Terkadang kita lupa, bahwa kita bisa menggunakan kehendak bebas kita untuk memverifikasi sebuah hal yang benar

Barangkali belum lama ini kita terperangah dengan dua kejadian kekerasan, bom di depan gereja katedral di Makassar serta penodongan senjata di Mabes Polri. Pola kekerasan yang sama seakan menjadi langganan dalam dinamika bermasyarakat menjelang hari besar umat beragama. Pada kesempatan ini, penulis tidak akan membedah langsung mengenai kejadian tersebut, tetapi kita akan mencoba memutar badan dan mencoba menilik ke tahun 1961.

Tingkah laku Adolf Eichmann

Pada tahun tersebut, Hannah Arendt melakukan penelitian tentang bagaimana kekerasan dapat terbentuk. Semua berawal dari penelitiannya mempelajari pola pikir dan tingkah laku Adolf Eichmann. Siapakah Adolf Eichmann?

Adolf Eichmann diklaim sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab atas kekerasan holocaust. Pada saat Adolf Eichmann menjalani pengadilan di Israel atas kekerasan yang telah dia lakukan semasa perang dunia II, Hannah Arendt melakukan penelitian mengenai kepribadian Eichman. Penelitian tersebut dilakukan melalui peliputan proses pengadilan yang berjalan dan diterbitkan melalui sebuah buku berjudul “Eichmann in Jerusalem”.

Dengan segala catatan kekerasan dan kejahatan perang yang telah diprakarsai oleh Adolf Eichmann, kita semua memiliki prejudice bahwa tentulah Adolf Eichmann merupakan manusia yang sangat brutal, psikopat, serta jauh dari standar manusia normal lainnya. Akan tetapi, apa yang diungkap oleh Hannah Arendt cukup menggugah standar pikiran masyarakat saat itu, termasuk pihak Israel yang sempat mencekam hasil penelitian Hannah Arendt.

Adolf Eichmann ketika menghadapi pengadilan di Jerusalem (1961)

Banalitas kejahatan

Hannah Arendt menyebutkan bahwa Eichmann adalah manusia pada umumnya, jauh dari kata brutal apalagi psikopat. Arendt menyebutkan bahwa Eichmann mengandalkan pikiran yang klise dibanding memikirkan keinginan diri sendiri apalagi ideologi yang dibela. Eichmann hanya mengikuti naluri promosi profesional atas karir militernya.

Arendt juga menyebutkan bahwa Eichman adalah pria yang cerdas dan patuh yang sama sekali tidak menyadari konsekuensi dari ketaatan tersebut. Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan oleh Eichmann didorong oleh kepatuhannya dan nalurinya terhadap otoritas militer tempat Eichmann bernaung.

Dari realita Eichmann sendiri, Arendt akhirnya menyebutkan apa yang dinamakan “banalitas kejahatan”, di mana orang yang paling biasa pun dapat melakukan kejahatan yang mengerikan dengan dorongan insentif yang tepat.

Apa yang sering digarisbawahi di sini adalah bagaimana ketika orang biasa tersebut mendapat dorongan insentif yang tepat, seakan kehendak bebas dari orang tersebut untuk memverifikasi kembali baik dan buruk secara umum menjadi hilang.

“Anda benar, saya berubah pikiran dan tidak lagi berbicara tentang “kejahatan radikal”. Memang pendapat saya sekarang bahwa kejahatan tidak pernah “radikal”, tetapi hanya ekstrim, dan tidak memiliki kedalaman maupun dimensi iblis apa pun. Ia (kebaikan) dapat tumbuh berlebihan dan menjadi sampah di seluruh dunia justru karena ia menyebar seperti jamur di permukaan.

Ini adalah “menantang pikiran”. Seperti yang saya katakan, karena pikiran mencoba untuk mencapai kedalaman tertentu, untuk pergi ke akar, dan saat itu menyangkut dirinya dengan kejahatan, ia frustrasi karena tidak ada apa-apa yang didapat dari kejahatan tersebut. Itu adalah “banalitas”-nya. Hanya kebaikan yang tak memiliki kedalaman yang bisa menjadi radikal. “

(Hannah Arendt ketika mencoba menjelaskan bagaimana “kebaikan” yang akhirnya dapat menghasilkan kekerasan secara radikal.)

