Mengapa Pembangunan di Daerah Tidak berhasil Menyejahterakan Masyarakat Asli di Sana?

by Subroto ◆ Professional Writer | May 28, 2021 | Birokrasi Melayani, Refleksi Birokrasi | 0 comments

Pengantar

Beberapa bulan lalu saya mengikuti webinar yang diadakan oleh Ditjen Barang Milik Negara Kemenkeu, dengan tema Sertifikasi Barang Milik Negara (BMN) pada Kementerian/Lembaga. Acara tersebut menghadirkan narasumber Ahli Hukum tentang pertanahan dari UGM.

Selama sesi tanya jawab banyak keluhan muncul dari para kepala Kantor KPKNL yang membahas mengenai Hak Tanah Ulayat atau Tanah Adat yang mengkomplain wilayah mereka, meskipun tanah tersebut sudah bersertifikasi dari ATR/BPN. Menjawab keluhan itu, Sang Ahli Hukum mengakui bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai hak tanah ulayat karena belum terlapor di kantor BPN setempat.

Terkadang juga sering terjadi persengketaan tanah karena adanya tumpang tindih terhadap tanah yang sudah bersertifikasi resmi dari BPN dengan tanah adat masyarakat setempat. Ahli Hukum tersebut menyayangkan dengan keputusan pengadilan yang memenangkan kasus sengketa karena tanah bersertifikasi dianggap yang sah.

Seharusnya para hakim harus berhati-hati untuk mengkaji lebih dalam pengakuan atas hak kepemilikan masyarakat adat walau belum terlapor karena ada Undang-undang yang melindungi kepentingan masyarakat adat.

Yang lebih miris lagi, ketika ada sebagian masyarakat adat yang melaporkan kepemilikan mereka ke kantor BPN justru dianggap kepemilikan perseorangan atau kelompok tertentu untuk disertifikasi. Akibatnya, sering terjadi bentrokan antarkelompok adat ketika sebagian ingin menjual dengan pertimbangan ekonomi, dan sebagian menolak karena tanah adat dianggap tanah leluhur atau tanah suci yang harus dilestarikan.

Fenomena tersebut harusnya menjadi renungan kita bersama, bahwa akibat kemajuan ekonomi dan pembangunan yang alih-alih untuk menyejahterakan masyarakat setempat justru memiliki dampak negatif bagi penduduk asli karena terjadi pergeseran nilai budaya (karena kebutuhan ekonomi). Bahkan, terjadi penggerusan atau dilusi atas pelestarian budaya masyarakat dan hukum adat setempat.

Demikian halnya, ketika terjadi pembangunan di suatu daerah. Seolah-olah pemerintah “menganak-tirikan” kepentingan masyarakat penduduk asli. Bentrokan atau friksi sosial yang terjadi, di mana masyarakat adat  mencoba mempertahankan tanah adat sebagai warisan leluhurnya, selalu dianggap penghambat pembangunan. Penanganannya dilakukan secara rasionalitas semu tanpa memahami dasar permasalahan sebenarnya.

Hal tersebut patut menjadi renungan kita lagi, “Apa tujuan utama pembangunan dan modernisasi yang dilakukan di daerah? Apakah pembangunan dilakukan demi kepentingan pemerintah pusat semata atau penduduk pendatang saja?”. Sebab, faktanya hasil pembangunan justru tidak dinikmati masyarakat atau penduduk asli. Padahal, bukankah seharusnya kesejahteraan mereka menjadi tujuan. Bukankah mereka merupakan stakeholder utama?

Penulis, dalam hal ini, mencoba mencari literatur terkait dengan pembangunan di Papua. Alasannya karena Papua merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki undang-undang yang melindungi kepentingan masyarakat asli Papua, bahkan Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki hak otonomi khusus dan didukung dengan dana pembangunannya.

Dalam kondisi yang sangat ideal, penulis memiliki asumsi (hipotesis) bahwa pembangunan yang dilakukan di sana pastinya akan menyejahterakan masyarakat asli Papua. Tapi kenyataannya, setelah puluhan tahun pembangunan, kondisi yang diharapkan belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Apakah ada kesalahan konsep dalam pola strategi pembangunan dan penerapannya?

Pembangunan di Papua

Sejak adanya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Tahun 1969 hingga saat ini, pemerintah memiliki perhatian khusus terhadap Provinsi Papua. Dicanangkan misi menyejajarkan Papua atas ketertinggalannya dengan provinsi lainnya; dengan menggenjotkan berbagai pembangunan di Papua.

Namun, ada kesalahkaprahan dalam penerapan kebijakan, karena pembangunan yang dilakukan seolah membuat semacam etalase modernisasi di sana. Sebuah program yang tidak merefleksikan pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Papua.

