Alasan Mengapa Tak Perlu Terlalu Hirau dengan Indeks Persepsi Korupsi

by | Feb 2, 2021 | Birokrasi Akuntabel-Transparan, Birokrasi Bersih | 1 comment

Kamis 28 Januari 2021 lalu, Transparency International Indonesia ( TII) merilis indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 dengan skor 37 pada skala 0-100 dan berada di ranking 102. Skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 dan membuat posisi Indonesia melorot dari peringkat 85 menjadi peringkat 102 dari 180 negara.

Di antara negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40).  IPK merupakan data agregat dari sejumlah sumber yang menyediakan data persepsi pelaku bisnis dan cendekia di suatu negara mengenai tingkat korupsi di sektor publik.

IPK naik ataupun turun tidaklah terlalu signifikan untuk diperhatikan dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain mengandung kelemahan metodologis yang inheren pada makna persepsi, IPK juga semakin tidak relevan. IPK dipandang hanya retorika anticorruptionism (Sampson 2011), alat pelestari ideologi neoliberal yang gagal menangkap sisi penawaran dari korupsi dan abai terhadap ikut bersalahnya (culpability) sektor swasta (Seabrook and Wigan 2015).

IPK juga bias terhadap wilayah miskin (J. Andvig , et al. 2000), hanya mampu mengukur proksi korupsi dan abai terhadap perbedaan budaya, standar etis dan terlalu fokus pada filosofi bisnis (Maria 2008) (Lambsdorff 2006). Oleh karenanya, tulisan ini mencoba mendorong kita untuk tidak perlu terlalu hirau dengan Indeks Persepsi Korupsi dan mulai mengembangkan metode pengukuran korupsi yang kontekstual.

Kita memerlukan metode pengukuran korupsi yang terintegrasi dengan manajemen risiko korupsi, yaitu metode yang mampu mengukur kinerja organisasi dalam menjalankan kewenangan dan mengelola sumber daya serta menjaga hubungan yang probitas, jujur, benar dan berintegritas dengan para pemangku kepentingan.

Isu metodologis pengukuran berbasis persepsi

Kesulitan mendasar dalam mengukur korupsi terkait dengan definisi korupsi dan beragamnya praktik bisnis. Tidak terdapat definisi korupsi yang telah diterima secara universal. Hal ini menjadi faktor penyulit yang luar biasa pada saat dilakukan analisis komparatif.

Korupsi bukanlah fenomena tunggal melainkan istilah yang mencakup berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan atau penyalahgunaan jabatan. Korupsi juga bersifat tersembunyi, tanpa jejak, atau jejaknya dihilangkan. Sifat korupsi yang tersembunyi (clandestine) dan serupa gunung es menjadikan sangat tidak mungkin untuk mengukur korupsi dengan tepat dan obyektif.

Makna dan definisi korupsi bersifat perseptual dan dinamis yang terkait dengan kemampuan kita mengintepretasikan dan memahami fenomena korupsi. Korupsi adalah juga kontekstual, maknanya tergantung pada ideologi, paradigma, budaya ataupun konteks lainnya.

Persepsi terhadap korupsi juga tergantung pada pemahaman terhadap norma hukum, nilai-nilai moral individual. Suatu perbuatan dipandang sebagai korupsi menurut peraturan perundang-undangan mungkin dianggap pihak lain sebagai satu-satunya cara bertahan hidup.

Pengukuran berbasis persepsi seringkali dikritisi karena berisiko tinggi menjadi cerminan dari kebenaran yang terdistorsi, terlebih bila dilakukan pembandingan dengan ukuran berbasis lainnya. Pembandingan antarwaktu dan antarwilayah juga problematis karena adanya kemungkinan terjadi perubahan metodologi, indikator, dan sumber data.

Persepsi korupsi juga bukan merupakan cerminan dari pengalaman personal (experiential basis), sehingga jawaban responden survei persepsi korupsi dipengaruhi oleh faktor–faktor terkait sikap (attitudinal aspects). Hal ini menciptakan dua masalah yaitu komparabilitas dan mendorong responden memperluas rerangka referensi sesuai kehendaknya dalam menjawab pertanyaan survei korupsi (Walle 2008).

Isu metodologis lainnya terkait dengan pengukuran korupsi misalnya penentuan skala pengukuran (scaling) dan ketepatan pemilihan responden terkait persepsi pihak mana yang lebih penting didapatkan.