Eksperimen Stanley Milgram

Dari Hannah Arendt dan tahun 1961, kita coba beranjak ke tahun 1963, di mana terdapat eksperimen Milgram. Eksperimen ini diprakarsai oleh Stanley Milgram untuk menguji apakah seseorang akan mematuhi sebuah perintah dari otoritas, walaupun perintah tersebut berlawanan dengan hati nurani.

Eksperimen ini muncul didorong oleh realita yang terjadi pada hasil persidangan Eichmann. Pada persidangan tersebut, Eichmann menyatakan bahwa kekerasan yang dia prakarsai semata hanya mengikuti perintah dan kepatuhan terhadap otoritas.

Singkat cerita, eksperimen Milgram menggunakan tiga posisi yang diisi beberapa orang secara acak. Satu orang akan berperan sebagai guru, satu orang berperan murid, serta satu orang menjadi kiasan dari otoritas. Dalam eksperimen ini, ketika seseorang yang berperan sebagai murid salah menjawab pertanyaan, maka seseorang yang berperan sebagai guru akan mengalirkan listrik kepada sang murid.

Hal tersebut berlaku akumulatif hingga ke titik maksimal listrik. Hal ini juga berlaku ketika sang murid tidak dapat menjawab pertanyaan. Di sinilah peranan dari seorang yang berperan sebagai otoritas, dia akan berusaha membujuk pihak guru untuk terus mengalirkan listrik walaupun akumulasi listrik yang dialirkan telah mencapai titik berbahaya.

Dalam eskperimen ini sendiri, pihak guru akan duduk bersebelahan dengan pihak otoritas, sedangkan pihak murid berada pada ruangan terpisah. Listrik yang dialirkan pada eksperimen ini hanyalah tipuan semata, tetapi pihak murid akan berpura-pura menerima sengatan listrik ketika pihak guru mengalirkan listrik.

Gambaran pola pada eksperimen Milgram

Pada saat sebelum dilakukan eksperimen ini, peneliti beranggapan bahwa tingkat peserta yang akan terus mengalirkan listrik terus menerus hingga tingkat berbahaya hanyalah 1-3% peserta. Peneliti yang ada sendiri beranggapan bahwa hanyalah orang bermental psikopat ataupun memiliki gangguan mental yang akan melakukannya. Hasil dari eksperimen inipun berkata lain. Dari seluruh peserta yang ada, sebanyak 65% bersedia untuk mengalirkan listrik hingga titik maksimum (450 v).

Hasil dari eksperimen Milgram

Pembenaran atas nama otoritas

Hasil dari eksperimen ini sendiri sejalan dengan konsep kekerasan yang diutarakan oleh Hannah Arendt, bahwa banyak orang menaati perintah karena ingin mendapatkan imbalan, ditambah mereka ingin menghindari adanya konsekuensi negatif dari ketidaktaatan terhadap otoritas.

Melalui eksperimen ini juga dapat dilihat bahwa peserta membenarkan tindakan mereka karena anggapan fatamorgana bahwa otoritaslah yang nantinya akan bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan, karena pada dasarnya peserta hanya menaati perintah otoritas.

Di sinilah dapat dilihat bahwa perilaku kekerasan dapat timbul dari siapa saja, termasuk orang yang berperilaku normal setiap harinya. Dorongan otoritas dan keengganan manusia untuk menggunakan kehendak bebasnya dalam mempertanyakan setiap struktur ataupun standar yang ada.

Otoritas bisa berarti luas tidak hanya dalam artian negara, tetapi bisa apa saja yang mencoba menanamkan struktur pada masyarakat. Bahkan, lingkar pertemanan ataupun keluarga bisa disebut sebagai otoritas ketika mendefinisikan sebuah aturan yang harus dipatuhi.

