Menghindari Halusinasi Perubahan

by | Jul 12, 2020 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Amanat perubahan sebagai inti dari Reformasi Birokrasi rasanya sudah diketahui secara luas. Di antaranya karena sudah sekian lama didengungkan. Sayangnya, perspektif dan nilai Reformasi Birokrasi kadang dipahami dengan cara disederhanakan dan pragmatis: berubahlah agar remunerasi juga berubah dalam bentuk peningkatan nominal penghasilan.

Pandangan yang cenderung materialistik ini rasanya mudah kita temukan di sekeliling kita dalam beragam jargon reformatif dan “iming-iming” atas upaya perubahan tersebut. Sementara itu, nilai dan laku perubahan yang diharapkan justru bukan menjadi fokus utama. Kepada “iming-iming” dan jargon itulah seringnya kita mendekat dan mengakrabi. 

Kesimpulan ini bukan tentang semangat untuk merasa paling benar atau sok-sokan. Well, setidak ideal apapun yang sudah berjalan dalam kaca mata kritis yang bisa diajukan, toh kita ada di dalamnya dan menerima dampak dari yang kita pahami sebagai yang tidak ideal itu. Bisa jadi, hal itu serupa kritik balik yang akan diajukan kepada kita tentang nalar materialistik reformasi birokrasi sehingga terucap seperti di atas.   

Namun demikian, upaya perubahan tidak boleh mati suri di awal, setidaknya dalam alam bawah sadar kita.

Alasannya, ketika kita menjadi sangat pragmatis dalam memahami perubahan, sesungguhnya kita sedang berupaya untuk menyakiti diri sendiri dalam konstruksi resepsi tentang penerimaan amanah perubahan dan bagaimana persepsi untuk berubah itu mesti dibangun.

Sudah seharusnya kita menghindari kondisi demikian, yang jika dibahasakan ala kini  adalah selayaknya sedang halu, turunan langsung dari halusinasi.

Tulisan sederhana ini tentu bukan berasal dari hasil studi mendalam tentang tema terkait, sehingga kesimpulan materialisme perubahan itu benar teruji secara akademik. Tulisan ini lebih pada ajakan untuk mengajukan pertanyaan retoris, semacam muhasabah diri.

Sejauh mana,  selaku birokrat, kita berani menilai perubahan pada diri sendiri sesuai amanat Reformasi Birokrasi dalam semangat keseharian saat bertugas.  

Bubble Theory yang melenakan

Keberanian untuk mengajukan pertanyaan pada diri sendiri tersebut menjadi penting atau bahkan menjadi sesuatu hal yang fundamental sebagaimana instrumen standar, katakanlah, Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB).

Jika PMPRB merupakan koordinasi administratif dan struktural dalam upaya penilaian Reformasi Birokrasi, pertanyaan pada diri sendiri lebih berupa upaya agar menghindarkan diri dari ilusi personal terhadap perubahan. Ilusi seperti ini dapat diibaratkan sebagaimana fenomena gelembung.       

Gelembung atau bubble merupakan sarana bermain bagi anak-anak. Cara membuatnya dengan mencampur air dengan deterjen. Sebagaimana sifat materialnya, gelembung adalah sesuatu yang mudah membesar, mudah dibentuk, dimainkan, dan dapat ditiup ke berbagai arah.

Namun, gelembung tidak berisi alias kosong. Pada dasarnya, sifat gelembung adalah sesuatu yang mudah pecah.

Gambaran tentang gelembung seperti ini mewakili the bubble theory yang sudah lama dipahami dalam ilmu ekonomi yang digambarkan sebagai fenomena produk atau inovasi yang tiba-tiba membesar dan melesat, dan bisa membuat orang terkesima, namun tiba-tiba ambruk dan tak dikenali lagi.

Dalam ranah ekonomi dunia, ketika the new economy demikian mendominasi pada awal 2000-an, banyak perusahaan berlomba mengembangkan dotcom companies dan manufaktur telekomunikasi. Nilai saham perusahaan-perusahaan dalam bidang terkait yang go public melejit begitu tinggi.

