Bluffocracy, Consultocracy, dan Quo Vadis Reformasi Birokrasi

by | May 25, 2021 | Birokrasi Efektif-Efisien, Refleksi Birokrasi | 9 comments

The British Bluffocracy

Terminologi bluffocracy digunakan oleh James Ball, seorang jurnalis, dan Andrew Greenway, mantan pejabat pemerintahan di Inggris, dalam buku mereka, dengan judul yang sama, Bluffocracy, yang meriwayatkan budaya bluffing pada kehidupan publik di Britain. Bluffocracy adalah kondisi di mana Britain telah menjadi bangsa yang dijalankan oleh para bluffer, orang-orang yang memiliki pemahaman yang dangkal tentang negara yang mereka kelola.

Dalam versi ringkas dari buku tersebut, yang terbit di majalah mingguan The Spectator, tanggal 18 August 2018, Ball dan Greenway juga menyebut bluffer sebagai “chancer”. Seseorang yang tahu bagaimana menghasilkan ide yang menarik perhatian, serta membuatnya terdengar meyakinkan dan radikal, tetapi tidak pernah memiliki sedikitpun konsep tentang bagaimana menerapkannya.

Artikel tersebut memicu tanggapan masyarakat. Sepekan kemudian, pada segmen Letter, di majalah yang sama, Michael Gorman menulis: “the main problem is with the civil service, not politicians”. Gorman menyoroti inexpertise birokrasi dengan not up to snuff, sebuah idiom yang bermakna tidak sebaik yang semestinya, atau di bawah standar yang dapat diterima. Birokrasi yang ilmiah, menurutnya, telah terkikis sejak tahun 1970-an, oleh serangkaian efisiensi dan privatisasi.

Warga lain, David Lee, menanggapi bahwa selama bertahun-tahun, para bluffer yang bertanggung jawab atas lembaga-lembaga pemerintahan telah menipu diri sendiri karena merasa bahwa mereka telah mempekerjakan para expert.

Padahal, para “ahli”, yang lebih dikenal sebagai konsultan manajemen, adalah über-bluffers yang sebenarnya. Setuju dengan pendapat Ball dan Greenway, yang diperlukan dalam birokrasi adalah “the real expert”. Bluffocracy berkaitan erat dengan fenomena consultocracy.

Consultocracy Sektor Publik

Bahwa birokrasi dipandang sebagai masalah dalam administrasi publik, bukanlah diskursus baru. Jauh sebelum Ball dan Greenway menggunakan istilah bluffocracy, Christopher Hood dan Michael Jackson, pada tahun 1991, mengemukakan jargon “consultocracy” untuk pertama kali.

Hood dan Jackson menggunakannya untuk menyebut kecenderungan peningkatan peran konsultan manajemen swasta dalam perumusan kebijakan sektor publik. Adapun terminologi consultocracy menjadi populer setelah Denis Saint-Martin mencatat peningkatan belanja publik untuk jasa konsultansi eksternal yang sangat signifikan, sebesar 300% di Inggris dan 400% di Kanada dalam satu dekade.

The Economist menulis bahwa konsultansi sektor publik menguasai sekitar 30% dari pasar konsultansi global, dengan proyeksi pertumbuhan 6-9% per tahun, lebih tinggi dari pertumbuhan sektor swasta yang hanya 1-4%. Sejak itu, banyak studi telah menggambarkan bagaimana konsultan mewarnai perumusan kebijakan dan praktik administrasi publik.

Analisis sistematis mengenai dampak consultocracy terhadap administrasi publik, oleh Matti Ylönen dan Hanna Kuusela, menemukan dampak problematis dari meningkatnya peran konsultan terhadap administrasi publik, yaitu monopoli dan privatisasi pengetahuan yang meningkatkan ketergantungan, erosi terhadap tacit knowledge, melemahnya akuntabilitas, dan penguatan rasionalitas instrumental.

Melihat permasalahan berkembangnya consultocracy yang lebih besar daripada potensi manfaatnya, Ylönen dan Kuusela menyimpulkan bahwa seandainya organisasi sektor publik dapat mengembangkan alternatif yang lebih baik, yang berangkat dari karakteristik demokrasi dan etos publik, meminta solusi sektor publik dari konsultan eksternal akan menjadi kurang dibutuhkan.