Akibatnya, masyarakat Papua (selaku penduduk asli di Tanah Papua) selama ini tidak merasakan atau menikmati pembangunan yang dilaksanakan di tanah mereka.

Berbagai kebijakan ditetapkan pemerintah dengan memberikan hak privilese dibandingkan daerah lainnya. Misalnya, pada tahun 2001 Papua dan Papua Barat memperoleh status daerah otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 untuk daerah Papua dan UU Nomor 35 Tahun 2001 untuk daerah Papua Barat, bahkan diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.

Adanya hak otonomi khusus merupakan perbaikan kebijakan karena pembangunan sebelumnya belum memberikan dampak nyata bagi masyarakat Papua, di mana pemerintah daerah diberi kewenangan seluas-luasnya untuk merumuskan, menyusun, dan merancang strategi pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.

Padahal dengan status otonomi khusus, Papua telah mendapatkan Alokasi Dana Khusus yang difokuskan di bidang Kesehatan dan Pendidikan sebesar 2% dari total Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Bisa dibayangkan, dalam kurun waktu belasan tahun terakhir sudah puluhan triliun dana digelontorkan pemerintah untuk pembangunan di Papua.

Sayangnya, dampak nyata pembanguan untuk mempersempit jarak/kesenjangan dengan provinsi lainnya belum ternampak secara jelas. Berdasarkan peringkat indikator kemajuan pembangunan, Papua masih berada di peringkat terbawah dibandingkan provinsi lainnya. Indikator ini antara lain indikator buta huruf, putus sekolah, prevalensi penyakit menular, dan lainnya.

Mencari Penyebab Kegagalan Pembangunan di Papua

Kondisi yang terjadi patut menjadi renungan kita bersama, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bukankah pemerintah Papua telah merumuskan strategi program pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sana.

Belum lagi kekayaan alam Papua yang begitu berlimpah, bukankah juga menjadi modal dasar penerimaan Pendapatan Asli daerah (PAD) sebagai tambahan dukungan dana pembangunan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya menjadi kajian kita, kemungkinan ada kesalahan terkait dengan paradigma pola pembangunan yang selama ini terjadi.

Rasa penasaran penulis sedikit terjawab setelah men-searching di Google dan mendapatkan Buku yang berjudul “Nilai-nilai Dasar Orang Papua dalam Mengelola Tata Pemerintahan (Governance): Studi Refleksif Antropologis” yang dibuat oleh sebuah Lembaga penelitian kebijakan di Yogyakarta tahun 2012.

Dalam buku tersebut disebutkan bahwa terjadi kesalahkaprahan dalam pola pembangunan di Papua. Pada saat pembangunan terjadi sebelum adanya otonomi khusus, pola pembangunan lebih berfokus atau berparadigma “Pembangunan di Papua”.

Akan tetapi, setelah penetapan otonomi khusus hanya bergeser ke paradigma “pembangunan untuk Papua”. Mengapa hal itu bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah strategi dan perancangan pembangunan yang kurang (tidak) memperhatikan aspek lokalitas atau kebijakan kearifan lokal masyarakat papua.

Maksud “pembangunan untuk Papua” adalah dalam penerapan kebijakan pola pembangunan hanya mencontoh atau menjiplak (copy paste) pola pembangunan daerah Provinsi lain, terutama kawasan barat Indonesia. Memang tidak ada salahnya mengacu pola pembangunan agar bisa sesukses daerah lain, namun selayaknya perlu disesuaikan dengan kondisi kedaerahan dan budaya masyarakat di sana.

Dengan demikian, dalam perancangan atau perumusan program pembangunan baik dari sisi perencanaan maupun rencana kebijakan implementasinya masih menggunakan pendekatan atau asumsi dan indikator daerah atau provinsi yang diacu dan menjadi kurang realistis.

Atau dengan kata lain, pola pembangunan yang diterapkan berbasis rasionalitas untuk mengejar ketertinggalan dan bukan berbasis lokalitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Papua. Alhasil, pembangunan yang dilakukan hanya sebagai etalase bagi masyarakat Papua atau demi kepentingan pemerintah pusat. Sebab, dampaknya tidak meningkatkan nilai kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteran mereka sendiri.

Kesalahan Paradigma Pola Pembangunan

Menurut buku tersebut juga dijabarkan kegagalan pola pembangunan yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegagalan itu disebabkan karena 3 faktor yakni:

  1. Pola pembangunan diasumsikan berdasarkan rasionalitas dan perilaku administratif
  2. Adanya perbedaan terhadap nilai-nilai yang ada di sana dan dianggap bertentangan dengan asumsi tersebut, karena tidak rasional dan tidak manusiawi, sehingga harus diberantas
  3. Pembangunan cenderung mengabai-remehkan terkait adat dan budaya masyarakat yang dianggap penghambat dan justru tidak dianggap sebagai potensi pembangunan.

