Manajemen Risiko Ajudan “Eselon Setengah”: Kaum Elite atau Kaum Rentan?

by | Dec 26, 2023 | Birokrasi Melayani | 2 comments

Kehadiran Mayor Teddy di barisan Prabowo saat debat Capres menuai atensi publik. Publik menilai bahwa anggota TNI dilarang ikut dalam kegiatan politik praktis.

Mabes TNI pun memberi klarifikasi bahwa yang bersangkutan merupakan “Ajudan” dari Menteri Pertahanan, yang kebetulan saat ini dijabat oleh Capres nomor 2. “Ajudan melekat ikut kegiatan Menhan”, kata Kepala Pusat Penerangan TNI.

Mungkin, ini menjadi hal yang dilematis bagi Mayor Teddy, antara menjalankan tugas sebagai “Ajudan” yang harus melakukan pengawalan melekat kepada pimpinannya? Atau memilih untuk tidak melakukan tugas pengawalan demi menghindari isu netralitas TNI? 

Posisi E(Su)lit “Ajudan”

Posisi “Ajudan” seringkali dilihat sebagai posisi yang elite dibanding posisi pegawai atau staf yang lainnya.  Menjadi “Ajudan” perwira tinggi atau pejabat tinggi memberikan peluang agar namanya bisa dikenal oleh banyak orang, khususnya para pejabat di lingkungan instansinya.

Dengan menjadi “Ajudan” pimpinan tinggi, Ia banyak membantu tugas-tugas kedinasan bos-nya, termasuk berkomunikasi dengan banyak orang.

Menjadi “Ajudan” seorang jenderal ataupun pimpinan tinggi juga memiliki keistimewaan karena bisa sangat dekat dengan perwira tinggi atau pimpinan tinggi, sesuatu yang tidak bisa dirasakan oleh teman-teman lainnya.

Di instansi tempat saya bernaung, misalnya. Dalam candaan, kami menyebut petugas Protokol atau “Ajudan” Kepala LAN sebagai pejabat eselon setengah (½).

Hal ini karena Ia bisa menelpon atau “memerintah” para JPT Madya (eselon I) atau JPT Pratama (eselon 2), tentunya atas arahan Kepala LAN. Dan jarang sekali telepon dari Protokol atau “Ajudan” yang diabaikan oleh para JPT.

Di antara posisi yang elite tersebut, di beberapa tempat di situasi lainnya, seringkali “Ajudan” harus berada di posisi yang sulit. Bukan hanya Mayor Teddy, masih ada banyak cerita tentang “Ajudan” yang posisinya bagai berada di bibir jurang.

Berkaca dari Kasus Eliezer Ajudan Sambo

Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus kematian Brigadir Joshua. Kasus yang awalnya dikisahkan sebagai ajang baku tembak antara polisi dengan polisi, dalam persidangan terungkap fakta lain. Eliezer pun mengakui bahwa Ia menembak Brigadir Joshua atas perintah “Atasan”nya, Irjen Ferdy Sambo.

Tidak ada peristiwa bedil-bedilan antara dirinya dengan Joshua. “Atasan”nya-lah yang merekayasa kejadian dengan menembak ke arah dinding kamar agar terkesan adanya peristiwa tembak-menembak.

Dari peristiwa ini, kita dapat melihat bahwa dengan sekali perintah, Sang “Atasan” dapat mengirim “Ajudan”nya ke alam yang berbeda. Sekaligus mengirim “Ajudan”-”Ajudan” yang lainnya kedalam jeruji besi. Richard Eliezer, Ricky Rizal, serta Kuat Ma’ruf divonis bersalah oleh Majelis Hakim.

Kesialan “Ajudan” karena “perintah” “Atasan” bukan hanya terjadi pada kasus ini saja. Masih ingat kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Eddy Prabowo? Eddy tidak sendiri. Ada juga “Ajudan”nya yang ikut diringkus KPK.

Pun begitu dalam perkara korupsi yang melibatkan eks-Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah. Dua “Ajudan” yang berperan sebagai kurir itu, akhirnya sama-sama diciduk oleh KPK.

Dari kasus ini, kita dapat melihat bagaimana dominasi kekuasaan antara “Atasan” dengan “Ajudan” (bawahan). Sebaliknya, kita melihat seolah adanya ketidak-berdayaan “Ajudan” tatkala berhadapan dengan “perintah” “Atasan”.

Relasi antara “Atasan” dengan “Ajudan” tersebut melahirkan sebuah relasi kuasa. Seorang “Atasan” merasa memiliki kuasa terhadap “Ajudan”nya, sehingga menganggap bahwa sang “Ajudan” dapat diberi perintah untuk melakukan apa saja yang perlukan oleh sang “Atasan”. 

Sebaliknya, “Ajudan” biasanya dinilai dengan loyalitasnya dalam melayani “Atasan”, serta ada atau tidaknya komplain dari “Atasan”.

Dengan demikian, “Ajudan” berusaha sebaik mungkin dan melakukan apapun untuk memenuhi perintah “Atasan”. Demi memenuhi kepuasan atau ekspektasi pimpinan, sebagai KPI yang diemban oleh “Ajudan”.

Relasi Kuasa dan Pandangan Foucault

Interaksi yang berpola kekuasaan tersebut membentuk hubungan yang membawa suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan tertentu. Relasi yang seperti ini menimbulkan efek atau hubungan ketergantungan antara pihak yang memegang kekuasaan dengan objek yang dikuasai.

Terjadinya pola ketergantungan yang tidak seimbang itulah yang mendatangkan sikap kepatuhan. Yang powerless akan patuh terhadap yang powerful.  