Quo Vadis Reformasi Birokrasi

Tanpa menafikan beberapa capaiannya, secara umum, pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia belum menunjukkan hasil yang mengembirakan. Hal ini ditandai dengan beberapa hal.

Di antaranya indikator global yang mencerminkan kapabilitas birokrasi, diukur dari serangkaian institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat kemakmuran ekonomi jangka menengah. Kebijakan yang secara langsung mempengaruhi sektor bisnis, serta persepsi tingkat korupsi sektor publik di Indonesia, cenderung mengalami stagnasi.

World Economic Forum mencatat Global Competitiveness Index, atau Indeks Daya Saing Global, pada tahun 2010, di peringkat 44 dari 139 negara, dengan skor 4,43. Pada tahun 2019, Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara, dengan skor 64,6. Pada tahun 2018, Indonesia di peringkat 45 dari 140 negara, dengan skor 64,9.

World Bank mencatat Ease of Doing Business Index, atau Indeks Kemudahan Berusaha, pada tahun 2010, pada urutan 122 dari 175 negara. Pada tahun 2020, Indonesia berada di peringkat 73 dari 190 negara dengan skor 69,6. Sekalipun mengalami peningkatan skor dibandingkan dengan tahun 2019, yang sebesar 67,96, peringkat Indonesia tidak berubah.

Corruption Perceptions Index, atau Indeks Persepsi Korupsi, menurut data Transparency International, pada tahun 2010, Indonesia berada pada urutan 110 dari 178 negara dengan skor 2,8. Pada tahun 2020, Indonesia berada di peringkat 102, dengan skor 37, setelah pada tahun 2019 berada di peringkat 85, dengan skor 40.

Government Effectiveness Index, atau Indeks Efektivitas Pemerintahan, salah satu dari enam dimensi The Worldwide Governance Indicators-nya World Bank, juga cenderung statis. Indeks Efektivitas Pemerintahan mencakup persepsi tentang kualitas layanan publik, kualitas PNS dan tingkat kemandiriannya dari tekanan politik, kualitas formulasi dan implementasi kebijakan, serta kredibilitas komitmen pemerintah terhadap kebijakan tersebut.

Indeks efektivitas pemerintahan Indonesia, yang menggambarkan kemampuan pemerintah dalam mengambil kebijakan dan menyelenggarakan pelayanan publik secara efektif, pada tahun 2010, adalah minus 0,21, atau peringkat 47 dari 210 negara.

Pada tahun 2019, skor Indonesia adalah +0,18, atau berada di peringkat 59 dari 193 negara. Meski mengalami sedikit perbaikan peringkat, dari peringkat 60 pada tahun 2018, capaiannya masih sama dengan indeks pada tahun 2018.

Stagnasi capaian indikator-indikator global tersebut mengindikasikan, setelah reformasi birokrasi berjalan lebih dari satu dekade, masih terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan SDM aparatur di Indonesia, sehingga reformasi birokrasi menjadi seperti tanpa arah.

Selain pada tingkat nasional, quo vadis reformasi birokrasi juga terjadi di daerah. Hasil evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi tahun 2020 menunjukkan bahwa baru 1 pemerintah provinsi meraih predikat A; 4 pemerintah provinsi dan 8 pemerintah kabupaten/kota mencapai predikat BB; serta 21 pemerintah provinsi dan 115 pemerintah kabupaten/kota yang berpredikat B.

Hasil tersebut, secara implisit, mengungkapkan bahwa masih terdapat 8 provinsi, atau 23,53%, dan 385 kabupaten/kota, atau 75,79%, yang capaian pelaksanaan reformasi birokrasinya masih di bawah B.

Data-data capaian indikator kinerja tersebut mengklarifikasi prediksi Mark Turner, Eko Prasojo dan Rudiarto Sumarwono, bahwa Indonesia tidak sesuai jadwal untuk mencapai visi reformasi birokrasi 2010-2025, yaitu “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”, pada tahun 2025.

Program reformasi memang mengalami kemajuan dan telah menghasilkan beberapa peningkatan kinerja. Namun, menurut mereka, perubahannya relatif kecil dan bersifat inkremental.

The Forgotten Dimension of Bureaucratic Reforms

Quo vadis reformasi birokrasi, salah satunya, disebabkan oleh manajemen SDM yang kurang optimal. Manajemen SDM, oleh Mark Turner, Amir Imbaruddin, dan Wahyu Sutiyono, disebut sebagai “dimensi yang terlupakan dari desentralisasi”.