Dari sini dapat dilihat juga bahwa terkadang tidak diperlukan orang jahat ataupun psikopat untuk melakukan tindak kejahatan yang keji. Dari beberapa kasus kekerasan yang sering terjadi -misalnya pengeboman rumah ibadah ataupun pembakaran rumah ibadah, kita bakal terperangah ketika membaca hasil penelusuran jurnalis bahwa para pelaku dalam kehidupan sehari-hari berlaku layaknya orang normal.

Lebih lanjut, hal yang sama mungkin dapat terlihat ketika barisan oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan ketika sedang melaksanakan tugas pengamanan. Ini semua yang dikatakan oleh Hannah Arendt bahwa kebaikan tanpa dilandasi kedalaman atau dalam kata lain “manut” terhadap otoritas tanpa mencoba mempertanyakan apa yang diperintahkan dapat menimbulkan kejahatan yang radikal.

Inilah “arkhe – arkhe” yang membuat manusia terkadang menghilangkan kehendak bebasnya untuk menentukan mana yang baik ataupun buruk, mana yang melanggar hati nurani maupun mana yang tidak.

Kebebasan mempertanyakan sesuatu

Lalu apa yang dapat dilakukan? Penulis merasa bahwa pemerintah dapat berperan untuk membudayakan generasi penerus untuk mulai memiliki kebebasan untuk mempertanyakan sesuatu, memilih atas pilihan sendiri, kemudian bertanggung jawab atas pilihan tersebut.

Di luar kutipan penelitian yang mendukung, penulis berpendapat bahwa kondisi masyarakat saat ini belum begitu bisa menerima pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengusik kemapanan sebuah struktur ataupun pendapat.

Ketika seseorang tidak memiliki kebebasan untuk mempertanyakan sesuatu ataupun memperdalam atas apa yang diperintahkan, kemudian timbul kejahatan atas perintah tersebut, dan tragedi yang sama akan terus terjadi.

Ketika masyarakat meminta pertanggungjawaban, seseorang tersebut akan bersembunyi di balik perintah otoritas yang membenarkan perintah tersebut, menghapus segala batasan-batasan baik buruk maupun hati nurani yang ada. Hal ini sedikit banyak dimulai dari kenihilan seseorang untuk dapat menggunakan kehendak bebasnya untuk mempertanyakan kembali atas apa yang diperintahkan.

Epilog

Akhir tulisan, mengutip apa yang dikatakan oleh Jacques Ranciere dalam (Indiyastutik, 2019), demokrasi dapat dijadikan alat untuk memerangi kekerasan yang terjadi, yaitu dengan memulai menganggap bahwa setiap orang setara. Sehingga, tidak ada lagi “perintah” untuk mengikuti jalan hidup seperti ini atau seperti itu, karena masing-masing kita secara setara memiliki kehidupan dan jalan kita sendiri-sendiri terlepas dari ukuran umur, strata sosial, maupun gelar akademik.

Kesetaraan tersebut dapat menjadi jalan pemecah kekerasan yang bersembunyi di balik “kebaikan” otoritas apapun, karena tak seorangpun ataupun otoritas apapun berhak mengklaim bahwa jalan yang ia tentukan adalah paling ideal.

Sebab, itulah hakikat kehidupan, keberanian untuk menverifikasi atupun mempertanyakan terus menerus jalan hidup yang menurut kita layak kita jalani. Dan tentu saja berani untuk mempertanggungjawabkannya, karena itulah jalan yang kita pilih, bukan otoritas yang pilih.

“You may say I’m a dreamer but I’m not the only one. I hope someday you’ll join us and the world will be as one”.

Catatan:

  1. Arkhe adalah istilah yang berasal dari Bahasa Yunani untuk menunjukkan sesuatu yang menjadi pertama dalam suatu rangkaian.
  2. Disensus Demokrasi Sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere. 2019. Sri Indiyastutik.


6
0
Ryan Agatha Nanda Widiiswa ▲ Active Writer and Associate Poetry Writer

Ryan Agatha Nanda Widiiswa ▲ Active Writer and Associate Poetry Writer

Author

Pegawai di DJP yang percaya setiap ruang adalah sekolah, setiap orang adalah murid, dan Tuhan sebagai guru.

