
Sebagai salah satu editor, ada satu hal menarik yang sering saya temukan dalam ratusan naskah yang ditulis para ASN muda, yang masuk ke Birokrat Menulis selama tiga tahun terakhir: suara-suara pelan yang tidak ingin ribut, tidak ingin heroik, tidak ingin menuntut macam-macam—tetapi tetap ingin bekerja dengan baik tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Suara-suara itulah yang kemudian dikenal sebagai quiet quitting.
Fenomena ini bukan muncul tiba-tiba. Ia lahir dari ritme birokrasi yang kaku, hirarki yang tebal, beban kerja yang tidak selalu masuk akal, dan penilaian kinerja yang kadang lebih condong mengukur kehadiran ketimbang kebermanfaatan. Ia lahir dari generasi ASN muda yang ingin bekerja, tapi juga ingin tetap menjadi manusia.
Dan dari sini, percakapan kita dimulai.
Quiet Quitting: Antara Apathy dan Boundary-Setting
Sebuah riset berjudul The ABCs of Quiet Quitting oleh Kanwal et al. (2025) memperkenalkan dua tipe quiet quitting yang menurut saya sangat pas menggambarkan realitas ASN: passive quiet quitting dan deliberate quiet quitting.
Passive quiet quitting muncul ketika seseorang sudah terlalu lelah untuk merasa apa-apa. Apathy. Numb. Jalan terus karena kewajiban, bukan karena makna.
Fenomena ini sering saya temukan dalam tulisan-tulisan yang menggambarkan mediokrasi birokrasi: reward yang tidak adil, pekerjaan ekstra yang tidak pernah dihitung, dan kultur kerja yang memandatkan kepatuhan total tanpa kejelasan peran.
Salah satunya yang ditulis oleh Oki Kurniawan pada tahun 2023.
(Baca: Menyibak Fenomena Mediokrasi Para Pegawai Birokrasi)
Menurut Niken Iwani, PhD candidate yang menjadi salah satu peneliti
dalam riset tersebut, kondisi seperti ini muncul akibat burnout, ketidakjelasan ekspektasi, hingga perasaan tidak dihargai. Jika diterjemahkan dalam konteks ASN, fenomena ini
makin kuat karena birokrasi masih beroperasi dalam paradigma lama: yang terlihat
lebih dihitung daripada yang berdampak.
Lalu ada deliberate quiet quitting—versi yang lebih “sadar”, lebih “waras”, dan lebih “berdaulat”.
Ini bukan apatisme. Ini agency.
Ini bukan kemalasan. Ini autonomy.
Di Birokrat Menulis, narasi jenis yang kedua ini juga muncul, seperti dalam tulisan Irsyadinnas tahun 2025. (Baca: Pembangkang yang Patuh)
ASN muda bekerja sesuai aturan dan tupoksi, tapi tidak mau terus-terusan menjadi korban budaya lembur, pesan WA larut malam, dan ekspektasi yang tidak pernah selesai. Mereka sadar batasnya, dan mereka menjaganya.
Mereka bukan berhenti bekerja.
Mereka berhenti dianggap bisa dikerjai.
Perbedaan Generasi, Hustle Culture, dan Langkah dari Quiet Quitting ke Quit Loudly
Dua tulisan lainnya juga menguatkan dugaan saya bahwa perbedaan karakter antargenerasi turut memengaruhi munculnya hustle culture dan quiet quitting.
Tulisan pertama, ditulis oleh Poltergeist (April 2018), berjudul “Surat Cinta untuk Generasi Zaman Old” mengulas benturan antara loyalitas tanpa syarat ala generasi lebih senior dengan kebutuhan keseimbangan hidup yang lebih kuat pada generasi yang lebih muda.
(Baca: Surat Cinta untuk Generasi Zaman Old dari Generasi Zaman Now)
Dari kegelisahan itu, penulis akhirnya memutuskan untuk resign dari PNS dan menceritakannya kembali dalam tulisan pada Agustus 2018. Tulisannya tentang mengundurkan diri dari PNS tersebut hingga kini masih menjadi artikel dengan jumlah pembaca terbanyak di Birokrat Menulis.