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan praktik manajemen SDM sektor publik, terutama di daerah, yang lebih berorientasi pada kontrol, tata tertib, dan loyalitas; daripada pada peningkatan kinerja.

Bahkan setelah penerapan Undang-Undang ASN dan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PNS, KemenPAN-RB menemukan bahwa profesionalisme, terutama kapabilitas dan kompetensi, masih merupakan permasalahan aktual utama SDM Aparatur. SDM aparatur, terutama di daerah, cenderung menunjukkan gejala bluffocracy dan consultocracy sehingga belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif, dan produktif.

Gejala bluffocracy di daerah terlihat dari rendahnya kompetensi para pimpinan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah. Hasil penilaian kompetensi dan potensi oleh Pusat Penilaian Kompetensi ASN BKN pada tahun 2017 pada pemerintah daerah menemukan bahwa 4,17% JPT Pratama berada pada level potensi dan kompetensi yang tinggi.

Tentu saja ini merupakan eufemisme dari menyatakan bahwa 95,83% JPT Pratama di daerah tidak potensial dan berkompeten. Rendahnya kompetensi driving for results dan planning-organizing juga tercermin dari kemampuan dalam mengalokasikan anggaran sesuai pendekatan *money follows program* prioritas.

Selain itu juga pada kemampuan menyusun rencana strategis perangkat daerah sesuai dengan visi, misi, nilai-nilai, dan tujuan organisasi, yang mayoritas di-sub-kerjakan kepada konsultan manajemen. Hal ini mengindikasikan gejala inexpertise birokrasi yang lain: consultocracy.

Consultocracy di daerah ditunjukkan oleh belanja jasa konsultansi dalam jumlah yang signifikan. Di tempat saya bekerja, misalnya, pada APBD Tahun Anggaran 2019, terdapat belanja jasa konsultansi sebesar Rp95,164 milyar untuk bermacam-macam aktivitas seperti perencanaan, pengawasan, survey, manajemen, pembuatan software, pembuatan website, penelitian, dan lain-lain.

Belanja ini meningkat, pada Tahun Anggaran 2020, menjadi sebesar 99,472 milyar atau setara dengan total Belanja Langsung pada 5 perangkat daerah Tipe B.

Saya sebenarnya tidak antipati terhadap konsultan, karena terdapat alasan yang sah untuk menggunakan jasa konsultan eksternal. Namun demikian, sebagaimana Ylönen dan Kuusela memperingatkan, consultocracy mendistorsi konsep akuntabilitas kinerja, karena pelaksanaan kebijakan dan program, dalam konsep administrasi publik, semestinya menjadi kewajiban birokasi.

Ketika birokrasi mengontrak jasa konsultansi, maka setidaknya sebagian dari tanggung jawab mengenai hasilnya diserahkan kepada pihak konsultan. Consultocracy juga mendistorsi konsep akuntabilitas berorientasi pada hasil dalam pengelolaan keuangan negara.

Ketika keuangan negara wajib dikelola secara efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, maka consultocracy, yang menurut Natasha Hamilton-Harthigh costs”, menjadi double burden bagi keuangan negara atau keuangan daerah yang sudah harus menanggung beban belanja pegawai dalam proporsi yang signifikan.

Pembangunan aparatur negara, melalui reformasi birokrasi, dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme. Untuk menghasilkan PNS yang profesional, kebijakan dan manajemen PNS diselenggarakan berdasarkan sistem merit.

Bluffocracy dan consultocracy mengonfirmasi penerapan sistem merit dan manajemen talenta yang belum optimal, sebagaimana hasil pemetaan oleh KASN. **Fenomena tersebut juga memvalidasi the forgotten dimension of bureaucratic reforms: *right-sizing* organisasi birokrasi.

Mengembalikan Reformasi Birokrasi ke Jalurnya

Rendahnya profesionalisme PNS merupakan vicious cycle dari kelembagaan birokrasi yang kompleks dan eksesif. Evaluasi kebijakan reformasi birokrasi oleh Bappenas menemukan gejala proliferasi kelembagaan birokrasi yang menyebabkan komposisi SDM aparatur menjadi tidak seimbang; jabatan fungsional tidak berkembang.

Tidaklah berlebihan kiranya, dalam pidato Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Periode 2019-2024, salah satu arahan Presiden adalah penyederhanaan birokrasi, melalui penyederhanaan eselon menjadi dua level, dengan memperbanyak jabatan fungsional yang menghargai expertise dan kompetensi. Apa yang dilakukan oleh Presiden adalah mengembalikan reformasi birokrasi ke jalurnya.

