Kinerja, Mutasi, dan Kualitas Pegawai di Birokrasi: Sebuah Refleksi dari Silaturahmi Idul Fitri

by | May 10, 2023 | Birokrasi Efektif-Efisien | 1 comment

Saat libur Idul Fitri lalu, saya kedatangan tamu spesial. Teman-teman kuliah yang saat ini sudah bekerja dan menetap di Jakarta. Ada Ikhsan, Mas Goen, dan Bang Aswar. Kebetulan pula tahun ini mereka tidak mudik ke kampung halaman masing-masing.

Selain pernah berada di almamater yang sama, kami juga memiliki profesi yang sama, yakni sebagai PNS. Untungnya, kami tidak berada di instansi yang sama.

Setelah menikmati opor yang penuh dengan kehangatan, kami mengobrol di teras rumah. Kenangan masa kuliah serta obrolan tentang dunia PNS menjadi tema perbincangan kami saat itu.

Dalam obrolan kami, huruf “P” dalam “PNS” ini bisa memiliki banyak sebutan. Kadang kami sebut sebagai “Pegawai”, kadang “Pengabdi”, kadang “Pembelajar”, atau kadang kami sebut juga sebagai “Perantau”.  

Sampai pada suatu percakapan, tiba-tiba Ikhsan berkata, , “Tahun lalu, saya sempat mengajukan mutasi ke satker yang dekat dengan homebase saya, namun belum di-approve”. 

Menanggapi itu, Mas Goen menjawab, “Itu berarti kinerja kamu masih dibutuhkan di unit, San”. 

Lantas, Ikhsan pun berseloroh, “Wah, kalau begitu apakah saya harus tidak berkinerja agar unit saya membenci kinerja saya, dan mau melepaskan saya (untuk dimutasi)?”.     

Saya yang duduk di antara mereka, tertawa kecil melihat perdebatan tersebut. Jawaban Ikhsan bisa jadi relate dengan apa yang terjadi di sekitar kita. 

Saya pun mulai bertanya, “Wah, apakah tidak berkinerja seringkali menjadi modus yang dipakai agar bisa dimutasi?”. 

Membandingkan Pemerintahan dengan Swasta

Mas Goen yang punya pengalaman bekerja di perusahaan swasta mulai membagikan pengalamannya. Ia bercerita bahwa ketika atasan menilai seorang stafnya tidak memiliki performa yang apik, maka atasan tersebut akan berkoordinasi dengan unit HRD. Menganalisis lebih dalam apa yang menjadi penyebabnya. 

Bila seorang karyawan tidak perform dengan baik di suatu unit, belum tentu ia juga tidak bisa berkinerja baik di unit kerja lain. Mungkin penempatannya yang salah. Sehingga, bisa dicoba dimutasi ke unit kerja yang spek pekerjaannya dinilai sesuai dengan karakter dan kompetensi pegawai.

Namun, ada juga perusahaan swasta yang “kejam”. Bila seorang karyawan tidak menunjukan kinerja baik, dan tidak bisa dibina, maka langkah berikutnya adalah “dibinasakan”. 

Dalam arti, staf tersebut dibuat tidak betah, atau dimutasi ke cabang yang ada di luar kota. Sampai akhirnya staf tersebut mengajukan resign

Hal ini biasa dilakukan, karena buat apa perusahaan membayar gaji pegawai yang tidak berperforma sesuai ekspektasi perusahaan. Di samping itu, biasanya mem-PHK karyawan adalah sesuatu hal yang dihindari, karena akan berimplikasi pada pesangon yang mesti dikeluarkan oleh perusahaan. 

Kalau di instansi pemerintah, sepertinya tidak sekasar itu. Pelaksanaan mutasi dilakukan dengan dalih kebutuhan organisasi atau penyegaran organisasi. Paling parah, mutasi yang dilakukan bertujuan untuk meng-grounded seorang pegawai. 

Makanya, ada istilah pegawai yang “diarsipkan”, atau “di-BMN-kan”. Namun, motif seperti itu tak akan pernah terlihat..   

Memilih menjadi Medioker

Kini giliran Bang Aswar yang menimpali. Ia berpendapat bahwa “terkait dengan kinerja, kebanyakan PNS saat ini memilih menjadi medioker. Padahal PNS yang lulus seleksi CPNS adalah orang-orang terbaik”. 

“Berkinerja biasa-biasa saja. Bukan berarti menjadi modus untuk dimutasi. Namun, sikap seperti ini bisa saja disebabkan karena ia merasa jenuh dan merasa ada ketimpangan beban pekerjaan dengan staf yang lain”, tambahnya. 

Bang Aswar pun menilai bahwa, pegawai yang masuk ke dalam birokrasi sudah sangat baik kualitasnya. Kita tahu bahwa, setidaknya sejak tes CAT dilakukan, sistem rekrutmen ASN telah berjalan secara transparan dan menghasilkan kandidat yang terbaik. 

Masalah terjadi saat tenaga baru tersebut dikelola oleh instansinya. Acapkali kita melihat bahwa pegawai yang rajin dan berkualitas tinggi, memiliki beban kerja yang lebih banyak dibanding pegawai lainnya. 