Permasalahan juga semakin tinggi ketika dilakukan pembobotan. Diperlukan pemahaman teoritis mengenai keterkaitan antardimensi atau indikator korupsi. Berbagai dimensi korupsi tidak dapat dipadatkan menjadi angka tunggal tanpa menghilangkan banyak informasi penting di dalamnya. Selain itu, perbedaan antara persepsi korupsi dan realitas menjadikan pengukuran korupsi dipandang tidak terlalu berguna. 

Basis alternatif pengukuran korupsi

Terdapat beberapa metode pengukuran korupsi alternatif untuk dipertimbangkan penggunaanya yaitu pengukuran berbasis pengalaman, berbasis fitur-fitur institusional, dan berbasis dokumentasi administratif kasus aktual.  

Data pengalaman (experiential data) adalah pengalaman atau pengetahuan langsung dari responden antara lain mengenai kejadian, keparahan, frekuensi, lokasi dan nilai. Untuk kepentingan akurasi, data pengalaman korupsi ini pada umumnya dikumpulkan melalui wawancara tatap muka.

Survei crime victimization juga dapat digunakan karena responden lebih mau memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai korupsi ketika ia dipandang sebagai korban (Trapnell 2015) (Wysmułek 2019). Pengukuran tingkat korupsi juga dapat dilakukan secara tidak langsung dengan mengkonstruksi indikator fitur–fitur institusional.

Salah satu pendekatan dalam melakukan pengukuran korupsi secara obyektif adalah dengan menghitung jumlah kasus korupsi di pengadilan. Dari sisi definisi korupsi, kasus tindak pidana korupsi di pengadilan dapat dipastikan tercakup dalam definisi korupsi. Namun demikian, metode ini mengandung bias kinerja penegakan hukum antikorupsi.

Instansi penyidik juga mempunyai informasi yang berlimpah walaupun kualitasnya bervariasi, mulai dari sangat akurat untuk siap dibawa ke pengadilan sampai dengan hanya sebatas rumor. Informasi tersebut mengandung kerancuan antara kejadian korupsi dengan pengakuan akan terjadinya korupsi. Selain itu juga tergantung pada kejujuran dan dan kinerja penyidik.

Informasi yang didapatkan dari pemberitaan media massa juga dapat menjadi alternatif, walaupun mungkin tidak lengkap, bermuatan politis, dan digambarkan secara subyektif. Wartawan mungkin hanya mencari kasus-kasus besar untuk diberitakan, atau dibayar oleh politisi untuk memberitakan atau tidak memberitakan kasus-kasus tertentu. Media juga cenderung memprioritaskan pemberitaan kasus yang spektakuler dan dramatis.

Pengukuran tingkat korupsi juga dapat dilakukan melalui penelitian tindakan (action research) dengan mengkombinasikan kuesioner yang ditujukan kepada tokoh dan masyarakat umum dan FGD atau pertemuan-pertemuan umum di mana permasalahan korupsi timbul. (Thomas and Meagher 2004) (J. C. Andvig, et al. 2000) (Reinnika and Svensson 2006) (Kaufmann, Kraay and Mastruzzi 2006).

Pengukuran korupsi untuk mengelola risiko secara lebih efektif

Seiring perjalanan perkembangan studi tentang korupsi, terdapat perubahan tujuan pengukuran korupsi yang dapat digambarkan sebagai tiga generasi pengukuran (McDevitt 2011) (Heinrich and Hodess 2011).

Generasi pertama pengukuran korupsi berupaya untuk menempatkan negara-negara di dunia dalam susunan peringkat korupsi dan membangun persepsi mengenainya. Pengukuran ini merupakan kegiatan membangkitkan kesadaran (naming and shaming) para para pembuat kebijakan, investor, dan lembaga donor.

Generasi kedua pengukuran korupsi berupaya untuk membandingkan perkembangan antarwilayah geografis atau perkembangan di sepanjang periode tertentu. Pengukuran generasi kedua ini juga mencakup upaya untuk mengeksaminasi pengalaman masyarakat mengungkap korupsi serta mengukur apakah suatu sistem mampu meminimalkan korupsi.

Generasi ketiga pengukuran korupsi fokus pada penilaian risiko korupsi spesifik dan melakukan eksaminasi terhadap institusi, hukum dan kebijakan, serta subsistem, proses dan sektoral. Fitur yang umum didapati pada pengukuran korupsi generasi ketiga ini adalah pendekatan partisipatif, fokus pada proses, data triangulasi, dan intervensi advokasi berbasis bukti. (Graycar and Prenzler 2013).