Right-sizing, berdasarkan prinsip hemat struktur namun kaya fungsi, dengan lebih banyak pemegang jabatan profesi daripada jabatan administrasi, menurut Komarudin, sebenarnya telah menjadi bahan kajian serta diskusi sejak tahun 2003-2004.

Penyederhanaan struktur juga menjadi rekomendasi Bappenas, Tjiptoherijanto, serta Mark Turner, dkk, tetapi belum tercapai hingga akhir periode *roadmap* reformasi birokrasi kedua.

Kelembagaan birokrasi yang right-size, dengan penerapan *merit system* dan manajemen talenta yang optimal untuk menghasilkan para “real experts”, semoga akan mengurangi bluffocracy dan consultocracy. Utamanya, visi dan tujuan reformasi birokrasi untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan integritas dan kinerja yang tinggi, guna meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dapat terwujud. Semoga.

17
0
Mochamad Nurhestitunggal ◆ Active Writer

Mochamad Nurhestitunggal ◆ Active Writer

Author

Perencana Ahli Muda di Bappeda Provinsi Banten. Seorang lifelong learner, yang mengikuti semboyan Albert Einstein: “I have no special talent. I am only passionately curious”.

9 Comments

  1. Avatar

    pembahasan Birokrasi yang isi dan flowingnya menarik. wait for more articles from u 🙂

    Reply
  2. Avatar

    Wah bacaan segar dan menarik. Sukses selalu.

    Reply
  3. Avatar

    Sindiran yang cukup tajam tapi mengena. Menyisakan kesadaran akan setumpuk PR yang dihadapi kapal besar bernama birokrasi. Ditunggu tulisan2 berikutnya

    Reply
  4. Avatar

    MasyaAllah kereeennn, tulisannya pas banget dengan zaman skrg memang ASN sudah waktunya untuk move on dari birokrasi yg bertele2 dan menganut prinsip hemat struktur namun kaya fungsi, ….skali lagi kerennn sukses trus yach mas

    Reply
  5. Avatar

    Bagus sekali tulisannya pak Nurhesti, mudah dimengerti dgn bahasa intelektual yang baik. Saya setuju dengan bapak, fenomena ini marak terjadi saat ini. menurut saya, sebenarnya the ‘real expert’ adalah ASN seperti bapak ini, yang memahami masalah dan pasti tau jalan keluarnya. ASN bukan sekedar berperan sebagai administrator dari hasil pemikiran konsultan yang sebagian besar sebenarnya hanyalah bluffer. Kembalikan fungsi kapabilitas ASN talent sbg the ‘real expert’ pada trahnya. Harusnya sektor publik minim konsultan, sehingga biaya bisa di reduce dengan pemanfaatan ASN berbasis merit sistem. Tambahan dari saya, selain yang telah bapak sebutkan yaitu right size, merit system dan manajemen talenta, menurut saya yang perlu dibenahi untuk hal mendasar yaitu culture didalam kelembagaan sektor publik itu sendiri dan manajemen berbasis kinerja. Sudah saatnya sektor publik mengikuti gaya swasta yang berbasis kinerja yang terukur dan memiliki mindset bekerja, bertanggungjawab dan melayani untuk publik

    Reply
  6. Avatar

    👍

    Reply
  7. Avatar

    Wow tulisan yang sangat bagus.. mengena bangets dengan fenomena-fenomena reform yang tidak menyentuh esensi birokrasi. Budaya ikut2an or latahcracy hehehe

    Goodjob.. dibacanya enak. Semoga menjadi reminders buat para birokrat.

    Reply
    • Avatar

      Siap, terima kasih, Bang. Jadi semakin semangat…

      Reply
    • Avatar

      …sayangnya berapa banyak sih birokrat yang berpikiran semacam ini?..masih banyak yang merasa pekerjaannya adalah anugerah dan pendapatannya adalah rejeki yang sudah jadi takdirnya lol..
      semoga upaya kita yg ‘kecil’ ini dan tampak seakan hanya buih saat ini kelak akan menjadi gelombang ya mas..Krn rakyat Indonesia berhak diurusi oleh orang2 yang kompeten, yang bertanggung jawab, dan yang tahu harus melakukan apa

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post