Suatu pagi, beberapa hari lalu ketika sedang menunggu di bangku kursi peron KRL di salah satu stasiun, tanpa sengaja saya mendengar perbicangan dua orang tua tentang sekolah anaknya pasca pengumuman hasil penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP. Bapak yang satu bertanya kepada bapak sebelahnya, “Pak, Cia daftar dan keterima di SMP mana?”
Dengan entengnya Bapak yang di sebelahnya menceritakan bahwa puterinya diterima di salah satu SMP negeri yang dianggap favorit. Padahal, sekolah tersebut berjarak lebih dari 4 kilometer dan beda zonasi dengan tempat tinggalnya. Katanya, dia lebih tertarik sekolah negeri tersebut, dan kurang tertarik mendaftar di sekolah negeri yang masih satu kecamatan dan hanya berjarak satu kilometer.
Kemudian, Bapak yang mengawali perbincangan kembali bertanya agak penasaran, “Lho koq bisa?” Lalu dijawab bahwa dia menumpang KK pada salah seorang kerabat yang dekat dengan sekolah pilihannya. “Oalah”, bisik saya sambil mengernyitkan dahi – keheranan alias tidak kepikiran. Dalam bayangan saya timbul pertanyaan, mengapa harus memilih sekolah yang jaraknya lebih jauh dari SMP negeri yang terdekat.
Sekolah Favorit Tetap Jadi Pilihan
Jangan heran jika kita sering mendengar berbagai alasan orang tua dalam memilih SMP atau SMA yang dianggap favorit. Berdasarkan penelitian Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud tahun 2019 tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Sekolah yang Dianggap Favorit, diperoleh beberapa alasan.
Persentase paling banyak ketertarikan para orang tua terhadap sekolah yang dianggap favorit antara lain karena: lulusannya banyak di terima di PT negeri (1); sekolahnya banyak prestasi yang membanggakan (2); lingkungan sekolah yang baik – karena lingkungan sehari-hari berpengaruh pada kepribadian dan prestasi anak (3); dan, fasilitas sekolah yang memadai (4).
Selain itu juga ada rasa bangga atau prestise jika anaknya bisa diterima di sekolah yang dianggap favorit.
Padahal, sangat jelas bahwa keberadaan sekolah yang dianggap favorit adalah akreditasi yang disematkan masyarakat pada sekolah bersangkutan. Masyarakat menjadikan favorit atau tidaknya sebuah sekolah sebagai dasar pertimbangan saat memilih sekolah.
Dari obrolan singkat tersebut semakin mempertegas bahwa masih banyak orang tua yang secara administratif “berusaha” mengubah domisilinya dengan melakukan lintas zona, hanya karena ingin masuk sekolah yang dianggap favorit.
Di sisi lain, mereka berusaha mengesampingkan nilai-niai dalam sebuah proses demi mencapai tujuan secara pragmatis. Hal ini sesuai dengan definisi dari Robert S Pierce dan William James, yaitu,
“Sebuah metodologi yang hanya mengacu pada tujuan praktis semata, sehingga menimbulkan kesan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.”
Kecurangan dalam PPDB
Salah satunya seperti merekayasa surat keterangan domisili ataupun kartu keluarga (KK) bodong, dijadikan senjata ampuh beberapa orang tua “menabrak” sistem zonasi yang diterapkan dalam PPBD. Artinya, ada upaya oknum para orangtua yang dengan sengaja menitipkan anaknya dalam kartu keluarga (KK) kerabat yang beralamat dekat dengan sekolah negeri atau yang dianggap favorit.
Banyaknya temuan KK bodong –surat keterangan domisili yang tidak valid, atau istilahnya menumpang KK pada saudara atau kerabat, biasanya sering terjadi pada saat PPDB di tahun ajaran baru pada sekolah negeri yang dianggap favorit.
Kalau sudah begini, bukan sedikit orang tua yang terkena imbasnya. Bahkan, kita sering mendengar keluhan keheranan orang tua peserta didik baru yang tidak bisa diterima di salah satu sekolah negeri, padahal rumahnya jarak rumahnya dengan sekolah tidak terlalu jauh.