Asumsi Rasionalitas Modern dengan Prinsip Universal

Kesalahankaprahan yang terjadi terhadap pembangunan di Papua karena dalam perumusan kebijakan berdasarkan asumsi rasionalitas modern dan perilaku administratif sebagai prinsip universal. Dalam hal ini, penerapan pembangunan dilakukan dengan pola seragam (bersifat universal) dan dianggap bahwa masyarakat Papua homogen dan tidak kreatif.

Seharusnya, para pemangku kebijakan melihat heterogenitas masyarakat Papua dengan permasalahannya sebagai dasar asumsi, sehingga pembangunan yang diterapkan merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di sana.

Hal ini terjadi karena adanya pandangan dari para perumus kebijakan yang menganggap bahwa rasionalitas harus bersifat tunggal (seragam) dan seolah-olah cukup meng-cloning pembangunan dari daerah lain yang berhasil untuk diterapkan di daerah yang dituju.

Padahal, permasalahan tidak semudah itu. Apa yang dianggap baik suatu kelompok, belum tentu juga akan baik bagi kelompok yang lain, dan sebaliknya.

Baik dan buruknya suatu permasalahan merupakan suatu perspektif yang dipengaruhi dari nilai-nilai yang hidup dan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian nilai yang berkembang di Papua belum tentu sama dengan nilai dan budaya yang berkembang di masyarakat Jawa.

Selain itu, anggapan bahwa rasionalitas bersifat universal ini muncul karena adanya anggapan bahwa manusia bukan makhluk dinamis-kreatif, tetapi makhluk pasif. Padahal dalam kenyatannya, orang-orang yang hidup dalam masyarakat tradisional juga termasuk makhluk kreatif dan dinamis. Dia akan selalu berada pada proses dialektis dengan lingkungannya.

Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman, terhadap permasalahan tersebut perlu semacam proses internalisasi, obyektivasi, dan eksternalisasi. Dalam proses dialektis ini, faktor pendidikan merupakan salah faktor yang memiliki peran sangat signifikan.

Perbedaan orang yang berpendidikan dan tidak berpendidikan tidak hanya persoalan ijazah kelulusan semata, tetapi lebih kepada pengembangan paradigma berpikir yang menjadi pola pikir masyarakat untuk melihat berbagai persoalan yang terjadi.

Oleh karena setiap individu berada pada posisi dialektis dengan lingkungannya, maka rasionalitas yang muncul cenderung akan berubah seiring proses dialektis tersebut dan hal tersebut bersifat lokalitas.

Nilai-nilai dan Budaya Lokal Sebagai Penghambat Pembangunan

Akibat lanjutan dari anggapan bahwa rasionalisasi dan sistem birokrasi bersifat universal adalah bahwa keberadaan nilai-nilai lokal Papua yang sangat kaya dan merupakan manifestasi dari pandangan hidup masyarakat Papua tidak mendapatkan ruang sebagaimana mestinya dalam pembangunan.

Dalam masyarakat, pandangan hidup ini sangat penting karena ia merupakan panduan dan strategi bertindak bagi masyarakat Papua. Oleh karena pembangunan yang dijalankan tidak memberikan ruang terhadap aspek-aspek lokalitas, maka alih-alih pembangunan menyejahterakan dan memperbaiki kehidupan masyarakat, yang terjadi adalah kegagalan pembangunan itu sendiri.

Selanjutnya, pembangunan tidak semata-mata membangun infrastruktur jalan, membangun sekolah, puskemas, dan simbol-simbol pembangunan lainnya, tetapi juga harus membangun “jiwa” manusia Papua, yaitu membangun berdasarkan dan atau mempertimbangkan nilai-nilai masyarakat Papua.

Untuk merumuskan strategi pembangunan yang berlandaskan kepada nilai-nilai Papua tersebut, para pengambil kebijakan perlu memahami bahwa nilai Papua yang beraneka ragam merupakan potensi strategis untuk menopang pembangungan Papua. Nilai Papua bukan ancaman pembangunan yang harus diberantas atau disingkirkan, tetapi merupakan potensi yang harus dikembangkan untuk membangun Papua seutuhnya.

Selain itu, para pengambil kebijakan perlu juga memahami bahwa nilai-nilai dasar orang Papua, sebagaimana nilai-nilai dasar dari masyarakat lainnya, memiliki basis rasionalitas sendiri. Rasionalitas atas setiap nilai tersebut tidak terkait dengan baik-buruknya nilai tersebut tetapi terkait dengan bagaimana masyarakat Papua memahami nilainya.

