Menanti Peluit Panjang Melawan Korona

by | Jun 15, 2022 | Birokrasi Berdaya | 2 comments

Akhirnya, pelonggaran penggunaan masker terjadi juga di Indonesia. Dua minggu setelah Idulfitri, Presiden Joko Widodo mengumumkan, masyarakat diperbolehkan untuk tidak menggunakan masker ketika sedang beraktivitas di luar ruangan atau di area terbuka yang tidak padat orang. Meskipun masih terbatas pada area umum yang sepi pengunjung, hal ini patut dijadikan sebuah catatan sejarah dalam perjalanan penanganan pandemi. 

Hari Raya Idulfitri tahun 2022 ini pun sudah bisa kita rayakan sebagaimana yang biasa dilakukan di masa-masa sebelum pandemi melanda. Melakukan takbiran di masjid, sholat Idulfitri dengan shaf yang rapat, silaturahmi secara tatap muka. Tak ketinggalan, mudik lebaran. 

Dua minggu sebelum lebaran pun, mal atau pusat perbelanjaan sudah disesaki oleh pengunjung. Suatu pertanda kehidupan sudah kembali normal. Sejak bulan April 2022, grafik angka kasus Covid-19 terus melandai. Meskipun beberapa hari terakhir ini terjadi kenaikan kasus di beberapa kota, namun berbagai pihak cukup optimis situasi akan tetap berada dalam kendali.

Selama bulan Mei 2022, penambahan kasus harian Covid-19 berada di bawah 300 kasus, angka kematian harian berada di bawah 20 kasus.  Serta sudah terdapat lebih dari 200 juta orang yang telah mendapat vaksin dosis pertama, dan 167 juta orang yang telah mendapat Covid-19 dosis kedua.   

Dengan melihat beberapa indikator penanganan Covid-19 yang sudah baik, kita sudah mulai berani injak gas. Grafik penambahan kasus yang semakin melandai, angka kematian yang juga menurun, tingkat kesembuhan yang tinggi, ditunjang dengan jangkauan vaksinasi yang semakin luas, menjadi indikator pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk melonggarkan PPKM hampir di seluruh daerah di Indonesia.

Wabah dan Prediksi Homo Deus

Namun, di tengah keriuhan itu semua, terselip pertanyaan, apakah kita sudah benar-benar menang melawan korona? Layaknya dalam pertandingan sepak bola, sebelum wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir, apapun masih bisa terjadi, kemenangan pun belum bisa diklaim. 

Menghadapi korona, apakah statistik-statistik di atas dapat diklaim sebagai sebuah kemenangan? Lantas, pada akhirnya nanti, siapakah yang akan enyah terlebih dahulu dari muka bumi, korona atau manusia? 

Bila apa yang kita rasakan hari ini adalah sebuah kemenangan, bukankah mempertahankan kemenangan seringkali lebih sulit dibanding merebutnya?

Yuval Noah Harari dalam Homo Deus mengungkapkan bahwa wabah dan penyakit menular merupakan musuh terbesar kedua bagi kemanusiaan. Ia pun menceritakan bagaimana wabah dan penyakit menular dapat membunuh manusia dan mengurangi populasi manusia. 

Harari memulainya dengan kisah wabah Maut Hitam yang terjadi pada dekade 1330. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, wabah Maut Hitam ini menyebabkan sekitar 75 juta sampai 200 juta orang meninggal dunia. 

Setelah wabah Maut Hitam, kemudian muncul virus cacar (smallpox). Terjadi di tahun 1520 di Meksiko. Populasi di Meksiko pada bulan Maret 1520 sebesar 22 juta jiwa, namun pada Desember 1520 populasi tersisa tinggal 14 juta jiwa. 

Setelah itu, muncul gelombang maut flu, kutu, dan berbagai penyakit menular lainnya menyerang Meksiko secara bergantian. Hingga pada tahun 1580 penduduknya tak sampai satu juta jiwa. 

Dua abad kemudian, pada tahun 1778 muncul flu pertama, tuberkulosis, dan sipilis ke Hawaii. Pada 1853, hanya 70.000 orang yang selamat di Hawaii. Memasuki abad 20, tahun 1918 muncul Flu Spanyol. Wabah ini mengakibatkan sekitar setengah milyar manusia tewas hanya dalam waktu beberapa bulan.

Harari juga menyebutkan bahwa seabad terakhir, populasi manusia bahkan lebih rawan pada wabah. Ia melanjutkan, bahwa kita seharusnya sudah hidup dalam sebuah neraka epidemiologis dengan satu demi satu wabah mematikan. 

Kombinasi penambahan populasi dan (alat) transportasi yang lebih baik, membuat wabah bisa segera berpindah tempat dalam waktu sekejap. Kini, sebuah virus Spanyol bisa bepergian ke Kongo atau Tahiti dalam waktu kurang dari 24 jam, dibanding pada tahun 1918. 

