Penyederhanaan birokrasi pemerintah salah satunya dilakukan dengan melakukan perombakan besar-besaran pada jabatan struktural. Direncanakan, akan banyak jabatan eselon III, IV, dan V yang dipangkas untuk dialihkan menjadi jabatan fungsional. Jabatan pelaksana pun juga akan dikurangi untuk dialihkan menjadi jabatan fungsional tertentu.
Manfaat Perombakan
Hal tersebut perlu dilakukan mengingat birokrasi pemerintah yang berjenjang seringkali membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi lambat. Sebagai contoh ilustrasi, untuk menjawab satu permasalahan masyarakat, biasanya dilakukan dengan disposisi penugasan dari Eselon I, lalu berjenjang ke Eselon II, III, IV, V, dan terakhir staf pelaksana.
Ketika staf pelaksana selesai mengkonsep suatu surat jawaban, alur birokrasi kembali ke arah sebaliknya ke Eselon V, IV, III, II, hingga I untuk dapat menjawab permasalahan masyarakat. Tentunya alur birokrasi yang bertingkat tersebut sangat menghambat karena perlu telaahan dan persetujuan dari banyak pejabat yang tentu saja memakan waktu.
Dengan pemangkasan tersebut, diharapkan pelayanan masyarakat lebih cepat karena tidak perlu melalui jalur komando yang panjang. Eselon I atau II bisa langsung menugaskan pegawai fungsional tertentu dan begitu sebaliknya, hasil keluaran bisa segera didapatkan oleh masyarakat.
Selain itu, peralihan ke jabatan fungsional membuat pegawai tidak lagi menunggu perintah pimpinan untuk mengerjakan sesuatu. Karena sudah jelas apa yang harus dilakukan sesuai deskripsi tugas jabatan fungsionalnya. Dengan demikian, terdapat kemandirian dan inovasi dalam pekerjaan tanpa terhalang hirarki jabatan birokrasi yang begitu tinggi.
Pengukuran kinerja pegawai fungsional pun dapat menjadi transparan yakni jelas siapa melakukan apa. Dibandingkan dengan jabatan struktural yang seringkali bias, di antara mata rantai birokrasi yang berjenjang tidak diketahui siapa yang paling bekerja atau berperan untuk menghasilkan, apakah pelaksana, eselon V, IV, atau III.
Dengan kinerja pegawai yang terukur, maka akan terdapat kompetisi karir yang sehat. Hanya pegawai yang berkinerja baik yang dapat memperoleh angka kredit untuk kenaikan pangkat, tidak hanya menunggu empat tahun seperti yang terjadi di jabatan strukural. Sehingga antara pegawai yang berkinerja baik dan buruk dapat dibedakan untuk kenaikan pangkat dan karirnya.
Selain kompetisi yang sehat, pengalihan ke jabatan fungsional tertentu juga dalam rangka membangun jalur karir yang sesuai keterampilan atau keahlian yang dimiliki pegawai. Sebagaimana diketahui, masih lumrah ditemui pegawai yang memiliki kompetensi di bidang sistem teknologi informasi harus mengerjakan pekerjaan terkait pengelolaan sumber daya manusia, atau pegawai yang memiliki kompetensi di bidang komunikasi harus mengerjakan pengarsipan dokumen.
Selama ini pegawai bekerja sesuai dengan tempat bidang penugasan, tidak melihat segi kemampuan, passion, serta minat pegawai. Hal ini tentu berbahaya bagi instansi karena banyak pegawai yang kehilangan kemampuan mereka disebabkan bidang tugas yang berbeda dengan kompetensinya.
Pegawai yang memiliki keahlian komputer jika mengerjakan pengelolaan kepegawaian, tentu lambat laun akan kehilangan keahliannya karena tidak pernah digunakan, sementara untuk mengurusi hal-hal terkait kepegawaian belum tentu juga bisa menjadi ahli.
Maka jika setiap pegawai diarahkan pada karir jabatan fungsional tertentu, mereka akan bisa bekerja sesuai keterampilan, keahlian, passion, serta minat yang dimiliki. Pekerjaan pada hal yang sama selama bertahun-tahun tentunya juga akan membangun expertise pada bidang yang digeluti pegawai fungsional tersebut.
Tantangan
Meskipun demikian, peralihan para birokrat dari semula struktural menjadi mayoritas fungsional memiliki beberapa tantangan. Salah satu yang utama adalah budaya (culture) di kalangan ASN yang masih cenderung menyukai jabatan di struktural dibandingkan fungsional.
Seorang pegawai dengan pangkat III/c biasanya akan memilih menjadi pejabat eselon IV dibandingkan pejabat fungsional. Hal ini karena pejabat eselon dianggap memiliki kuasa dan anak buah yang bisa melayani. Berbeda dengan pejabat fungsional tertentu yang semuanya harus dikerjakan sendiri. Budaya ingin dilayani tampak lebih dominan dibandingkan melayani.
Selain itu, pada jabatan struktural, kenaikan pangkat tidak terlalu dipengaruhi oleh kinerja, hanya cukup menunggu kenaikan pangkat tiap empat tahun. Sementara pejabat fungsional harus bekerja keras mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya.
Maka dari itu, perlu penataan organisasi yang membuat jabatan fungsional tidak dinomorduakan. Jabatan struktural dan fungsional seharusnya memiliki kedudukan yang sama. Sebagai contoh dalam birokrasi di Singapura, jabatan struktural (managerial) sejajar dengan jabatan fungsional (specialist).