(Baca: Memilih Mundur dari PNS)
Dominasi pembaca pada artikel itu memberikan sinyal menarik: banyak orang—khususnya ASN muda—sedang mencari cara untuk memahami atau merasionalisasi keinginan mereka untuk mundur. Mesin pencari bahkan menjadikan tulisan tersebut rujukan utama bagi mereka yang mengetik “memilih mundur PNS”.
Melompat ke masa lebih kekinian, pada September 2025, Irsyadinnas—seorang penulis dan pengamat birokrasi yang lebih senior dari Gen Z—mengambil posisi yang lebih reflektif dan optimis. Melalui tulisannya Menemukan Kembali Makna Pengabdian, ia mengajak ASN untuk mencari alasan bertahan tanpa harus mengorbankan diri.
Meski tulisan dari Irsyadinnas bernada positif, kedua tulisan tersebut sama-sama menyadarkan kita bahwa perbedaan antargenerasi dalam tubuh birokrasi nyata adanya, dan turut menciptakan ketegangan nilai dalam cara kita memaknai kerja.
Artinya, berbagai curahan hati dan pikiran di Birokrat Menulis menunjukkan bahwa quiet quitting bukan sekadar teori bisnis dari luar negeri. Ia hidup di sini, di antara kita. Bahkan, ia menyisakan jejak yang nyata: selangkah setelah quiet quitting adalah quit loudly—pengunduran diri secara penuh.
Dan faktanya, banyak ASN muda yang memilih jalan itu, meskipun di luar sana jutaan orang berkompetisi untuk menjadi Abdi Negara.
Tulisan-tulisan ini adalah data kualitatif—bukan sekadar curhatan. Mereka adalah indikator bahwa disengagement ASN bukan fenomena individual, melainkan sesuatu yang sistemik.
Bukan Salah Gen Z—Tapi Mismatch Desain Kerja
Birokrasi kita dibangun untuk zaman industri: struktur hierarkis, kontrol berlapis, kehadiran fisik sebagai bukti kerja. Tetapi pegawai kini hidup di era digital: cepat, cair, mengedepankan makna, fleksibilitas, dan keseimbangan.
Maka, persoalan quite quitiing ini menurut saya, merupakan sebuah mismatch desain kerja. Ada tiga poin penting terkait hal ini:
- Quiet Quitting bukanlah fenomena individu, tetapi sistemik. Silent workload, reward yang tidak proporsional, role ambiguity, dan kultur “serba bisa” mendorong terciptanya apatisme kolektif.
- Gen Z membawa value baru. Beberapa di antara nilai (value) tersebut yaitu 1) Meaning over money, 2) Growth over title, dan 3) Autonomy over obedience. Memiliki ketiga value tersebut bukanlah kesalahan.
- Quiet quitting adalah early-warning indicator. Kalau organisasi gagal mengelola energi pegawainya, sinyalnya muncul dulu di level paling sunyi: penurunan inisiatif, hilangnya antusiasme, pergeseran ritme kerja. Dengan demikian, quiet quitting adalah alarm, belum menjadi bencana.
Lalu, Apa yang Perlu Dilakukan?
1) Refleksi untuk ASN Muda
Pada akhirnya, perjalanan kita sebagai ASN tidak pernah tunggal. Ada yang melaju dengan penuh energi, ada yang pelan karena lelah, ada pula yang memilih melangkah sesuai ritme masing-masing. Dan semuanya valid.
- Pertama, quiet quitting tidak sama dengan malas.
Kadang, menarik napas sejenak adalah satu-satunya cara agar kita tidak runtuh. Ada masa di mana kita perlu mundur selangkah, bukan untuk menyerah, tetapi untuk tetap waras menghadapi tuntutan yang terus bergerak.
