Hembusan Perubahan Birokrasi dari Negeri Anging Mamiri

by Redaksi | May 6, 2018 | Berita | 0 comments

Wahai angin, aku menitip pesan,

Sampaikanlah hingga ke jendela rumahnya,

Pada dia yang sering melupakan..

(terjemahan bait lagu Anging Mamiri)

 Potongan bait lagu tersebut terasa sesuai dengan keinginan para pembahas dan peserta diskusi akan eksistensi dan manfaat Pergerakan Birokrat Menulis (BM) yang malam itu melakukan kegiatan peluncuran buku sekaligus diskusi birokrasi yang berjudul “Kinerja Birokrasi dalam Kubangan Politik Praktis”.

Para pembahas dan peserta diskusi menginginkan angin perubahan di birokrasi untuk terus dihembuskan, bahkan di saat banyak birokrat tidak menyadarinya. Harapan itu kini semakin menguat dengan hadirnya Pergerakan Birokrat Menulis.

Sabtu malam, 28 April 2018 menjadi momentum kedua bagi pergerakan BM dalam pelaksanaan kegiatan off air setelah kegiatan sebelumnya dilaksanakan di Cikini, Jakarta, bulan Februari lalu. Malam itu adalah hari yang cukup menggembirakan bagi anggota pergerakan yang berada di Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Beberapa pengamat birokrasi, akademisi, dan tentu saja para birokrat hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Aston, Makassar.

Kegiatan diawali dengan peluncuran dua buku sekaligus yang diterbitkan oleh Pergerakan Birokrat Menulis. Kedua buku itu adalah “Budaya Kinerja: Sebuah Revitalisasi Akuntabilitas Kinerja Sektor Publik” yang ditulis oleh Nur Ana Sejati, dan buku “Politik, Birokrasi & Kebijakan Publik: Pokok-Pokok Pemikiran dalam Memerangi Tuna Politik di Indonesia”, ditulis oleh Andi P. Rukka. Dalam peluncuran buku tersebut, masing-masing penulis memberikan sedikit kisah penulisan bukunya dan menceritakan ringkasan isi tentang buku.

Budaya Kinerja di Birokrasi

Nur Ana Sejati menyampaikan bahwa buku yang ditulisnya adalah kumpulan dari finding risetnya dalam Program PhD of Accounting di Victoria University, Melbourne, Australia. Buku tersebut berisi tentang pemahaman kembali mengenai cara pandang kita terhadap akuntabilitas kinerja di sektor publik.

Jika sistem akuntabilitas kinerja selama ini banyak dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem berupa dokumen perencanaan hingga laporan kinerja, maka dampak implementasinya terhadap pemecahan masalah publik tidak akan terlihat. Oleh karena itu, sistem akuntabilitas kinerja seharusnya dipandang sebagai falsafah organisasi yang menggerakkan seluruh anggota organisasi untuk mencapai tujuan. Untuk itu, perlu dibangun suatu kultur atau budaya yang berorientasi pada kinerja, atau biasa disebut sebagai performance-driven culture.

Inti dari performance-driven culture adalah bagaimana melibatkan seluruh pegawai dalam proses perbaikan kinerja. Sistem akuntabilitas kinerja hendaknya juga harus mengedepankan aspek pembelajaran, bukanlah pemberian sanksi atas ketidakberhasilan pencapaian target kinerja. Iklim dialogis yang sehat perlu dibangun oleh pimpinan agar informasi kinerja menjadi topik bahasan sehari-hari yang dapat mendorong kreativitas dan inovasi pegawai.

Perlunya Memahami Fenomena Politik Praktis

Andi P. Rukka  mengisahkan buku yang ditulisnya sebagai sebuah buku bacaan biasa. Yang membuatnya tidak biasa adalah karena isinya berhubungan dengan kehidupan begitu banyak orang di negeri yang besar ini.

Buku yang banyak bercerita soal politik, negara, demokrasi, dan pemilihan umum ini mencoba mengisi kekosongan akan buku-buku politik praktis dengan cara yang ringan, sederhana, dan mudah dipahami. Buku itu diharapkan dapat menjadi sumber referensi masyarakat, khususnya bagi mereka yang tidak bisa memperolehnya dari literatur-literatur ilmiah.