4 Comments

  1. Muhamad Badar

    Terima Kasih Artikelnya menarik sekali. Saya sering membandingkan hal ini dengan kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan asrama. Pengalaman pribadi 🤭🤭🤭

    Reply
  2. Subroto

    Hmm.. sungguh menarik dan menginspirasi. walau dalam bentuk nukilan-nukilan penelitian, namun bisa menyadarkan kita bahwa perilaku tidak saja berkorelasi dengan tindakan. Jika saya mencoba similarkan kasus kejahatan dengan korupsi, ada semacam titik cerah untuk membuka kotak pandora mengapa korupsi bisa terjadi dan sekaligus memperkuat argumen teori triangle atau diamond fraud dengan syarat ke tiga atau empat unsur tersebut harus saling terkait untuk menghasilkan tindakan korupsi.

    Jika dikaitkan dengan artikel yang pernah saya baca mengenai pola kerja otak hubungannya dengan tindakan hampri senada. Otak kita meliputi wilayah/hemisphere kiri dan kanan dengan sifat antara rasio/logika dan nurani. Jadi saat kita bertindak, otak kita telah berproses jutaan jenis tindakan dengan proses algoritma berdasarkan rekaman data yang ada (prinsipnya seperti orang bermain catur). satu sisi menggunakan logika yang terukur (kuantitatif) bersifat materi seperti untung-rugi, besar-kecil, banyak-sedikit, dsb. Sementara otak nurani juga menghitung secara non-logika (kualitatif) seperti baik-jahat, suka-benci, lembut-keras, dsb.

    Jika seseorang melakukan suatu tindakan terutama tentang kejahatan, dalam sekian detik sebenarnya ada pertarungan kedua wilayah otak untuk melakukan atau tidak melakukan. bisa diumpamakan bagai sebilah gunting, sisi atas adalah nurani memberi justifikasi (saran dan arah) dan sisi bawah adalah otak logika yang mengeksekusi. Pernahkah anda rasakan ketika anda kali pertama akan melakukan suatu kesalahan ada rasa berdebar2?, nah itulah pertarungannya. Jika anda sadar dan tidak melakukan berarti otak nurani yang menang, namun jika tetap melakukan otak sebaliknya.

    Itu saja tambahan penjelas sebagai pengayaan dari faktor endogen sikap perilaku seseorang dalam bertindak. Ny the way, mantap atas artikelnya

    Reply
  3. Avatar

    Bukti bahwa nalar manusia lemah, dan butuh sesuatu yg lebih besar utk tetap menjaga mereka dalam koridor kemanusiaan. Atasnama keyakinan kemudian menganeksasi bangsa lain itu lebih tidak sejalan lagi dengan nilai umiversal manapun. Apalagi melakukan blokade thd bangsa lain atau kelompok manusia lain. Sayang sekali ketika holocaust menjadi sebuah aksi tetapi reaksi atas nama tanah yang dijanjikan, tidak mendapat sorotan sebagai sebuah ketidak adilan atas kemerdekaan bangsa lain

    Reply
  4. Avatar

    Terimakasih atas analisis nya. Menarik dan mencerahkan sekali tulisannya. Sedikit mengomentari dengan diksi judul. Menurut saya mungkin lebih cocok dengan pilihan kata: Kekerasan “Atas nama Kebenaran”. Hemat saya tindakan kekerasan dan terorisme mendasarkan tindakan mereka atas nama “Kebenaran” versi mereka. Demi nilai “Kebenaran” yang mereka perjuangkan, mereka mengorbakan “nilai-nilai kebaikan” yang universal. Dan umumnya manusia memperdebatkan tentang kebenaran. Meributkan siapa yang benar siapa yang salah, yang seringkali melupakan sikap baik saling menghargai. Menurut saya pelaku kekerasan berlindung atas nama “kebenaran”, mereka menilai selain mereka salah.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post