Ekspektasi dan keyakinan masyarakat juga demikian besar dalam booming bisnis berbasis internet ini. Amazon.com, Cisco System, Yahoo!, Sony-Ericsson, hingga Siemens adalah contoh perusahaan yang berkibar-kibar menikmati fenomena ini. Sayangnya, ketika The Fed menaikkan suku bunga acuan, tiba-tiba banyak dari perusahaan tersebut sempoyongan, semaput¸ dan sulit bangkit kembali.

Setelah diteliti, perusahaan-perusahaan tersebut lebih banyak mementingkan aspek marketing saja dan mengabaikan hal-hal fundamental perusahaan. Hal–hal fundamental tersebut di antaranya adalah bagaimana perusahaan mampu beradaptasi dengan perkembangan secara tepat, menyiapkan inovasi, dan menghindari jebakan rasa puas diri akan capaian yang diraih.

Pada konteks Reformasi Birokrasi dan kesediaan untuk melakukan otokritik terhadap diri sendiri, jika kita lebih memilih mengedepankan aspek administratif ketimbang substansial, maka jebakan bubble imaging theory juga akan membayangi. Jika perubahan sebagai semangat dasar Reformasi Birokrasi sebatas dimaknai sebagai pemenuhan aspek administratif, maka kurang lebih kita rasanya sedang menikmati fenomena gelembung itu sendiri.

Perubahan yang dinilai dari euforia dan klaim dalam prosentase dan statistik penilaian, dalam praktiknya belum tentu mencerminkan perubahan itu sendiri. Perubahan yang cukup diyakini dan hanya sampai pada reporting system, bisa jadi  tidak lebih berupa perubahan dalam klaim dan dokumen saja.

Perubahan yang “transaksional”?

Jika reformasi birokrasi hanya dipersepsikan sebagai upaya untuk mendapatkan reformasi, bagaimana kalau birokratnya tidak mau berubah?

Apakah itu artinya remunerasi tidak akan pernah datang? Apakah perubahan itu bisa berlaku bagi sebagian saja, sementara sebagian yang lain tidak?

Sedangkan, birokrat di instansi manapun memilik hak remunerasi yang sama. Andaikan sistem penggajian ASN telah sedemikian rupa mencukupi kebutuhan dasar ASN, apakah dengan demikian Reformasi Birokrasi dapat diabaikan saja?

Ketika Reformasi Birokrasi dimaknai sebatas perbaikan remunerasi, tanpa disertai perubahan di sektor-sektor fundamental sebagai amanah dasarnya, maka hal ini bisa menimbulkan kesalahan pemahaman.

Reformasi Birokrasi hadir karena berbagai hal mendasar dalam birokrasi yang perlu dibenahi. Ibarat orang sakit, penyakitnya membutuhkan pil yang umumnya pahit. Belum juga minum pil pahit, “pasien” tersebut sudah diberi minuman manis. Minuman manis tersebut adalah remunerasi, sementara pil pahit adalah “terlaksananya” Reformasi Birokrasi yang sesungguhnya.

ASN memang berubah dalam konteks disiplin presensi dan remunerasi. Kita berubah dari yang dulunya datang ke kantor pada jam semaunya, tetapi sekarang tidak bisa lagi. Kita juga telah berubah dengan mendapatkan remunerasi atas pelaksanaan nilai-nilai Reformasi Birokrasi yang kita jalankan.

Jam absensi telah sedemikian ketat mengatur presensi kedatangan dan kepulangan. Tapi di balik itu, mampukah kita mengonversi dan mengisi disiplin presensi itu dengan kinerja yang optimal sesuai tugas dan fungsi?

Apakah disiplin waktu yang sudah dijalankan mampu direspon dengan membagi tugas yang jelas dan terukur? Sudahkah pekerjaan yang dijalankan berdasar pada prosedur (SOP) dan SPM (Standar Pelayanan Minimal) atau berdasar feeling saja? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan.