- Kedua, penting membedakan antara disengagement dan self-preservation.
Jika kita merasa pasif, hilang arah, atau tidak lagi menemukan makna, itu tanda bahwa kita butuh ruang aman: mentor, rekan diskusi, atau kejelasan peran. Namun jika memilih boundary-setting—menjaga batas, menolak ekspektasi yang tidak realistis—itu bukan bentuk pembangkangan. Itu bentuk kedewasaan.
- Ketiga, bangunlah identitas profesional yang berkelanjutan.
Tidak semua orang harus menjadi “super ASN”. Yang dibutuhkan birokrasi justru profesional yang stabil, yang memilih kontribusi secara jernih dan terukur, bukan mereka yang terbakar oleh heroisme mendadak. Saringlah tugas. Pilih yang berdampak. Sisanya, biarkan berlalu.
Pada akhirnya, setiap ASN punya hak untuk menemukan ritme kerja yang sehat tanpa kehilangan diri sendiri.
2) Refleksi untuk Pemimpin
Di sisi lain, pemimpin memegang porsi penting dalam menentukan arah energi organisasi. Dan ada beberapa hal yang patut direnungkan.
- Pertama, jangan salah baca sinyal.
Tidak semua kinerja minimal adalah bentuk pembangkangan. Sering kali, itu jeritan sunyi dari seseorang yang sedang kelelahan, kewalahan, atau kehilangan pegangan. Kinerja yang menurun adalah gejala, bukan selalu masalah perilaku.
- Kedua, perjelas ekspektasi.
Banyak kegagalan terjadi bukan karena ketidakmampuan, melainkan ketidakjelasan. Standar kerja yang jelas, terukur, dan adil adalah pondasi. Tanpa itu, bahkan pegawai terbaik pun dapat kehilangan arah.
- Ketiga, hargai invisible work.
ASN muda banyak bekerja di ruang yang tidak terlihat: menyusun notulen, mengelola koordinasi digital, menyelesaikan persoalan teknis yang tidak pernah muncul dalam berita acara. Kinerja mereka sering tidak tercatat, padahal pondasi dari kelancaran kerja justru ada di sana.
- Keempat, bangun budaya komunikasi dua arah.
Quiet quitting tumbuh subur di organisasi yang tidak mau mendengar. Ketika suara dianggap ancaman, bukan informasi, pegawai akan memilih diam. Dan diam yang panjang sering berubah menjadi jarak.
Pada akhirnya, kepemimpinan bukan hanya soal mengarahkan, tetapi juga memastikan bahwa orang-orang yang kita pimpin tetap merasa menjadi manusia sepenuhnya.
Penutup: Yuk, Diskusi Malam ini!
Ingin menyimak dan menyuarakan perbaikan? Silakan bergabung secara daring dalam sharing session bertajuk “Kerja Secukupnya? Kupas Tuntas Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Gen Z”.
Hasil kolaborasi antara COPS Research FEB UI, Birokrat Menulis, dan @sharing.asn ini akan mengupas tuntas fenomena Quiet Quitting dari kacamata riset dan pengalaman di lapangan!

🗓 Kamis, 27 November 2025
🕖 19.00 WIB
💻 Via Zoom
Meeting ID: 445-861-3735
Passcode: 3735
Narasumber:
👩🏫 Niken Iwani S.P., M.Sc. (Ph.D. Candidate, University of North Texas)
👤 Sofia Mahardianingtyas – Birokrat Menulis
Host:
👩🏫 Ria Oktorina (Doctoral Student, IPB University)
Sampai jumpa!
Reference:
Kanwal, F., Iwani, N. P., Jordan, S. L., Lopez-Kidwell, V., Sawhney, G., Reger, R. K., & Bijlani, A. (2025). The ABCs of quiet quitting: A bifurcated framework of its passive and deliberate types. Unpublished manuscript, Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia & G. Brint Ryan College of Business, University of North Texas.














0 Comments