Pemahaman masyarakarat Papua terhadap nilai-nilai dasar yang mereka miliki mungkin saja berbeda dengan pemahaman orang-orang non-Papua terhadap nilai-nilai dasar orang Papua. Mungkin saja nilai dasar orang Papua yang dianggap baik oleh orang Papua dipandang jelek oleh orang non-Papua. Demikian juga sebaliknya.

Pembangunan Membuat Masyarakat Lokal Teralienasi

Salah satu kekhawatiran mendasar dari pembangunan Papua yang tidak berbasis nilai lokal adalah tercerabutnya masyarakat Papua dari akar lokalitasnya. Jika kesadaran seperti ini tidak ditanamkan dalam perspektif para pemangku kebijakan, baik orang Papua sendiri maupun non-Papua yang terlibat dalam pembangunan Papua, maka bukan mustahil strategi pembangunan yang dirumuskan kehilangan spiritnya.

Idealisme untuk membangun Papua agar lebih sejahtera dan lebih bermartabat hanya akan menjadi jargon atau sebagai etalase semata, karena selain pembangunannya materialnya sendiri gagal, nilai Papuanya juga hilang.

Papua harus menjadi tanah harapan bagi semua rakyat Papua di mana mereka dapat hidup layak, sejahtera, dan bahagia sebagaimana saudara-saudaranya di daerah lain. Hal ini bukan mimpi jika pembangunan Papua didasarkan kebutuhan masyarakat, melibatkan partisipasi masyarkat, dan berbasiskan nilai masyarakat Papua.

Penutup

Pembangunan tidak semata-mata kemampuan menarasikan dan menerjemahkan kebutuhan masyarakat dalam bentuk program-program, tetapi bagaimana masyarakat dapat terlibat (berpartispasi) dalam proses pembangunan.

Terlibat dalam proses pembangunan tidak saja berupa keterlibatan masyarakat (sebagai pekerja) untuk membangun, tetapi juga keterlibatan masyarakat untuk memanfaatkannya. Karena hanya keterlibatan masyarakat mulai dari proses pembangunan hingga pemanfaatan hasil pembangunan, maka pembangunan akan memberikan manfaat signifikan terhadap peningkatan taraf hidup dan martabat masyarakat.

Untuk mendorong partisipasi aktif keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, yang diperlukan adalah pembangunan yang berbasis dan melibatkan potensi lokal masyarakat. Kesalahan utama yang sering terjadi dalam paradigma pembangunan yang menganggap bahwa rasionalitas modern memiliki nilai universal sehingga dapat diterapkan di masyarakat yang memiliki kondisi yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, kegagalan terjadi tidak disebabkan oleh tidak matangnya strategi program yang dijalankan, tetapi lebih kepada dua hal, yaitu kegagalan membaca kebutuhan perioritas masyarakat dan kegagalan dalam memahami nilai-nilai masyarakat dalam merumuskan strategi pembangunan.

Akibatnya, pembangunan yang dilakukan cenderung tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat pada satu sisi, dan memunculkan dampak konflik di masyakarat atas resistensi pada sisi yang lain.

Salah solusi untuk mengatasi permasalahan ini, hendaknya para penentu kebijakan dan perancang pola pembangunan untuk mempertimbangkan dan/atau memberikan ruang kepada sistem sosial dan budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Dengan kata lain, sistem birokrasi pembangunan di Papua harus diterjemahkan dan mempertimbangkan sistem sosial-budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Referensi:
Nilai-nilai Dasar Orang Papua Dalam mengelola Tata Pemerintahan (Governance): Studi Refleksif Antropologis. Partnership for Governance Reform Centre for Learning and Advancing Experimental Democracy Indonesia Forestry and Governance Institute. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Jakarta, 2012.

0
0
Subroto ◆ Professional Writer

Kepala Biro Keuangan Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Lebih dikenal dengan panggilan akrab Cak Bro. Hobinya menulis secara otodidak mengenai permasalahan organisasi tentang SDM, audit, pengawasan, dan korupsi. Pernah menerbitkan buku koleksi pribadi "Artikel ringan Cakbro: Sekitar Tata Kelola Organisasi" dan "Bunga Rampai SPIP".

E-mail: [email protected] Blogger: Cakbro. Blogspot.com

Subroto ◆ Professional Writer

Subroto ◆ Professional Writer

Author

Kepala Biro Keuangan Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Lebih dikenal dengan panggilan akrab Cak Bro. Hobinya menulis secara otodidak mengenai permasalahan organisasi tentang SDM, audit, pengawasan, dan korupsi. Pernah menerbitkan buku koleksi pribadi "Artikel ringan Cakbro: Sekitar Tata Kelola Organisasi" dan "Bunga Rampai SPIP". E-mail: [email protected] Blogger: Cakbro. Blogspot.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post