Sialnya, sistem penghargaan atau sistem penggajian belum melihat aspek beban pekerjaan. Pegawai yang rajin, yang sering mendapatkan tugas dari atasannya, memiliki gaji yang sama dengan pegawai lainnya. 

Melihat kondisi ini, banyak dari PNS yang lebih memilih menjadi medioker. Menjadi PNS yang biasa-biasa aja, agar terhindar dari penugasan yang banyak. Bahkan, ada yang menyembunyikan skill yang dimilikinya, agar tidak diketahui oleh orang kantor. 

Tujuannya, supaya terhindar dari tugas tambahan yang mungkin berada di luar job description-nya. Misalnya, menyembunyikan skill dalam mengedit foto, mengedit video, desain grafis dan lain sebagainya. Agar tidak ditunjuk sebagai konten kreator atau pengelola medsos unit kerja. 

“Simpan baik-baik keahlianmu”. Atau sering-seringlah mengucapkan, “kalau orang lain bisa kenapa harus kami?”, itu yang sering diucapkan oleh senior saya di kantor untuk menghindari diri dari eksploitasi, ucap Bang Aswar.  

Beban Kerja Tidak Merata vs Special Assignment

Saya pun mengamini apa yang diungkap Bang Aswar. CAT menjadi proses penyaringan yang sangat-sangat ketat. Dari belasan, puluhan atau ratusan kandidat pelamar dalam satu formasi, yang lolos seleksi CAT ini paling besar 3x dari kuota formasinya. 

Dapat dikatakan, setidaknya ada dua tipe kandidat yang bisa lolos dari CAT. Tipe pertama yaitu kandidat yang pinter bangettttt. Tipe kedua, kandidat yang hoki-nya gede.

Pun begitu ketika sudah menjadi PNS. Pasti ada pegawai yang punya beban pekerjaan yang lebih banyak dibanding rekan kerja lainnya. Kondisi seperti ini memang sangat dilematis. Satu sisi, pegawai secara individu tidak bisa terus-menerus menjadi andalan pimpinan. 

Terlebih, ketika apresiasi yang diberikan hanya senilai 2M (Makasih Mas/Makasih Mbak). Sementara ada rekannya yang lain yang masih bisa bekerja dengan santai. Secara berkepanjangan, kondisi ini dapat  menimbulkan burnout serta perasaan ketidakadilan. 

Namun, jika dilihat dari sudut pandang pimpinan pun akan berbeda. Umumnya, pimpinan akan lebih memilih  memberikan tugas pekerjaan kepada pegawai yang rajin dan bisa diandalkan. 

Disposisi pekerjaan akan diberikan kepada staf yang dianggap mampu memenuhi standar ekspektasi pimpinan. Baik dari sisi kualitas maupun waktu pengerjaannya. Biasanya pimpinan sudah memiliki jagoannya sendiri dalam memberikan tugas.

Selain itu, saya pun masih menerka, apakah pemberian tugas atau special assignment juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya untuk mengembangan kompetensi pegawai? 

Dalam peningkatan kompetensi, dikenal metode 70:20:10. Pemberian tugas di tempat kerja, yang termasuk dalam experiential learning diyakini akan lebih berdampak (70%) pada peningkatan kompetensi pegawai, dibandingkan dengan cara-cara structural learning seperti, diikutkan dalam seminar, diklat, workshop yang hanya menyumbang peningkatan kompetensi sebesar 10%.

Epilog: Tidak Bisa Memilih

Membaca kehidupan para PNS di dunia maya maupun di dunia nyata, membuat kita yakin bahwa ketimpangan beban kerja antar PNS nyata adanya. Ada yang mengeluh karena beban kerja yang setumpuk. 

Ada juga yang mengeluh beban kerjanya dua-tiga tumpuk. Dan ada pula yang mengeluh, karena tidak kebagian beban pekerjaan. Sampai menganggap bahwa pekerjaan PNS adalah pekerjaan yang santai dan monoton. 

Ketimpangan yang ada di kalangan PNS, bukan hanya pada ketimpangan tunjangan kinerja, tetapi juga beban kerja. Eittsss, tapi bagi PNS, banyaknya beban kerja, belum tentu membuat isi rekening menjadi gendut. Bisa jadi yang terisi adalah tabungan pahala. Pengabdian. 

Akhirnya, diskusi kami berempat ditutup dengan sebuah validasi tentang beratnya perjuangan Ikhsan. Pegawai yang jauh dari homebase, menjalani kehidupan pernikahan jarak jauh. 

Kesempatan pulang ke rumah yang perlu ditempuh dengan ongkos yang tidak murah, harus membiayai dua dapur, ditambah lagi dengan ujian kesetiaan. Ikhsan pun menyadari, selama masih jadi bawahan (staf), mau di swasta ataupun sebagai PNS, sama saja. Sulit untuk bebas memilih penempatan di unit kerja mana, siapa rekan kerja kita, dan siapa boss-nya. Kita tak bisa memilih. 

3
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

1 Comment

  1. Avatar

    Sebenarnya menurut saya, apapun kondisinya bekerjalah dengan kemampuan terbaik. Jika pimpinan kita saat ini tidak bisa memberikan penghargaan, in sya Allaah akan ada pimpinan lain yang akan melihat kerja keras kita dan bisa mempromosikan kita atau memfasilitasi urusan kita .

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post