Dalam buku tersebut, dibahas pula kaitan antara politik dengan birokrasi dan kebijakan publik. Pemilu sebagai proses politik tidak akan serta merta mengangkat derajat kecerdasan dan kesehatan suatu bangsa tanpa dibarengi kebijakan publik yang berkualitas.  Kebijakan publik itu berproses di sepanjang tahun yang justru tidak disebut sebagai tahun politik, berjalan di sepanjang waktu yang sunyi dari hingar-bingar kampanye dan janji-janji politik yang diumbar. Bahkan, kebijakan publik berproses ketika sebagian warga sedang tertidur.

Untuk itulah buku tersebut mengajak perlunya kita, sebagai warga negara, memahami apa itu politik agar tidak terjerumus oleh janji-janji kampanye, tidak jatuh pada silaunya politik praktis, dan mampu menjadi manusia kritis dalam melihat berbagai akibat dari ketidakpahaman akan fenomena politik di negeri ini.

Kubangan di Birokrasi

Pada sesi diskusi, hadir dua narasumber yaitu Adi Suryadi Culla, seorang akademisi dari Fisip Universitas Hasannudin serta Zainuddin Jaka, seorang koordinator Widyaiswara di BPSDM Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua narasumber tersebut memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap terlaksananya kegiatan, sekaligus harapan besar terhadap Pergerakan Birokrat Menulis. Diskusi yang dimoderatori oleh Rudy M. Harahap, Editor in Chief birokratmenulis.org dan Mutia Rizal, Head of Caretaker Pergerakan Birokrat Menulis, berlangsung dinamis dan cukup menggebu.

Kedua narasumber terkesan happy dengan istilah ‘kubangan’ dalam tema diskusi. Keduanya berpendapat bahwa kubangan memang istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi birokrasi, terutama di daerah, di tengah tekanan politik praktis. Kubangan memang terkesan sesuatu yang kotor, begitu juga jika berbicara tentang proses politik praktis di Indonesia sampai saat ini.

Akuntabilitas Bukan Responsibilitas

Zainuddin Jaka menyebutkan bahwa sebenarnya ada celah bagi birokrat untuk sedikit melawan politisi. Salah satu caranya adalah dalam hal penganggaran. Jika birokrat memang telah profesional dalam melakukan penganggaran, maka kepentingan politik yang mencoba masuk di dalamnya dapat dimentahkan.

Apabila terjadi tarik-menarik kepentingan yang membuat anggaran tidak dapat menemukan titik temunya, maka pemerintahan dapat menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Dengan cara tersebut diharapkan politisi menjadi sadar akan adanya kekuatan birokrat profesional dalam pemerintahan, terutama di daerah.

Jaka menambahkan terkait dengan kinerja birokrasi, bahwa masih banyak yang menganggap kinerja sebagai sekadar masalah pertanggungjawaban. Belum banyak birokrat yang mampu membedakan pertanggungjawaban (responsibilitas) dengan akuntabilitas.

Pertanggungjawaban adalah masalah surat pertanggungjawaban (spj), pemenuhan dokumen laporan,  serta pemenuhan target (keuangan) semata. Sedangkan akuntabilitas adalah masalah pertanggunggugatan. Bagaimana birokrasi berakuntabilitas adalah tentang bagaimana birokrasi mampu memenuhi misi pemerintahannya di hadapan masyarakat.

Birokrasi Terpenjara Secara Struktural dan Kultural

Pada awal penyampaian materinya, Adi berharap semakin banyak tulisan dengan nada pemberontakan, baik di buku maupun tulisan di laman birokratmenulis.org. Tulisan itu sebaiknya berasal dari para birokrat. Yang ia maksud dengan pemberontakan adalah memberontak dari birokrasi yang terpenjara oleh kepentingan politik. Birokrasi telah terpenjara sekian lama secara struktural dan kultural oleh para politisi.

Secara struktur, birokrasi masih dipimpin oleh pejabat pembina kepegawaian yang notabene adalah seorang politisi. Dalam struktur yang sangat hirarki, kondisi ini membuat para birokrat sulit, bahkan tidak mungkin keluar dari kungkungan kepentingan sang politisi.

Hal ini diperparah dengan adanya kultur birokrasi yang patrimonial dan paternalistik. Kultur patrimonial sangat memungkinkan munculnya kroni, sedangkan kultur paternalistik membuat birokrat selalu merasa dirinya inferior di hadapan politisi.