Berikut adalah gambar manajemen karir birokrat di Singapura:
Manajemen Karir Birokrat Singapura
Sumber: Lembaga Administrasi Negara, 2018
Berkarir di salah satu jenjang, baik struktural (managerial) maupun fungsional (specialist) merupakan pilihan yang tidak ada bedanya. Maka harusnya tidak ada istilah pegawai struktural yang didemosi menjadi fungsional karena sebenarnya hal tersebut sama dengan sekedar mutasi atau rotasi pindah tugas.
Kesamaan kedudukan tersebut harusnya juga tercermin dari kompensasi tunjangan kinerja yang setara antara jabatan struktural dan fungsional. Bahkan jika dimungkinkan pejabat fungsional bisa mendapatkan lebih karena ada keterampilan dan keahlian yang dihargai.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kenaikan pangkat fungsional yang seharusnya bisa lebih cepat. Kondisi yang terjadi saat ini, walau berkinerja baik dan luar biasa, beberapa instansi masih mengusahakan pejabat fungsional untuk naik pangkat tidak kurang dari empat tahun. Entah dengan cara mempersulit administrasi pengakuan angka kredit atau merancang pemenuhan angka kredit yang tidak mungkin diselesaikan di bawah empat tahun.
Ini tentu membuat tidak ada bedanya antara menjadi pejabat fungsional yang harus mengusahakan angka kredit dengan pejabat struktural yang cukup menunggu kenaikan pangkat. Bahkan jika pejabat fungsional sedang berkinerja rendah atau kebetulan mengalami hambatan dalam proses administrasi angka kredit, kenaikan pangkatnya ini bisa lebih lama dari empat tahun.
Masalah Pengembangan Kompetensi
Masalah lain dalam pengembangan karir pejabat fungsional tertentu adalah masih kurangnya kesempatan untuk mengembangkan kompetensinya sesuai bidang yang seharusnya. Diklat atau pembelajaran yang tersedia kebanyakan masih untuk jabatan struktural. Padahal pembelajaran diperlukan untuk meningkatkan angka kredit maupun keterampilan dan keahlian pegawai fungsional.
Berkorelasi dengan kompetensi, penyetaraan pendidikan juga harus menjadi fokus utama yang harus dilakukan dalam rangka memperbanyak jabatan fungsional. Beberapa jabatan fungsional mengharuskan pendidikan untuk pangkat minimal IIIa.
Misalnya saja untuk Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa, jabatan fungsional yang harusnya ada di semua instansi pemerintah sampai saat ini masih sulit dipenuhi. Salah satu penyebabnya, pengelola pengadaan yang ada selama ini seringkali diampu oleh pegawai golongan II.
Jika para pegawai golongan II tersebut yang telah memegang ijazah sarjana dipermudah pengakuan ijazah dan penyetaraannya ke golongan IIIa, tentunya masalah kurangnya jabatan fungsional pengadaan akan sedikit teratasi.
Ada juga jabatan fungsional pranata komputer yang mulai tahun 2020 ini mengharuskan memiliki ijazah D-III atau Sarjana di bidang teknologi informasi. Padahal banyak pranata komputer yang saat ini tidak memiliki ijazah yang dipersyaratkan, seperti lulusan Diploma I, II, III, atau sarjana bidang keuangan namun tertarik bidang komputerisasi sehingga diangkat menjadi pranata komputer.
Akan sangat disayangkan jika pranata komputer yang ada saat ini diberhentikan karena tidak memenuhi persyaratan. Maka perlu didorong untuk mereka khususnya yang masih memiliki ijazah SMA, Diploma I, II, dan III untuk melanjutkan pendidikan ke sarjana teknologi informasi yang diiringi dengan mempermudah pengakuan ijazah yang akan mereka dapatkan tersebut.
Penyetaraan pendidikan ini sebaiknya berlaku untuk jabatan fungsional lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat yang dilayani sudah banyak yang berpendidikan sarjana ke atas.
Untuk itu, diperlukan pula ASN terutama pejabat fungsional yang memiliki pendidikan yang minimal setara. Lagi pula untuk beberapa jabatan fungsional yang masih memiliki kategori keterampilan (yang memiliki ijazah Diploma III dan maksimal hingga golongan IIId), cepat atau lambat pasti akan ingin pindah ke kategori keahlian (yang maksimal golongan IV).
Dengan penyetaraan pendidikan yang dipermudah agar semua ke kategori keahlian (memiliki ijazah sarjana dan pangkat minimal IIIa), maka kompetisi antar pejabat fungsional menjadi lebih sehat dengan kompetensi yang mumpuni.
Sebagai tambahan untuk menambah iklim kompetisi karir ASN, tidak hanya mempermudah peralihan dari struktural ke fungsinal, namun juga sebaliknya. Porsi struktural yang kecil dibandingkan fungsional memungkinkan pegawai yang semula bertugas sebagai fungsional yang memiliki komptensi lebih bisa pindah ke jabatan struktural.
Dengan demikian, pejabat struktural yang ada tidak hanya memiliki kemampuan manajerial, melainkan juga kemampuan teknis yang mumpuni karena telah berpengalaman lama di jabatan fungsional. Hal ini juga menghindari jenuhnya pejabat fungsional dengan pengalihan tugas ke struktural yang berbeda.
Epilog
Kebijakan memperbanyak pejabat fungsional tertentu harus disambut positif demi perbaikan birokrasi pemerintahan. Hanya saja masih terdapat beberapa tantangan dan masalah yang harus segera diatasi. Dengan perbaikan terus-menerus dan konsisten, semoga birokrasi pemerintah yang semula sangat hirarkis akan berubah menjadi fungsionaris sehingga bisa meningkatkan pelayanan masyarakat serta meningkatkan pengembangan karir yang sehat bagi ASN.
0 Comments