Teknologi internet telah membuat bumi banjir informasi. Menurut situs Internet Live Stats, setiap detik muncul hampir 9000 twit baru di Twitter, hampir 1000 gambar baru di Instagram, dan lebih dari 80.000 video baru di Youtube. Data yang diambil pada 20 Februari 2020 itu juga menunjukkan ada lebih dari 1,7 miliar website di seluruh dunia dan lebih dari 2,5 juta blog baru ditulis setiap harinya.
Jauh sebelum disadari publik, berita online sebenarnya sudah dirintis pada tahun 1974 oleh Bruce Parrello (PLATO News Report) di University of Illinois kemudian oleh Embratel Network (Jornaldodia) di Brazil pada awal tahun 1987. Namun, baru di akhir 1990-an ratusan surat kabar Amerika ramai-ramai merilis berita mereka dalam versi online.
Dua puluh tahun berlalu, berita online kini mulai “mengkudeta” surat kabar dan majalah cetak. Dunia jurnalistik semakin hiruk pikuk dengan kehadiran blog-blog yang seakan memiliki legitimasi menampilkan informasi apa saja.
Keriuhan informasi saat ini diperkeras lagi lagi oleh aplikasi media sosial. Jika kita harus membuka laman berita online untuk mencari informasi, maka media sosial langsung menghadirkannya di wajah kita setiap kali membuka smartphone. Orang pun sekarang lebih banyak membaca berita melalui media sosial.
Media Forbes menyebutkan bahwa 64,5% berita dikonsumsi melalui media sosial. Sementara, 50% pengguna internet mengaku mengetahui berita lebih dulu dari media sosial sebelum melihat situs beritanya. Ketika berita bisa saja palsu dan opini bisa absurd tanpa dasar ilmiah, maka informasi di internet bisa menjadi masalah tersendiri.
Generasi Milenial dan Demokrasi
Siapakah penghuni dunia maya? Mayoritas mereka adalah orang-orang muda yang lahir setelah era 80-an atau yang sekarang berusia empat puluh tahun kebawah. Kelompok masyarakat ini yang sering disebut dengan Generasi Milenial, Generasi Y atau Digital Native (Tapscott, 2009).
Lembaga PBB International Telecommunication Union (ITU) menyatakan bahwa 70% anak muda berusia 15-24 tahun aktif di internet pada tahun 2017. Di negara-negara berkembang, pengguna internet usia muda bahkan mencapai angka 94%.
Di Indonesia sendiri, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memperkirakan bahwa 81,4% dari seluruh pengguna internet adalah anak muda berusia 15-39 tahun (data 2018). 90,6% dari anak muda pengguna internet di Indonesia itu dominan menggunakan media sosial. Sepertinya media sosial memang menjadi alasan terbesar anak muda masa kini untuk menggunakan internet.
Kekayaan dan kecepatan informasi yang dihadirkan media sosial itu membuat generasi milenial semakin melek politik dan ikut berperan aktif dalam demokrasi. Terbukti dari jumlah anak muda berusia 17-35 tahun yang berpartisipasi di Pemilihan Presiden 2019 lalu, disinyalir mencapai 40% atau sebanyak 80 juta orang (Itsowi, 2019).
Berdasarkan data pengguna media sosial di atas maka dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang asyik berdiskusi (baca: berdebat) di media sosial itu adalah generasi milenial. Rombongan pendemo yang menentang RUU KHUP di berbagai daerah pada September 2019 lalu juga adalah generasi milenial. Pergerakannya mereka sangat cepat dikoordinasikan melalui media sosial.
Berbeda dengan demonstrasi mahasiswa pada Reformasi 1998 dan Malari 1974. Kedua demonstrasi itu terjadi setelah akumulasi peristiwa dalam waktu yang panjang menyangkut ketimpangan ekonomi, hukum, dan pemerintahan. Pengorganisasian aksi protes juga butuh waktu lama setelah melewati banyak diskusi tatap muka.
Anak muda memang memiliki kecenderungan ingin mendapat tempat di ruang publik. Mereka ingin mengungkapkan ekspresi, ingin didengar dan berpartisipasi dalam kehidupan publik sebagaimana yang ditulis peneliti Microsoft, Danah Boyd, dalam bukunya It’s Complicated (2014).
Tuntutan yang saat ini menyangkut kebijakan pemerintah, pada level dan momentum tertentu, bisa menyasar bentuk pemerintahan dan pondasi negara sebagai mana yang terjadi di negara-negara Arab pada tahun 2010-an yang dikenal dengan peristiwa Arab Spring.
Generasi Milenial dan Tantangannya
Hasil survei yang dirilis situs ReachOut menyatakan bahwa alasan anak muda mengakses media sosial adalah untuk berbicara dengan teman, bergabung dalam percakapan grup, bertemu orang baru, mempelajari tentang kejadian terkini dan untuk tetap mendapatkan informasi terbaru dari konten online. Alasan “aneh” lain yang dikemukakan adalah karena merasa bosan tidak ada kegiatan dan merasa ada yang hilang jika tidak up to date dengan media sosial.
Media sosial memang menjadi jalan pintas untuk bertemu orang-orang tanpa harus menghabiskan banyak waktu dan energi untuk keluar rumah. Namun lebih dari itu, media sosial digemari karena penggunanya bisa membentuk jaringannya sendiri dan menciptakan publiknya sendiri.
Perilaku dan preferensi generasi milenial pun dinilai berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Studi yang dirilis Asis&t mengklaim bahwa generasi milenial hidup dalam perputaran informasi yang berusia sangat pendek.
