Pengantar
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, khususnya hal yang berkaitan dengan kedudukan Inspektorat di pemerintah daerah. Rencananya, organisasi Inspektorat akan setara dengan Sekretariat Daerah. Hal ini dilakukan dalam rangka penguatan peran Inspektorat sebagai pengawas internal di pemerintah daerah.
Inspektorat Jenderal Kemendagri, Sri Wahyuningsih, menyatakan ide tersebut muncul karena kewenangan Inspektorat sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) selama ini dirasa masih terbatas. Akibatnya, mereka kurang berperan dalam melakukan pengawasan internal. Sebagai contoh, Inspektorat sering sekali tidak bisa bertindak optimal ketika menemukan kejanggalan atau indikasi korupsi karena kedudukannya selevel dengan kepala dinas yang sedang diperiksa (detik.com, 28/12/2017).
Walau pada awalnya usulan penguatan peran Inspektorat ini merupakan inisiatif Kemendagri, tetapi keinginan ini kemudian didorong oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu tatkala Deputi Pencegahan KPK, Sahala Nainggolan, berkunjung ke kantor Kemendagri (CNN Indonesia, 18/9/2017).
Ada tiga rancangan skema peningkatan posisi Inspektorat dalam pemerintah daerah, yakni (a) Inspektorat selevel dengan Sekretariat Daerah, (b) Inspektorat diangkat dan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur, atau (c) Inspektorat akan menjadi badan dan terpisah dari perangkat pemerintah daerah.
Yang menarik dikaji adalah perubahan posisi Inspektorat ini dilihat dari sistem tata kelola (governance) di pemerintah daerah.
Pengertian Governance
Agar dapat melaksanakan visi dan misi, serta untuk mencapai tujuannya, suatu organisasi harus merumuskan strategi, melaksanakan kegiatan operasional, serta melakukan pengawasan atau monitoring agar kegiatan operasional tersebut sejalan dengan strategi yang telah ditetapkan. Untuk itu, organisasi perlu merancang struktur atau sistem tata kelola (corporate governance).
Sistem tata kelola ini mempunyai banyak variasi. Namun, yang paling sering dibahas adalah one-tier board system dan two-tier board system. Sistem yang pertama banyak diterapkan di negara Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Sementara itu, sistem yang kedua banyak diterapkan di negara Eropa, seperti Jerman, Perancis, dan Belanda. Sistem tata kelola di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kedua sistem ini.
One-Tier Board System
Dalam one-tier board system, keseluruhan wewenang pelaksanaan fungsi suatu organisasi dilaksanakan oleh satu board atau dewan yang lazim disebut sebagai board of directors. Beberapa organisasi sering juga menyebutnya dengan board of governors atau board of commissioners. Pada sistem ini, board of directors berfungsi menetapkan kebijakan, melaksanakan kegiatan operasional, dan sekaligus melakukan pengawasan atau monitoring.
Bagi kita yang terbiasa dengan two-tier board system, sistem ini dipandang kurang memperhatikan pemisahan wewenang dan tanggung jawab karena ketiga fungsi utama dilaksanakan oleh satu dewan. Namun, jika ditilik lebih dalam, sebenarnya pada sistem ini terdapat pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebagai contoh, pengambilan arah organisasi ke depan merupakan kewenangan board of directors sebagai satu kesatuan dewan. Dengan demikian, semua anggota board of directors berpartisipasi dalam melaksanakan fungsi tersebut.
Seringkali konsep kesatuan dalam pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban pada sistem ini disebut sebagai sistem kolektif kolegial. Sementara itu, untuk melaksanakan kegiatan operasional ditunjuk satu atau beberapa anggota board of directors yang disebut sebagai executive director(s).
Di sisi lain, pelaksanaan fungsi pengawasan dilakukan oleh beberapa anggota board of directors lainnya yang disebut non-executive directors (NEDs). NEDs ini pada umumnya bekerja secara paruh waktu (part time). Komposisi jumlah anggota executive directors dan non-executive directors ini bervariasi tergantung pertimbangan dan kepentingan organisasi, tetapi pada umumnya executive directors berjumlah lebih sedikit bila dibandingkan dengan non-executive directors.
Selanjutnya, pemegang saham (shareholders) atau juga board of directors memilih salah satu anggota non-executive directors menjadi chairman atau sering pula disebut sebagai president, sedangkan satu atau salah satu anggota executive directors ditetapkan menjadi chief executive officer (CEO).
Dalam praktiknya, terdapat perbedaan dalam penetapan chairman dan CEO tersebut. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, seorang chairman biasanya sekaligus ditunjuk juga menjadi CEO yang kemudian memunculkan sebutan executive chairman. Sebagai perbandingan, di Inggris pada umumnya seorang CEO tidak merangkap jabatan sebagai chairman. Artinya, kedua jabatan ini harus diamanatkan kepada dua orang yang berbeda.
Two-Tier Board System
Dalam two-tier board system, terdapat dua dewan yang terpisah, yaitu satu dewan yang bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan mengelola operasional perusahaan (management board) dan satu dewan lainnya menjalankan fungsi pengawasan (supervisory board). Jika disandingkan dengan sistem tata kelola one-tier board system, pada dasarnya, management board merupakan executive directors, sedangkan supervisory board merupakan non-executive directors.
Pemisahan fungsi penetapan arah organisasi dan pelaksanaan operasional dengan fungsi pengawasan dimaksudkan untuk menghindari benturan kepentingan yang diharapkan akan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Namun, penetapan kriteria dan pelaksanaan proses pemilihan supervisory boards ini sering kurang jelas dan tidak transparan. Akibatnya, pengawasan menjadi tidak efektif dan dapat menyebabkan tata kelola yang kurang baik. Berkaca pada hal tersebut, saat ini terdapat kecenderungan perusahaan atau organisasi mulai menerapkan one-tier board system.
Banyak organisasi di Indonesia kesannya menganut two-tier system yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), board of directors, dan executive manager. Namun, berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 1995, anggota dewan direksi maupun anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Dengan demikian, kedudukan dua dewan ini di Indonesia setara, tidak seperti di negara Eropa yang menganut murni two-tier system. Yang membedakan di antara keduanya adalah dewan komisaris di Indonesia dapat memberhentikan dewan direksi.
Penutup
Peningkatan peran Inspektorat yang akan naik level satu tingkat ke atas atau menjadi badan terpisah dari pemerintah daerah mungkin menjadi suatu solusi yang efektif untuk mengatasi keterbatasan wewenang mereka.
Jika diperhatikan, perubahan ini mengadopsi two-tier system. Namun demikian, dalam pandangan saya, keberhasilan sistem tata kelola manapun yang dipilih bergantung kepada kompetensi dan integritas manajemen level puncak dalam menjalankan fungsinya, terutama berkaitan dengan upayanya mengatasi benturan kepentingan, bukan sekadar bagaimana memilih sistem tata kelola.
0 Comments