat umum sesuai peraturan yang berlaku, 
  • pengetatan penerapan regulasi kawasan tanpa rokok (KTR) dan iklan/sponsor rokok, 
  • komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait KTR, bahaya rokok bagi kesehatan, ekonomi keluarga dan sosial serta masa depan generasi penerus. 

Tingkat kecamatan dan kelurahan/desa juga harus dilakukan KIE terkait KTR dan bahaya rokok, serta memfasilitasi pengembangan rumah sehat tanpa rokok. 

Setiap keluarga hendaknya diberi pemahaman dan disadarkan akan pentingnya belanja untuk kesehatan dan pendidikan anak dibandingkan belanja rokok.

Belajar dari Desa Bone-Bone Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, perlu terobosan dan inovasi dari kepala desa/lurah terkait dengan pengembangan rumah sehat tanpa rokok.

Hal tersebut dilakukan dengan memulai larangan menjual rokok, larangan merokok di rumah, di perkampungan dan sekitar perkampungan, hingga menjadi desa/kelurahan tanpa rokok. 

Walaupun pada awalnya masyarakat setempat ada yang pro kontra, namun setelah mereka merasakan manfaatnya, perlahan-lahan mereka mendukung kebijakan tersebut.

Pada sisi lain, lembaga, tokoh dan masyarakat adat hendaknya juga memberikan peran positif dalam penerapan rumah sehat tanpa rokok. Jika rokok dinyatakan sebagai sebuah budaya, maka buang air besar sembaranganpun juga budaya, bahkan lebih tua daripada merokok. 

Namun, jika itu justru merugikan dari berbagai aspek, terutama kesehatan, pendidikan dan ekonomi keluarga, mengapa harus dipertahankan? Faktanya adalah orang tua merokok di depan anaknya, tetapi jika anaknya merokok di depan orang tuanya, maka betapa marah orang tua tersebut. 

Jika merokok itu bagus, tentunya orang tua harus mengarahkan anaknya untuk merokok, tapi ternyata tidak demikian. Sungguh menjadi hal yang kontradiktif, di satu sisi orang tua mencontohkan merokok, tapi di sisi lain melarang istri dan anaknya merokok.

Sehat, Terdidik, dan Tanpa Rokok

Semua harus sadar dan semua harus memberikan perannya. Bonus demografi yang didambakan hanya akan didapatkan jika masyarakatnya sehat, pendidikannya baik dan penghasilannya meningkat. 

Untuk itu, perbaiki belanja rumah tangga, tinggalkan belanja yang tidak penting, terutama rokok, tidak berjiwa konsumtif dan tingkatkan produktivitas. Stop belanja rokok, alihkan untuk belanja makanan bergizi, agar dapat dinikmati sekeluarga. 

Hidup sehat, penting. Mendapatkan pendidikan terbaik, wajib. Hidup tanpa rokok, harus.

0
0
Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer

Nugroho Kuncoro Yudho ◆ Active Writer

Author

Praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan berdomisili di Sampit, Kalimantan Tengah.

1 Comment

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post