Berbagai kondisi mengkhawatirkan tengah membayangi Indonesia saat ini, seperti misalnya angka pengangguran dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tinggi, nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus turun, dan data tentang Not in Employment, Education, and Training (NEET) yang cukup mencemaskan.
Kondisi ini juga menjadi catatan negatif
tentang kesiapan generasi muda menuju apa yang digadang-gadang
sebagai Indonesia Emas tahun 2045.
PHK berlangsung masif, menimpa industri padat karya, e-commerce, teknologi, media hingga startup. Diketahui, sejak awal tahun ini hingga sekarang terdapat sebanyak 13.800 pekerja menjadi korban PHK di sektor tekstil dan produk tekstil.
Berbagai kebijakan yang digelar belum mampu mengatasi masalah. Yang lebih parah, kondisi ini berlangsung di tengah situasi global yang yang juga sangat mudah terkontraksi. Nilai tukar rupiah yang terus melemah menjadi salah satu buktinya.
Meskipun masih ada potensi untuk rebound, nilai tukar rupiah yang menyentuh angka 16.500 merupakan rekor tersendiri karena merupakan yang tertinggi sejak 2020. Kombinasi berbagai faktor negatif di atas akan membuat idealitas menuju Indonesia Emas patut dipertanyakan.
Rendahnya Daya Saing Usia Kerja
Sementara itu, data Sakernas BPS tentang NEET juga menunjukkan statistik yang tidak menggembirakan. Disebutkan bahwa pada tahun 2023 sebanyak 9,9 juta anak muda sedang dalam situasi tidak bekerja, tidak sedang belajar di bangku sekolah, dan tidak sedang mengikuti training (kepelatihan).
Kondisi ini menuntut respons tepat dari pemerintah. Tanpa ada pekerjaan, jelas hal ini menunjukkan rendahnya daya saing usia kerja di Indonesia dan kesempatan kerja yang dapat dibuka seluas-luasnya.
Namun demikian,
berbagai sikap yang hanya mengedepankan kepercayaan diri berlebihan
(overwhelming confidence) yang melihat kondisi saat ini masih baik-baik saja, bukan hanya mencederai nalar sehat namun juga mengabaikan berbagai seruan.
Sudah saatnya publik menghentikan kebijakan yang hanya mengedepankan kepongahan, nalar tribal, dan sikap yang melulu melihat pihak lain sebagai musuh.
Nalar tribal
Nalar tribal, berdasar pandangan Amy Chua dalam Political Tribes, Group Instinct and Fate of Nations (2018) adalah nalar dan kecenderungan berpolitik dengan cara-cara kesukuan yang mengedepankan polarisasi dan sektarianisme.
Sektarianisme dan kecenderungan untuk terus menyatu dan berkembang dalam kelompok yang sama (in-group feeling) yang dalam kondisi tertentu lainnya adalah tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Menarik untuk melihat fakta bahwa berbagai kecenderungan yang berlangsung tersebut utamanya berada dalam konteks menuju idealitas baru bernama Indonesa Emas.
Energi hidup bangsa dan negara banyak dicurahkan untuk mencapainya, seolah mengidentifikasi Indonesia Emas sebagai momentum tunggal yang sangat penting dalam perjalanan bangsa hingga semua pihak harus turut serta merayakan dan menyambutnya, sembari melupakan cara yang tepat untuk menyiapkan generasi yang akan menyongsongnya.
Namun begitu, anak muda juga patut waspada. Apa yang diidamkan sebagai bonus demografi dapat menjadi bonus masalah jika tidak dicarikan solusi segera.
Masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan saat ini otomatis menjadi tanggung jawab anak muda di masa yang akan datang. Anak muda yang kelak menjadi nakhoda Indonesia telah sejak dini mewarisi beragam masalah yang tidak sederhana yang harus dipecahkan kelak dalam membangun peradaban baru Indonesia.
Dunia Bipolar
Peradaban baru Indonesia Emas tersebut dalam beberapa hal sejalan dengan pandangan David Rothkopf dalam bukunya The Great Question of Tomorrow (2018). Rothkopf melihat adanya sikap yang cenderung antipati terhadap apapun yang berada di luar lingkaran kelompok sendiri.
Dengan gambaran tentang suramnya masa depan serta ketakutan status quo pada paradoks dunia, Rothkopf sadar umat manusia telah sampai pada pintu peradaban baru yang diyakininya akan mengubah wajah dunia tidak lama lagi.
Peradaban baru yang masih penuh misteri itu diwarnai disrupsi digital yang masif. Pada halaman depan rumah, sebelum sampai pintu peradaban baru itu, Rothkopf mengajukan berbagai pertanyaan besar seputar tujuan bermasyarakat,
“Bagaimana kita mendefinisikan diri
tentang siapa kita dalam jejaring dunia yang tak menentu, dan bagaimana sesungguhnya
peran negara dalam sengkarut jejaring tersebut?”
Hanya pihak tertentu yang bisa menngambil manfaat dari kondisi tersebut. Dalam relasi global, yang struktur ekonominya lebih diwarnai bits dan bytes, mereka yang mampu memonetisasi data, membuat jejaring, dan mengkreasi kecerdasan lebih lanjut akan mendapatkan potensi sumber daya dan kekuatan lebih dari negara lain.
Inilah paradoks digital yang dimaksudkan Rothkopf.
Dalam menjalani itu semua, kita sadar tengah berada dalam situasi disruptif. Hampir semua lini sosial budaya menjadi masalah, terpampang tanpa malu-malu hingga kondisi demikian disebutnya sebagai dunia bipolar (bypolar world).
Dalam pemahaman ini, kemenduaan dan shifting sikap politik berjalan beriringan. Esuk dele sore tempe, pagi kedele sore menjadi tempe, demikian sikap yang dikenali dari kecenderungan bipolar ini, namun dengan tekanan bahwa semua demi kepentingan sektoral.
Epilog: Sense of Crisis
Dengan berbagai gambaran suram yang sudah diberikan, tidak ada pilihan lain kecuali membuka seluas-luasnya partisipasi publik, menegakkan akuntabilitas, dan menghindari tindakan kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Pemerintah juga sudah selayaknya melakukan tindakan drastis untuk menangani persoalan tingginya angka pengangguran dan PHK massal. Jika dibiarkan, hal demikian bakal menjadi faktor yang melemahkan upaya untuk menuju Idonesia Emas yang dicita-citakan bersama.
Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, kita harus serius dalam menangani masalah Not in Employment, Education, and Training (NEET). Hal ini melibatkan peningkatan sistem pendidikan agar lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan pasar kerja, menciptakan lebih banyak peluang kerja, dan pelatihan kreativitas bagi generasi muda.
Tugas lainnya adalah memastikan sektor ekonomi, seperti manufaktur dan pertanian, mendapat dukungan dan insentif yang memadai. Dengan tindakan nyata dan berkelanjutan, potensi risiko ini dapat diubah menjadi pendorong untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
0 Comments