Secara sederhana, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga perilaku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kuasa.

Kekuasaan seringkali diasosiasikan dalam bentuk formal, seperti negara, badan, ataupun aktor pemerintah. Sebagaimana pandangan Weberian dan Marxian yang menganggap kekuasaan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain.

Namun, dalam pandangan Michael Foucault, kekuasaan itu menyebar, tidak dilokalisir, dan meresap ke dalam seluruh jalinan sosial. Ia juga menilai bahwa kekuasaan selalu erat dengan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan.

Lebih lanjut, Foucault mengatakan bahwa kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa.

Dengan memakai pandangan Foucault di atas, kita melihat bahwa “Atasan” atau pemegang kuasa selalu memiliki pengetahuan lebih dibanding dengan yang lainnya. Dengan pengetahuannya tersebut, Ia bisa  melanggengkan kekuasaannya.

Sebaliknya, “Ajudan” seringkali menjadi objek yang dikuasai, karena dinilai sebagai sosok yang minim pengetahuan.

Untuk itu, seorang “Ajudan” perlu memiliki pengetahuan minimal terkait dengan bidang pekerjaannya, agar setidaknya Ia memiliki kekuasaan untuk dirinya dan pekerjaannya sendiri.

Dengan pengetahuan yang Ia miliki, Ia dapat berkuasa untuk menentukan sikap, pikiran, dan tindakannya sendiri. Pengetahuan tersebut juga yang menciptakan mekanisme yang mampu memberikan pemahaman mengenai apa yang benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai, maupun baik ataupun tidak baik.

Keberanian Menolak Perintah

Kembali pada kisah para “Ajudan” di atas, andai mereka memiliki pengetahuan tentang ancaman hukuman yang akan dikenakan bila membunuh nyawa orang lain ataupun terlibat dalam kasus korupsi.

Dan, andai Eliezer dan para “Ajudan” lainnya mengetahui bahwa Ia bisa menolak perintah-perintah yang di luar kedinasan, terlebih perintah yang memiliki ancaman pidana.

Andai mereka mengetahui, mungkin mereka akan berfikir atau bahkan menolak perintah “Atasan”nya tersebut. Namun, sebagaimana yang dipahami pada umumnya, ketergantungan yang tidak seimbang, akan mendatangkan kepatuhan.

Entah apakah para “Ajudan” tersebut merasa tergantung pada “Atasan”nya itu, dalam hal ekonomi, karir, sosial, ataupun yang lainnya.

Epilog: Memantapkan Manajemen Risiko Individu

Konsep manajemen risiko kini mulai banyak diterapkan di instansi publik. Sebagai pegawai dan juga sebagai individu, seorang “Ajudan” juga perlu menjadi risk manager untuk dirinya sendiri.

Setiap pekerjaan mengandung peluang risiko. Bila risiko terjadi, akan menimbulkan kerugian. Bahkan dapat pula berdampak pada unit kerja, instansi, keluarga, dan orang-orang disekitarnya.

Seorang “Ajudan” perlu memiliki pengetahuan untuk dapat mengidentifikasi serta memitigasi risiko yang diperkirakan akan terjadi. Mulai dari hal yang kecil, misalnya dalam hal rutinitas pekerjaan, sampai dengan hal yang lebih berat, seperti masalah hukum atau keberlanjutan karir.

Hal ini tidak berlebihan, karena meskipun “Ajudan” atau petugas protokol seringkali dilihat sebagai staf yang berada di lingkaran elite, namun jabatannya masih berada di level “Pelaksana”. Mereka masih rawan terhadap penilaian yang subjektif, dan ancaman mutasi atau karir dari pihak lainnya.

Memang tidak ada aturan rigid mengenai tugas “Ajudan”, karena itu pengalaman setiap “Ajudan” berbeda-beda. Semua tergantung ““Atasan”nya”.

Dan tentu saja tidak semua “Ajudan” bernasib sial. Ada juga mantan-mantan “Ajudan” yang saat ini sudah memiliki jabatan-jabatan strategis, baik di sipil, kepolisian, maupun dari militer. Bahkan, ada  juga “Ajudan” mendapat gelar pahlawan. Lettu Pierre Tendean, namanya.

6
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

2 Comments

  1. Avatar

    Pemahaman kepada siapa kita dan ajudan mengabdi, akan membantu membangun mitigasi risiko individu setiap ajudan. Sesungguhnya, pengabdian ajudan adalah kepada organisasi, bukan kepada individu siapa yg menjadi pemimpin di organisasi tsb.
    Ajudan jg hrs membangun integritas diri serta kuat dalam pemahaman bahwa semuanya adalah amanah. Pertanggungjawaban paling tinggi dari amanah yg dipercaya adalah kepada Tuhan YME, bukan kepada oknum pimpinan organisasi.
    Hrs berani mengemukan pendapat sesuai ketentuan yg berlaku, walaupun hal itu dipandang menentang arahan oknum pimpinan

    Reply
    • Avatar

      Ajudan bagaikan Film Warkop DKI “Maju Kena Mundur Kena”. Tenaga Ajudan Serta Tenaga Pengamanan dan Pengawalan juga harus memiliki perlindungan bagi mereka. Melihat kasus Richard Elizer yang mau tak mau harus melakukan apa yang diperintah oleh atasan. Sekuat2 nya Memantapkan Manajemen Resiko Individu tetap saja nasib sial pasti didapatkan apabila perlakuan atasan yang memaksa perbuatan tidak baik dan benar.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post