Uniknya, struktur dan kultur ini justru mengakibatkan banyak birokrat yang enggan keluar dari kubangan. Mereka tampak menikmati kubangan, terutama saat dia mendapatkan keuntungan dari ‘kotornya’ kubangan tersebut.  Menurut pengamatannya, birokrat pun akhirnya banyak yang menjadi tim sukses calon kepala daerah.

Ia menyebut bahwa birokrasi di Indonesia telah mengalami sejarah yang cukup panjang, sejak masa kolonial sampai reformasi. Akan tetapi, sifat, ciri, dan karakter birokrasi belum menunjukkan perubahan. Berbagai macam permasalahan tetap pada tempatnya, hanya saja sistem dan caranya berbeda-beda.

Keluar dari Kubangan

Bagaimana keluar dari kubangan menjadi sebuah hal serius untuk dipecahkan bersama. Salah satu yang perlu dilakukan adalah mendekonstruksi realitas birokrasi. Birokrat harus berani mengemukakan fakta yang dialami, dan berani membongkar aib dirinya sendiri.

Birokrat sebaiknya rajin melakukan refleksi diri agar mudah bagi dirinya untuk berbenah dan berubah. Tanpa refleksi, proses dekonstruksi akan menemui jalan terjal dan berliku. Menurutnya, kesempatan ini dapat dilakukan oleh Pergerakan Birokrat Menulis.

Menurutnya, struktur penjara birokrasi sebaiknya segera diubah. Selama pembina kepegawaian adalah politisi, maka sampai kapan pun birokrasi tetap ada dalam kubangan kepentingan politik. Kultur perlu juga segera didobrak. Patrimonial dan paternalistik sebisa mungkin berubah menjadi jenis kemitraan yang mengedepankan profesionalisme dalam relasi yang lebih egaliter. Salah satu peluang adalah promosi jabatan dengan open bidding, asalkan memang dikelola dengan baik.

Harapan Munculnya Tokoh Revolusioner

Malam yang semakin larut tidak menyurutkan semangat para peserta untuk memberikan pandangan dan komentar. Salah seorang peserta diskusi, Abdullah Nasir, mengatakan bahwa birokrat sebaiknya tidak hanya mementingkan kemampuan dan kemauan, tapi juga masalah moral dan nilai-nilai. Kesadaran rasional perlu didobrak dengan alam bawah sadarnya, yaitu nurani, agar kita kembali kepada hakikat sebagai manusia.

Hal senada juga diungkap oleh Sulwan Dase, yang prihatin terhadap kondisi birokrasi di daerah. Banyak pejabat yang diangkat, tetapi pemilihan personil memiliki nuansa patrimonial, hanya kroni-kroni yang memiliki kesamaan pandangan atau partisan politik saja yang akhirnya terpilih. “Jika yang menjadi pimpinan ‘hijau’, maka pejabat turunannya adalah ‘hijau’ semua”, begitu ungkapnya.

Masih pada sisi yang sama, Askar Al Makassary memberikan komentar bahwa birokrat sudah seharusnya memiliki sikap yang jelas agar birokrasi tidak lagi menjadi alat politik. Perlu ada reformer, transformer, revolusioner yang dapat mendorong perubahan di birokrasi,  agar birokrasi tidak lagi berjalan stagnan. Selama ini reformasi masih banyak menyisakan angan dan permainan. Ia pun berharap semoga momen dan pergerakan ini bisa menemukan tokoh-tokoh tersebut.

Epilog

Pada akhirnya semua sepakat bahwa birokrat yang selama ini masih dipandang sebagai obyek, sudah seharusnya mulai berperan sebagai subyek. Paradigma administrasi publik perlu terus berbenah agar semakin memanusiakan manusia.

Dengan demikian, kita semua berharap tidak muncul lagi praktik eksploitasi dan pemaksaan kepentingan dari kekuatan dominan elit birokrasi, yang sebagian besar adalah politisi, kepada birokrasi yang memiliki kepentingan satu yaitu melayani masyarakat.

Birokrat perlu terus ‘melawan’ dan menemukan jati dirinya. Dalam menulis, birokrat akan mampu berefleksi dan menemukan dirinya sendiri. Perubahan di birokrasi hanya dapat diubah oleh birokratnya sendiri. Orang yang berada di luar birokrasi lebih banyak berperan sebagai pendorong dan penonton.***

 

 

Redaksi

Redaksi

Author

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post