Informasi cepat dimunculkan dan cepat pula berubah. Anak muda tidak sempat merenung berlama-lama karena informasi yang baru sudah datang atau informasi yang ingin direnungkan itu sudah berubah.
Generasi milenial kemudian menjadi konsumen yang semakin menuntut informasi yang lebih menarik dan interaktif. Jika tidak demikian, mereka tidak akan mengonsumsi informasi tersebut.
Generasi milenial juga tidak lagi sekedar konsumen informasi tetapi menjadi kreator informasi. Itu sebabnya akun-akun berita di media sosial lebih banyak diminati daripada versi website karena pengguna bisa turut menambah informasi (co-production) melalui komentar.
Aktivitas mencipta dan mengkonsumsi itu pun berputar dan bergerak seperti sebuah roda, merubah posisi seiring waktu. Karena generasi milenial menciptakan informasi dan informasi membentuk mereka, maka generasi milenial dikhawatirkan sulit mengenali dan merefleksi diri mereka sendiri.
Kerawanan turut dipengaruhi pola pencarian informasi generasi milenial. Selain mengandalkan pencarian yang ada di sumber-sumber konvensional dan website umum di internet, mereka juga menggunakan kelompok jaringannya sebagai sumber informasi.
Ketika mereka tidak mendapatkan informasi yang memuaskan, generasi milenial akan mencari dari sumber lain yang mereka anggap sesuai dengan pengertian mereka. Jaringan pun terbentuk dan kemudian membangun pemahaman bersama sebagai hasil interaksi tersebut.
Generasi Milenial dan Radikalisme
Isu permintaan pulang eks WNI yang menjadi kombatan ISIS menjadi perbincangan hangat di bulan Februari 2020. Berbagai testimoni dari mantan kombatan ISIS sudah menjelaskan tentang perihal bagaiamana keberangkatan mereka ke Suriah terjadi. Keputusan itu bukan datang tiba-tiba, tetapi diambil setelah pemahaman yang terbangun tahap demi tahap melalui media sosial. Mengapa bisa demikian?
Peneliti terorisme Linda Schlegel menyimpulkan bahwa internet memfasilitasi kerentanan generasi milenial terhadap ideologi radikal, karena memungkinkan interaksi mereka melalui media yang akrab.
Praktik komunikasi sosial yang dibagikan dalam media sosial mengarah pada kepercayaan, yang kemudian mengarah pada timbulnya rasa kepemilikan bersama. Generasi milenial dapat membangun identitas mereka berdasarkan komunitas virtual dan, jika komunitas itu radikal, maka habitus yang saling dibagikan itu akan mendukung ide-ide radikal.
Sebenarnya pola yang sama terjadi pada pemahaman-pemahaman lain yang juga terbangun menjadi keyakinan dan bagian hidup. Sebut saja fotografi, otomotif, pecinta hewan, termasuk homoseksual. Hanya saja, karakter internet yang menawarkan informasi berlimpah dan interaksi yang seakan bebas tak terkendali itu, menjadi iklim yang sangat ideal bagi pertumbuhan berbagai paham dalam waktu singkat.
Epilog
Teknologi internet telah menawarkan informasi yang sangat banyak bahkan terlalu banyak untuk dikonsumsi apalagi diteliti. Akhirnya, pengguna internet yang sebagian besar adalah generasi milenial itu, mempersempit sumber informasi mereka dengan membentuk lingkungan maya.
Generasi milenial adalah generasi yang haus akan informasi tetapi setelah menemukan lingkungan yang disukai, mereka akan membentuk jaringan sendiri. Mereka melakukan aktivitas ganda, sebagai kreator dan juga konsumen.
Perlombaan untuk semakin menarik menggiring warganet ke alam liar spektakulerisme dan eksperimental. Konten media sosial dibuat semakin spektakuler dengan cara bereksperimen.
Generasi milenial menjadi segmen yang krusial dalam demokrasi karena mereka adalah pasar politik yang sangat empuk karena karakter haus informasi dan eksistensi di ruang publik tersebut.
Sifat generasi milenial yang menuntut informasi cepat dan interaktif harus menjadi perhatian khusus pemerintah dan para pengambil kebijakan karena interaksi di media sosial bisa membangun sendiri pemahaman bersama para penghuninya.
“Pemahaman apa dan pemahaman siapa?” Itu menjadi pertanyaan yang penting untuk diperhatikan oleh semua pihak sejak dini.
Media sosial itu seperti api. Dinyalakan sebagai bahan penolong tetapi menjadi pembinasa ketika tak terkendali.
Referensi lain:
Danah Boyd. (2014). It’s Complicated.
Henry Farrel. (2012). The Consequences of the Internet for Politics.
Don Tapscott. (2009). Grown Up Digital.
Linda Schlegel. (2017). Digital Natives and Online Identity Construction.
Thanks bang Bergman buat deskripsi tulisannya yang luas dan membuka wawasan. Mendapatkan Sumber/referensi yang update dan kredibel juga membutuhkan usaha yang tidak sedikit. Surely, you deserve respects from your readers include me.
Tapi kalau boleh memberi sedikit input, di tulisan ini mungkin sebaiknya dimasukkan juga himbauan, harapan dan bagaimana semestinya generasi muda menyikapi kerentanan-kerentanan yang abang kemukakan. I mean not only description, but also write the argumentation. Begitu kira-kira. sekali lagi thanks buat tulisannya dan ditunggu tulisan-tulisan berikutnya.