Untuk dapat memberantas korupsi di Indonesia secara efektif, Indonesia perlu mengembangkan pengukuran korupsi generasi ketiga. Pengukuran korupsi perlu diposisikan sebagai langkah awal untuk mendesain dan menyelenggarakan manajemen risiko korupsi.

Pengukuran tingkat korupsi penting dilakukan karena merupakan indikator seberapa baik (a) kinerja organisasi menjalankan kewenangan dan (b) mengelola sumber daya organisasi yang telah diamanahkan, serta (c) menjaga hubungan yang jujur, benar, dan berintegritas dengan para pemangku kepentingan dengan organisasi.

Apabila di dalam organisasi marak terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan organisasi, penyalahgunaan kewenangan, penyuapan, pemerasan, dan pungutan liar serta berbagai keputusan bisnis yang dilandasi kepentingan finansial pribadi –bukan kepentingan organisasi; maka kondisi tersebut menandakan buruknya tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian organisasi.

Untuk mencapai tujuan dan tepat pada sasarannya, data yang dikumpulkan dalam pengukuran korupsi perlu mencakup area kejadian korupsi, jenis korupsi, pihak terkait dan pihak terdampak, serta biaya dan dampak korupsi. Area kejadian korupsi dilakukan dengan mengidentifikasi unit kerja, fungsi, kegiatan, proses bisnis, atau hubungan kerja tertentu di mana tingkat korupsi tinggi atau rendah.

Selain melakukan penilaian atas berbagai jenis korupsi secara menyeluruh, perlu juga dilakukan penilaian terhadap suatu jenis korupsi tertentu yang cenderung terjadi di suatu organisasi atau sektor atau penyelenggaraan pemerintahanan tertentu. Memahami biaya dan dampak korupsi sangat penting dalam proses analisis dan evaluasi risiko korupsi.

Selain itu, informasi yang dikumpulkan perlu juga mencakup pendapat dari para pihak yang terkait atas yang terjadi. Informasi ini dibutuhan karena reaksi atau respons dari para pihak terhadap strategi antikorupsi yang akan dilaksanakan kemudian tergantung pada hasil penilaian ini.

Pengukuran korupsi yang kontekstual dalam rerangka manajemen risiko korupsi juga memerlukan sasaran pengukuran yang measurable. Responden perlu mampu menyebutkan jumlah yang tepat atas tingkat korupsi yang ditanyakan dalam survei. Akan lebih tepat apabila pertanyaan dalam kuesioner disertai dengan penjelasan mengenai aspek waktu dan tempat dari tingkat korupsi yang sedang ditanyakan.

Perumusan tujuan pengukuran juga menjadi hal yang penting karena efektivitas dari metode, proses, dan hasil pengukuran akan dinilai dari pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Keterkaitan metode, proses, serta hasil pengukuran dan tujuan pengukuran akan menentukan tingkat akurasi yang diinginkan, toleransi kesalahan, variabel proksi yang digunakan, serta indikator yang ditentukan. Pengukuran korupsi yang fokus pada sasaran yang spesifik lebih bermanfaat bagi upaya menyusun strategi manajemen risiko korupsi. (Zaman and Rahim 2009) (Kaufmann, Kraay and Mastruzzi 2006)

Penutup

Hampir mustahil mendapatkan data kuantitatif mengenai korupsi yang dapat diandalkan dan dipercaya telah mencerminkan kondisi obyektif tingkat korupsi di suatu organisasi, lebih-lebih suatu negara. Selain perlu dilakukan oleh pihak yang dipercaya oleh pimpinan, pegawai dan pemangku kepentingan organisasi, pengukuran korupsi perlu didesain sebagai bagian dari manajemen risiko korupsi.

Tingkat abstraksi, penggunaan indikator formatif dan reflektif, serta penentuan unit analisis dan desain pengumpulan data yang mampu mendorong pimpinan dan pegawai organisasi untuk bekerjasama, terbuka dan obyektif dalam memberikan keterangan dan data mengenai korupsi, sangat perlu diperhatikan. Sebagai kesimpulan, dalam konteks manajemen risiko korupsi, naik turunnya skor dan peringkat IPK cukuplah dianggap sebagai nice to know.

3
0
Ide Juang Human Tito ◆ Active Writer

Ide Juang Human Tito ◆ Active Writer

Author

PNS pemerhati kebijakan publik, reformasi birokrasi, dan pencegahan fraud

1 Comment

  1. Avatar

    Artikelnya Bermanfaat Terimakasih

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post