Usaha curang yang dilakukan oknum para orang tua ini jelas merugikan bagi warga atau peserta didik lain, yang asli merupakan warga setempat di satu kawasan dengan sekolah dimaksud. Peserta didik tersebut bisa jadi seharusnya diterima, namun pupus harapannya. Sesederhana karena ulah oknum orang tua yang memaksakan kehendak di sekolah pilihan yang notabene di luar zonasi dari tempat tinggalnya.
Pemerataan Kualitas Pendidikan
Sistem zonasi yang diterapkan pemerintah sebenarnya sudah cukup baik, karena tujuan zonasi dalam PPDB adalah untuk mempercepat pelaksanaan pemerataan kualitas pendidikan dan memfokuskan sistem zonasi di daerah yang belum memiliki sekolah berkualitas.
Sistem zonasi adalah sebuah sistem pengaturan proses penerimaan peserta didik baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal. Sistem ini awal mulanya diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 dan tujuannya agar tidak ada sekolah-sekolah yang dianggap sekolah favorit dan nonfavorit.
Kebijakan ini juga bertujuan untuk lebih mendekatkan jarak sekolah dengan tempat tinggal anak. Dengan begitu, peserta didik tidak perlu memikirkan biaya transportasi. Sistem zonasi juga bertujuan untuk mengubah stereotip ‘sekolah unggulan’ dan juga menghilangkan diskriminasi dalam dunia pendidikan.
Tidak hanya untuk PPDB, sistem zonasi juga dapat dipakai oleh pemerintah untuk redistribusi dan pemerataan tenaga pendidik atau guru. Apabila dilihat ada kekurangan, maka guru juga akan dirotasi antarzona atau wilayah. Cara inilah yang diharapkan dapat mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sistem ini juga diharapkan mampu menghapuskan diskriminasi dan hak eksklusif, serta upaya perubahan cara pandang masyarakat mengenai sekolah ‘unggulan’. Sebab, selama ini sekolah ‘unggulan’ kerap identik dan eksklusif dengan siswa pintar dan berekonomi menengah ke atas.
Kalau memang kebelet ingin masuk sekolah pilihan, sebenarnya ada beberapa jalur yang bisa ditempuh dalam PPDB. Berdasarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB tahun 2020, disebutkan beberapa bagian yang penting dari Permendikbud ini. Yaitu, bahwa PPDB tahun 2020 dibagi menjadi 4 jalur penerimaan: zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan prestasi.
Ke empat jalur PPDB tersebut adalah;
1) Jalur zonasi kuotanya turun menjadi minimum 50 persen, dari sebelumnya 90 persen pada tahun 2019;
2) Jalur prestasi dapat mengisi hingga 30 persen daya tampung (sebelumnya hanya 15 persen);
3) Jalur afirmasi kurang lebih sama dengan jalur siswa kurang mampu dan inklusi; dan
4) Nilai UN (nilai rata-rata rapor) kini dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria dalam penerimaan lewat jalur prestasi.
Selain itu, pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian terhadap persentase masing-masing jalur.
Epilog
Praktik ketidakjujuran dalam PPDB ini tidak hanya bermodus rekayasa KK atau surat domisili. Dugaan ketidakjujuran lain bisa juga dilakukan terkait dalam pengisian nilai rapor, hingga sertifikat kejuaraan olahraga.
Secara khusus, dalam mengantisipasi adanya KK bodong atau surat keterangan domisili, dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) dan pihak kelurahan harus bertindak tegas. Jika perlu, sebaiknya dibentuk tim investigasi sekolah yang harus melakukan validasi dan verifikasi data faktual, yang melibatkan pihak kelurahan dan instansi terkait –seperti dinas Dikpora, dinas Dikbud, dan dinas Dukcapil.
Sekolah juga perlu melacak kebenaran data jika ditemukan kejanggalan dari KK bodong atau surat keterangan domisili tersebut. Jika memang dicurigai ada kesalahan, pihak keluarga boleh melakukan sanggahan. Pemerintah daerah atau dinas pendidikan setempat juga harus lebih memperketat kembali aturan dan regulasi PPDB agar kasus ini tidak selalu terulang seperti halnya kasus serupa.
0 Comments