Beradu Cepat dengan Wabah

Meski demikian, Harari juga memprediksi bahwa manusia akan mampu lebih efektif dalam menangani gelombang-gelombang wabah yang datang silih berganti. Hal ini tidak lain didasari pada pencapaian di bidang kedokteran. Dunia medis kini telah mampu menyediakan untuk kita vaksinasi, antibiotik, dan ilmu kesehatan, serta infrastruktur medis yang lebih baik.

Di tahun 2000an muncul berbagai wabah penyakit yang diperkirakan berpotensi akan menjadi ledakan wabah baru. Seperti SARS di tahun 2002/2003. Flu burung tahun 2005. Flu babi di tahun 2009/2010, dan Ebola pada tahun 2014. Namun, berkat langkah-langkah penanggulangan yang efisien, wabah-wabah tersebut sejauh ini menimbulkan jumlah korban yang secara komparatif rendah.

Harari berpendapat bahwa dokter berlari lebih cepat daripada kuman atau virus. Virus, kuman, ataupun penyakit-penyakit itu pada akhirnya bergantung pada undian nasib. Sebaliknya, para dokter mengandalkan lebih dari sekedar keberuntungan. 

Para dokter tidak semata-mata menuangkan bermacam-macam bahan kimia ke tabung uji, lalu secara kebetulan mendapat obat baru. Tahun demi tahun, para dokter mengakumulasikan pengetahuan yang semakin baik dan semakin baik, yang mereka gunakan dalam rangka merancang pengobatan dan perawatan yang lebih baik. 

Akibatnya, meskipun pada tahun 2050 kita tak diragukan lagi akan menghadapi kuman-kuman yang lebih tangkas, kedokteran pada tahun 2050 tampaknya akan mampu mengatasi mereka secara lebih efisien dibanding pada tahun ini. 

Penanganan Multidimensi

Senada dengan Harari, wabah mungkin saja terjadi secara terus menerus. Seperti sekarang, belum tamat cerita tentang korona, muncul hepatitis misterius, PMK pada hewan ternak, serta cacar monyet yang mulai mengintai. 

Ya, tidak ada salahnya kita bersandar pada optimisme yang diungkapkan oleh Harari. Namun, kita pun tidak boleh lupa, bahwa saat ini, kehadiran virus bukan hanya berdampak pada sisi kesehatan. Ekonomi maupun kehidupan sosial manusia pun turut terhantam. 

Dari sisi kesehatan, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 6 juta orang Indonesia dan merenggut nyawa lebih 156 ribu jiwa atau setara 2,6% dari jumlah yang terpapar. (sumber : covid19.go.id, diakses pada : 13 Juni 2022) 

Setali tiga uang, dari sisi ekonomi pun terlihat adanya fluktuasi angka pengangguran di Indonesia selama masa pandemi. Agustus 2019 sebelum korona viral, BPS mencatat angka pengangguran sebesar 5,23%. 

Bulan Februari 2020, angka pengangguran mengalami penurunan yaitu 4,94%. Di bulan Agustus 2020, saat pandemi sudah masuk ke Indonesia, angka pengangguran mengalami peningkatan, yakni menjadi 7,07% atau setara 9.767 ribu jiwa. Bulan Agustus tahun 2021 sebesar 6,49%. Dan di Februari 2022 mengalami penurunan kembali, yakni di angka 5,83%.  (sumber: bps.go.id, diakses pada 13 Juni 2022)

Beruntung, angka pengangguran berangsur turun. Hal ini bisa saja disebabkan karena pengetahuan kita yang telah meningkat mengenai cara kerja virus korona. Dan telah menemukan formula kebijakan yang pas dalam menangani krisis Covid-19, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.

Epilog: Pembelajaran dari Pandemi

Melihat kenyataan ini, tentu kita tidak hanya bisa bergantung pada dunia medis semata. Dua tahun lebih pandemi melanda, telah banyak pembelajaran yang kita dapatkan. Penanganan pandemi diupayakan dengan berbagai dimensi, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun dimensi sosial. 

Berbagai kebijakan yang telah diambil, tentu menjadi pembelajaran, yang sewaktu-waktu dapat dipanggil kembali saat terjadi pandemi. Pertandingan melawan virus, memang bukan seperti pertandingan sepak bola yang dibatasi oleh waktu untuk mendapatkan pemenangnya. 

Upaya melawan virus, mungkin akan jadi upaya yang akan terus menerus dilakukan sepanjang sejarah manusia. Atau sebagaimana yang banyak orang katakan, sampai kita dapat hidup berdampingan dengan virus. Terdengar agak lucu ya, hidup berdampingan dengan virus. Lalu, apakah kita juga harus mengawininya? Semoga tidak.

1
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

2 Comments

  1. Avatar

    Sebelum sampai ke Homo Deus, Harari memprediksi itu dalam buku pertamanya yg booming dalam bahasa Ibrani, Sapiens (2011)….

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih atas koreksinya Pak Muhadam.
      Langsung loncat ke homo deus. lupa baca sapiens dulu.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post