Capek dalam upaya Berubah?

Ada saatnya orang melihat pentingnya perubahan tapi tidak juga mau bergerak. Orang semacam ini pada prinsipnya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang makna penting perubahan. Namun, hal tersebut tidak disertai dengan keinginan dan tindakan berubah.

Di sisi lain, ada saatnya orang yang yang sedang dalam upaya berubah tapi tidak cukup memiliki persistensi dan daya juang untuk menyelesaikan upaya tersebut sampai akhir. Dalam diri orang-orang seperti ini terdapat resiko untuk berhenti dalam upaya yang dijalankan karena berbagai hal yang memengaruhinya.

Berbagai kendala tersebut di antaranya adalah pertama, promosi perubahan terlalu tegang atau serius. Tidak serius bukan berarti abai pada substansi.

Jika pada tiap sudut ruangan terdapat slogan dan banner perubahan dan tiap minggu menerima amanat untuk berubah dalam berbagai workshop tanpa peta from – to yang jelas dan terukur, maka upaya perubahan tersebut terasa terlalu menegangkan dan tidak asyik.

Upaya perubahan bukan semata-mata berupa perang penumpasan terhadap budaya usang, tidak efisien, penuh KKN, dan tidak produktif-inovatif, tapi juga perlu memberi ruang untuk bernapas dan menikmati kehidupan.

Ruang bernafas dan upaya menikmati ini pada akhirnya bisa ditransformasikan menjadi energi positif yang siap digelorakan lebih jauh karena berasal dari keinginan dalam diri. Ruang bernafas dan menikmati kehidupan ini adalah dalam konteks upaya melihat administrasi birokasi dan kapital manusia di dalamnya sebagai kesatuan motif dan emotif.

Dalam kaitan demikian, birokrasi terkoneksi dengan psikologi sosial. Aspek psikologi sosial ini mengandaikan adanya kesepahaman kelompok (in-group feeling), sebuah kerja bareng mengenai perubahan, yang ditopang dengan segala hal terkait semangat perubahan dalam reformasi birokrasi dan kesepakatan bersama anggota-anggota di dalamnya untuk menjalankan perubahan.

Secara emotif, upaya perubahan juga perlu menyentuh aspek personal birokrat dan bukan hanya kolektivisme persepektif belaka. 

Kedua, upaya perubahan adalah sebuah jalan panjang. Sudah jelas, perubahan menyangkut pola pikir dan budaya. Perubahan pola pikir dan budaya ini membutuhkan waktu dan jalan yang tidak sebentar. Berbagai upaya, kebijakan, dan eksperimen yang digerakkan menuju perubahan tersebut kerap menemui berbagai kendala karena membutuhkan energi yang besar dan berbagai upaya pendukung lainnya. 

It`s a long and winding road kata The Beatles, dan kurang lebih demikian adanya upaya perubahan ditempuh dan dijalani.

Ibarat perjalanan panjang di tol Cipali, upaya perubahan juga membutuhkan beberapa rest area untuk istirahat dan meneduhkan lelah. Momen istirahat ini bisa dikemas menjadi upaya untuk restrospeksi dan introspeksi atas jarak dan waktu perjalanan, meyakini dan membangunnya sebagai kemenangan-kemenangan kecil yang layak mendapat apresiasi dan sebagainya.

Ketiga, rutinitas yang berlebihan. Routines could kill you. Jika promosi perubahan ditempuh dengan cara-cara yang hanya menekankan rutinitas dan mematikan kreatifitas dan jerih pada inovasi yang menyenangkan dan menggugah, maka rutinitas tersebut bisa sangat menjebak dan menjenuhkan bagi individu yang terlibat di dalamnya.

Demikian, semoga menjadi pemantik diskusi yang menarik.
Salam Reformasi Birokrasi!

1
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post