
Beberapa waktu belakangan ini, saya menyaksikan fenomena yang cukup menggelisahkan: masyarakat Indonesia berbondong-bondong mengantre membeli emas. Bukan hanya di toko emas tradisional, bahkan gerai-gerai emas di pusat perbelanjaan dan butik pun dipenuhi pembeli yang rela berdiri lama demi satu-dua gram logam mulia.
Di saat yang sama, kita juga menyaksikan ketegangan ekonomi global yang semakin meningkat: perang dagang antara negara adidaya, ketidakpastian nilai tukar, dan gejolak geopolitik yang bisa memicu krisis finansial kapan saja.
Di tengah situasi yang serba tidak pasti ini, kepanikan mudah sekali menyebar.
Namun, sebagai warga negara yang pernah melewati pahitnya krisis ekonomi 1997–1998 dan 2008, seharusnya kita belajar dari sejarah, bukan malah larut
dalam ketakutan yang tidak produktif.
Dan untuk itu, saya ingin mengajak Anda membaca sebuah buku penting: “Mewaspadai Terulangnya Krisis Ekonomi: dan Upaya Pencegahannya” karya Eri Hariyanto.
Meski buku ini diterbitkan tahun 2018, 7 tahun yang lalu, isinya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Bahkan bisa dikatakan, buku ini adalah panduan menghadapi badai ekonomi yang dapat datang sewaktu-waktu.
Ketika Emas Menjadi Simbol Kekhawatiran
Saya tidak mempersoalkan pilihan masyarakat untuk berinvestasi dalam bentuk emas. Emas memang dikenal sebagai aset lindung nilai (safe haven asset) di tengah gejolak pasar. Ketika inflasi tinggi, ketika rupiah melemah, atau ketika kepercayaan terhadap sistem keuangan mulai goyah—emas menjadi pilihan yang tampak “paling aman”.
Namun sebagai orang yang belajar dari pengalaman krisis, saya melihat gejala antrian panjang pembelian emas ini bukan hanya soal strategi investasi. Ini juga mencerminkan keresahan kolektif, ketidakpastian atas masa depan, bahkan mungkin ketidakpercayaan terhadap stabilitas ekonomi jangka pendek.
Masalahnya, dalam jangka panjang, emas bukan solusi atas persoalan ekonomi struktural. Menyimpan emas tidak serta-merta meningkatkan produktivitas, memperkuat sektor riil, atau menyelamatkan ekonomi negara.
Ketika terlalu banyak orang fokus menyimpan nilai dan terlalu sedikit yang berani menciptakan nilai, justru saat itulah perekonomian bisa stagnan atau bahkan terjerumus. Emas, sebagus apapun kilaunya, tidak bisa menggantikan pentingnya kebijakan yang sehat, transparansi fiskal, dan tata kelola ekonomi yang akuntabel.
Krisis Itu Tidak Pernah Jauh
Buku ini membuka dengan mengingatkan kita akan betapa tiba-tiba dan masifnya krisis 1997–1998 menghantam Indonesia. Saat itu, tidak ada tanda-tanda jelas bahwa ekonomi Indonesia akan ambruk—pertumbuhan di atas 7%, inflasi terkendali, cadangan devisa meningkat.
Namun satu malam, segalanya berubah.
Rupiah terjun bebas, bank-bank rontok, pengangguran melonjak, dan pemerintah
kewalahan menghadapi efek domino di berbagai sektor.
Sama seperti saat ini, ketika antrian pembeli emas mengindikasikan keresahan massal, kita tidak tahu pasti kapan badai berikutnya akan datang. Tapi yang pasti: krisis bisa terulang, dan kita harus lebih siap dari sebelumnya.
Kita Butuh Perspektif, Bukan Kepanikan
Buku ini tidak hanya menceritakan sejarah, tapi juga menguliti akar masalah krisis secara jernih—dari liberalisasi keuangan yang prematur, lemahnya pengawasan, hingga buruknya tata kelola yang memicu moral hazard. Yang menarik, penulis menekankan pentingnya integritas, kehati-hatian, dan koordinasi antarlembaga dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Di tengah maraknya informasi yang simpang siur—dari isu de-dolarisasi, potensi resesi global, hingga fluktuasi harga komoditas—masyarakat butuh pencerahan yang berbasis data dan pengalaman, bukan narasi yang membakar emosi. Buku ini memberikan itu semua dengan bahasa yang mudah dipahami.
Gratis, dan Wajib Dibaca
Yang lebih membahagiakan: buku ini bisa diakses secara gratis. Ya, gratis. Dengan kualitas analisis dan kelengkapan data yang disajikan, buku ini seharusnya menjadi bahan bacaan wajib bagi siapa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan ekonomi, termasuk ASN, mahasiswa, pelaku usaha, dan masyarakat umum.
Sebagai ASN yang bekerja di bidang pengawasan dan keuangan publik, saya merasa buku ini perlu dibaca bukan hanya untuk mengenang krisis masa lalu, tapi untuk mencegah agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama.
Sebab, seperti kata Boediono yang dikutip di buku ini, “Langkah preventif apa pun akan selalu lebih murah biayanya daripada membiarkan krisis lepas kendali.”
Bukan Sekadar Emas, tapi Ketangguhan Bangsa
Banyak yang percaya bahwa emas adalah pelarian terakhir di tengah badai. Tapi saya percaya, pengetahuan dan kesiapan mental jauh lebih penting. Krisis bukan hanya ujian finansial, tapi ujian karakter bangsa.
Dalam menghadapi badai ekonomi, kita butuh bukan hanya instrumen lindung nilai, tapi juga shield of wisdom—perisai kebijakan, akal sehat, dan komitmen pada prinsip kehati-hatian.
Maka membaca buku ini bukan sekadar kegiatan akademik. Ini adalah bentuk ikhtiar untuk memahami, mengingat, dan mempersiapkan diri. Agar bangsa ini tidak hanya menjadi penonton saat badai datang, tapi mampu menavigasi arah, menghindari karang, dan tetap tegak di tengah gelombang.
Buku ini bisa diunduh secara gratis, dan saya sangat menganjurkan Anda meluangkan waktu untuk membacanya. Sebab dalam menghadapi krisis, bekal terbaik kita bukan emas, melainkan pengetahuan dan kebijakan yang benar.
Baca di sini: Mewaspadai Terulangnya Krisis Ekonomi
0 Comments